Tuesday, June 22, 2010

Jarimah Qishash - Diyat, Sebuah Pengertian, Macam-macam, Sanksi dan Pembuktian

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki sebuah dasar yang paling penting yaitu keadilan. Ini terbukti dengan adanya firman Allah SWT { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ }[1] yang berarti “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk bernama manusia wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan tersebut berupa pembunuhan, penderaan, dan lain-lain.

Oleh karena itu, ketika Islam turun, ia sudah mensiapkan paket-paket hukum dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan ini. Walaupun kenyataan kejahatan ini tidak bisa 100% hilang di muka bumi, minimal pengaturan hukum Islam bertujuan menurunkan kadar statistik kejahatan yang melanda di negara Islam. Dalam hal ini, hukuman kejahatan tersebut dikategorikan dengan nama kisas dan diyat.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Pengertian kisas dan diyat.

2. Macam-macam kisas dan diyat.

3. Sanksi kisas dan diyat.

4. Pembuktian kisas dan diyat.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kisas dan Diyat

Kata kisas (qishâsh) yang dalam bahasa Arab “قصاص” secara bahasa memiliki arti “mengikuti jejaknya/kesannya” (تتبع الأثر) seperti “قصصت الأثر” berarti: “aku mengikuti jejaknya” (تتبعته). Akan tetapi, menurut al-Fayûmî kata kisas lebih sering dimaknai dengan menghukum pembunuh dengan membunuh, mencederakan pencedera, memotong tangan orang yang memotong tangan.[2]

Secara istilah kata kisas memiliki arti: “الْقِصَاصُ أَنْ يُفْعَلَ بِالْفَاعِلِ الْجَانِي مِثْلُ مَا فَعَلَ” berarti: “Kisas adalah diperlakukan pada yang melakukan jinayah seperti apa ia lakukan”.[3]

Dalam hal ini, gambaran kisas adalah ketika X yang melakukan sebuah jarimah terhadap Y, maka Y atau ahli warisnya memiliki hak untuk memperlakukan pada X sesuai dengan jarimah apa yang X lakukan. Seperti contoh X membunuh Y maka ahli waris Y (Y atau ahli warisnya disebut mustahiq al-qishâsh) berhak menuntut agar X juga diperlakukan sama yaitu dibunuh.

Hukum kisas adalah wajib dijalankan oleh pemerintah ketika kasus tersebut diangkat oleh mustahiq al-qishâsh. Dari sisi mustahiq al-qishâsh pula di perkenankan (mubâh) untuk meminta dihukum kisas ketika mencukupi syarat-syaratnya. Mustahiq al-qishâsh juga diperkenan untuk melakukan perdamaian atau malah permaafan. Sedangkan yang paling afdal adalah permaafan, baru perdamaian.[4]

Dasar kisas adalah dari beberapa nash:[5]

1. { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ }[6] berarti: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”.

2. {وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا}[7] berarti: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

3. {وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}[8], berarti: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.

4. Hadis Nabi Muhammad SAW: “لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ”, yang berarti: “Tidak halal darah seorang muslim yang bersyahadah bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah sesungguhnya aku adalah rasulullah kecuali dengan salah satu dari 3 orang yaitu seorang duda yang berzina, pembunuh disebabkan oleh pembunuhannya, dan orang yang meninggalkan agamanya yang berpisah terhadap jama’ah”.[9]

5. Kewajiban kisas merupakan ijmak umat Islam.[10]

6. Rasional: Secara akal pasti menuntut adanya kisas. Dari segi keadilan dengan gambarang diperlakukannya orang yang membunuh sesuai dengan cara dia melakukan jinayah tersebut. Dari segi kemaslahatan yaitu demi menuntut keamanan orang awam, menjaga jiwa, menahan pelaku jinayah dan semua ini tidak mungkin sukses kecuali dengan kisas. Ini berdasarkan ayat { وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ}[11], yang berarti: “Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal”.[12]

Kata diyât (ديات) yang merupakan jamak dari diyat secara bahasa memiliki arti: “harta yang wajib bagi jiwa”. Sedangkan secara istilah pula adalah “harta yang wajib disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa yang selainnya”.[13]

Diyat ini pada dasarnya adalah bagian dari kisas. Maksudnya, dalam pembahasan kisas yang telah lalu, dikatakan bahwa mustahiq al-qishâsh memiliki hak untuk menentukan sama ada memilih kisas, perdamaian, atau memaafkan. Dengan ketentuan ini, diyat adalah pilihan kedua yaitu perdamaian. Ketika mustahiq al-qishâsh memilih untuk berdamai, maka ia berhak mendapatkan diyat dalam arti si pelaku kejahatan berkewajiban membayar diyat kepada mustahiq al-qishâsh.

Adapun dasar bagi konsep diyat di dalam fiqh Islam adalah nash sebagai berikut:[14]

1. { وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا }[15], berarti: “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”. Ayat ini adalah diperuntukkan untuk pembunuhan yang tidak sengaja. Walau bagaimanapun, ulama sepakat wajibnya membayar diyat dalam pembunuhan yang sengaja ketika gugurnya kisas karena perdamaian.[16]

2. Hadis Nabi ada banyak sekali tentang diyat hanya saja yang paling terkenal ada sebuah tulisan tentang farâ`idl, beberapa sunnah dan diyyât yang dikirimkan Nabi Muhammad SAW ke ahli Yaman. Sebagian tulisan tersebut adalah “إنَّ مَنْ اعْتَبَطَ مُؤْمِنًا قَتْلًا عَنْ بَيِّنَةٍ فَإِنَّهُ قَوَدٌ إلَّا أَنْ يَرْضَى أَوْلِيَاءُ الْمَقْتُولِ , وَأَنَّ فِي النَّفْسِ الدِّيَةَ مِائَةً مِنْ الْإِبِلِ.......”, Yang berarti “Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh orang mukmin dengan tanpa sebab yang sah dari pembuktian maka dia wajib dikisas kecuali yang menjadi wali kepada si terbunuh meridhainya. Dan sesunggunya bagi nyawa 100 unta……”.[17]

3. Ahli Ilmu telah bersepakat (ijmak) akan kewajiban diyat secara keseluruhan.[18]

B. Macam-Macam Kisas dan Diyat

Maksud dari macam-macam kisas dan diyat adalah jenis-jenis dari kejahatan atau pidana yang dihukum dengan cara kisas atau diyat. Seorang ulama kontemporer yaitu Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan secara global ada 5 jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum kisas atau diyat.

Lima kejahatan tersebut adalah 1) Pembunuhan sengaja (القتل العمد); 2) Pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد); 3) Pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ); 4) Pencederaan sengaja (الجرح العمد); 5) Pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ).[19]

Pengertian pembunuhan adalah sebuah pekerjaan yang melenyapkan nyawa yaitu pembunuh jiwa.[20] Pengertian lainnya adalah sebuah pekerjaan hamba yang menyebabkan hilangnya nyawa.[21] Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan bahwa pembunuhan itu adalah melenyapkan ruh anak Adam dengan perbuatan anak Adam yang lain.[22]

Bagian pertama (pembunuhan sengaja) adalah pembunuhan yang pembunuh itu sengaja memukul orang lain dengan senjata seperti pedang, pisau, tombak, timah, atau apa saja yang dapat digunakan sebagai senjata untuk memisahkan anggota jasad seperti barang yang ditajamkan seperti kayu, batu, api, dan jarum sebagai alat membunuh.[23]

Pengertian tersebut didatangkan karena makna “العمد” adalah sengaja. Sengaja adalah perkara yang samar yang tidak mungkin untuk diketahui kecuali dengan bukti yang menunjukkan kepadanya. Bukti tersebut bisa berupa penggunaan alat untuk membunuh. Maka alat tersebut dijadikan sebagai bukti kesengajaan. Secara kesimpulan alat pembunuhan tersebut menempati tempatnya pembunuhan dengan sengaja sebagai tempat persangkaan wujudnya niat untuk membunuh.[24]

Bagian kedua (pembunuhan yang menyamai sengaja), menurut mazhab Hanafi adalah sesuatu pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti batu kecil, kayu kecil, tongkat kecil, atau sebuah tamparan.[25]

Dari pengertian ini, maka gambarannya adalah ketika ada orang melakukan sebuah pukulan yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti sekali tamparan, atau dengan menumbuk satu kali; akan tetapi mangsa mati, karena seperti ia memiliki sakit jantung atau lainnya, maka perbuatan ini digolongkan sebagai pembunuhan yang menyamai sengaja.

Adapun pembunuhan yang dilakukan dengan memakai batu yang besar, tongkat besar atau yang menyamainya dan bukan merupakan senjata, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafi. Menurut Imam Abu Hanifah, ia termasuk dalam pembunuhan yang menyamai sengaja (شبه العمد) sedangkan menurut dua murid Mazhab Hanafi adalah termasuk dari pembunuhan sengaja (العمد).[26]

Sedangkan menurut mazhab Syafi’i; pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah setiap perbuatan yang disengaja akan tetapi keliru dalam membunuh; yaitu setiap perbuatan yang tidak diniatkan untuk membunuh, namun menyebabkan kematian. Sebagian ulama Syafi’I mendefinisikan sebagai perbuatan dengan niat melukai dengan sesuatu yang biasanya tidak mematikan, tetapi menyebabkan kematian.[27]

Menurut Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah, yang juga termasuk pembunuhan menyerupai sengaja adalah pembunuhan dengan cara dipukul, dilukai, diracun, ditenggelamkan, dibakar, dibenturkan, dicekik, dan setiap perbuatan yang termasuk pembunuhan disengaja jika pelaku tidak berniat membunuh walaupun berniat menyerang.[28]

Bagian ketiga (Pembunuhan yang tidak sengaja/tersalah) adalah sebuah pembunuhan yang tidak ada niat membunuh atau memukul sama sekali. Seperti tersalah di dalam niat atau dzann pelaku: melempar sesuatu yang ia sangka haiwan buruan, ternyata manusia. Atau sangka ia kafir harbî ternyata muslim. Maksud di sini adalah kesalahan tersebut dikembalikan hati itu sendiri yaitu niat.[29]

Termasuk di dalam pembunuhan tersalah adalah pembunuhan karena uzur syar’î yang diterima seperti orang yang tidur dengan tidak sengaja bergerak dan menjatuhi orang yang lain yang tidur di sebelahnya sehingga menyebabkan orang tadi mati.[30]

Bagian keempat (pencederaan sengaja) adalah segala jenis penyerangan terhadap jasad manusia seperti memotong anggota badan, melukai, memukul, akan tetapi nyawa orang tersebut masih tetap dan perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.[31]

Bagian kelima (pencederaan tidak sengaja) adalah si pelaku berniat untuk melakukan pekerjaan tersebut tapi tidak dengan niat permusuhan, seperti orang meletakkan batu di jendela, tanpa sengaja batu jatuh terkena kepala orang sehingga pecah dan terlihat tulang kepala. Atau seperti orang yang terjatuh di atas orang yang tidur dan menyebabkan tulang rusuk orang tadi patah.[32]

Dalam pencederaan (الجرح) tidak ada “شبه العمد” adalah karena makna dari menyamai sengaja adalah pukulan dengan sesuatu yang bukan senjata. Maka wujudnya konsep “شبه العمد” adalah dianggap dari segi alat memukul itu. Konsep membunuh di sini itu kasus hukumnya akan berbeda sesuai dengan alatnya. Sedanglan kerusakan pada selain jiwa (الجرح) itu hukumnya tidak menjadi beda dengan berbedanya alat (sama). Hanya saja dilihat dari segi hasil pencederaan tersebut yaitu sengaja atau tidak sengaja. Maka menurut mazhab Hanafi, pencederaan yang memiliki kriteria “شبه العمد” dimasukkan ke dalam konsep pencederaan yang sengaja.[33]

Menurut mazhab Syafi’I dan Hanbali pula, pencederaan yang memiliki kriteria pembunuhan “شبه العمد” adalah termasuk pencederaan yang tersalah/tidak sengaja (الخطأ). Ini dikarenakan menurut mereka “tidak kisas kecuali ketika sengaja tidak pada tersalah dan yang menyamai sengaja” (لا قصاص إلا في الخطأ وشبه العمد).[34]

C. Sanksi Kisas dan Diyat

Bagi pembunuhan sengaja (القتل العمد) maka sanksinya ada 3 yaitu asal, gantian dari asal, dan yang mengikuti. Secara global pembunuh dengan sengaja wajib terkena 3 perkara: 1) dosa besar karena ada ayat Alquran yang menyatakan ia akan tetap di neraka jahanam; 2) dikisas karena ada ayat kisas; 3) terhalang menerima warisan karena ada hadis “orang yang membunuh tidak mendapat waris apapun”.[35]

Sanksi asal pertama adalah kisas. Kisas di sini adalah dihukum bunuh sama seperti apa yang dia lakukan pada mangsa tersebut. Ketika mustahiq al-qishâsh memaafkan dengan tanpa meminta diyat, maka menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’I dalam sebuah pendapat; maka tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar diyat secara paksa. Hanya saja baginya ia boleh memberinya sebagai gantian dari pemaafan dari mustahiq al-qishâsh tadi. Secara hukum si mustahiq al-qishâsh berhak untuk memaafkan secara gratis tanpa ada tuntutan diyat.[36]

Mustahiq al-qishâsh juga berhak untuk memberi kemaafan dengan tuntutan diyat, banyak dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan pembunuh. Diyat di sini dianggap sebagai gantian dari kisas. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menetapkan hukuman asal dengan gantiannya secara bersamaan bagi sebuah pekerjaan. Dalam arti, ia tidak boleh dikisas dan sekaligus membayar diyat.[37]

Sedangkan cara kisas pula terjadi khilâf; menurut mazhab Hanafi, qishâsh hanya boleh dilaksanakan dengan menggunakan senjata seperti pedang. Maksudnya, hukuman qishâsh dilaksanakan hanya dengan memakai senjata, tidak dengan membalas seperti cara pembunuh tersebut membunuh atau lainnya.[38] Hukum ini juga ditetapkan menurut sebuah riwayat yang paling `ashah menurut mazhab Hanbali.[39]

Cara pancung ini berlaku mutlak, baik orang tersebut (pembunuh/penjinayah/terpidana/الجاني) dalam melakukan jinayah pembunuhan tersebut dengan senjata, ataupun tidak. Ia juga berlaku walaupun pembunuhan tersebut adalah hasil dari pemenggalan leher, terus-menerusnya luka, mencekik, melemaskan dalam air, membakar, atau selainnya.[40]

Menurut mazhab Syafi’I dan Maliki pula, pembunuh haruslah dibunuh (qishâsh) dengan cara seperti apa ia melakukan pembunuhan tersebut. Contohnya dengan memukul menggunakan sesuatu alat yang tajam seperti besi atau pedang; atau dengan alat berat seperti batu; atau dengan mencampakannya dari suatu tempat tinggi; atau mencekik lehernya; atau melemparkannya; atau melemaskannya; menahan makanan, merejam dalam air, membakar, atau dengan cara-cara lain. Konsep ini disebut dengan mutslah atau mumâtsalah. Akan tetapi seumpama mustahiq al-qishâsh memindahnya ke hukuman pancung dengan pedang, maka diperbolehkan malah ia lebih utama. [41]

Sanksi asal kedua membayar kafârah. Ini berdasarkan qiyas kepada ayat bunuh tersalah (القتل الخطأ): {وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا – إلى أن قال – فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا}[42]. Oleh karena itu, kafârahnya adalah memerdekakan hamba muslim kalau ditemukan, seumpama tidak maka puasa 2 bulan terus menerus.[43]

Akan tetapi, pendapat ini adalah pendapat mazhab Syafi’i. menurut mereka, kewajiban kafârah itu ketika pembunuh dimaafkan, atau direlakan dengan membayar diyat. Maka ketika ia dikisas, maka kafârahnya adalah kisas itu sendiri.[44]

Sanksi gantian dari asal yang pertama adalah membayar diyat mughalladzah. Menurut Imam al-Syafi’I sebagai qaul jadîd diyat tersebut adalah 100 unta bagi pembunuh lelaki yang merdeka. Jumlah 100 itu dibagi 3: 30 berupa unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 unta khalifah. Ketika tidak dapat ditemukan maka berpindah pada harga unta-unta tersebut. Sedangkan menurut qaul qadîm jika tidak ada maka boleh membayar 100 dinar atau 12000 dirham.[45]

Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka ia adalah separuhnya diyat lelaki; yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah, 15 unta jadza’ah, dan 20 unta khalifah.[46]

Sanksi gantian dari asal yang kedua adalah ta’zîr. Menurut mayoritas ulama, ta’zîr ini tidak wajib. Ia hanya diserahkan kepada kebijakan imam dalam melakukan apa yang dianggap munasabah dengan kemaslahatan. Maka Imam dapat memenjara atau memukul atau al-ta`dîb yang sesamanya.[47]

Sanksi yang mengikuti kejahatan pembunuhan adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat. Dalam hal waris ulama sepakat, sedangkan untuk wasiat masih terjadi perbedaan pendapat.[48]

Bagi pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد) maka sanksinya ada 3 yaitu asal, gantian dari asal, dan yang mengikuti.[49]

Sanksi asal pertama bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah membayar diyat mughalladzah. Diyat ini sama dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penangung jawab dan waktu membayarnya.[50]

Sanksi asal kedua bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah membayar kafârah yaitu memerdekakan hamba muslim kalau ditemukan, seumpama tidak maka puasa 2 bulan terus menerus. Sanksi gantian bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah ta’zîr. Sanksi yang mengikuti pembunuhan yang menyamai sengaja adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.[51]

Bagi pembunuhan yang tersalah (القتل الخطأ) maka sanksinya ada 2 saja yaitu asal dan yang mengikuti. Sanksi asalnya adalah diyat dan ta’zîr.[52]

Diyat bagi pembunuhan ini adalah diyat mukhaffafah. Kadarnya dalah 100 unta dengan perinciang: 20 berupa unta jadza’ah, 20 unta hiqqah, 20 unta bintu labûn, 20 `ibn labûn dan 20 unta bintu makhâdl.[53] Sanksi yang mengikuti adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.[54]

Bagi pencederaan sengaja (الجرح العمد) ini terbagi menjadi 4 kategori; 1) pencederaan terhadap anggota[55] dengan terputusnya, 2) pencederaan terhadap anggota dengan hilang kemanfaatannya, 3) pencederaan luka terhadap selain kepala dan disebut sebagai “الجرح”, 4) pencederaan luka terhadap kepala atau wajah yang disebut dengan “الشجاع”.[56]

Sanksi bagi kategori 1 adalah kisas atau membayar diyat dan ta’zîr. Kategori 2 adalah membayar diyat atau ganti rugi (الأرش)[57]. Kategori 3 dan 4 adalah dikisas atau ganti rugi, atau hukum keadilan (حكومة العدل)[58].[59]

Adapun diyat pada selain jiwa sama ada hilangnya anggota, atau makna dari kegunaan anggota dan luka itu terkadang sama dengan diyat hilangnya jiwa yaitu dalam hal memotong lisan, hilangnya akal, dan pecahnya tulang punggung (igo wekas) untuk berjalan atau jimak. Dan terkadang 1/2nya diyat jiwa bagi pemotongan sebelah tangan dan sebelah kaki (kalau kedua tangan berarti seluruh diyat jiwa). Kadangkala 1/3 bagi jinayah terhadap perut bagian dalam. kadangkala ¼ pada pelapuk mata, 1/10 pada setiap satu jari dan 1/20 (نصف عُشر) bagi setiap mûdlihah[60] kepala dan wajah.[61]

Bagi pencederaan yang tersalah (الجرح الخطأ) ia adalah diyat atau al-`Arsy. Maksud diyat di sini adalah diyat sempurna seperti yang telah diterangkan. Sedangkan al-`Arsy adalah lebih sedikit dibandingkan diyat. Pencederaan jenis ini tidak ada ketentuan gantian lainnya. Sedangkan kadarnya telah dijelaskan diketerangan pencederaan sengaja (الجرح العمد).[62]

D. Pembuktian Kisas dan Diyat

Setiap ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada terpidana, ia haruslah melalui proses peradilan. Ini merupakan konsep hukum umum dan konsep hukum Islam. Sedangkan proses membuktikan sebuah perbuatan itu benar-benar terjadi tentunya memerlukan aturan. Aturan ini disebut dengan hukum acara atau “أحكام المرافعات”.

Dalam konsep hukum acara ini, fiqh Islam sudah mengatur secara jelas konsep menetapkan suatu hukum. Sesuatu itu harus dikuatkan dengan alat-alat bukti yang valid agar memudahkan dan menyakinkan hakim dalam memberi putusan.[63]

Alat-alat bukti dalam menetapkan sebuah kejahatan yang mengakibatkan kisas atau diyat adalah sebagai berikut:

1. Pengakuan (الإقرار): syarat dalam pengakuan bagi kasus pidana yang akan berakibatkan kisas atau diyat adalah harus jelas dan terperinci. Tidak sah pengakuan yang umum dan masih terdapat syubhat.[64]

2. Persaksian (الشهادة): Dalam kasus pidana selain zina, syarat minimal adalah 2 orang saksi lelaki yang adil.

3. Qarînah: Segala tanda-tanda yang zahir yang bersamaan dengan sesuatu yang masih samar, maka tanda itu menunjukkan kepada itu. Syarat dalam qarînah ada 2: (1) Ditemukannya perkara yang zahir yang diketahui dan patut menjadi asas untuk dipercayai (2) Ditemukan persambungan (hubungan) yang menyambung antara perkara yang zahir dengan yang samar tadi. Akan tetapi alat bukti ini tidak dapat dijadikan alat bukti untuk kasus pidana hudud dan kisas kecuali qasâmah menurut mayoritas ulama.[65]

4. Menarik diri dari Bersumpah (النكول عن اليمين): Ketika terdakwa menarik diri (mengelak) dari bersumpah yang diajukan kepada terdakwa melalui hakim. Akan tetapi, alat ini hanya dipakai oleh mazhab Hanbali. Sedangkan mazhab Hanafi hanya terbatas pada kisas anggota dengan keadaan sengaja dan diyat ketika tersalah. Sedangkan kisas jiwa dan lainnya tidak boleh, akan tetapi terdakwa dipenjara sampai ia bersumpah atau mengaku.[66]

5. Al-Qasâmah: Sebuah sumpah yang diulang-ulang bagi kasus pidana pembunuhan. Ia dilakukan 50 kali sumpah dari 50 lelaki. Menurut mayoritas ulama; orang-orang yang bersumpah ialah ahli waris mangsa untuk menetapkan tuduhan bunuh terhadap terdakwa. Setiap orang perlu menyebut dalam sumpahnya: “Demi Allah yang tiada tuhan yang disembah melainkan-Nya, sesungguhnya orang ini telah memukulnya lalu dia mati” atau “Dia telah dibunuh oleh orang ini”. Jika sebagian pewaris tidak mau bersumpah, maka waris yang lain akan diminta bersumpah untuk bilangan sumpahan yang tertinggal dan mengambil diyat masing-masing. Jika mereka tidak mau sumpah, atau tidak terdapat qarînah yang menandakan pembunuhan atau permusuhan nyata, sumpahan itu dipindahkan ke atas orang yang didakwa yang akan ditunaikannya oleh penjamin (العاقلة) sebanyak 50 kali. Tetapi jika orang yang didakwa tidak mempunyai penjamin, orang yang dituduh sendiri akan dimintai bersumpah sebanyak 50 kali, kemudian dia akan bebas.[67]


BAB III

KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

1. Pengertian kisas secara istilah adalah “diperlakukan pada yang melakukan jinayah seperti apa ia lakukan”, sedangkan pengertian diyat adalah “harta yang wajib disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa yang selainnya”.

2. Macam-macam kejahatan yang berakibat kisas dan diyat adalah pembunuhan sengaja (القتل العمد), pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد), pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ), pencederaan sengaja (الجرح العمد), pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ).

3. Sanksi dari kejahatan tersebut adalah dengan dikisas bagi pembunuhan sengaja. Ketika dimaafkan maka gugurlah kisas dan wajib bayar diyat. Ketika direlakan diyat maka ia dimaafkan tapi bagi pemerintah boleh menghukum dengan ta`zîr.

4. Alat bukti untuk penetapan perkara pidana ini ada 5 yaitu 1) pengakuan, 2) persaksian, 3) qarînah, 4) menarik diri dari bersumpah, 5) sumpah qasâmah.


DAFTAR PUSAKA

Âbidîn, Ibn. Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr. Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987.

‘Audah, ‘Abd al-Qâdir. al-Tasyrî’ al-Janâ`î al-`Islâmî. Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1992.

al-Bahûtî, Manshûr bin Yûnus. Kasyâf al-Qinâ. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t..

al-Barmâwî, `Ibrâhîm. Hâsyiah ‘alâ Syarh al-Ghâyah `Ibn Qâsim al-Ghazî. t.t.: t.p., t.t..

al-Fayûmî, Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî. al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t..

al-Himâm, Kamâl al-Dîn bin ‘Abd al-Wâhid `ibn. Fath al-Qadîr. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..

al-Juwainî, ‘Abd al-Mâlik bin ‘Abd `Allah bin Yûsuf. Nihâyat al-Mathlab fî Dirâyat al-Madzhab. Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007.

al-Khathîb, Muhammad al-Syirbînî. Mughnî al-Muhtâj. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t..

Nujaym, Zain al-Dîn bin `Ibrâhîm `ibn. al-Bahr al-Râ`iq Syarh Kanz al-Daqâ`iq. Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Islâmî, t.t..

al-Shâwî, Abû al-‘Abbâs Ahmad. Hâsyiah al-Shâwî ‘alâ al-Syarh al-Shaghîr. Beirut: Dâr al-Ma’ârif, t.t..

al-Syarwânî, ‘Abd al-Hamîd. Hawâsyai ‘alâ Tuhfah al-Muhtâj. Beirut: Dâr al-Fikr, 1997.

al-Syâthirî, Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar. Syarh al-Yâqût al-Nafîs. Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007.

Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah. Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t..

al-Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004.


[1] QS. al-Nahl (16): 90.

[2] Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Fayûmî, al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), 505.

[3] Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.) vol. 33, 259.

[4] Ibid., vol. 33, 260.

[5] Ibid.

[6] QS. al-Baqarah (2): 178.

[7] QS. al-`Isrâ` (17): 33.

[8] QS. al-Mâ`idah (5): 45.

[9] Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 7, 5662

[10] Ibid.

[11] QS. al-Baqarah (2): 179.

[12] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5702.

[13] Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar al-Syâthirî, Syarh al-Yâqût al-Nafîs (Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007), 693.

[14] Wuzârat al-Awqâf, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, vol. 21, 45.

[15] QS. al-Nisa’ (4): 92.

[16] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5702.

[17] Ibid.

[18] Ibid., 5703.

[19] Abd al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Janâ`î al-`Islâmî (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1992), vol. 1, 663.

[20] Muhammad al-Syirbînî al-Khathîb, Mughnî al-Muhtâj (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol. 5, 211.

[21] Kamâl al-Dîn bin ‘Abd al-Wâhid `ibn al-Himâm, Fath al-Qadîr (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 10, 203.

[22] Abd al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Janâ`î, vol. 2, 6.

[23] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5617.

[24] Ibid.

[25] Ibid., vol. 7, 5618.

[26] Ibid.

[27] Abd al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Janâ`î, vol. 2, 94.

[28] Ibid.

[29] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5618.

[30] Ibid.

[31] Ibid., vol. 7, 5737.

[32] Ibid.

[33] Zain al-Dîn bin `Ibrâhîm `ibn Nujaym, al-Bahr al-Râ`iq Syarh Kanz al-Daqâ`iq (Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Islâmî, t.t.), vo. 8, 334.

[34] ‘Abd al-Hamîd al-Syarwânî, Hawâsyai ‘alâ Tuhfah al-Muhtâj (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), vol. 8, 478; Manshûr bin Yûnus al-Bahûtî, Kasyâf al-Qinâ (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol. 5, 531.

[35] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5660.

[36] Ibid., vol. 7, 5677.

[37] Ibid.

[38] Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987), vol. 5, 346.

[39] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5685; al-Bahûtî, Kasyâf al-Qinâ, vol. 5, 538.

[40] Abd al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Janâ`î, vol. 2, 150.

[41] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5685; ‘Abd al-Mâlik bin ‘Abd `Allah bin Yûsuf al-Juwainî, Nihâyat al-Mathlab fî Dirâyat al-Madzhab (Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007), vol. 16, 177; al-Syirbînî, Mughî al-Muhtâj, vol. 5, 281; Abû al-‘Abbâs Ahmad al-Shâwî, Hâsyiah al-Shâwî ‘alâ al-Syarh al-Shaghîr (Beirut: Dâr al-Ma’ârif, t.t.), vol. 4, 369.

[42] QS. al-Nisa’ (4): 92.

[43] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5698.

[44] Ibid., vol. 7, 5699.

[45] `Ibrâhîm al-Barmâwî, Hâsyiah ‘alâ Syarh al-Ghâyah `Ibn Qâsim al-Ghazî (t.t.: t.p., t.t.), 302-3.

[46] Ibid., 304.

[47] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5718.

[48] Ibid., vol. 7, 5718-20.

[49] Ibid., vol. 7, 5721.

[50] Ibid.

[51] Ibid., vol.7, 5733.

[52] Ibid., vol. 7, 5734.

[53] al-Barmâwî, `Ibn Qâsim al-Ghazî, 302-3.

[54] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5736.

[55] Anggota yang dimaksud adalah kedua belah tangan, kedua belah kaki, yang mengikutinya seperti jari, hidung, mata, telinga, bibir, gigi, rambut, pelupuk mata, dan sesamanya. Lihat: Ibid., vol. 7, 5739.

[56] Ibid., vol. 7, 5738.

[57] al-`Arsy adalah harta yang wajib yang dikadar sesuai syariat di dalam jinayah terhadap selain jiwa bagi anggota. Bedanya, kalau diyyat itu adalah untuk jinayah terhadap jiwa. Akan tetapi, kadangkala al-`Arsy juga diistilahkan dengan diyyat begitu juga sebaliknya. Lihat: Wuzârat al-Awqâf, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, vol. 3, 104.

[58] Harta yang dikira-kira oleh hakim dengan pengetahuan dari keterangan pakar pada perkara yang belum ada ketetapan yang ditentukan secara syariat. Lihat: ibid.

[59] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5738.

[60] Mûdlihah adalah salah satu dari 11 luka al-Syujâj.

[61] al-Syâthirî, Syarh al-Yâqût al-Nafîs, 696.

[62] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5769.

[63] Ibid., vol. 7, 5796.

[64] Ibid., vol. 7, 5797.

[65] Ibid., vol. 7, 5802-3.

[66] Ibid., vol. 7, 5804.

[67] Ibid., vol. 7, 5805-6.