Saturday, January 22, 2011

Biografi KH Sirajuddin Abbas (1905-1980)

Sebagian orang menuduh bahwa KH Sirojuddin Abbas adalah pembohong atau membuat fitnah. Ini dapat dinukil dari tulisan-tulisan puak salafi-wahabi. Akan tetapi, apakah banyak orang tahu siapakah KH Sirojuddin Abbas ini? Latar belakang beliau serta perjalanan dakwah beliau? oleh itu, ana akan memaparkan sekilas biodata beliau yang ana nukil dari Ensiklopedi Ulama Nusantara yang disusun oleh H. M. Bibit Suprapto.

Di kalangan ulama Indonesia, nama kiai Haji Sirojuddin Abbas sudah bukan nama asing lagi. Ulama ini terkenal seorang muallif kitab yang cukup produktif walau tidak sampai berjumlah puluhan buah. Sebagai seorang muallif kitab, Kiai Sirojuddin Abbas justru lebih banyak dikenal orang melalui karya-karya ilmiah keislaman yang disusunnya daripada bertemu langsung wajhan bi wajhin dengan orangnya.

Pikiran-pikiran keagamaan K. Sirojuddin Abbas banyak diikuti orang, baik yang menyangkut segi-segi akidah maupun syariah. Kitab-kitab karya ulama ini bukan saja dibaca oleh kelompok kecil di kalangan masyarakat Minangkabau di mana ia dilahirkan, bukan pula hanya oleh warga Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang pernah dipimpinnya, tetapi juga tersebar luas di kalangan umat Islam. Bisa dikatakan, orang Islam Indonesia, khususnya kelompok tradisional, menyatakan Kiai Sirojuddin sebagai pembela mazhab Syafi'i di Indonesia yang argumentatif dan menguasai bidangnya lewat kitab-kitab yang disusunnya. Kalangan tradisional di Indonesia, termasuk di dalamnya Nahdlatul Ulama, mengakui kealiman ulama ini. Ini terbukti dari banyaknya warga NU yang membaca karya-karya K. Sirojuddin Abbas, terutama warga NU dari kalangan pelajar dan mahasiswa.

Kelebihan lain K. Sirojuddin Abbas, selain seorang ulama muallif, adalah sangat gigih mempertahankan mazhab Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya mazhab Syafi'i dalam bidang ilmu fikih. Pembelaan ini relevan sekali dengan kondisi Indonesia dan Asia Tenggara yang mayoritas penganut mazhab Syafi'i dalam ibadahnya. Dengan pembelaannya yang gigih dan argumentatif, banyak kalangan modernis yang menyebutnya terlalu kaku dan apriori terhadap paham lain, khususnya paham-paham baru.

Sirojuddin Abbas dilahirkan tanggal 5 Mei 1905 M di Bengkawas, Bukittinggi (Sumatera Barat), putra seorang ulama besar di kawasan itu, Syekh Haji Abbas Qadli yang lebih dikenal dengan Syekh Abbas Ladang Lawas. Sebagai seorang putra ulama tentu saja Sirajuddin mendapatkan pendidikan ilmu-ilmu keislaman sejak usia kanak-kanak dengan harapan kelak ia menjadi seorang ulama penerus perjuangan ayahandanya.

Pertama kali ia belajar keagamaan kepada ayahandanya sendiri, kemudian meneruskan mengaji kepada ulama-ulama lain di kawasan Minangkabau. Sejak umur 7 hingga 9 tahun (1912-1924) ia menjelajahi beberapa pondok pesantren (surau) di ranah Minang untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Masih belum puas juga dengan ilmu yang didapatkan dari ulama-ulama tanah air, ia memperdalam ilmunya dengan pergi merantau di negeri orang, ke tanah suci Mekkah. Selama enam tahunan ia belajar di Mekkah (1927-1933) sekaligus menunaikan haji setiap tahunnya (7 kali) di sela-sela belajarnya dan tepat pada musim haji. Di sana ia banyak berkenalan dengan para pelajar dari kalangan melayu maupun dari belahan dunia lainnya. Ia berteman dengan Syekh Muhammad As'ad (ulama Bone), Haji Abdurrahman Sjihab (tokoh Al Wasliyah) dan lain-lain yang kala itu bersama-sama belajar di Mekah, di bawah asuhan ulama-ulama terkenal baik dari kalangan al-Jawi (Melayu) maupun dari kawasan lain.

Puas menuntut ilmu di tanah suci Mekah, ia pulang ke kampung halamannya di Minangkabau untuk meneruskan perjuangan ayahandanya, mengajar di pesantren ayahandanya, walau kemudian ia lebih melebarkan sayapnya berkiprah di dunia yang lebih luas, yakni dunia pendidikan, keagamaan, juga dunia politik. Sebagaimana telah di ketahui, Syeikh Abbas Ladang Lawas adalah pendiri Jam'iyah Perti (Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah) 20 Mei 1930 bersam-sama Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan Syeikh Jamil Jaho (Trio Pendiri Perti). Sebagai putra pendiri organisasi Islam ini wajar sekali apabila Kiai Sirajuddin Abbas meneruskan perjuangan mereka, bahkan sempat tampil sebagai Ketua Umum Perti (1935). Jabatan ini di pertahankan terus sampai Perti menjadi sebuah partai politik (Partai Islam Perti) 1951. Ia pernah pula menjadi anggota parlemen mewakili Perti dan pernah menjabat Menteri Negara mewakili partainya. Jabatan ini dipegangnya hingga awal Orde Baru, ketika menjadi perpecahan dalam tubuh partai Perti, karena sebagian Pengurus Pusat Perti termasuk KH. Sirajuddin Abbas dianggap terlalu dekat dengan kelompok kiri.

Kiai Sirajuddin Abbas termasuk ulama Syafi'iyah yang sangat kukuh melestarikan dan mengembangkan mazhab Syafi'i, baik melalui jalur pendidikan, keagamaan maupun jalur politik. Setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, berdirilah partai-partai politik di Indonesia dengan berbagai asas dan landasannya. Begitu pula Perti, yang asalnya merupakan jam'iyah diniyah sebagaimana Nahdlatul Ulama menjelma menjadi sebuah partai politik tersendiri tanpa bergabung dengan Masyumi dengan nama Partai Islam Perti berlambangkan masjid dan bintang. Partai ini tetap mencantumkan Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai asas partainya dengan mengikuti mazhab Syafi'i.

Kiai Sirajuddin Abbas meneruskan perjuangan generasi pendiri organisasi itu dengan tetap pada prinsip semula. Ia mengubah perjuangan Perti tidak saja dalam dunia sosial pendidikan dan kebudayaan tetapi juga bidang politik. Partai Islam Perti terhitung partai keci. Tetapi dibawah kepemimpinan Kiai Sirajuddin Abbas, partai ini tetap eksis dan diperhitungkan oleh kelompok Islam lainnya. Bahkan bersama NU dan PSII (minus masyumi), Perti berhasil mendirikan Liga Muslim dengan tokoh-tokohnya Kiai Wahid Hasyim, Kiai Sirajuddin Abbas dan Abi Kusno Cokrosuyoso (1952), tetapi liga ini tidak dapat berjalan secara efektif dan akhirnya pudar.

Sebagai seorang ulama dan politisi, KH Sirajuddin Abbas memiliki banyak pengalaman di bidang politik maupun keagamaan. Ia banyak berkunjung ke berbagai negara asing, baik melalui kunjungan resmi (kenegaraan) sebagai anggota lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) maupun kunjungan kerja lain dalam missi keagamaan. Di antara negara yang pernah dikunjunginya antara lain Arab Saudi, Mesir, Yaman, Libanon, Syiria, Irak, Iran, Pakistan, Kazakstan, Turkistan, Turkmenia, Sin Kiang, Aljazair, dan Maroko. Mustahil apabila tokoh ini tidak memiliki pengalaman yang cukup di bidang politik maupun kemasyarakatan. Karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh politik kiri, yang tentunya demi kepentingan politiknya dan eksistensinya Perti sebagai partai kecil, maka ia sering dicap sebagai sel dari PKI dan kelompok kiri lainnya.

Walaupun KH Sirajuddin Abbas banyak terlibat dalam kegiatan praktis, tetapi ia tidak pernah melupakan kegiatan keagamaan. Semasa menjadi partai politik, Perti juga tetap menangani masalah keagamaan, sosial dan pendidikan, sebagaimana peran yang diambil oleh Nahdlatul Ulama. Memang kedua organisasi ini termasuk kelompok organisasi Islam tradisional di samping Al Wasliyah, Nahdlatul Wathan dan beberapa organisasi Islam berskala lokal.

KH Sirajuddin Abbas tercatat sebagai ulama terkemuka bukan lantaran pondok pesantren yang dipimpinnya, bukan karena ia seorang orator yang memukau publiknya,bukan pula karena ia tokoh partai politik Islam atau politisi. KH Sirajuddin Abbas dikategorikan sebagai ulama besar karena ia seorang ulama muallif (pengarang) yang bukunya dipergunakan sebagai rujukan berbagai pihak dari kalangan ulama Islam dalam mempelajari ilmu keislaman khususnya Ahli Sunnah wal Jamaah dan mazhab Syafi'i. Bayangkan saja, tokoh-tokoh ulama, cendekiawan sampai mahasiswa dan pelajar dari kalangan Nahdlatul Ulama (sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia) banyak mengikuti pendapat KH Sirajuddin Abbas yang ditulis dalam buku-bukunya. Mereka mengikuti pemikiran KH Sirajuddin Abbas tanpa memandangnya sebagai pemimpin organisasi Islam yang kecil semacam Perti, tetapi semata-mata karena keulamaannya.

Di antara karya ilmiah KH Sirajuddin Abbas yang banyak dibaca orang adalah I'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah yang mengupas tentang firqah-firqah faham dalam bidang akidah keislaman yang 73 aliran. Di antara yang paling tepat adalah Ahlussunnah wal Jama'ah. Begitu pula kitab 40 Masalah Agama (4 jilid) banyak mengupas persoalan-persoalan fikih yang dibahasnya secara argumentatif menurut faham mazhab Syafi'i. Kitab ini banyak dipergunakan di masyarakat Islam, baik di kalangan intelektual maupun orang awam.

Sebahagian karya ilmiah KH Sirajuddin Abbas ditulis dalam bahasa Arab sebagian lagi dalam bahasa Indonesia. Kitab-kitab kuning berbahasa Arab yang ditulis KH Sirajuddin Abbas adalah:

~ Siraj al-Munir, berisi fikih Syafi'i terdiri 2 jilid.
~ Jawahir Ilm an-Nafs, berisi ilmu jiwa ditinjau dari ajaran Islam.
~ Siraj al-Bayan fi Fihrasati Ayat al-Qur'an, berisi tentang pembahasan ayat-ayat Al-Qur'an untuk memudahkan orang mempelajari kitab suci itu.
~ Bidayah al-Balaghah, tentang ilmu balaghah dan bayan (retorika).
~ Khulashah Tarikh al-Islam, tentang sejarah Islam.
~ Ta'limul Insya'.

Karya-karyanya dalam bahasa Indonesia antara lain:

~ I'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah
~ 40 Masalah Agama, terdiri 4 jilid besar.
~ Thabaqatus Syafi'iyah, yang berisi untaian ulama-ulama Syafi'iyah dari zaman ke zaman, termasuk sejarah singkat dan karya-karyanya.
~ Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, juga pembelaan terhadap mazhab ini di Indonesia.

KH Sirajuddin Abbas tetap berkhidmat dalam perjuangan Islam melalui kegiatan karya ilmiah maupun kegiatan keagamaan lain yang praktis sampai usia lanjut. Ulama ini wafat di Jakarta tanggal 27 Agustus 1980 dalam usia 75 tahun, usia yang bisa dikatakan lanjut untuk manusia masa kini. Walaupun ia telah wafat, tetapi pengaruhnya tetap hidup di kalangan umat, selama karya-karyanya masih tetap dibaca oleh kaum muslimin. Bagaimanapun juga KH Sirajuddin Abbas merupakan salah seorang ulama pembela mazhab Syafi'i yang gigih di Indonesia walaupun banyak yang menilai karya-karyanya lebih bersifat doktrinal dan bahkan apologis untuk Ahlussunnah wal Jama'ah terutama dalam bidang fikih mazhab Syafi'i.

Sunday, January 16, 2011

BACAAN KUAT SELAIN AZAN

Ana terkejut dengan artikel yang dikeluarkan oleh salah seorang mantan mufti. Selain dari itu, terus terang pendapat penulis artikel tersebut sangat dangkal dan terlihat bertaqlid pada pendapat-pendapat puak Wahabi yang memang tidak suka dengan bacaan solawat maupun bacaan lain seperti nazam-nazam pujian dan nasihat yang baik antara azan dan iqamah dengan menggunakan pengeras suara. Padahal amalan seperti ini banyak dilakukan lebih-lebih lagi di Jawa misalnya, pujian selawat dilantunkan setelah azan sebelum iqamah sambil menunggu jamaah datang ke masjid, dan tentunya bacaan selawat ini menggunakan penguat suara. Oleh sebab artikel tersebut, maka ana merasa perlu untuk menjelaskan hujjah kita Sunni mengamalkan amalan tersebut.

Perlu semua pembaca tahu, bahwa sebelum membahas tentang melantunkan zikir atau selawat dengan penguat suara, ana hanya menegaskan bahwa membaca selawat dan doa adalah disunnahkan dalam Islam. Ini berdasarkan pada hadis Sahih Muslim:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Diriwayatkan dari Abdillah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa beliau mendengan Nabi SAW berkata: “Ketika kamu semua mendengar orang yang melantunkan azan, maka kamu semua sebutlah (jawablah) seperti apa yang dia sebutkan lalu BERSELAWATLAH kalian semua KEPADAKU (Nabi) maka sesungguhnya barang siapa berselawat terhadapku dengan satu selawat, nescaya Allah akan selawat (memberi rahmat ta’zim) terhadapnya dengan sepuluh selawat tadi, lalu berwasilahlah kamu semua kepada Allah menggunakan aku sebagai perantaraan kerana sesungguhnya wasilah itu adalah tempat di syurga. Tidaklah patut tempat tersebut kecuali bagi hamba daripada hamba-hamba Allah dan aku mengharapkan adanya Aku adalah dia. Maka barangsiapa meminta Aku sebagai wasilah maka berhaklah dia mendapatkan Syafaat ”.

Dari sini, jelaslah bahwa berselawat setelah azan adalah disyariatkan dalam Islam dan berdasarkan hadis yang sahih! Oleh sebab itu, tidaklah salah bagi beberapa tarikat seperti Naqshabandi Haqqani atau lainnya melantunkan bacaan seperti “الصلاة والسلام عليك، يا خاتم الأنبياء” setelah azan sebelum doa. Perkara ini juga ditegaskan oleh Syeikh Fuad al-Maliki di Masjid Taman TAR semalam, yaitu 15 Januari 2011.

Ditambah lagi, keutamaan berdoa antara azan dan iqamah berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Anas:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " لا يرد الدعاء بين الأذان والإقامة "

Rasulullah SAW bersabda: tidak akan ditolak doa (yang dipanjatkan) antara azan dan iqamah.

Hadis ini menunjukkan bahwa selagi ada waktu untuk berdoa antara azan dan iqamah, maka doalah! Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab al-Azkar di bab doa setelah azan.

Sedangkan hukum melantunkan bacaan solawat yang bernasyid seperti selawat badar atau lainnya dengan suara indah dan nanyian merdu di MASJID adalah mubah. Ini adalah berdasar dari hadis riwayat Imam Nasa’I di bab Keringanan melantunkan Syair yang bagus di dalam masjid:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ

Dari Sa’id bin al-Musayyab, beliau berkata: pada suatu saat Umar berjalan bertemu Hasan bin Tsabit yang sedang melantunkan sebuah Syair indah di masjid, lalu Umar menegurnya, namun Hasan menjawab: Aku telah melantunkan Sya’ir di masjid yang di dalamnya ada seseorang yang kemuliaannya lebih mulia daripada kamu, kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Maka Hasan melanjutkan perkataannya bukankah kamu telah mendengar sabda Rasulullah SAW, Jawablah dariku, YA Allah semoga Engkau menguatkannya dengan ruh al-Qudus. Lalu Umar menjawab YA Allah, benar (aku sudah mendengarnya).

Hukum lantunan tersebut dengan suara yang kuat (dalam arti dapat didengar oleh orang lain bukan berarti kuat dengan suara yang nyaring lagi mengganggu) dan beramai-ramai adalah mubah. Ini berdasarkan hadis riwayat Nasa’I yang telah disebutkan di atas dan disyarahkan oleh Syeikh Ismail Utsman Zain al-Yamani di dalam kitabnya yang berjudul Irsyadu al-Mu’minin, cetakan Mekkah: Maktabah Mathabi’ al-Zamzam, Hal. 16:

ومما يستأنس به في ذلك إباحة انشاد الشعر في المساجد إذا كان مدائح صادقة أو موعظة و أدبا أو علوما نافعة وهو لا يكون إلا برفع صوت في اجتماع.

Yang biasa diambil dari hadis tersebut (Nasa’i) adalah hukum kebolehan melantunkan sebuah syair di dalam masjid yang di dalam lantunan tersebut berisi pujian-pujian, nasihat-nasihat, pelajaran adab, dan ilmu yang bermanfaat. Dan itu pasti dilakukan dengan suara keras dalam perkumpulan.

Oleh sebab itu, diperbolehkan mengkuatkan suara di masjid dengan syair-syair apatah lagi dengan zikir atau selawat!

Walau bagaimanapun, memang benar bahwa kebolehan tersebut terikat dengan ketentuan apakah sampai menganggu orang solat atau tidur (التشويش). Bahkan batasan ini telah dijelaskan di dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin dan lain-lain seperti berikut (Maaf ana tidak dapat menerjemah semua ibarat ini kerana kesempitan waktu):

1. بغية المشترشدين ص : 66 دار الفكر

(مسألة ك) لايكره فى المسجد الجهر بالذكر بأنواعه ومنه قراءة القران إلا إن شوش على مصل أو آذى نائما بل إن كثر التأذى حرم فيمنع منه حينئذ كما لو جلس بعد الأذان يذكر الله تعالى وكل من أتى للصلاة جلس معه وشوش على المصلين فإن لم يكن ثم تشويش أبيح بل ندب لنحو تعليم إن لم يخف رياء ويكره تعليق الأوراق المنقوش فيها صورة الحرمين وما فيها من المشاعر المسماة بالعمر فى المسجد للتشويش على المصلين وغيرهم ولكراهة الصلاة إلى ما يلهى لأنه يخل بالخشوع وقد صرحوا بكراهة نقش المسجد وهذا منه نعم إن كانت مرتفعة بحيث لا تشوش فلا بأس إلا إن تولد من إلصاقها تلويث المسجد أو فساد تجصيصه ولا يجوز الإنتفاع بها بغير رضا مالكها إلا إن بليت وسقطت ماليتها فلكل أخدها لقضاء العرف بذلك

2. حواشي الشروانى على تحفة المحتاج الجزء الثانى ص : 58

ولا يجهر مصل ولا غيره إن شوش على نحو نائم أو مصل فيكره كما في المجموع وفتاوى المصنف وبه رد على ابن العماد نقله عنهما الحرمة إن كان مستمعو القراءة أكثر من المصلين نظرا لزيادة المصلحة ثم نظر فيه وبحث المنع من الجهر بحضرة المصلي مطلقا لأن المسجد وقف على المصلين أي أصالة دون الوعاظ والقراء ونوافل الليل المطلقة يتوسط فيها بين الجهر والإسرار بأن يقرأ هكذا مرة وهكذا أخرى أو يدعي أن بينهما واسطة بأن يرفع عن إسماع نفسه إلى حد لا يسمعه غيره.

(قوله لا يجهر مصل إلخ) شامل للفرض وغيره (قوله على نحو نائم) ظاهره ولو في المسجد وقت إقامة المفروضة وفيه نظر لأنه مقصر بالنوم حينئذ سم (قوله ثم نظر فيه) أي ابن العماد أي فيما نقله عن الفتاوى (قوله وبحث إلخ) أي ابن العماد حيث قال ويحرم على كل أحد الجهر في الصلاة وخارجها إن شوش على غيره من نحو مصل أو قارئ أو نائم للضرر ويرجع لقول المتشوش ولو فاسقا لأنه لا يعرف إلا منه ا هـ وما ذكره من الحرمة ظاهر لكن ينافيه كلام المجموع وغيره فإنه كالصريح في عدمها إلا أن يجمع بحمله على ما إذا خاف التشويش اهـ شرح المختصر للشارح ا هـ بصري ويأتي عن شيخنا جمع آخر (قوله مطلقا) أي وإن كان المصلي أقل من مستمع القراءة (قوله يتوسط إلخ) إن لم يخف رياء أو تشويشا على مصل أو نائم وإلا سن له الإسرار كما في المجموع ويقاس على ما ذكر من يجهر بذكر أو قراءة بحضرة من يشتغل بمطالعة أو تدريس أو تصنيف كما أفتى به الشهاب الرملي قال ولا خفاء أن الحكم على كل من الجهر والإسرار بكونه سنة من حيث ذاته نهاية ومغني وقال ع ش قضية تخصيص ذلك التقييد بالنفل المطلق أن ما طلب فيه الجهر كالعشاء والتراويح لا يتركه فيه لما ذكر وهو ظاهر لأنه مطلوب لذاته فلا يترك لهذا العارض اهـ وهذا يخالف لإطلاق الشارح المار ولا يجهر مصل إلخ الذي كالصريح في العموم وقول السيد البصري المتقدم هناك ثم رأيت قال شيخنا في شرح والجهر في موضعه وهو الصبح وأولتا المغرب إلخ ما نصه ويحرم الجهر عند من يتأذى به واعتمد بعضهم أنه يكره فقط ولعله محمول على ما إذا لم يتحقق التأذي ويندب التوسط في نوافل الليل المطلقة بين الجهر والإسرار إن لم يشوش على نائم أو مصل أو نحوهما ا هـ وهو صريح في العموم.

3. حاشية القليوبي الجزء الثاني ص: 127

(ورفع صوته بها) نعم يندب في التلبية الأولى أن يقتصر على إسماع نفسه ولا يندب الرفع كما مر ولو حصل تشويش على مصل أو ذاكر أو قارئ أو نائم كره الرفع بل يحرم إن تأذى به أذى لا يحتمل.

4. البجيرمى على الخطيب الجزء الثانى ص : 65

(و) الخامسة (الجهر) بالقراءة (في موضعه) فيسن لغير المأموم أن يجهر بالقراءة في الصبح وأولتي العشاءين والجمعة والعيدين وخسوف القمر والاستسقاء والتراويح ووتر رمضان وركعتي الطواف ليلا أو وقت الصبح (والإسرار) بها (في موضعه) فيسر في غير ما ذكر إلا في نافلة الليل المطلقة فيتوسط فيها بين الإسرار والجهر إن لم يشوش على نائم أو مصل أو نحوه

(قوله فيتوسط إلخ) حد الجهر أن يسمع من يليه والإسرار أن يسمع نفسه قال بعضهم والتوسط بينهما يعرف بالمقايسة بهما كما أشار إليه قوله تعالى "ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وابتغ بين ذلك سبيلا" قال الزركشي والأحسن في تفسيره ما قاله بعضهم أن يجهر تارة ويسر أخرى إذ لا تعقل الواسطة اهـ ز ي وفسر الحلبي التوسط بأن يزيد على الإسرار إلى أن لا يبلغ حد الجهر بأن يزيد على أدنى ما يسمع نفسه من غير أن تبلغ تلك الزيادة إلى سماع من يليه ا هـ ورد بأنه لا يناسب قول الشارح إن لم يشوش على نائم إلخ لأنه إذا كان كذلك فهو مقطوع بعدم التشويش تأمل فالصواب تفسير التوسط بما تقدم (قوله إن لم يشوش على نائم أو مصل) وإلا أسر ندبا إن شرعا في النوم أو الصلاة قبل تحرمه فيما يظهر ويحتمل الأخذ بإطلاقهم قاله الشيخ ابن حجر والوجه هو الأخذ بإطلاقهم اهـ شوبري أي فيندب ولو عرض ذلك بعد تحرمه قال الرحماني فإن شوش حرم عند ابن العماد وكره عند حج وقيده ابن قاسم بغير من يسن إيقاظه للصلاة وإلا فلا يكره والمعتمد أنه إن شوش كره فقط ولا يحرم الجهر لأن الإيذاء غير محقق كما قاله الشيخ عبدء البر (قوله أو نحوه) كمدرس أو متفكر في آلاء الله تعالى ومثله الخوف من الرياء وإلا سن له الإسرار كما في المجموع ويقاس على ما ذكر من يجهر بذكر أو قرآن بحضرة من يشتغل بمطالعة أو تدريس أو تصنيف كما أفتى به الوالد ا هـ ولا خفاء أن الحكم على كل من الجهر والإسرار بكونه سنة من حيث ذاته فلا ينافي أن يجهر به أو يسر يكون واجبا اهـ

Dari kesemua ibarat ini, dapat difahami hukum menganggu orang solat tersebut masih ditafsil, yaitu makruh ketika bacaan tersebut masih diragu-ragukan oleh pembaca bahwa ia akan menganggu orang lain yang solat. Hukum menjadi haram apabila ada memiliki persangkaan (dhann) atau yakin bahwa bacaan tersebut benar-benar menganggu orang lain. Walau bagaimanapun, batasan menganggu yang dimaksud adalah apabila telah melampaui batasan kewajaran menurut standard umum.

Bukti batasan yang ana maksudkan adalah berdasarkan dari ibarat “بل يحرم إن تأذى به أذى لا يحتمل” (bahkan haram apabila benar-benar membahayakan dengan bahaya yang benar yang tidak ada kemungkinan lain). Dari kata-kata ini, dapat difahami bahaya yang dimaksud adalah seperti dengan bacaan yang kuat tersebut menyebabkan orang yang solat lupa bacaan fatihahnya sehingga urutannya kucar-kacir. Ketika bacaan kuat tersebut tidak sampai pada derajat ini, maka ia bukan dari “التشويش”. Bahkan ia menjadi sunnah seperti keterangan dari kitab Bughyah: “فإن لم يكن ثم تشويش أبيح بل ندب لنحو تعليم إن لم يخف رياء”.

Selain dari masalah tasywisy, perkara yang perlu diperhatikan adalah masalah riya’ dan tidak. Ini seperti dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin hal. 48:

(مسألة: ك): الذكر كالقراءة مطلوب بصريح الآيات والروايات والجهر به حيث لم يخف رياء ولم يشوّش على نحو مصل

Berzikir seperti membaca al-Qur’an itu digalakkan (disunnatkan) dengan dalil shorihnya ayat-ayat dan hadis-hadis. Sedangkan mengeraskan suara zikir itu boleh selama tidak dikhawatirkan riya’ dan tidak menganggu seperti orang solat.

Dengan kesemua ini, ana menolak tuduhan yang dilakukan oleh mereka-mereka yang berusaha merusak tradisi Islam ini yang banyak dapat memberi manfaat seperti syi’ar dan da’wah. Sedangkan tuduhan bahwa nanti orang yang bukan Islam akan berburuk sangka dengan Islam, serta menyangka selawat atau tambahan lain adalah azan, merupakan sebuah persangkaan yang tidak memiliki dasar. Orang yang bukan Islam banyak membenci Islam adalah dikarenakan mereka memang tidak mendapat hidayah dan memiliki nafsu membeci Islam sejak awal, bukan kerana tambahan ini. Buktinya, banyak di Eropah dan Amerika orang bukan Islam masuk Islam di bawah dakwah yang di bawa oleh ulama sufi seperti Syeikh Nazim yang dalam waktu yang sama tetap melantunkan azan lalu disambung dengan selawat ke atas junjungan Nabi Besar Muhammad SAW? Bahkan Allah berfirman: “هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ”. Dalam ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk membawa Islam agar menunjukkan kepada umat tentang Islam itu sendiri, walaupun orang musyrik tidak menyukainya. Kalau hanya dengan tambahan selawat ini akan menyebabkan orang bukan Islam tidak suka, lalu selawat ini diminta untuk dihilangkan, apakah gunanya Rasulullah SAW diutus untuk membawa agama – sebuah tanggung jawab yang lebih besar dari berzikir dan selawat setelah azan – dan jelas orang musyrik juga tidak suka? Apakah sebab takut salah faham dari orang bukan Islam ini kita disuruh untuk meninggalkan da’wah dan beribadah? Jawabannya tidak! semua salah sangka dapat diselesaikan dengan berdiskusi maupun berdebat secara beradab.

Setahu ana, secara adat umum, bacaan-bacaan selawat tersebut seperti di tanah Jawa, maupun lainnya yang dilakukan dengan pengeras suara tidak menganggu masyarakat di sekitar masjid bahkan yang solat di dalam masjid sekalipun. Ini dikarenakan bacaan tersebut tidak terlalu nyaring dan hanya dengan suara sederhana, bukan dengan terpekik-pekik. Bahkan masyarakat nusantara merasa amalan ini tidaklah pelik, kecuali sebagian kecil orang yang banyak terpengaruh dengan pemikiran baru ini. Kenyataan yang berlaku, tidak ada, dan bahkan sangat nadir (langka) orang mengeluh akan amalan ini, kecuali segelintir tadi. Semoga dengan hujjah ini dapat dijadikan I’tibar oleh kita semua sebagai golongan ahli al-sunnah wa al-Jama’ah.

Thursday, January 13, 2011

Beberapa Memori Abuya Dimyati

Sebuah kenyataan kerugian yang ana akui betul, yaitu ana memang tidak pernah sempat bertemu langsung dengan Abuya Dimyati, yaitu seorang ulama spiritual sekaligus ulama ilmiyah. Akan tetapi, sedih bukanlah jalan keluar, menceritakan sejarah dan kisah beliau adalah lebih utama. semoga cerita yang ana dapatkan ini dapat menjadi bagian dari potret manaqib agung beliau.

Pada tahun 2010, yaitu ketika acara Bahtsul Masail FBMPP Pare di Kandangan, setelah jalsah terakhir ana mendengarkan cerita dari Gus Munir, pengurus NU Kediri. Ketika itu beliau bercerita bahwa ketika beliau menziarahi Pondok Abuya Dimyati di Banten, beliau melihat sendiri bagaimana didikan Abuya yang sangat tegas dan disiplin terhadap anak-anak beliau. Apatah lagi, beliau mewajibkan semua anak-anaknya hafal bukan sahaja al-Qur'an, bukan saja Nazam dan matan kitab2, bahkan sampai hadis-hadis sekalipun. Istilah yang ana dapatkan ketika itu, TIDAK ADA KOMPROMI SOAL ILMU DAN MENGAJI. Bagaimana beliau menghukum santri adalah lebih kuat beliau menghukum anak beliau sendiri ketika salah. Mungkin inilah yang perlu ditiru dan dirubah oleh kyai-kyai di Jawa Timur khususnya, yaitu agar tidak memanjakan gus-gus ini, kerana dikhawatiri ketika ilmu belum bisa diwarisi sang anak, akan tetapi, sifat kyai itu sudah lekat pada sang anak sebelum ia benar-benar menjadi Kyai.

Dengan ini ana teringat ceramah Syeikh Hisham al-Kabbani di Zawiyah, Damansara Bulan December 2010. Ketika itu, beliau menukil dari kitab Talkhish al-Ma'arif, karangan Imam al-Sya'rani yaitu ulama sufi dan fiqh dari Mesir. Dalam nukilan itu, ada 3 orang yang tidak patut disekeliling seorang SYEIKH @ KYAI. Mereka adalah 1) Anak Syekh. Ini dikarenakan dia lahir-lahir dari kecil sudah melihat orang cium tangan bapaknya, orang-orang segan dengan bapaknya, orang-orang mengagungkan bapaknya. Lalu perkara ini akan menular ke dia, dan dia akan merasa sebagai seorang Kyai sebelum dia Kyai. Akan tetapi, kalau sifat ini dapat ditepisi maka dia akan mewarisi ilmu bapaknya dan bahkan jauh lebih dari bapaknya (kesimpulan ringkas). 2) Istri Syekh dan 3) Khadam Syeikh (Kerana ini bukan tujuan pembahasan maka yang kedua dan ketiga ana skip dulu). Dari kesimpulan ini, ana berpendapat dan mengusulkan kepada Kyai-Kyai di Jawa Timur untuk menghilangkan sifat "memulyakan gus yang masih belum berilmutinggi". Ini adalah agar gus-gus di Jawa Timur dapat berjaya meneruskan pesantren bapaknya dan bahkan menjadi ulama ternama di Nusantara bahkan Dunia.

Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir lagi adalah, di mana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga kerana banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga maqam bertanya padanya, "darimana kamu (Bahasa Arab)". si Kyai menjawab, dari Indonesia. maka penjaganya langsung bilang, oh di sini ada setiap malam Juma'at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, sehinggalah beliau mula membaca al-Qur'an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri2. Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam jumaat agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya.

Kembali pada manaqib Abuya Dimyati, ana ingin menceritakan sebuah riwayat tentang karomah Abuya Dimyati yang ana dengar dari Uncle (paman) Zaujah ana dari Bogor, yaitu KH Hasan Basri, Parungsapi, Jasinga, Bogor. Ketika itu, beliau bercerita bahwa pada suatu malam Juma'at, paman ana sedang mengisi minyak kereta di pom bensin (Gas Station) dekat dengan pesantrennya. pada saat yang sama ada ambulans yang sedang mengisi bensin juga. ketika bensin hampir penuh, paman bertanya kepada orang siapa yang ada di dalam ambulans itu. maka seketika penjaga pom bensin kata itu adalah Abuya Dimyati. Beliau lagi sakit dan segera bawa ke pondok. Ambulan itu pun beredar dari pom bensin, maka sejenak setelah selesai isi bensin, paman bergegas menaiki mobil dan mengejar ambulan tersebut, yang ketika itu dalam mobil ada temennya juga. dalam perjalanan, ambulan tersebut berjalan laju dan mobil paman terus lari naik turun bukit dari Jasinga ke Pandegelang yang mengambil masa sekitar 6 jam. Dengan kejar kejaran tersebut, akhirnya ambulan itu pun masuk ke lokasi pondok setelah beberapa detik paman pun masuk lokasi pondok, akan tetapi ambulan itu sudah tidak ada.

Akan tetapi yang ada adalah orang ramai dan mobil-mobil sedang parkir dan semua orang sedang menghadiri persaksian jasad Abuya Dimyati yang ternyata meninggal pada malam tadi sekitar pukul 3 lebih dikit. Ternyata salah satu karamah Abuya telah disaksikan Paman sendiri, di mana hakikatnya, Jasad Abuya sememangnya hanya ada di Banten yaitu di rumahnya, karena anaknya Kak Muntaqo pada hari itu adalah hari resepsinya. Dari mana ambulan itu? Hanya Masya Allah yang dapat dirasai oleh paman.

Cerita lain tentang memori Abuya Dimyati, dapatlah dibaca di buku Jejak Spiritual Abuya Dimyati, karangan Kang Murtadlo Hadi, Cetakan Lkis.

Kepada Ruh Abuya Dimyati, Banten....al-FATIHAH!!