Wednesday, August 28, 2013

Pondok Pesantren - Antara Pertahan Tradisi dan Memodernkannya

Sejak awal pertama penulis menjejakkan kaki di tanah Jawa, tepatnya Jawa Timur demi menuntut ilmu di pesantren, penulis sudah dikenalkan dengan polemik isu pondok atau pesantren yang modern dan yang masih mempertahankan ciri-ciri tradisionalnya atau dikenal dengan istilah Pondok Salaf.

Sebelum penulis terjun menerangkan pro-kontra antara dua arus institusi pendidikan yang mengawal arus pemikiran dan yang paling berpengaruh dalam mencetak calon ulama, pemikir, akademisi serta ilmuan di Indonesia, sebaiknya penulis menjelaskan dahulu apakah perbezaan di antara dua arus pondok ini di sebalik istilah tersebut.

Arus yang pertama adalah Pondok Tradisional atau lebih akrab diistilahkan dengan Pesantren Salaf. Salaf di sini sama sekali tidak bermaksud Salafi/Wahabi sebagaimana yang difahami oleh mereka yang beristilahkan sebagai arus pemikiran (school of thought); Akan tetapi, Salaf di sini adalah mengikuti gaya dan cara pendidikan yang ditubuhkan oleh murid-murid Wali Songo atau paling tidak ia adalah sistem pendidikan yang diwarisi warga Jawa sejak sebelum kemerdekaan lagi.

Ciri-Ciri Pondok Salaf dan Modern

Kita dapat mengenal Pondok-Pondok Salaf dengan berbagai ciri, sebahagian darinya adalah: memakai kitab-kitab turats (kitab kuning) sebagai kitab rujukan, menggunakan teknik bacaan Jawa kuno (Utawi iki iku) atau Sunda Kuno, Melayu Kuno (Bermulanya Kalam dll) atau lain-lain, sistem hafalan, dan yang paling penting tarbiyah adab bersama guru seperti yang diajarkan Imam al-Zarnuji dalam kitab Ta'lim al-Muta'alimnya.

Contoh mempertahankan kitab turats (kitab kuning) di pesantren adalah seperti dalam pembelajaran bahasa Arab menggunakan kitab-kitab dari al-Ajurumiyyah, Nazam al-Imrithi ala al-Ajurumiyyah, Alfiyyah Ibn Malik, selain itu ilmu sorof seperti al-Maqshud dan lain-lain. Golongan pesantren salaf sangat kuat mempertahankan pengajian kitab-kitab turats ini walaupun dikata sudah kadar-luasa (expired) atau terlalu tinggi dan susah untuk difahami bagi. Sebaliknya, pondok Salaf tetap mempertahankan tradisi ini, sehinggakan contohnya Alfiyyah Ibn Malik dibacakan dan diajarkan secara intensif di semua pesantren salaf dari Jawa Barat sehinggakan Jawa Timur. Perkara ini adalah sesuatu yang susah kita temui di Tanah Air Malaysia.

Sedangkan teknik bacaan Jawa Kuno seperti "utawi iki iku" dapat memudahkan para santri memahami uslub bahasa Arab dengan I'rabnya sehinggakan menumbuhkan sifat malakah bagi para santri yang tidak berbicara bahasa Arab dan mampu membaca kitab Arab dengan tanpa baris dengan bacaan yang sahih serta i'rab yang jelas. Diikutkan dengan hafalan yang disiplin sebagai asas bagi para santri agar mampu ingat kaedah-kaedah nahwu sorof, sehinggakan dapat berhujjah dengan syahid-syahidnya dari Alfiyyah dan kitab-kitab yang lain.

Diperkasakan lagi dengan tarbiyah menuntut ilmu serta adab-adabnya yang sudah diisyarahkan oleh ulama sejak zaman Rasulullah SAW sehinggakan para ulama seperti yg diajarkan dalam kitab al-Zarnuji. Menghormati ilmu dan ahlinya, mengabdi kepada mereka, dilanjutkan dengan niat yang ikhlas, bukan mencari kerja, jabatan maupun pengaruh, akan tetapi murni mencari ilmu demi keridhaan Allah SWT dan menunaikan kewajiban dan menyebarkan ilmu untuk menghilangkan kejahilan di bumi Allah SWT ini.

Sedangkan pondok modern, mereka memiliki gaya yang berbeza dengan sistem pondok Salaf. Salah satu ciri yang jelas adalah seperti: mengunakan kitab-kitab baru yang ringkas, serta sistematik susunan modern untuk mudah memahami ilmu nahwu sorof, mempraktikkan bahasa Arab dan bahasa Inggeris di setiap tindak laku para santrinya di Pondok sama ada dalam kelas, maupun program-program kokurikulum, mempelajari pelajaran-pelajaran umum seperti English, Science, Mathematic, Biology, Physic, dan lain-lain, agar para santri boleh lulus dengan memegang sijil yang diakui kerajaan yang akan digunakan untuk menyambung pelajaran di institusi pendidikan tinggi lainnya seperti universit-universiti di Indonesia, al-Azhar Mesir, UIA Malaysia dan lain-lain. Perkara ini membuatkan pondok modern mendapatkan sambutan yang lebih banyak dibandingkan pondok salaf.

Di sisi lain pula, pondok salaf sangat kuat menolak gerakan "memodernkan" pesantren seperti trend yang berlaku ini. Ini disebabkan, pondok salaf memiliki prinsip sendiri iaitu mengekalkan tradisi sebagai jejak langkah ulama silam seperti mempertahankan budaya talaqqi di Masjid al-Haram, Masjid al-Azhar dan lain-lain. Mereka takut kalau pesantren mereka mengadopsi sistem modern seperti di atas, maka mempertahankan sistem ulama silam akan dihapus dan lenyap. Lebih ditakutkan lagi, apabila karya-karya ulama silam tidak lagi menjadi bahan-bahan primier sebagai rujukan, akan tetapi bahan rujukan modern sajalah yang mampu difahami oleh para santri.

Memilih Jenis Pondok

Dalam pro-kontra ini, penulis menilai, bahawa segala sisi ada positif dan negatifnya. Maka bagi orang tua (parents) yang ingin anaknya dapat pergi ke universitas, menjadi doktor, jurutawan, guru matematika, ahli pendidikan, maka silakan letak anaknya di pondok modern; ia lebih tepat.

Akan tetapi, bagi santri yang bertujuan mencari ilmu, mengkaji kitab-kitab turats, mempelajari khilaf seperti kitab-kitab Fath al-Qarib Mu'in dan Wahhab, mempelajari ilmu kalam yang dalam, usul fiqh yang tinggi seperti Jam'u al-Jawami' atau al-Mustashfa karangan Imam al-Ghazali, dan menghatamkan kutub sittah (6 kitab hadis) dan juga memperkasa diri mereka dengan wirid, hizib, serta amalan dan ijazah lainnya, maka yang lebih tepat adalah pondok salaf. Ini tidak lain kerena semua ilmu ini didapatkan di pondok salaf, bukan di pondok modern.

Bayangkan, di pesantren salaf, para santri sudah mempelajari kitab Fath al-Qarib yang dikarang pada abad ke 10 Hijriyyah pada tingkatan Tsanawiyyah 1 atau 2 tahun setelah memasuki pondok. Juga mempelajari Alfiyyah Ibn Malik pada waktu yang sama. Ini berarti, seorang santri sudah bermain dengan rujukan-rujukan utama ilmu Islam sejak masuk di sekolah lagi, tanpa menunggu waktu di universitas seperti al-Azhar Mesir. Maka sudah tentu merekalah yang lebih layak untuk dijadikan seorang ulama yang pakar dalam ilmu agama kerana sudah dilengkapi dengan segala jenis ilmu alat mulai dari nahwu, sorof, arudl, usul fiqh, qawaid fiqh, ulum al-hadis, ulum al-quran, fiqh, tafsir, ilmu kalam, mantiq, dan lain-lain. Belum lagi, mereka sudah giat dalam program bahtsul masail untuk mengupas isu-isu semasa dengan bersumberkan pada fiqh dan usul fiqh serta ilmu khilaf yang mantab dan rujukan dari sumber-sumber turats bukan karya semasa. Dengan wasilah ini, banyak kajian bahtsul masail pesantren menjadi sumber rujukan seperti fihris bagi pengkaji dan pengeluar fatwa untuk mencari illat hukum dalam menetapkan hukum nawazil yang baru yang belum dibahas dalam fiqh klasik.

Titik Temu Antara Dua Arus

Sayangnya, pondok salaf memiliki kekuarangan dari sisi, tidak adanya latihan untuk bertutur bahasa Arab. Ini berbeza dengan pondok modern, seperti Gontor misalnya yang melatih murid mereka bertutur bahasa Arab dalam setiap aspek pendidikan mereka sama ada korikulum atau kokurikulum. Tapi menurut penulis, yang penting adalah dasar ilmu itu sendiri. Ketika sudah memiliki dasar, maka mempraktekkan ilmu itu bukanlah sesuatu yang susah. Berbeza dengan orang yang terbiasa dengan praktek, akan tetapi dasar ia tidak miliki, maka dia akan susah berhujjah ketika dihadapkan dengan suatu kritik.

Contohnya, santri salaf, ketika sudah menghafal Alfiyyah dan lain-lain, ketika mereka mampu membaca kitab kosong walaupun tidak mampu bertutur bahasa Arab, terbukti ketika mereka terjun di negara Arab untuk melanjutkan studi seperti di Hadramaut Yaman, Mekkah, Mesir, bahkan di Morocco misalnya, mereka mampu untuk berbicara Arab Fusha dalam waktu yang singkat. Dan lebih menarik, banyak Syaikh-Syaikh Arab kagum dengan mereka kerana mereka sudah kenal dengan kitab-kitab turats seperti Alfiyyah dan lain-lain. Bahkan mereka sudah hafal lantunan bait-bait tersebut.

Sebaliknya, santri modern mereka tentu mampu berbicara Arab ketika sampai di negara Arab, atau bahkan Inggeris sekalipun. Akan tetapi, kekurangan mereka terjadi ketika mereka pergi talaqqi atau berhadapan langsung dengan Syaikh-Syaikh agung dan mereka dianggap seperti sekolah ma'ahad biasa yang belum mengenal kitab-kitab turats tersebut. Mereka juga kadang ketika berbicara dengan sahih, tapi ketika menemukan suatu uslub yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab modern, akan merasa kesusahan kerena belum pernah dilalui. Apatah lagi berhujjah dengan syahid-syahid Alfiyyah dan lainnya. Juga mereka belum terbiasa dengan perbahasan fiqh mendalam seperti yang sudah biasa dalam bahtsul masail di pondok-pondok salaf.

Tapi penulis benar-benar telah menyaksikan, bahawa keluaran pondok modern banyak yang sukses di dunia internasional kerana mereka banyak yang mampu melanjutkan studi di negara-negara Arab, Eropah, dan Nusantara sendiri. Juga Pondok Salaf tidak kalah hebatnya dalam mengeluarkan ulama agung nusantara seperti KH. Sahal Mahfuz, KH Thoifur Purworejo, KH. Hanan Ma'sum dan banyak lagi di mana mereka menguasai ilmu-ilmu syariah secara syumul. Walaupun tidak bergiat di dunia akademik, mereka diakui keilmuannya di dunia international seperti di Qarawiyyin, Dar al-Musthafa Hadramaut, dan al-Azhar juga. Penulis banyak bertemu dengan santri salaf yang menjadi khadim di antara ulama-ulama agung seperti Habib Umar bin Hafiz, Syaikh Yusri Mesir, Syaikh Yusuf Bakhour Hasani, dan lain-lain. Walau bagaimanapun, adalah suatu keharusan bagi pesantren salaf untuk merubah diri dan mengembangkan sayap mereka di dunia internasional bersaing dengan pondok modern. Lebih-lebih lagi, Indoonesia sudah diberi rahmat oleh Allah SWT dengan diakuinya ijazah atau sijil pesantren untuk memasuki perguruan tinggi di Indonesia sendiri, juga di beberapa universitas yang lain. Ini tentunya sesuatu yang memalukan bagi Malaysia yang justru kerajaan mereka dalam segala jenis kebijakan (policy) pendidikan mereka membuatkan Pondok semakin mati, pupus dilenyapkan oleh zaman dan modernisasi. Di sisi lain, institusi pendidikan agama di Malaysia juga dalam keadaan yang menyedihkan dan mengeluarkan pelajar-pelajar yang tidak layak untuk menonjolkan diri sebagai alumni sekolah agama yang patut dibanggakan di negara Arab. Bagaimana tidak, berapa banyak pelajar yang membawa nilai cemerlang dari tanah air dan melanjutkan pelajaran di universiti-universiti Arab, gagal pada tahun pertama atau walaupun lulus, akan tetapi ilmu dasar nahwu mereka masih sangat memperihatinkan, kecuali sedikit dan segelintir sahaja dari mereka yang benar-benar memiliki dasar yang kuat secara ilmu dan praktik.

Semoga Allah SWT menaikkan taraf pendidikan agama Islam kita di Malaysia seperti yang ada di Indonesia. Semoga pengajian pondok di Malaysia semakin maju pesat dan bertambah kualitas dibandingkan dengaan yang ada sekarang. Amin!

Thursday, August 22, 2013

Mencari Ilmu di Maghribi (Siri ke 5 - Tantangan Mahasiswa Baru Di Morocco)

Tentunya, semua orang bercita-cita untuk menuntut ilmu sejauh mungkin yang mampu diraih. Lebih-lebih lagi dalam bidang ilmu agama. Semua santri atau pelajar agama memiliki cita-cita untuk diberi kesempatan menuntut di negara-negara Arab seperti Jordan, Saudi Arabia, Mesir, Syria bahkan tanah barat Islam iaitu Maghribi atau lebih dikenali dengan nama Morocco. Akan tetapi, tantangan-tantangan dalam menuntut ilmu itu suatu yang lumrah terjadi, kerana ia adalah ujian Allah SWT terhadap makhluk-Nya.

Berdasarkan dari artikel penulis yang lepas, dalam siri Mencari Ilmu di Maghribi, maka izinkanlah penulis menekan tombol-tombol di papan tulis komputer riba ini agar dapat menjadi bandingan buat adik-adik yang berniat menuntut ilmu di Maghribi, akan paling tidak bersiap sedia secara mental, fisikal, dan yang paling utama keilmuan.

Ilmu Alat

Penulis merasa perkara pertama yang wajib dimiliki oleh semua calon-calon ulama adalah memiliki ilmu alat yang cukup. Ilmu alat adalah tidak terpaku pada bahasa Arab Nahwu dan Shorof sahaja, akan tetapi termasuk darinya ilmu-ilmu balaghah, mantiq, usul fiqh, Arudl dan lain-lain. Tapi, permasalahan yang utama dialami bagi pelajar baru di Maghribi adalah Bahasa Arab. Banyak, bahkan majoriti pelajar yang datang ke negara 1000 keajaiban ini gagal dalam ilmu nahwu dan sorof. Tentunya ini sangat menyedihkan, apatah mereka akan melanjutkan pelajaran di jenjang ijazah atau sarjana muda. Tak perdulilah sama ada dia pemegang nilai A+ Bahasa Arab Tinggi atau 10 A SPM bahkan lebih, tapi kalau hakikatnya, membaca kitab saja sudah tongang-langgang, maka siap-siaplah anda akan gagal dalam semester 1 anda atau paling tidak anda akan lulus dengan nilai kasihan yang sememangnya bagi pendapat penulis adalah sesuatu yang kita semua harus menjauhinya kerana ia bukan pendidikan, akan tetapi pembodohan secara halus.

Oleh itu, penulis menyeru agar semua mahasiswa haruslah perdalam ilmu bahasa Arab terutama Nahwu dan Shorof dan bukan mencari nilai. Akan tetapi haruslah mampu membaca kitab dengan tanpa baris serta paling tidak hafal kesemua wazan-wazan sorof sebelum menjejakkan kaki di gerbang Andalus ini. Ketahuilah, salah seorang pentahqiq ulung Morocco, Dr. Khalid Zahri telah berpesan kepada penulis pada hari ini: "Bahasa Arab adalah bahasa paling mudah untuk dipelajari orang-orang yang tidak berbicara bahasa Arab (غير ناطقين), kerana apa? kerana secara asasnya bahasa Arab terbina dari wazan-wazan tersebut yang sekiranya seseorang menghafalnya maka ia mampu memahami separuh dari kamus bahasa Arab." Perkataan beliau itu benar, kerana apa? contohnya seseorang memahami tasrif, lalu dia hanya tahu "أكل" adalah makan secara fi'il madhi, maka tanpa buka kamus pun, dia akan tahu bahawa "مأكولات" adalah makanan-makanan kerana ia adalah isim maf'ul bagi "أكل" yang dijamakkan. Begitu contoh yang lain.

Maka dengan ini, penulis sangat sedih melihat, banyak mahasiswa yang sibuk dengan maqashid al-Syari'ah, wasatiyah-lah, ijazah Syaikh sana-sini, akan tetapi ilmu nahwu dan sorof sangat lemah, sehingga membaca kitab  mudah seperti al-Wajiz fi Usul al-Fiqh karangan Dr. Wahbah al-Zuhayli sahaja tidak mampu. Lebih baiklah anda mengkorbankan semua nafsu lain seperti futsal, PES, nadwah sana-sini, lalu carilah seorang guru dengan rotan mengajar anda al-Ajurumiyyah dan Sorof serta membetulkan bacaan anda sehinggakan anda dapat memahami bahasa Arab dengan baik. Penulis sudah banyak melihat adik-adik yang menhafal teks-teks muqarrar ketika ujian dan lulus, akan tetapi ilmu itu sendiri tidak difahami, lalu dengan mudahnya berani bersyarah sana-sini dengan slogan-slogan maqashid al-syariah atau wasatiyah konon dan berani bermain dalam isu-isu polemik walhal, siapakah mereka ketika ilmu dasar Arab sahaja tidak lepas?

Talaqqi dan Youtube

Salah satu kebiasaan mahasiswa Malaysia (terutamanya) di Morocco, adalah giat menonton ceramah-ceramah agama di Youtube, mulai dari ustaz A sampailah kepada Dr. Z, atau Syaikh 1 sampai kepada Maulana 9 (tidak bermaksud mana-mana personal, ia hanyalah contoh semata) akan tetapi langsung tidak pernah pergi ke talaqqi bersama mana-mana Syaikh atau Faqih Arab. Ini sungguh menyedihkan!

Penulis selalu ketika ditanya mana-mana calon mahasiswa, kota manakah yang paling bagus untuk menuntut ilmu, maka penulis selalu mensarankan untuk pergi ke Fes, kerana di situ adalah masjid Qarawiyyin yang terdapat talaqqi setiap hari Sabtu-Rabu dari pukul 8 pagi sampai 6 petang, dari kitab paling asas sehinggakan kitab paling tinggi seperti Jam'u al-Jawami'. Akan tetapi, tidak ada satupun mahasiswa Melayu bahkan Nusantara yang pergi ke masjid tersebut untuk bertalaqqi setelah fatrah penulis berhijrah dari kota wali Fes ini.

Malangnya, penulis mendapati mereka lebih senang mendengarkan ceramah-ceramah agama melalui Youtube dan Facebook. Lalu apabila ada permasalahan dan isu berbangkit, konon dengan mulut yang manis berhujjah dengan hujjah-hujjah wasatiyyah yang datang dari penceramah-penceramah tadi, tanpa ingin berbalik kepada asas ilmu itu sendiri. Apakah mereka tidak tahu, kalau mereka akan diminta menjadi seorang ulama dan pemikir di tanah Air, mereka dituntut untuk memiliki pemikiran sendiri, bukan hanya taklid buta dengan penceramah-penceramah tadi? atau paling tidak biarlah mereka menjadi penyambung lidah dari ulama-ulama agung yang berskala dunia, bukan terpaku pada satu semenanjung.

Asy'ariyyah dan Salafiyyah lalu Wahabiyyah

Penulis teringat, ketika pertama kali sebelum dapat berita yang penulis diterima belajar Master di Morocco, sebelumnya penulis sudah berkonsultasi dengan banyak para senior sama ada di Malaysia mahupun di Indonesia. Ketika penulis berkonsultasi dengan senior dari Indonesia seperti Dr. Nuri (lulusan PHD dalam bidang tasawwuf di Tetouan, Morocco) beliau mengatakan bahawa: "Morocco adalah tanah Auliya dan bumi tarikat sufi, bahkan pengarang kitab Nahwu al-Ajjurumiyyah sendiri adalah seorang sufi agung di zamannya".

Akan tetapi, yang anehnya, ketika penulis berkonsultasi dengan salah satu ustaz pakar akidah di JAIS, beliau malah melarang penulis untuk menyambung pengajian Master di Morocco. Alasannya adalah kerana Morocco adalah lubuk Wahabi. Tentunya penulis terkejut dengan pernyataan ini, kerana menurut pengalaman bacaan penulis, Morocco-lah negara pengeluar tarikat dan bahkan kitab-kitab yang dijadikan sumber untuk melawan Wahabi adalah berasal dari Morocco. Sebut sahaja tarikat Syaziliyah, Bursyisyiyyah, Darqawiyyah, bahkan Tijaniyyah berasal dari Morocco. Lalu lihat juga kitab-kitab karangan keluarga al-Ghumari yang dijadikan sumber oleh banyak ulama semasa dalam menolak kebatilan dan ta'ashuban Puak Wahabi, seperti pengharaman Tawassul, Ziarah kubur, Istighasah di kuburan, dan lain-lain.

Yang sedihnya, ketika penulis sampai di tanah Barat Islam ini, ternyata apa yang dikatakan Sarjana Pakar Akidah JAIS itu adalah benar. Banyak mahasiswa Nusantara (terutamanya Malaysia) terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran salafi modern atau lebih identik dengan istilah Wahabi ini.

Setelah penulis melakukan penelitian, serta survey secara medan dan berdialog dengan berbagai alim-ulama Morocco sama ada yang beraliran sufi, Asy'ari, Salafi, Muhaddits, Muhaqqiq, bahkan Wahabi Saudi Murni, penulis mendapati bahawa pemikiran ghulwu tersebut muncul dari lingkungan kampus Universitas. Ini kerana para Wahabi lebih pintar masuk di kalangan mahasiswa kampus dibandingkan dengan para santri di pondok-pondok traditional (Madrasah Atiqah) seperti Qarawiyyin, Sus Agadir, dan Rasyidiyyah. Kenapa begitu? kerana mereka yang belajar di pondok sudah dilengkapi dengan asas-asas ilmu alat sehingga tidak mudah tertipu dengan dakyah-dakyah Wahabi.

Penulis pada asasnya, tidak kesah maupun peduli dengan apa-apa arus pemikiran yang dipilih para mahasiswa, kerana kebebasan pemikiran adalah hak masing-masing individu. Akan tetapi, yang sedihnya mereka ini tidak tahu pada dasarnya lalu diseret kepada satu pemikiran dan ditanamkan sifat-sifat ta'ashub oleh mereka-mereka yang tidak bertanggung-jawab sehingga ingin membersihkan komunitas Melayu dari kesufian atau Asy'ariyyan. Inilah apa yang penulis perangi! Isu ini pernah penulis singgung di dalam artikel: http://akitiano.blogspot.com/2011/11/maghribi-antara-asyariyyah-salafi-dan.html

Tidakkah mereka tahu bahawa Morocco ini pada asalnya bermazhab Asy'ari dalam akidah, Maliki dalam Fiqh, Junaid al-Baghdadi dalam Tasawwuf? kalau begitu, kenapa mereka terlalu memaksakan Morocco untuk merubah gaya pemikiran kepada Salafi versi Saudi? Dan kalau jawabannya keran itu bagi mereka yang benar, maka penulis juga ingin maju kehadapan untuk berdakwah dan mempertahankan Akidah Asy'ariyyah, Fiqh Syafi'i, Tasawwuf Ghazali bagi kawan-kawan Nusantara, tanpa membezakan Melayu ataupun Jawa, Malaysia ataupun Indonesia! Padahal, kalau dilihat di berbagai kampus di Morocco ini, hampir semua kampus terdapat pensyarah yang berfahaman Asy'ariyyah. Mungkin ini adalah pengaruh kawan-kawan kelas.

Kalau saja mereka hendak membuka minda, dan bersemuka dengan guru-guru sufi dan asy'ari Morocco seperti Prof. BinYa'ish, Dr. Jamal Alal al-Bakhtie, Dr. Khalid Zahri, Syaikh Abdullah al-Talidi, Masyayikh Qarawiyyin Fes, tentunya para mahasiswa tidak mudah terikut dengan trend pemikiran salafi ini. Setiap dakyah dan dakwah yang dilakukan kawan-kawan penulis di kampus, penulis selalu berusaha untuk membahas dengan ilmiah. Akan tetapi, ketika terlihat mereka lebih kepada ta'ashub dan mengancam penulis dengan berbagai label atau bersangka buruk, maka apapun yang keluar dari mulutnya, penulis akan mengindahkannya, kerena sudah tidak berada dalam timbangan ilmiah. Yang lebih menyedihkan, ada pensyarah Arab yang sanggup menolak thesis hanya kerana berbeza aliran pemikiran!

Maka, bagi penulis, tidaklah seseorang itu faham akan perkembangan pemikiran Barat Islam, selagi dia belum membaca kitab-kitab sejarah seperti "تطور المذهب الأشعري", "الاستقصا للناصري", "جهود المغارب", dan banyak lagi kitab-kitab sejarah lainnya.

Politik dan Pendidikan

Salah satu penghalang masuknya ilmu pada mahasiswa adalah pemikiran politik kepartian. Sebelum penulis berhujjah dengan pendapat ulama silam, maka sebaiknya penulis mengingatkan kepada para calon mahasiswa apa yang disebut oleh Dr. al-Jayyi (Pensyarah Hadis di University Muhammad V, Rabat) bahwa: "Adalah sebaik-baiknya para mahasiswa meninggalkan perkara-perkara yang menganggu konsentrasi pendidikan mereka seperti isu-isu polemik dan memperkasakan diri mereka dengan alat serta asas". 

Seperti yang kita fahami, termasuk isu polemik yang paling besar adalah isu politik. Politik adalah satu ruang perbahasan yang sangat subyektif kebenarannya lagi penting dan kritikal akibatnya. Ini disebabkan, politik itu sendiri terlahir dari ijtihad-ijtihad para politisi, yang kita semua sepakat boleh benar, boleh salah. Istilah-istilah keadilan dan policy yang terbaik serta kebijakan dan kebajikan adalah istilah-istilah yang boleh dipermainkan dalam berbagai bentuk taktik politik dan kepentingan-kepentingan pribadi maupun kepartian. Bahkan mengunakan istilah-istilah yang wujud dalam keilmuan Islam dan di letak di dalam sebuah wacana membela policy parti mereka bukanlah jaminan ia adalah Islami. Bayangkan saja, istilah wasatiyah boleh diperebut oleh berbagai pihak, sama ada aliran pemikiran akidah seperti Ibn Taimiyyah dalam Akidah Wasatiyah-nya dan Imam al-Ghazali dalam al-Iqtishad fi al-I'tiqad-nya  begitu juga seperti UMNO yang menggunakan istilah tersebut dalam permainan politik mereka. Begitu juga dengan PAS yang selain berdakwah dalam wacana-wacana Islam, mereka juga menggunakan istilah-istilah Maqashid dan lain-lain, yang semuanya kebenarannya adalah nisbi, kerana ia adalah ijtihad.

Perlulah semua pembaca tahu, bahwa Imam Ibn Taimiyyah sendiri mengakui bahwa dalam politik, tidak ada istilah bentuk kerajaan yang terbaik melainkan yang paling aslah (terbaik) sehinggakan menamakan kitab Siyasah Syar'iyyahnya dengan nama "السياسة الشرعية في إصلاح الراعي والرعية". Maka kita harus membuka mata, politik itu adalah ijtihadi, maka janganlah kita terlalu ta'ashub dengan kepartian, sehingga membela mati-matian satu parti, dan melihat bahwa parti lawan adalah salah tidak betul, pencuri, korup, bahkan ada yang sampai memposisikannya lebih buruk dari non muslim. Inilah yang perlu dijaga oleh para mahasiswa.

Bahkan, ulama terdahulu sudah lama mengajak untuk menjauhi politik. Seperti Imam al-Ghazali RH telah berkata di dalam kitab Ayyuha al-Walad-nya:

  لا تخالط الأمراء والسلاطين ولا تراهم لأن رؤيتهم ومجالستهم ومخالطتهم آفة عظيمة ولو ابتليت بها دع عنك مدحهم وثناءهم لأن الله تعالى يغضب إذا مدح الفاسق والظالم ومن دعا بطول بقائهم فقد أحب أن يعصى الله في أرضه

Terjemahan: Janganlah engkau bercampur dengan para pemimpin dan penguasa, dan janganlah engkau melihat mereka, kerana melihat mereka dan duduk bersama mereka serta bercampur dengan mereka adalah bahaya besar. Kalau engkau dicoba untuk bersama mereka, maka jauhilah dirikau dari memuji mereka, kerana Allah SWT memarahi orang yang membenci ahli fasiq dan zalim, dan barang siapa yang meminta untuk lama bersama mereka, maka dia benar-benar mencintai untuk bermaksiat dengan Allah di bumi-Nya.

Bukankah Imam al-Zarnuji telah mengajarkan kita cara-cara menuntut ilmu: "ولا بد لطالب العلم من تقليل العلائق الدنيوية بقدر الوسع ولهذا اختاروا الغربة" Wajiblah bagi penuntut ilmu mensedikitkan hubungannya dengan keduniaan, dengan semampu mungkin dan dengan ini, sebaiknya dia memilih pengasingan. Untuk lebih memahami perkara ini, sebaiknya dibaca artikel penulis di: "http://akitiano.blogspot.com/2010/02/pesan-kh-thoifur-mawardi-kepada-penulis.html".

Bagi penulis, musibah besar bagi para mahasiswa ketika mereka belum memiliki ilmu yang cukup, sudah memberikan pandangan-pandangan politik kepartian. Ini disebabkan, paling tidak, dia sudah membuat garis-garis perbezaan sehingga sudah memunculkan permusuhan dengan kawan-kawan yang tidak sealiran dengannya. Belum lagi, dia akan membuat dirinya menjauhi ilmuan-ilmuan yang menjadi lawan partinya. Contohnya: ketika ada seorang pengikut setia kepada Parti IM, sudah tentu dia akan mengkutuk ulama Azhar yang enggan membela partinya, atau paling minimum, dia bersangka buruk dengan ijtihad ulama Azhar tersebut. Inilah yang terjadi sehingga keluarlah potret-potret sumbang di FB dan blog akan beberapa gambar Syaikh Azhar berikutan isu kejatuhan Mursi baru-baru ini. Apakah layak bagi kita yang masih merangkak menuntut ilmu mencemar nama institusi Azhar yang megah bersama-sama Syuyukhnya hanya kerana isu kepartian yang ijtihadi? Sadarlah wahai insan.

Kesimpulan

Mungkin, setakat ini sajalah coretan penulis sebagai alat muhasabah kepada semua calon mahasiswa di Morocco ini dan kepada seluruh tanah Arab secara Ammnya. Semoga apa yang kalian pilih menjadi sebaik-baik pilihan. Semoga kita semua diterangi jalan kita dengan jalan ilmu. Oh Allah! tambahilah diri kami dengan ilmu-Mu yang bermanfaat! di dunia dan akhirat! Amin.

Tuesday, August 20, 2013

Guruku: Ustaz Abdul Wahhab Ahmad Khalil

Beliau adalah Ustaz Abdul Wahhab Ahmad Khalil, seorang guru, dosen, kyai, serta akadimisi di antara Jombang dan STAIN Kediri. Merupakan salah seorang pengasuh di Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Juga menjadi dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri. Penulis pertama sekali bertemu beliau adalah di semester 3, Jurusan Syariah, Program Studi al-Akhwal al-Syakhsiyyah yang ketika itu sedang menduduki pelajaran Falsafah Hukum Islam atau lebih dikenal dengan Maqashid al-Syari'ah.

Ya, Beliaulah orang pertama yang mengajar dan memperkenalkan kepada penulis apa itu Maqashid al-Syari'ah. Duduk di dalam kelas beliau adalah sangat beruntung kerena setiap yang diajarkan dosen yang merupakan murid kepada KH. Sahal Mahfudz ini, selalu diimbangi dengan pemikiran yang kritis, berbasis ilmu alat yang disiplin, serta mencintai Imam al-Syafi'i RA.

Ramai orang Indonesia masih belum mengenal beliau. Beliau adalah seorang penulis hebat. Bayangkan, karya Master beliau di Universitas Raja Sa'ud Riyadl dicetak dan tersebar bahkan di Morocco ini. Thesis ini berjudul: "القواعد والضوابط الفقهية في كتاب الأم للإمام الشافعي" (Kaedah-Kaedah dan Dhabit-Dhabit Fiqh dalam Kitab al-Umm karangan Imam al-Syafi'i) http://altadmoriah.com/downloads-action-show-id-54.htm dan http://www.salmajed.com/node/7488.

Melihat nama judul sahaja, kita semua tahu bahwa beliau adalah pecinta Imam al-Syafi'i. Bagaimana tidak, demi kecintaan beliau tersebut, beliau telah membaca karangan agung Mujtahid Mutlak tersebut yaitu al-Umm dari awal hingga akhir, dan berhasil mengeluarkan kaedah-kaedah fiqh dan dhabit-dhabitnya. Tentunya ini bukan sebuah perkara mudah, apatah lagi, beliau harus meneliti bahasa Imam al-Syafi'i agar dapat memahami kaedah-kaedah tersebut. Maka penulis katakan, bahwa beliaulah penganut mazhab Syafi'i yang sebenar.

Penulis teringat kata-kata beliau tentang bagaimana beliau mulai memilih judul ini. Menurut beliau, ia bermula ketika ahli-ahli Qawaid Fiqh bermazhab Hanafi mengatakan bahwa ilmu Qawaid al-Fiqh itu muncul dari Mazhab Hanafi, lalu diikuti oleh mazhab lain, dan mazhab Syafi'i hanya bermula dari Imam Izzu al-Din bin Abdissalam. Perkara ini membuat beliau berang dan berkata, mana mungkin mujtahid seperti Imam al-Syafi'i meninggalkan bahagian penting dari ilmu ini. Maka beliau pun membuktikannya dengan mengarang thesis ini. Akhirnya thesis ini selesai diuji dan mendapatkan martabat Mumtaz dalam munaqashah.

Beliau jugalah yang sebenarnya mengizinkan kepada penulis untuk menulis skripsi penulis berjudul: "قاعدة الأصل في العبادة الحظر - دراسة تأصيلية تطبيقية مقارنة بين المذاهب الأربعة". Sayangnya, beliau tidak dibenarkan menjadi penyelia (musyrif) penulis kerana alasan birokrasi kampus akan tetapi, beliau telah menjadi penguji utama skripsi penulis.

Beliau jugalah yang menjadi orang paling kuat mendukung penulis untuk mula berkarya dalam bahasa Arab. Beliau pernah berkata: "apa gunanya antum di pondok hafal alfiyah, baca kitab dengani'rab-i'rab diteliti mati-matian, akan tetapi tidak pernah ingin membuktikan ilmu kalian di hadapan ulama antarabangsa". Beliau pernah berkata juga: "ulama Indonesia tidak kalah hebatnya dengan ulama Arab, hanya masalahnya Ulama Indonesia pada abad ini enggan mengikuti jejak pendahulu mereka yang berkarya dalam bahasa Arab. Mereka sekarang ini terlalu selesa dengan dakwah mereka dalam negara dan lupa dengan dakwah mereka di luar sana". Lihatlah bagaimana ulama Indonesia (Jawa terutamanya) telah mengarang kitab-kitab hebat seperti Imam Nawawi al-Jawi, Kyai Ihsan al-Jampesi, Muhaddits Mahfuz al-Turmusi, Yasin al-Fadani, Kyai Senori, Mbah Yai Misur Sindi, KH Sahal Mahfuz. Hanya saja, 4 nama terawal sahaja yang karya mereka tersebar di Hijaz dan Mesir sedangkan yang lain hanya dicetak ulang di tanah air, bahkan tidak seberang ke pulau tetangga.

Buktinya, salah seorang murid lama beliau yang juga merupakan guru penulis, iaitu Dr. Jamaluddin Khaliq, yang telah berhasil menyelesaikan studinya di al-Azhar al-Syarif mulai dari peringkat Ijazah, Master, dan PHD. Ini juga berkat dari usaha dan doa Ustaz Abdul Wahab.

Alhamdulillah, dengan dorongan beliau, penulis pun menyematkan semangat dan azam untuk merentasi apapun birokrasi yang menyusahkan untuk dapat menjadi Ibn Sabil ke tanah Arab atau sesamanya demi menuntut ilmu dan berkarya dalam bahasa Arab serta mengembangkan ilmu agama Allah yang diridhai-Nya ini. Semoga dengan wasilah tunjuk ajar beliau kepada penulis, penulis dapat mencapai kejayaan dunia dan akhirat. Semoga beliau juga akan terus dapat mendidik para santri yang nantinya menjadi ulama besar nusantara. Amin.

Sunday, August 11, 2013

كتاب الإبانة عن أصول الديانة - تحقيق في نسبته إلى أبي الحسن الأشعري للدكتور خالد زهري حفظه الله تعالى

هذه المقالة أصلها من مجلة علمية محكمة سنويةوهي الإبانة التي نشرها مركز أبي الحسن الأشعري للدراسات والبحوث العقدية التابع للرابطة المحمدية للعلماء. وقد صورتها ووضعتها في هذا الموقع غير الرسمي لأجل تسهيل القراء أن يستفيدوا منها، والله مستعان!