Thursday, January 29, 2009

Hasil dari sidang MUI tentang Yoga seperti dijanjikan

Yoga MUI

PADANGPANJANG, MINGGU — Forum Ijtima Ulama Komisi III Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia III mengeluarkan fatwa yang terbagi dua mengenai yoga seperti halnya rokok. Hanya yoga yang mengandung meditasi, murni ritual, dan spiritual agama lain yang hukumnya haram bagi umat Islam.
"Fatwa tersebut dibutuhkan agar umat Islam tidak mencampuradukkan yang hak dengan yang batil," kata Ketua MUI Pusat Ma'ruf Amin di Padangpanjang, Minggu (25/1). Namun, MUI juga mengeluarkan Fatwa bahwa yoga yang murni olahraga pernapasan untuk kepentingan kesehatan hukumnya mubah (boleh).
Menurut dia, landasan hukum atas fatwa MUI itu adalah Al Quran dalam surat Muhammad ayat 33 yang mengamanatkan orang Islam agar menaati Allah SWT dan Rasul, serta jangan merusak (pahala) amal-amal yang telah diperbuat. Ayat yang mengisyaratkan larangan mencampurkanadukkan yang hak dengan yang batil terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat 42.
"Fatwa tersebut lebih berdasar, persoalan hukum yoga mencuat ke permukaan setelah munculnya berita tentang fatwa Ahli Majlis Muzakarah Fatwa Kebangsaan (AMMFK) yang bersidang pada 22-24 Oktober 2008 di Kota Bharu Kelantan, Malaysia, yang memutuskan keharaman Yoga," katanya.
Atas fatwa tersebut, menurut dia, muncul banyak pertanyaan dan permintaan agar MUI mengkaji, membahas, dan juga memfatwakan masalah yoga. Akhirnya, pimpinan MUI membentuk Tim Peneliti Yoga yang terdiri dari Komisi Pengkajian dan Komisi Fatwa MUI.
Yoga oleh masyarakat Indonesia umumnya dipahami hanyalah sebagai salah satu bentuk olah raga pernapasan yang biasa diajarkan di sanggar-sanggar senam dan kebugaran. Setelah dilakukan penelitian dan pengkajian oleh Tim MUI, ternyata persoalan yoga tidak sesederhana yang dipahami selama ini.
Yoga sesungguhnya sudah ada sejak 6 abad sebelum Masehi (SM), jauh sebelum agama Hindu lahir. Yoga awal tidak terkait dengan agama apa pun, tetapi dalam perkembangannya banyak pendeta Hindu yang mendalami yoga yang kemudian melakukan asimilasi yoga dengan ajaran agama Hindu.
"Meski demikian, yoga sendiri tidak seluruhnya dikembangkan atau berkembang dalam bingkai agama Hindu. Ada yoga yang tidak bercampur dengan ajaran agama," katanya menjelaskan.

http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/25/23244652/ritual.dan.spritual.yoga.haram.bagi.umat.islam.

Sunday, January 11, 2009

Sejarah Peradilan Islam di Masa Khulafa al-Rasyidun

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjuangan Rasulullah SAW diteruskan oleh khulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib RA.

Alasan disebut dengan khulafâ’ al-râsyidîn adalah dikarenakan kata khulâfâ’ berasal dari khalîfah yang berarti pengganti. Sedangkan râsyidûn adalah yang mendapatkan petunjuk. Jadi khulafâ’ al-râsyidîn adalah khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti) Rasulullah SAW yang berarti mendapat bimbingan yang benar, karena mereka melakasanakan tugas sebagai pengganti Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.[1]

Dalam meneruskan perjuanggan Rasulullah SAW, khulafâ’ al-râsyidîn telah melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam. Salah satunya adalah peradilan (yudisial). Ini dikarenakan peradilan adalah sangat penting bagi pembangunan umat Islam itu sendiri, melihat Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, konsep peradilan khulafâ’ al-râsyidîn sangatlah penting dalam sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Peradilan Islam pada periode Khalifah Abu Bakar RA.

2. Peradilan Islam pada periode Khalifah Umar RA.

3. Peradilan Islam pada periode Khalifah Utsman RA.

4. Peradilan Islam pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib RA.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Peradilan Islam Pada Periode Abu Bakar RA

Saidina Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu.[2]

Pada zaman Rasulullah SAW, hakim dijabat oleh Rasulullah SAW sendiri. Bagi daerah yang jauh, beliau serahkan kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditugaskan menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat Mu’âdz bin Jabal untuk menjadi gubenur dan hakim di Yaman.[3]

Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan. Selanjutnya, Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ[4]

(Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.)

Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.[5]

Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab.[6] Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.[7]

Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:

"... وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة"[8]

(... dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)

Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.[9]

Pada saat Umar menjabat sebagai hakim selama lebih kurang dua tahun, tidak ada seorangpun yang datang berperkara. Ini dikarenakan sahabat yang berperkara mengerti bahwa Umar adalah orang yang sangat tegas, dan pada saat itu orang-orang masih bersifat wara’, baik, serta bertoleransi sehingga berusaha untuk menolak terjadinya pertikaian dan pendendaman.[10]

Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).[11]

Cara Abu Bakar menghukumi sesuatu permasalahan adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya. Setiap masalah selalu dirujuk pada Alquran dulu. Apabila tidak ada barulah beliau merujuk pada sunnah Nabi Muhammad SAW, atau keputusan yang pernah diambil Rasulullah SAW. Jika sunnah tidak ada, beliau bertanya kepada sahabat lain apakah ada yang tahu sunnah yang berkaitan dengan masalah ini. Seumpama ditemukan, maka beliau mengambilnya setelah mencari kebenaran tersebut. Seumpama tidak ditemukan hukum untuk masalah ini di dalam Alquran dan sunnah, beliau berijtihad secara bersama-sama dengan sahabat lain (`ijtihâd jamâ’î) kalau memang masalah tersebut berhubungan langsung dengan hukum masyarakat. Beliau akan berijtihad secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi masalah-masalah yang berhubungan dengan perseorangan.[12]

Walaupun Rasulullah SAW menetapkan kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional seseorang dan qiyas, Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit saja. Ini dikarenakan beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga beliau tidak menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang berasal dari ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai pemikirannya dan qiyas: “Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah benar, maka ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang dariku. Aku memohon ampun kepada Allah”.[13]

B. Peradilan Islam pada periode Khalifah Umar RA

Setelah wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi.[14]

Umar mengangkat Abu Dardâ’ untuk menjadi hakim di Madinah. Syuraih di Bashrah, sedangkan Abu Musa al-Asy’ari di Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abi al-‘Âsh di Mesir, sedangkan untuk Syam pula diberi hakim tersendiri. Akan tetapi menurut kitab Târîkh al-`Islâm al-Siyâsî, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang Pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Utsman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah.[15]

Dalam pemisahan yang dilakukan Umar RA adalah pemisahan yang sesungguhnya, sehingga kekuasaan eksekutif benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif. Ini dibuktikan dengan sebuah riwayat bahwa; suatu ketika Umar RA mengambil seekor kuda untuk ditawar. Maka beliau menunggangnya untuk mencobanya. Lalu kuda tersebut rusak. Lelaki itupun bertikaian dengan Umar. Umar RA berkata: “Ambillah kudamu!”. Lelaki yang memiliki kuda pun menjawab: “Aku tidak mau menggambilnya, kuda itu sudah rusak!”. Umar pula berkata: “Kamu harus mencari orang tengah pada apa yang berlaku antara aku dan kamu”. Lelaki itu berkata: “Aku rida dengan Syuraih dari Irak”. Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih berkata: “Kamu mengambilnya dalam keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang menggantinya sampai kamu memulangnya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu Umar berkata: “Aku sungguh kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi hakim”. Lalu Umar berkata pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu melalui Alquran, maka jangan kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa yang ada di Alquran, maka carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemuiya di sunnah, berijtihadlah memakai rasio kamu!”.[16]

Menurut Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak memerlukan panitera, juga sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk mengkodifikasi hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik hati seorang hakim.[17] Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ. Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.[18]

Sumber hukum yang dipakai Umar RA adalah sama seperti Abu Bakar RA. Beliau memakai Alquran, lalu sunnah Nabi. Sempama tidak ada, beliau melihat apakah Abu Bakar RA pernah memutuskan hal serupa. Seumpama tidak ada barulah memanggil para tokoh untuk dimusyawarahkan. Kalau ada kesepakatan, barulah diputuskan.[19]

Khalifah Umar RA juga pernah memiliki dustûr al-qudlât, yaitu sebuah pedoman bagi hakim agung dalam menjalankan peradilan serta dasar-dasar pokok. Dustûr ini dikenal dengan nama risâlat al-qadlâ’. Isi dari dustûr ini adalah seperti yang dicatat oleh Imam al-Mâwardî di dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah:

وَقَدْ اسْتَوْفَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي عَهْدِهِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ شُرُوطَ الْقَضَاءِ وَبَيَّنَ أَحْكَامَ التَّقْلِيدِ فَقَالَ فِيهِ : أَمَّا بَعْدُ , فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ , فَافْهَمْ إذَا أُدْلِيَ إلَيْكَ , فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ , وَآسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ حَتَّى لَا يَطْمَعَ شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ وَلَا يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِكَ . الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنْ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ; وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ; وَلَا يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ أَمْسِ فَرَاجَعْتَ الْيَوْمَ فِيهِ عَقْلَكَ وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ أَنْ تَرْجِعَ إلَى الْحَقِّ فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ , وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ; الْفَهْمَ الْفَهْمَ فِيمَا تَلَجْلَجَ فِي صَدْرِكَ مِمَّا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ نَبِيِّهِ , ثُمَّ اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ; وَقِسْ الْأُمُورَ بِنَظَائِرِهَا , وَاجْعَلْ لِمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا أَوْ بَيِّنَةً أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ , فَمَنْ أَحْضَرَ بَيِّنَةً أَخَذْتَ لَهُ بِحَقِّهِ وَإِلَّا اسْتَحْلَلْتَ الْقَضِيَّةَ عَلَيْهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ أَنْفَى لِلشَّكِّ وَأَجْلَى لِلْعَمَى ; وَالْمُسْلِمُونَ عُدُولٌ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إلَّا مَجْلُودًا فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّبًا عَلَيْهِ شَهَادَةُ زُورٍ أَوْ ظِنِّينًا فِي وَلَاءٍ أَوْ نَسَبٍ , فَإِنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْ الْأَيْمَانِ وَدَرَأَ بِالْبَيِّنَاتِ . وَإِيَّاكَ وَالْقَلَقَ وَالضَّجَرَ وَالتَّأَفُّفَ بِالْخُصُومِ فَإِنَّ الْحَقَّ فِي مَوَاطِنِ الْحَقِّ يُعَظِّمُ اللَّهُ بِهِ الْأَجْرَ وَيُحْسِنُ بِهِ الذِّكْرَ , وَالسَّلَامُ .[20]

Dikarenakan peradilan adalah sebagian dari kewenangan umum, maka yang memiliki kekuasaan ini (kepala negara) yang dapat menentukan wewenang hakim dalam wilayah tertentu, dan tidak pada lainnya. Oleh karena itu, Umar bin al-Khattab pada saat beliau menentukan seseorang untuk menjadi hakim, beliau membatasi wilayah wewenang mereka hanya pada hal-hal pertikaian perdata saja. Sedangkan permasalahan pidana dan yang berhubungan dengannya seperti qishâsh, atau hudûd itu tetap dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri atau penguasa daerah.[21]

C. Peradilan Islam pada periode Khalifah Utsman RA

Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.[22]

Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.[23]

Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.[24]

Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata berikut ini:

أما بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد فإن الله خصم لمن ظلمهم .[25]

Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.[26]

D. Peradilan Islam pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib RA

Setelah meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}[27].[28]

Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.[29]

Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.[30]

Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada wanita yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT: “لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً[31].[32]


BAB III

KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

1. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA, beliau tidak melakukan perubahan sistem peradilan seperti yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad SAW.

2. Khalifah Umar bin al-Khattab RA adalah khalifah yang pertama kali memisah kekuasaan yudisial dari eksekutif. Beliau juga membuat sebuah dustûr yang dibuat pegangan bagi para hakim agung.

3. Utsman bin Affan RA tidak banyak melakukan perubahan sistem peradilan dari apa yang ditinggalkan Umar RA. Utsman adalah khalifah yang pertama kali membangun gedung khusus untuk peradilan Islam.

Ali bin Abi Thalib RA memberi instruksi kepada pemimpin-pemimpin daerah bagi krateria orang yang layak untuk diangkat menjadi hakim.


[1] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003), 60.

[2] Ibid., 61.

[3] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 9.

[4] Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) vol. 1, 624.

[5] Muhammad Salâm Madzkûr, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm (Cairo: Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, t.t.), 25.

[6] ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm (t.t.: Syarikat al-Syarq al-Ausath, 1966), 93.

[7] Ibid., 92.

[8] Muhammad Bakhît al-Muthî’î, Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm (Cairo: t.p., 1925), 16.

[9] ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 93.

[10] Madzkûr, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 25.

[11] ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 93.

[12] Madzkûr, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 28; Ash Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam, 15.

[13] ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 93.

[14] Ibid., 94; Ash Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam, 15.

[15] Ibid.; Madzkûr, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 26.

[16] ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 95; Kamâl ‘Îsâ, `Aqdliyyah wa Qudlâh fî Rihâb al-`Islâm (t.t.: Litrerary Cultural Club, 1987), 70.

[17] Maksudnya, pada zaman Umar RA, hakim-hakim semuanya alim serta memiliki kecakapan yang memadai untuk melakukan ijtihad atau putusan sebuah hukum, sehingga tidak perlu melakukan kodifikasi, karena mereka semua hafal Alquran serta sunna Nabi sehingga mereka sudah mencapai derajat mujtahid.

[18] ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 95.

[19] Ibid.

[20] ‘Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2006), 91; ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 96. [Tambahan] Redaksi ‘Athiyyah ada sedikit berbeda dengan al-Mâwardî. Redaksi dustûr ini juga dapat dilihat di dalam kitab `I’lâm al-Muwaqqi’în karanagn Ibn Qayyim al-Jauziyyah.

[21] Madzkûr, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 26.

[22] ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 103.

[23] Ibid.

[24] Madzkûr, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 26.

[25] Kamâl ‘Îsâ, `Aqdliyyah wa Qudlâh, 76.

[26] ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 104.

[27] Alquran, 3:159.

[28] ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 105.

[29] Madzkûr, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 26.

[30] Ash Shiddieqy, Peradilan & Hukum Acara Islam, 17.

[31] Alquran, 2:236.

[32] ‘Athiyyah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, 106.