Poligini adalah sebuah isu yang sedang panas dibahas, terutama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah berencana untuk merevisi Undang-Undang perkawinan di Indonesia. Poligini, rencananya akan dilarang bagi seluruh kepala daerah maupun pemerintah. Langkah selanjutnya, pelarangan poligini akan diterapkan pada seluruh masyarakat.
Isu perubahan Undang-Undang poligini ini pada dasarnya sudah lama diperjuangkan para pemberdayaan perempuan, akan tetapi baru diperdebatkan kembali atas dampak dari kejadian poligini yang dilakukan Abdullah Gymnastiar dan perselingkuhan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Yahya Zaini dengan artis dangdut Maria Eva. Perdebatan yang dibahas sekarang ini adalah, apakah benar poligini itu yang membuat terjadinya perselingkuhan dan kerusakan moral masyarakat? Sedangkan di dalam Islam itu sendiri, secara nyata mengajarkan bolehnya berpoligini kalau memang seorang suami itu menetapi syarat-syaratnya. Apakah Islam sudah tidak relevan? Atau apakah manusia sekarang ini sudah mulai meninggalkan ketaqwaan serta kewajibannya sebagai makhluk Allah?
Sebelum isu poligini ini secara hukum ditetapkan sebagai larangan, para ilmuwan serta mahasiswa haruslah secara mendalam meneliti tentang positif dan negatif dari poligini, karena akan sulit untuk merevisi kembali suatu ketetapan hukum.
PEMBAHASAN
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani polygamy. Poly atau polus mempunyai arti banyak, sedangkan gamien atau gamos mempunyai arti perkawinan, maka pengertian secara harfiah adalah perkawinan yang lebih dari satu orang. Poligami adalah sebuah kata yang memiliki makna yang luas. Di dalam poligami terdapat poliandri (polyandry) yaitu perkawinan seorang perempuan dengan pasangan laki-laki yang lebih dari satu dan poligini (polygyny) yaitu perkawinan seorang lelaki dengan mempelai perempuan yang lebih dari satu.
Di dalam bahasa Arab, terminologi poligini adalah ta'addud al-zaujât. Kata ta'addud mempunyai arti berbilangan, sedangkan al-zaujât berarti istri dalam bentuk plural (jama'). Sesuai dengan definisi yang telah diterangkan, maka penggunaan poligini lebih sesuai dibandingkan poligami, karena melihat konteks pembahasan yang hanya berhubungan dengan perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang lebih dari satu. Pemakaian kata poligami, dikhawatirkan terdapat anggapan yang salah yaitu pembahasan poliandri serta poligini, sedangkan inti pembahasan hanyalah seputar poligini, bukan poliandri
[1].
Poligini menurut penelitian hukum Islam, sudah terdapat kesepakatan antara ulama. Menurut ulama, poligini dibenarkan dengan bilangan maksimal empat istri dengan syarat orang tersebut harus mampu dari segi material dan jasmani. Bagi orang yang tidak menetapi syarat ini, dia tidak dibenarkan untuk melakukan poligini, karena orang tersebut tidak mampu berlaku adil antar sesama istri-istrinya
[2]. Adil adalah sesuatu kewajiban yang harus dilakukan bagi orang yang berpoligini.
Dasar yang digunakan untuk menetapkan hukum kebolehan berpoligini adalah firman Allah, surat al-Nisa', ayat 3: "فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ لَا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً" yang berarti "Maka kawinlah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, seumpama kamu takut tidak berlaku adil maka (kawinlah) satu". Selain dari firman Allah, dasar ketetapan bolehnya melakukan poligini dengan maksimal empat juga diambil dari sabda Rasulullah kepada sahabat yang memiliki 10 istri sebelum memeluk Islam yaitu sahabat Ghîlân bin Salamat. Pada saat Ghîlân bin Salamat memeluk Islam, Rasulullah menyuruhnya untuk memilih empat istri yang paling dicintainya, dan menceraikan selebihnya yaitu enam istrinya yang lain
[3].
Seperti keterangan pada pendahuluan, konsep poligini banyak ditentang oleh gerakan pemberdayaan wanita di dalam Jaringan Islam Liberal maupun selain Jaringan Islam Liberal. Gerakan ini mengklaim bahwa poligini yang berlaku sekarang ini sudah tidak relevan atau terdapat intepretasi yang salah yang dilakukan ulama. Setelah melakukan pengkajian yang lebih mendalam dengan argumentasi golongan ini, dapat disimpulkan ada dua perkara yang menjadi dasar penolakan poligini. (1) Tidak mungkinnya seorang suami berlaku adil terhadap istri-istrinya yang juga didukung oleh firman Allah surat al-Nisa' ayat 129: " وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ" yang berarti "Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". (2) Adanya seorang suami yang ingin berpoligini hanyalah didasari oleh nafsu, sehingga seharusnya hukum yang mendukung pada keperluan nafsu tidak perlu didukung
[4].
Bagi argumen pertama, keputusan hukum Islam yang memperbolehkan poligini, pasti lebih relevan dan sesuai dengan konteks kehidupan. Walaupun para aktifis gerakan ini mengeluarkan ayat Alquran seperti yang tertulis di atas, ternyata gerakan ini yang terpeleset. Menurut seluruh ahli tafsir, baik dari golongan sunni maupun bukan sunni, bahwa dalam memahami ayat tersebut bukan menjurus pada ketidakmungkinan bersikap adil bagi seluruh perkara termasuk harta, akan tetapi maksud ayat tersebut, adalah meskipun seorang suami yang berusaha keras untuk bersikap adil, tetap tidak mampu bersikap adil dalam urusan membagi cintanya. Jadi, apabila kedua ayat surat al-Nisa' (ayat 3 dan 129) itu digabungkan, maka rumusan pemahaman maknanya adalah seorang suami yang berpoligini haruslah bersikap adil dalam semua hal kecuali dalam membagi cintanya, karena cinta itu ketetapan Tuhan, bukan sesuatu yang bisa dipilih-pilih
[5].
Argumen kedua yaitu berpoligini hanyalah didasari oleh nafsu. Perlu diketahui, nafsu adalah sebuah pemberian Allah kepada manusia untuk melawan nafsu sesuai dengan kemampuannya sehingga menggunakan akal dalam memutuskan sebuah masalah, seperti larangan meminum khamr dan menahan diri melakukan zina. Di satu sisi, nafsu juga adalah sesuatu yang dapat membawa seseorang untuk melakukan ibadah, seperti nafsu seksual yang dilimpahkan kepada istrinya untuk memiliki anak. Bagaimana seseorang ingin memiliki anak kalau seseorang itu tidak memiliki syahwat
[6]? Dengan demikian, nafsu tidak bisa dinafikan dan senantiasa dianggap sebuah perkara yang negatif.
Allah menciptakan manusia dengan nafsu dan akal, agar manusia menggunakannya dengan cara yang benar. Berbeda dengan malaikat yang tidak memiliki nafsu. Nafsu yang diberikan Allah itu pastilah berbeda-beda. Ada orang yang memiliki nafsu seksual yang besar, dan ada yang memiliki nafsu yang kecil. Bagi yang memiliki nafsu kecil, ini bukan sebuah masalah untuk memiliki hanya satu istri. Akan tetapi, bagi yang memiliki nafsu yang besar, pasti memiliki masalah. Bayangkan seseorang itu merasa ingin melakukan hubungan seksual satu atau dua kali sehari, sadangkan istrinya dalam keadaan haid, maka pasti kesulitan baginya untuk melampiaskan nafsunya. Mungkin seseorang itu dapat menahan satu hingga tiga hari. Pada saat kesabaran sudah hilang, maka orang tersebut pastilah mulai mencari pasangan perselingkuhan. Satu-satunya cara yang halal untuk menghindari kejadian ini adalah dengan terang-terangan melakukan poligini yang sah dan berlaku adil, sehingga kalau istri yang satu sedang mengalami menstruasi, orang tersebut memiliki pasangan yang lain untuk melampiaskan nafsu seksualnya
[7].
Poligini juga dapat menjadi solusi bagi pasangan yang istrinya lebih tua dari sang suami. Menurut penelitian, bagi kebanyakan perempuan yang mengalami menopause
[8], pasti mengalami penurunan daya seksual
[9]. Sedangkan lelaki, mulai mengalami penurunan daya seksual biasanya pada umur 80 tahun. Menurut penelitian, perempuan biasanya mengalami menopause pada umur 50, maka dapat diambil kesimpulan bahwa lelaki akan mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan seksual dengan pasangannya sekitar 30 tahun lamanya. Maka kemungkinan terjadinya perselingkuhan adalah sangat besar
[10].
Seharusnya para aktifis itu tidaklah terlalu egois dalam memperjuangkan pelarangan poligini, mengingat sekarang sudah menjadi fakta bahwa perempuan mendominasi jumlah penduduk sebanyak 2/3 di dunia. Jadi, seumpama lelaki yang mana jumlahnya hanya 1/3 itu melakukan pernikahan monogami, maka secara otomatis 1/3 dari perempuan yang lain itu pasti tidak memiliki pasangan
[11]. Maka dari itu, salah satu cara untuk mengantisipasi adanya prostitusi dan perselingkuhan adalah dengan cara poligini. Pada waktu gerakan ini berkata: "Buktinya zaman dahulu, yang mana poligini masih marak, tetap saja terdapat prostitusi dan perselingkuhan", maka jawabnya adalah walau bagaimanapun, godaan setan memang tidak mungkin untuk dihapus, akan tetapi, yang jelas zaman dulu prostitusi tidaklah semarak seperti yang terjadi sekarang ini. Adanya prostitusi yang semakin marak di zaman ini adalah dampak dari ideologi yang berpendapat bahwa poligini ialah sebuah perbuatan yang keji sehingga poligini jarang yang melakukannya. Pertimbangannya, meminimalisir sesuatu kejelekan itu lebih baik daripada membiarkan menjadi semarak di mana-mana. Perlu diketahui, menahan nafsu daripada melakukan poligini bukanlah sesuatu yang wajib, sedangkan melakukan zina itu jelas sesuatu yang diharamkan. Lihat saja di negara barat yang melarang poligini seperti Amerika Serikat dan Inggris. Anak yang dihasilkan melalui hubungan yang diluar nikah setiap harinya bertambah banyak. Menurut penelitian, di Perancis jumlah anak luar nikah mencapai 30 dari 100 anak. Di Munich mencapai 40 dari 100 anak, sedangkan di Brussel mencapai 60 dari 100 anak
[12].
Pertanyaan sekarang ini adalah, apakah orang muslim ingin melawan perkara yang keji seperti perzinaan yang jelas dilarang dalam Islam? Atau seorang muslim hanya ingin memuaskan ego para kaum wanita yang hanya ingin diperlakukan secara adil (menurut mereka) seperti yang diperjuangkan para aktifis Barat yang belum tentu secara sosial maupun agama bisa disebut sebagai adil. Di mana keadilan bagi sang suami yang siang dan pagi mencari nafkah untuk sang istri, sedangkan sang istri cukup tinggal di rumah untuk mendidik anak dan menjaga rumah yang terkadang sudah disiapkan seorang pembantu oleh sang suami? Banyak sekali seorang istri itu hanya pergi berbelanja di pasar raya setiap hari dengan mengunakan harta yang dicari suaminya tanpa perlu bersusah payah mendidik anak dan menjaga rumah, karena sudah disediakan pembantu. Bukankah seorang suami yang telah sukses membahagiakan rumah tangganya ini berhak untuk sekali-kali melakukan apa yang menjadi keperluannya yaitu berpoligini mungkin? Maka seharusnya, dalam melakukan penelitian jangan hanya melihat di satu sisi, sedangkan sisi yang lain dilupakan.
Sesuatu yang menjadi kenyataan sekarang ini adalah manusia sudah terkontiminasi oleh ideologi Barat. Jika dari awal poligini tidak diajarkan dan dianggap sebagai sesuatu yang jelek, maka pasti poligini tidak menjadi masalah sosial. Adanya kecemburuan yang berlaku di kalangan istri-istri Rasulullah tidak menjadi bukti bahwa istri Rasulullah menolak dan menganggap poligini sebagai sebuah perkara yang negatif. Istri Rasulullah hanya cemburu karena khawatir Rasulullah bersikap tidak adil padanya. Buktinya, Istri Rasulullah tetap saja mau berpoligini dengan Rasulullah.
PENUTUP
Dalam Islam dan pertimbangan sosial, perlu untuk tetap diperbolehkan. Jika dari kalangan perempuan yang tidak mau dimadu, maka janganlah sampai menolak substansi poligini itu sendiri, karena masih banyak dari kalangan perempuan yang mau dimadu. Contohnya adalah istri bagi pendakwah kondang Abdullah Gymnastiar; Teh Nini dan banyak lagi para istri solehah.
Alquran diturunkan Allah sudah sesuai dengan tuntutan zaman. Kejelekan dan kejahatan yang terjadi di zaman sekarang adalah bukan dari akibat ideologi yang diajarkan Islam, akan tetapi sebagai dampak dari ideologi Barat yang menggunakan daya nalar akal dan menolak daya nalar ketaqwaan. Jika saat ini dunia tidak dikuasai ideologi Barat, maka pasti dunia tidak mengalami kejahatan yang banyak berlaku sekarang. Buktinya, zaman pra kolonial, dunia Islam yang masih menjalankan praktek poligini sebagai pedoman hidup tetap saja dapat maju dengan pesat sehingga berhasil menguasai 1/3 bumi ini.
Jadi, pemerintah seharusnya tidak mengubah hukum kebolehan melakukan poligini. Sesuatu yang mengherankan adalah mengapa pemerintah tidak menghukum perbuatan selingkuh yang dilakukan Yahya Zaini dengan artis Maria Eva, tetapi yang disorot adalah perlakuan poligini itu sendiri.
[1] Irwan Masdhuqi dkk.. Kontekstualisasi Turâts (Kediri: Kopral, 2005) 101; Jamal Badawi, Gender Equity In Islam (Indiana: American Trust Publications, 1995) 26.
[2] 'Ali al-Jarjâwi. Hikmah At-Tasyrî' Wa Falsafatuh (Sangkapura: al-Haramain, t.t.) Juz 2, 12.
[3] Muwaffiq al-Dîn ‘Abd-allah bin Ahmad (Ibn Qudâmah). Al-Mughnî (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.t.) Juz 7, 64
[4] Untuk lebih dalam mengetahui alasan gerakan perempuan menolak poligini, dapat dilihat pada buku: Faqihuddin Abdul Kodir. Memilih Monogami (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005).
[5] 'Ali al-Jarjâwi. Hikmah At-Tasyrî' Wa Falsafatuh (Sangkapura: al-Haramain, t.t.) Juz 2, 13; Irwan Masdhuqi dkk.. Kontekstualisasi Turâts (Kediri: Kopral, 2005) 104.
[6] Syahwat adalah nafsu seksual.
[7] 'Ali al-Jarjâwi. Ibid, 10.
[8] Menopause adalah sebuah fase perempuan mulai berhenti menstruasi. Pada fase ini perempuan mulai mengalami gangguan fisik dan rohani, seperti mulai terasa kurang tenang dan terasa panas di dada. Biasanya perempuan mengalami menopause sekitar umur 45-55 tahun.
[9] Menopause. Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD).
[10] 'Ali al-Jarjâwi. Hikmah At-Tasyrî' Wa Falsafatuh (Sangkapura: al-Haramain, t.t.) Juz 2, 10.
[11] Jamal Badawi. Gender Equity In Islam (Indiana: American Trust Publications, 1995) 27.
[12] 'Ali al-Jarjâwi. Ibid, 11.