Saturday, March 22, 2008

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ALLAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama yang diturunkan Allah kepada makhluk-Nya melalui Rasulallah SAW sebagai agama terakhir atau final, sekaligus sebagai satu-satunya agama yang benar. Sebagai agama yang benar dan terakhir, maka Allah membekali makhluk-Nya dengan Alquran, yang mana dalam hal ini, Alquran haruslah mampu menjawab segala sesuatu persoalan yang timbul.
Dengan dasar ini, banyak persoalan yang muncul tentang Allah itu sendiri, akan tetapi banyak yang hanya mampu menjawab secara rasio, bukan memakai Alquran. Kalaupun ada yang memakai Alquran, sering sekali tafsir dari ayat tersebut terlupakan. Tafsir sangat diperlukan di dalam memaknai ayat Alquran karena memandang ada yang masih sangat kontroversi (sulit difahami) seperti ayat-ayat musyâbihât.
Maka dari itu, demi memahami ayat-ayat yang ada kaitannya dengan Allah, perlulah dibahas pentafsiran ayat-ayat tersebut berdasarkan pendapat dan riwayat dari para sahabat maupun tabiin.

B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Tafsir ayat-ayat sifat Allah.
2. Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang terpuji terhadap Allah.
3. Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang tercela terhadap Allah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tafsir Ayat-Ayat Sifat Allah
Pada dasarnya, wajib menetapkan segala sifat kesempurnaan terhadap Allah, dan membersihkan segala sifat kekurangan terhadap-Nya. Allah juga memiliki sifat jawâz (boleh dan tidak) melakukan sesuatu perkara. Akan tetapi, menurut `Asyâ’irah dan Mâthurîdiyyah, sifat yang wajib diketahui secara terperinci adalah dua puluh (20) sifat.[1]
Memandang 20 sifat itu sangat banyak untuk dibahas penafsiran setiap ayat Alquran yang menjadi dalil baginya, maka sifat (tafsir ayat sifat tersebut) yang akan dibahas hanyalah sifat: 1. al-Baqâ` (البقاء) yang berarti tetap; 2. al-Mukhâlafah li al-Hawâdits (مخالفة للحوادث) yang berarti berbeda dengan makhluk; 3. Al-Kalâm (الكلام) yang berarti Maha berbicara.
Bagi yang pertama (1), yaitu sifat al-Baqâ` (البقاء), dalil Alquran sifat ini berdasarkan pada ayat:

"وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (القصص 88)"
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya (Allah). Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.[2]

Imam Ibn Katsîr berpendapat bahwa ayat {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} itu mengkabarkan bahwa sesungguhnya Allah SWT itu adalah Zat yang kekal (الدائم), tetap (الباقي), hidup, yang berdiri dengan sendiri-Nya, yang mematikan makhluk-Nya, dan Zat yang tidak akan mati. Ini seperti yang ditegaskan Allah SWT pada ayat {كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ}. Kata {وجه} di sini berarti Zat yaitu Allah. Dalam Hadis sahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulallah SAW pernah bersabda: “Aku membenarkan kalimat yang dilantunkan seorang penyair {ألا كل شيء ما خلا الله باطل}.[3] Dr. Wahbah al-Zuhailî melanjutkan bahwa ayat ini juga menetapkan bahwa segala sesuatu yang baru (حادث) itu pasti rusak dan akan hilang.[4]
Imam al-Thabarî berkata bahwa ada sebagian ulama berpendapat bahwa makna ayat ini adalah segala sesuatu itu pasti rusak kecuali apa yang diingini oleh Allah.[5]
Menurut tafsirannya Ibn ‘Abbâs, yang dimaksud dengan ayat {كل شيء هالك إلا وجهه} adalah segala amal yang bukan karena Allah, itu ditolak kecuali yang ditujukan kepada Allah. Juga ditafsiri dengan segala zat itu pasti berubah kecuali Zat Allah, dan segala kerajaan pasti hilang kecuali kerajaan Allah.[6]
Sifat yang kedua (2) adalah al-Mukhâlafah li al-Hawâdits (مخالفة للحوادث), sedangkan dalil Alqurannya adalah ayat:

"وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (الإخلاص 4)"
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.[7]

Sebab turunnya surah al-`Ikhlas ini adalah pada saat orang-orang musyrik berkata pada Nabi Muhammad SAW: “Ya Muhammad! Ceritakan kami nasab Tuhan kamu!, maka Allah menurunkan ayat { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)}”. Dari riwayat yang lain mengatakan bahwa ada segolongan orang Yahudi yang datang menemui Nabi Muhammad SAW lalu berkata: “Sifatilah kepada kami Tuhan kamu, karena sesungguhnya Allah menurunkan sifat-Nya di dalam Taurat. Maka kabarilah kami dari apakah Dia? Dari jenis apakah Dia? Emaskah, tembagakah, atau perakkah? Apakah Dia makan dan minum? Dari siapakah diwariskan dunia, dan kepada siapakah Dia akan mewariskan dunia?”. Maka Allah menurunkan surah ini yang hanya dinisbatkan kepada Allah sahaja.[8]
Dari segi bacaan, lafaz {كُفُوًا} itu dibaca sesuai dengan bacaan Imam Hafsh. Bagi bacaan imam selainnya, mereka membacanya dengan {كُفُؤاً}.[9]
Dari segi makna perlafaznya, kata {كفوا} memiliki arti yang menyamai (مكافئا ومماثلا). Jadi makna kalimatnya adalah “tidak ada satupun yang menyamai-Nya (أنه لم يكن أحد يكافئه)”, seperti istri dan selainnya.[10]
Tafsir yang dikeluarkan Ibn Katsîr bagi ayat ini adalah Allah SWT tidak memiliki istri. Ini juga selaras dengan pendapat Mujâhid yang berdalilkan ayat {بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}[11], yaitu Allah adalah Raja segala sesuatu dan Sang Pencipta, bagaimana Allah bisa memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya?, atau hampir menyamai-Nya?[12]
Dr. Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini digunakan untuk membatalkan keyakinan orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa Allah itu memiliki sepadan di dalam pekerjaan-Nya, sehingga mereka menjadikan malaikat sebagai teman (sahabat) bagi Allah, serta patung-patung dan berhala adalah sepadan dengan Allah. Ini juga didasari oleh ayat Alquran yang lain: 6:101, 19:92-95, dan 21:26-27.[13] Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini menolak semua akidah yang sesat seperti 1) al-Tsanawiyyah yang berpendapat wujudnya Tuhan dua bagi alam yaitu siang dan malam; 2) Kristen yang berpendapat Tuhan tiga (trinitas); 3) al-Shâbi`ah yang menyembah langit dan bintang; 4) Yahudi yang mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah; 5) Orang musyrik yang berpendapat bahwa sesungguhnya malaikat adalah anak perempuan Allah.
Menurut Imam al-Thabarî, ahli pentakwil berbeda pendapat dalam menafsiri ayat ini. Ada sebagian dari mereka yang berpendapat maknanya adalah “tidak ada yang menyerupai atau menyamai Allah (ولم يكن له شبيه ولا مثل)”. Sebagian yang lain berpendapat Allah tidak memiliki istri. Sedangkan secara bahasa, kata {الكُفُؤُ والكَفِيءُ والكِفَاءُ} memiliki arti yang sama yaitu “المثل والشبه”.[14]
Sifat yang ketiga (3) adalah al-Kalâm (الكلام), sedangkan dalil Alqurannya adalah ayat:

"وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا (النساء 164)"
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.[15]

Dr. Wahbah al-Zuhailî menerangkan bahwa ayat ini menunjukkan keistimewaan Nabi Musa AS yang mendapat gelar Kalîm Allah. Ini didasari oleh Ayat {وكلم الله موسى تكليما} yaitu berbicara yang benar secara hakiki dengan tanpa perantara. Sedangkan sifat al-Kalâm Allah kepada para nabi yang lain, itu disebut dengan wahyu. Ini berdasarkan ayat { وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ }. Hikmah dibalik hijab; adalah bertujuan memerhatikan perkara yang penting kepada hanya satu perkara. Sedangkan yang bertugas untuk mengirim wahyu dengan izin Allah adalah Jibril AS, yaitu malaikat wahyu, yang dikenal dengan Ruh Amin.[16]
Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî menjelaskan bahwa ayat ini bertujuan menolak ucapan orang Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya kamu tidak ingat Nabi Musa AS serta apa yang kamu hitung dari kalangan nabi-nabi. Maka ini adalah dalil bahwa kamu tidak membawa risâlah”. Maka Allah menolak tersebut dengan menurunkan ayat ini dan setelahnya. Selanjutnya, al-Shâwî menafsiri lafaz {وكلم الله موسى} dengan menegaskan bahwa Allah SWT menghilangkan hijab sehingga Musa AS mampu mendengarkan kalam Allah, dan Allah SWT bukanlah Zat yang diam (ساكتا), lalu baru berfirman, karena sesungguhnya perkara tersebut itu adalah mustahil bagi Allah SWT.[17] Kata {تكليما} itu adalah masdar mu`akkad bagi firman {كلم}. Tujuan memperkuat hukum adalah agar menghilangkan kemungkinan dimaknai dengan majâz bagi lafaz tersebut, karena Allah SWT itu berfirman kepada Musa AS dengan firman-Nya yang Azali, Qadîm, dengan tanpa huruf, bukan berupa suara, tidak dapat digambarkan, tidak dibatasi, dan tidak ada yang mengerti kecuali Allah.[18]
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan bahwa ayat ini tidak menunjukkan dengan keistimewaan Musa ini, berarti merendahkan derajat dan keistimewaan nabi-nabi yang lain. Begitu juga ayat ini bukan merendahkan nabi yang mendapat risâlah tidak dengan jalan sekali turun seluruhnya (seperti yang didapatkan Nabi Musa AS).[19]

B. Tafsir Ayat tentang Akhlak yang Terpuji terhadap Allah
Dalam Alquran, juga disebutkan beberapa akhlak (budi pekerti) yang terpuji terhadap Allah. Salah satu yang paling utama adalah syukur. Masalah syukur ini disebut di dalam Alquran pada ayat:

"فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (البقرة 152)"
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kemu mengingkati (ni’mat)-Ku.[20]

Dalam menerangkan konsep syukur bagi ayat ini, Imam Ibn Katsîr menerangkan di dalam tafsirnya bahwa ayat {وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ} itu adalah sebuah perintah Allah untuk bersyukur kepada-Nya, dan syukur tersebut dilaksanakan dengan menambahkan kebaikan. Dari ini Allah berfirman {وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ}[21]. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sebuah hadis yang datang dari Abû Rajâ` al-‘Uthâridî yang menceritakan bahwa “‘Imrân keluar menemuiku, dan ‘Imrân membawa sepotong kain dari sutera (مطرف من خز) yang belum pernah aku melihat sebelum ini dan setelahnya, lalu ‘Imrân berkata: sesungguhnya Rasulallah SAW bersabda: Barangsiapa yang Allah memberi nikmat kepadanya dengan sebuah nikmat, maka Allah itu menyukai untuk diperlihatkan efek dari nikmat tersebut dari makhluk-Nya”.[22]
Menurut Imam al-Thabarî, ayat ini menyuruh orang-orang mukmin agar bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka, yaitu berupa Islam, atau hidayah berupa agama yang telah disyariatkan bagi nabi-nabi Allah serta kekasih-Nya.[23] Lalu Allah memerintahkan untuk tidak melakukan kekufuran (tidak bersyukur) terhadap kebaikan Allah kepada mereka (mukmin), niscaya Allah akan merampas nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Sebaliknya kalau mereka bersyukur, maka Allah akan menambah lalu menyempurnakan nikmat-Nya terhadap mereka, dan Allah akan memberi mereka hidayah seperti hidayah yang diberikan kepada hamba-Nya yang diridai-Nya. Selanjutnya, Imam al-Thabarî menjelaskan bahwa makna syukur di sini adalah memuji.[24]
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhailî, Allah memerintahkan untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada orang mukmin dengan cara hati, lisan, dan mengunakan segala anggota pada apa yang dijadikan Allah bagi anggota tersebut untuk melakukan kebaikan dan kemanfaatan. Orang mukmin dilarang mengkafiri nikmat ini dengan cara memalingkan penggunaan anggota tersebut menuju apa yang dilarang syariat. Akal sehat juga tidak dapat menerima kekufuran tersebut. Sesungguhnya kalau perbuatan itu bagus, maka baguslah balasannya, dan kalau perbuatan itu tercela, maka tercelalah balasannya. Ini seperti ayat: {وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ}.[25]
Tafsiran ayat ini menurut tafsir Jalâlain, al-Khâzin, dan al-Nawawî, bahwa menysukuri nikmat Allah itu adalah dengan cara melakukan ketaatan kepada Allah.[26] Sedangkan Imam Zamakhsyarî cuma menafsiri dengan bersyukur atas nikmat yang telah dikurniakan Allah kepada mukmin.[27]
Selain dari syukur, salah satu akhlak yang terpuji terhadap Allah adalah tawakal. Konsep ini terdapat dalam Alquran pada ayat:

"وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (الطلاق 3)"
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.[28]

Kata {بالغُ أمرِه} adalah bacaaan Imam Hafsh. Bagi bacaan imam selainnya adalah {بالغٌ أمرَه}.[29]
Ibn Mardawaih dan al-Khathîb meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, “Sesungguhnya ayat ini[30] turun pada seorang anak dari Auf bin Mâlik yang ditawan musuh, lalu dia dan istrinya memperbanyak membaca kalimat [لا حول ولا قوة إلا بالله]. Lalu musuh yang menawan anaknya lengah dalam menjaganya, sehingga anak itu berhasil melarikan diri dengan membawa kambing-kambing musuh dan diserahkannya kepada ayahnya. Lalu turnlah ayat ini”.[31]
Imam al-Khâzin menafsiri kata {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} dengan mengatakan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah pada apa yang diwakilkan kepadanya (dipinjamkan Allah kepadanya), maka Allah akan mencukupkan apa yang lebih penting bagi orang tersebut. al-Khâzin juga menambahkan dengan dukungan Hadis: Rasulullah SAW bersabda: “Adaikan kamu bertawakal (menyerah) kepada Allah dengan sungguh-sungguh niscaya Allah akan memberi rizqi kepadamu sebagaimana burung yang keluar pagi dengan perut kosong (lapar) dan kembali senja hari sudah kenyang”.[32]
Dalam kitab Tanwîr al-Miqbâs, lafaz {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} itu bermakna “barangsiapa yang percaya dengan Allah dalam masalah rezeki, maka Allah akan mencukupinya”.[33]
Dr. Wahbah al-Zuhailî menambah dari pendapat kitab Tanwîr al-Miqbâs dengan qayyid setelah orang tersebut melakukan usaha untuk mencari rezeki. Setelah wujudnya usaha ini barulah Allah akan mencukupkan apa yang paling penting bagi orang tersebut dalam semua hal. Ini dikarenakan Allah adalah Zat yang Maha mampu pada segala sesuatu (القادر على كل شيء), yang Maha kaya. Apabila datangnya rezeki dan selainnya itu dari perkara yang tidak akan ada kecuali dengan takdir Allah, maka seseorang tidak akan disebut sebagai orang yang memiliki akal kecuali apabila ia percaya kepada takdir Allah. Ini didasari dengan firman Allah {وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ}[34]. Hujah ini adalah sebagai dalil tentang wajibnya bertawakal kepada Allah dan memasrahkan segala perkara kepada-Nya.[35]
Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî menjelaskan makna dari tawakal adalah memberi/memasrahkan masalah-masalah kepada Allah. Selanjutnya, al-Shâwî menjelaskan bahwa melakukan beberapa sebab (usaha) agar tercapai apa yang diingini, itu tidak bertentangan dengan tawakal, karena sesungguhnnya melakukan sebab (uasaha) di sini adalah yang diperintah. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tidak muktamad bergantung pada sebab-sebab tadi.[36]

C. Tafsir Ayat tentang Akhlak yang Tercela Terhadap Allah
Selain dari akhlak yang terpuji terhadap Allah, terdapat juga akhlak yang tercela terhadap Allah. Dari sekian banyak akhlak yang tercela terhadap Allah, syirik adalah yang paling tercela. Syirik disebut di dalam Alquran pada ayat:

"إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (النساء 48)"
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.[37]

Kata {ويغفر} adalah bermakna menutup dosa (ستر الذنب). Sedangkan {المغفور له} adalah orang yang dimasukkan ke dalam syurga dengan tanpa dosa, dan orang mukmin yang diseksa sebab dosanya lalu dimasukkan ke syurga. Kata {افْتَرَى} berarti membuat (اختلق), mengerjakan (اعتمل), atau berbuat (ارتكب). Kata {إثما عظيما} adalah dosa besar (ذنب كبير).[38]
Sebab turunnya ayat ini dikeluarkan Ibn `Abî Hâtim dan al-Thabrânî yang diceritakan dari `Abî Ayûb al-`Anshârî, berkata: “Seorang lelaki datang menemui Nabi SAW lalu berkata: sesungguhnya aku memiliki anak saudara lelaki yang tidak berhenti melakukan dosa, lalu Nabi Muhammad SAW bertanya: Apa agamanya? Dia pun menjawab: Anak itu sholat dan mentauhidkan Allah. Nabi baerkata: mintalah dia memberikan agamanya, kalau dia menolak, maka belilah agamanya. Lalu orang tersebut melakukan perintah Nabi, dan ternyata anak itu menolak. Maka lelaki itu datang menemui Nabi Muhammad SAW dan mengkabari beliau, dan lelaki itu berkata: aku menemui kalau anak itu kikir/lokek akan agamanya. Maka turunlah ayat ini”.[39]
Imam Ibn Katsîr dalam menafsiri ayat ini dengan mengunakan banyak sekali hadis. Salah satu yang menarik adalah hadis kedua yaitu perkataan `Abû Bakar al-Bazzâr di dalam musnadnya: Ahmad menceritakan dari Zâidah al-Namrî dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Kezaliman itu ada tiga, (1) zalim yang tidak diampuni Allah, (2) zalim yang diampuni Allah, (3) zalim yang Allah tidak meninggalkan darinya sesuatu apapun (لا يترك الله منه شيئا). Zalim yang tidak diampuni Allah adalah syirik, dan Nabi Muhammad SAW bersabda ‘إن الشرك لظلم عظيم’. Zalim yang kedua adalah zalimnya hamba terhadap dirinya sendiri yang berhubungan dengan Allah. Zalim yang ketiga adalah zalimnya hamba terhadap sesama mereka sehingga terjadi hutang (material maupun non material) yang belum dilunasi di antara mereka”.[40]
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhailî, ayat ini mengkabarkan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, yaitu dosa pelaku kesyirikan. Yang diingini dengan syirik di sini adalah mutlak kekufuran yang terkandung di dalamnya kekufuran orang Yahudi dan lainnya. Allah juga akan mengampuni dosa selainnya bagi hamba yang diingini-Nya. Selanjutnya, Dr. Wahbah al-Zuhailî juga mengeluarkan sebuah `Atsâr yang diambil dari al-Turmudzî, bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Tidak ada di dalam al-Qur’an ayat yang lebih aku sukai daripada ayat ini, yaitu {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا}”.[41]
Imam al-Thabarî mengatakan bahwa Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadap-Nya dan kekufuran. Allah akan mengampuni orang-orang yang berbuat dosa selain syirik. Ayat ini juga mejelaskan bahwa setiap pelaku dosa besar, mungkin diampuni oleh Allah kalau Allah menghendakinya, atau meyiksanya selagi bukan dosa besar berupa syirik yang mana tidak akan diampuni.[42]
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan bahwa ayat ini memasukkan golongan Yahudi ke dalam golongan musyrik (orang yang melakukan syirik) menurut ‘urf syarak. Alasan ini didasari dari penalaran, kalau memang Yahudi bukan yang melakukan syirik (karena mereka memang masih percaya Tuhan itu satu), maka pastilah mereka diampuni dosa mereka sesuai dengan hukum ayat ini. Sedangkan secara ijmak, Yahudi itu bukanlah golongan yang diampuni. Maka atas dasar ini, Yahudi digolongkan di dalam golongan musyrik.[43]
Syaikh Nawawî al-Jâwî menjelaskan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang melakukan syirik adalah bagi orang yang tetap dengan sifat kekufuran tersebut dengan tanpa melakukan taubat dan iman. Allah akan mengampuni dosa besar maupun kecil yang selain syirik walaupun tanpa taubat. Sedangkan melakukan syirik lalu bertaubat, maka tetap akan diampuni kalau memang dikehendaki Allah. Pendapat ini juga dikeluarkan Imam Zamakhsyarî. Pendapat ini berdasarkan hadis kisah seorang hamba bernama Wahsyi masuk Islamnya tetap diterima walaupun dia juga yang melakukan pembunuhan terhadap paman Nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Hamzah.[44]
Selanjutnya, akhlak yang tercela terhadap Allah adalah al-nifâq atau orang tersebut digelar munafik (منافق). al-Nifâq digolongkan ke dalam akhlak yang tercela terhadap Allah adalah sesuai dengan ayat:

"إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا (النساء 142)"
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.[45]

Imam Ibn Katsîr dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa pada awal surah al-Baqarah, Allah SWT berfirman: {يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا}, lalu di sini firman-Nya {إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ}. Tidak diragukan lagi bahwa Allah SWT itu tidak dapat ditipu. Allah Maha mengetahui rahsia-rahsia dan apa yang tersimpan. Akan tetapi, orang munafik karena kebodohan mereka itu berkeyakinan bahwa masalah mereka itu seperti apa yang disangka manusia. Mereka melakukan hukum syariat secara lahir. Begitu juga hukuman mereka di hari kiamat menurut Allah. Pada hari kiamat nanti mereka akan bersumpah bahwasanya mereka itu istiqâmah dan benar. Mereka juga akan beriqtikad kalau perkara tersebut dapat memberi manfaat pada mereka, seperti firman Allah { يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيَحْلِفُونَ لَهُ كَمَا يَحْلِفُونَ لَكُمْ }. Akan tetapi, Allah SWT lebih tinggi dari mereka, dan Allah akan membuat mereka tidak mendapatkan yang hak dan sampai kepada Allah SWT di dunia dan akhirat. Ini seperti firman Allah SWT dalam Alquran 57:13-15.[46]
Dalam kitab Tanwîr al-Miqbâs, lafaz {المنافقين} itu dinisbatkan kepada Abdullah bin `Ubai dan sahabat-sahabatnya. Mereka menipu Allah secara diam-diam dan menyangka kalau berjaya menipu Allah. Padahal Allah akan menipu mereka pada hari kiamat nanti di sisi al-Shirâth.[47]
Dalam menyikapi tafsir ayat ini, Dr. Wahbah al-Zuhailî memberi kesimpulan dengan beberapa poin. Menurutnya, ayat ini menunjukkan:
1. al-Nifâq dan al-Riyâ` itu adalah dua perkara yang berlaku pada setiap umat dan zaman. al-Nifâq: merahsiakan kekufuran, dan memperlihatkan keislaman. al-Riyâ` memperlihatkan kebaikan, demi dilihat manusia, bukan karena mengikuti perintah Allah.
2. Orang munafik menipu Allah, sebenarnya Allah yang mempermainkan mereka.
3. Orang munafik melakukan hukum syarak di dunia secara lahir. Sedangkan di akhirat, orang mukmin dan munafik akan diberi cahaya. Maka orang munafik akan suka dan menyangka mereka itu beruntung. Akan tetapi pada waktu mereka sampai di al-Shirâth maka padamlah semua cahaya orang munafik.
4. Salah satu sifat orang munafik adalah solat dengan riyâ`. Mereka malas melakukan solat, dan tidak mengharapkan pahala, serta menganggap tidak akan diseksa kalau meninggalkannya. Dalam hadis sahih “إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ”.[48]

5.
BAB III
KESIMPULAN

1. Sifat al-Baqâ` Allah SWT berdasarkan pada ayat {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} ditafsiri dengan berbagai tafsiran, akan tetapi, ulama sepakat bahwa berdasarkan ayat ini Allah adalah Zat yang kekal, sedangkan sesuatu yang baru itu pasti rusak/hilang; sifat al-Mukhâlafah li al-Hawâdits berdasarkan pada ayat {وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ }, yaitu Allah tidak memiliki istri, maupun yang menyamainya; sifat al-Kalâm yang berdasarkan pada ayat {وكلم الله موسى تكليما} yaitu Allah memiliki sifat berfirman seperti firmannya Allah kepada Nabi Musa AS secara hakiki dengan tanpa huruf maupun suara, sedangkan firman Allah kepada nabi yang lain adalah melalui wahyu atau perantara malaikat Jibril AS.
2. Akhlak terpuji terhadap Allah adalah syukur dan tawakal, berdasarkan ayat {وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ} yaitu perintah untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada makhluknya; dan ayat {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} yaitu barangsiapa yang memasrahkan masalahnya kepada Allah dengan usaha Allah akan memenuhi keperluan yang paling penting baginya, walaupun usaha bukanlah satu-satunya jalan untuk berhasil.
3. Akhlak tercela terhadap Allah adalah syirik dan al-nifâq, berdasarkan ayat{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا}, yaitu Allah akan mengampuni segala dosa kecuali syirik yang sampai akhir hayatnya tanpa melakukan taubat; sedangkan ayat al-nifâq adalah {إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ}, yaitu orang munafik menipu Allah di dunia, akan tetapi nanti Allah yang akan mempermainkan mereka di akhirat kelak.
[1] Muhammad bin ‘Ali Bâ’athiyyah al-Da’aniyyi, Mûjaz al-Kalâm Syarh ‘Aqîdah al-‘Awâm (Surabaya: Dâr al-Saqâf, 2002), 52.
[2] al-Qur’an, 28:88.
[3] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Bulaq: al-Halabî, t.t.), vol.3, 403.
[4] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 10, 547.
[5] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 6, 53.
[6] Ibn Ya’qûb al-Fairûz`abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 245.
[7] al-Qur’an, 112:4.
[8] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 866.
[9] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 867.
[10] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 868.
[11] al-Qur’an, 6:101.
[12] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Bulaq: al-Halabî, t.t.), vol.4, 570.
[13] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 869.
[14] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 7, 583.
[15] al-Qur’an, 4:164.
[16] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 383.
[17] Dalam arti, Allah pada dasarnya memang berfirman. Hanya saja Nabi Musa AS belum bisa mendengarkan firman-Nya, karena masih terdapat hijâb.
[18] Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyyah al-‘Alâmah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain (Semarang: Maktabah Thaha, t.t.), vol. 1, 259.
[19] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 6, 109.
[20] al-Qur’an, 2:152.
[21] al-Qur’an, 14:7.
[22] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol.1, 292.
[23] Ini dikarenakan berhubungan dengan ayat sebelumnya, yaitu “كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آَيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُون”.
[24] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 1, 434.
[25] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 1, 396.
[26] al-Jalâlain, Tafsîr al-Jalâlain bi Hâmisy Hâsyiyyah al-‘Alâmah al-Shâwî (Semarang: Maktabah Thaha, t.t.), vol. 1, 69; al-Khâzin, Tafsîr al-Khâzin (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 95; Muhammad Nawawî al-Jâwî, Marâh labîd-Tafsîr al-Nawawî (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 40.
[27] Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 323.
[28] al-Qur’an, 65:3.
[29] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 14, 647.
[30] Lebih lengkap ayat ini adalah { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا}.
[31] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 14, 650.
[32] al-Khâzin, Tafsîr al-Khâzin (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 4, 280.
[33] Ibn Ya’qûb al-Fairûz`abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 358.
[34] al-Qur’an, 8:13.
[35] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 110.
[36] Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyyah al-‘Alâmah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain (Semarang: Maktabah Thaha, t.t.), vol. 4, 215.
[37] al-Qur’an, 4:48.
[38] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 110.
[39] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 110.
[40] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol. 1, 770.
[41] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 111.
[42] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 1, 770.
[43] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 6, 123.
[44] Muhammad Nawawî al-Jâwî, Marâh labîd-Tafsîr al-Nawawî (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 153; Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 532.
[45] al-Qur’an, 4:142.
[46] “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu. Dikatakan (kepada mereka): Kembalilah kamu kebelakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu). Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa * Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mu’min) seraya berkata: Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu? Mereka menjawab: Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu * Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali”.
[47] Ibn Ya’qûb al-Fairûz`abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 67.
[48] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 344.

PENGERTIAN, UNSUR, CIRI, SIFAT, FUNGSI, DAN TUJUAN HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah sebuah perkara yang selalu diucapkan oleh setiap golongan yang memiliki latar belakang yang berlainan; seperti ulama misalnya berkata “hukum solat adalah wajib”, atau seorang guru yang berkata pada muridnya “barangsiapa yang datang lambat akan dihukum berdiri selama satu jam”. Tidak luput dari ucapan seorang filosof yang berkata “hukum alam sudah menentukan hal tersebut”.
Akan tetapi, dari sekian orang yang mendengar kata-kata tersebut, sangat jarang yang mengerti apakah hukum itu sebenarnya, serta berbagai sosok yang berhubungan dengannya.
Agar dapat memahami apakah hukum itu, setiap perkara yang berkaitan dengan hukum itu haruslah diteliti, seperti unsur, ciri-ciri, sifat, fungsi, dan yang paling penting adalah tujuan dari wujudnya hukum tersebut.
Dengan mengetahui perkara-perkara ini, hukum dapat dimaknai dengan makna yang sebenarnya sehingga tidak akan menyisakan keraguan akan keberadaannya dari segi kenapa manusia perlu hukum.

B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Pengertian dari hukum.
2. Unsur-unsur, ciri-ciri, serta sifat dari hukum.
3. Fungsi dan Tujuan bagi hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum
Kata hukum secara etimologis biasa diterjemahkan dengan kata ‘law’ (Inggris), ‘recht’ (Belanda), ‘loi atau droit’ (Francis), ‘ius’ (Latin), ‘derecto’ (Spanyol), ‘dirrito’ (Italia).[1] Dalam bahasa Indonesia, kata hukum diambil dari bahasa Arab[2] yaitu “حكم – يحكم – حكما”, yang berarti “قضى و فصل بالأمر” (memutuskan sebuah perkara).[3]
Pada umumnya, pengertian hukum dapat diartikan sangat beragam sebagai berikut:[4]
1. Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa; perangkat peraturan yang ditetapkan penguasa seperti UUD dan lain-lain.
2. Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim; putusan-putusan yang dikeluarkan hakim dalam menghukum sebuah perkara yang dikenal dengan jurisprudence (yurisprodensi).
3. Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum; hukum diartikan sebagai sosok seorang petugas hukum seperti polisi yang sedang bertugas. Pandagan ini sering dijumpai di dalam masyarakat tradisionil.
4. Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku; sebuah perilaku yang tetap sehingga dianggap sebagai hukum. Seperti perkataan: “setiap orang yang kos, hukumnya harus membayar uang kos”. Sering terdengar dalam pembicaraan masyarakat dan bagi mereka itu adalah aturannya/hukumnya.
5. Hukum diartikan sebagai sistem norma/kaidah; kaidah/norma adalah aturan yang hidup ditengah masyarakat. Kaidah/norma ini dapat berupa norma kesopanan, kesusilaan, agama dan hukum (yang tertulis) uang berlakunya mengikat kepada seluruh anggota masyarakat dan mendapat sanksi bagi pelanggar.
6. Hukum diartikan sebagai tata hukum; berbeda dengan penjelasan angka 1, dalam konteks ini hukum diartikan sebagai peraturan yang saat ini sedang berlaku (hukum positif) dan mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut kepentingan individu (hukum privat) maupun kepentingan dengan negara (hukum publik). Peraturan privat dan publik ini terjelma di berbagai aturan hukum dengan tingkatan, batas kewenangan dan kekuatan mengikat yang berbeda satu sama lain. Hukum sebagai tata hukum, keberadaannya digunakan untuk mengatur tata tertib masyarakat dan berbentuk hierarkis.
7. Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung nilai tentang baik-buruk, salah-benar, adil-tidak adil dan lain-lain, yang berlaku secara umum.
8. Hukum diartikan sebagai ilmu; hukum yang diartikan sebagai pengetahuan yang akan dijelaskan secara sistematis, metodis, objektif, dan universal. Keempat perkara tersebut adalah syarat ilmu pengetahuan.
9. Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum); sebagai sistem ajaran, hukum akan dikaji dari dimensi dassollen dan das-sein. Sebagai das-sollen, hukum menguraikan tentang hukum yang dicita-citakan. Kajian ini akan melahirkan hukum yang seharusnya dijalankan. Sedangkan sisi das-sein mrupakan wujud pelaksanaan hukum pada masyarakat. Antara das-sollen dan das-sein harus sewarna. Antara teori dan praktik harus sejalan. Jika das-sein menyimpang dari das-sollen, maka akan terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum.
10. Hukum diartikan sebagai gejala sosial; hukum merupakan suatu gejala yang berada di masyarakat. Sebagai gejala sosial, hukum bertuuan untuk mengusahakan adanya keseimbangan dari berbagai macam kepentingan seseorang dalam masyarakat, sehingga akan meminimalisasi terjadinya konflik. Proses interaksi anggota masyarakat untuk mencukupi kepentingan hidupnya, perlu dijaga oleh aturan-aturan hukum agar hubungan kerjasama positif antar anggota masyarakat dapat berjalan aman dan tertib.[5]
Hukum secara terminologis pula masih sangat sulit untuk diberikan secara tepat dan dapat memuaskan. Ini dikarenakan hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu di dalam suatu definisi.[6] Kenyataan ini juga adalah apa yang diungkapkan Dr. W.L.G. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”.[7]
Sebagai gambaran, Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, memberi contoh-contoh tentang definisi Hukum yang berbeda-beda sebagai berikut:

1. Aristoteles: “Particular law is that which each community lays down and applies to its own members. Universal law is the law of nature” (Hukum tertentu adalah sebuah hukum yang setiap komunitas meletakkan ia sebagai dasar dan mengaplikasikannya kepada anggotanya sendiri. Hukum universal adalah hukum alam).
2. Grotius: “Law is a rule of moral action obliging to that which is right” (Hukum adalah sebuah aturan tindakan moral yang akan membawa kepada apa yang benar).
3. Hobbes: “Where as law, properly is the word of him, that by right had command over others” (Pada dasarnya hukum adalah sebuah kata seseorang, yang dengan haknya, telah memerintah pada yang lain).
4. Phillip S. James: “Law is body of rule for the guidance of human conduct which are imposed upon, and enforced among the members of a given state” (Hukum adalah tubuh bagi aturan agar menjadi petunjuk bagi kelakuan manusia yang mana dipaksakan padanya, dan dipaksakan terhadap ahli dari sebuah negara).
5. Immanuel Kant: “Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan”.[8]

Akan tetapi, walaupun tidak mungkin diadakan suatu definisi yang lengkap tentang apakah hukum itu, namun Drs. E. Utrecht, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, telah mencoba membuat sebuah batasan, yang maksudnya sebagai pegangan bagi orang yang sedang mempelajari ilmu hukum. Batasan tersebut adalah “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”.[9]
Selain dari Utrecht, sarjana hukum lainnya juga telah berusaha merumuskan tentang apakah hukum itu:
1. Prof. Mr. EM. Meyers: “Hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya”.
2. Leon Duquit: “Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”.
3. SM. Amin, SH.: “Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terjamin”.
4. MH. Tirtaatmidjaja, SH.: “Hukum adalah seluruh aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahagiakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaan dan didenda”.
5. Wasis Sp.: “Hukum adalah perangkat peraturan baik yang bentuknya tertulis atau tidak tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang, mempunyai sifat memaksa dan atau mengatur, mengandung sanksi bagi pelanggarnya, ditujukan pada tingkah laku manusia dengan maksud agar kehidupan individu dan masyarakat terjamin keamanan dan ketertibannya”.[10]

B. Unsur, Ciri-Ciri dan Sifat Hukum
Setelah melihat definisi-definisi hukum tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3. Peraturan itu bersifat memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.[11]
Selanjutnya, agar hukum itu dapat dikenal dengan baik, haruslah mengetahui ciri-ciri hukum. Menurut C.S.T. Kansil, S.H., ciri-ciri hukum adalah sebagai berikut:
a. Terdapat perintah dan/atau larangan.
b. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.[12]
Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata-tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang dinamakan dengan ‘Kaedah Hukum’.[13]
Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar suatu ‘Kaedah Hukum’ akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran ‘Kaedah Hukum’) yang berupa ‘hukuman’.[14]
Pada dasarnya, hukuman atau pidana itu berbagai jenis bentuknya. Akan tetapi, sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:
a. Pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. Pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Sedangkan sifat bagi hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak semua orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum itu.[15]

C. Fungsi dan Tujuan Hukum
Keterangan yang telah dikemukakan memiliki sebuah kesimpulan yaitu hukum selalu melekat pada manusia bermasyarakat. Dengan berbagai peran hukum, maka hukum memiliki fungsi: “menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul”. Lebih rincinya, fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat dapat terdiri dari:
1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukum memiliki sifata dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
3. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
4. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.
5. Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.
6. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.[16]
Dari sekian penegertian, unsur, ciri-ciri, sifat, dan fungsi hukum, maka tujuan dari perwujudan hukum itu haruslah ada. Sesuai dengan banyaknya pendapat tentang pengertian hukum, maka tujuan hukum juga terjadi perbedaan pendapat antara satu ahli dengan ahli yang lain. Berikut ini beberapa pendapat ahli hukum tentang tujuan hukum:
1. Prof. Lj. Van Apeldorn: Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Demi mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat Apeldorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori tujuan hukum, teori etis dan utilitis.
2. Aristoteles: Tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.
3. Prof. Soebekti: Tujuan hukum adalah melayani kehendak negara yakni mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Dalam melayani tujuan negara, hukum akan memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.
4. Geny (Teori Ethic): Menurut Geny dengan teori etisnya, bahwa tujuan hukum adalah untuk keadilan semata-mata. Tujuan hukum ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai etis. Adil atau tidak, benar atau tidak, berada pada sisi batin seseorang, menjadi tumpuan dari teori ini. Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap batin orang menjadi ukuran untuk menentukan warna keadilan dan kebenaran.[17]
5. Jeremy Bentham (Teori Utility): Menurut Bentham dengan teori utilitasnya, bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Maka teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah sebanyak-sebanyaknya.
6. J.H.P. Bellefroid: Bellefroid menggabungkan dua pandangan ekstrem tersebut. Menurut Bellefroid, isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas keadilan dan faedah.
7. Prof. J Van Kan: Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingannya tidak dapat diganggu. Dengan tujuan ini, akan dicegah terjadinya perilaku main hakim sendiri terhadap orang lain, karena tindakan itu dicegah oleh hukum.[18]

BAB III
KESIMPULAN

1. Pengertian hukum itu sangat banyak karena terdapat banyak sisi pandang terhadap hukum, akan tetapi, sebuah definisi bagi hukum yang dapat menjadi pedoman adalah “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”
2. Unsur-unsur hukum adalah peraturan tingkah laku manusia yang diadakan oleh badan resmi, bersifat memaksa, terdapat sanksi tegas bagi pelanggarnya; dan ciri-cirinya adalah terdapat perintah dan/atau larangan serta harus dipatuhi setiap orang; sedangkan sifatnya adalah mengatur dan memaksa.Fungsi hukum adalah sebagai alat pengatur tata tertib, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, sebagai sarana penggerak pembangunan, sebagai penentuan alokasi wewenang, sebagai alat penyelesaian sengketa, berfungsi memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah; dengan tujuan mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil, dapat melayani kehendak negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat, demi keadilan dan/atau berfaedah bagi rakyat yang mana dapat menjaga kepentingan rakyat.
[1] Wasis SP., Pengantar Ilmu Hukum (Malang: UMM Pres, 2002) 11.
[2] Ibid.
[3] Al-Munjid (Beirut: Dâr al-Masyriq, 2000), 146.
[4] SP., Pengantar Ilmu Hukum, 11.
[5] SP., Pengantar Ilmu Hukum, 11.
[6] L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), 1.
[7] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 36.
[8] Ibid., 35.
[9] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, 37.
[10] SP., Pengantar Ilmu Hukum, 20.
[11] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, 39.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, 40.
[16] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 53; SP., Pengantar Ilmu Hukum, 24.
[17] Prof. Van Apeldorn mengkritik teori ini dengan mengatakan bahwa ia terlalu melebih-lebihkan unsur keadilan etis, tanpa mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya. Tidak mungkin dalam peraturan umum akan ditetapkan keadilan etis yang ada pada tiap-tiap orang. Jika keadilan etis ini menjadi pedoman dalam menentukan suatu perkara, maka tidak diperlukan lagi peraturan umum (UU dan lainnya). Padahal, untuk menjaga ketertiban di masyarakat, mutlak diperlukan peraturan umum.
[18] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, 40; SP., Pengantar Ilmu Hukum, 21; Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, 56.

MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH (Tujuan/maksud dari Syariat)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia diciptakan Allah SWT dengan memiliki hawa nafsu. Hawa nafsu ini sering membuat manusia melakukan sesuatu tanpa ada batas. Agar manusia dapat mengawal hawa nafsunya, maka Allah SWT juga mentakdirkan manusia dengan ketetapan hukum (خطاب الشرع).
Ketetapan hukum ini bermacam-macam, seperti contoh; Allah SWT memerintahkan manusia untuk melakukan ibadah, agar dapat mengawal nafsunya; seperti puasa. Di satu sisi yang lain, Allah SWT melarang berpuasa wishâl, karena puasa wishâl ini akan membuat manusia merasa kesulitan yang tidak wajarnya (المشقة غير المعتادة). Ini disebabkan manusia memang ditakdirkan memiliki nafsu yang memerlukan makan, sehingga kalau tidak makan akan menyebabkan manusia tersebut merusak dirinya (mati).
Dengan gambaran ini, setiap hukum yang ditetapkan terhadap manusia pasti memiliki tujuan-tujuan tertentu yang biasa disebut dengan “مقاصد الشريعة”. Dengan tujuan-tujuan ini, manusia dapat mempertimbangkan setiap kondisi dan situasi dalam memilih sebuah pilihan (ijtihad) akan suatu masalah yang dihadapinya.

B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Maksud, dasar serta syarat-syarat maqâshid al-syarî’ah dalam Islam.
2. Jenis-jenis maqâshid al-syarî’ah dilihat secara keseluruhan.
3. Tertib maqâshid al-syarî’ah dan hukum yang berkaitan dengannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Dasar, dan Syarat Maqâshid al-Syarî’ah
Maqâshid al-syarî’ah, yang mana terjemahannya adalah “tujuan-tujuan syari’at” itu adalah beberapa tujuan dan sasaran yang diperhatikan bagi syara’ di dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar darinya; atau, maqâshid al-syarî’ah adalah titik akhir dari syari’at, dan rahsia-rahsia yang mana Syâri’ meletakkannya pada setiap hukum-hukum syari’at. Mengetahui maqâshid al-syarî’ah adalah sebuah perkara yang pasti bagi seluruh manusia selamanya. Juga pasti bagi mujtahid pada waktu melakukan penggalian hukum dan memahami nash-nash syari’at. Juga pasti bagi selain mujtahid supaya mengerti rahsia-rahsia penetapan syara’at.[1]
Menurut ulama, tujuan umum dari syari’at adalah menetapkan kemaslahatan manusia sama ada sekarang atau nanti, menjamin perkara-perkara yang pasti diperlukan manusia, dan mencukupi keperluan serta hal-hal yang dianggap baik bagi mereka. Kadangkala, kemaslahatan tersebut dengan cara menarik kemanfaatan, atau kadangkala dengan menolak bahaya dan kerusakan yang mungkin terjadi pada mereka.[2]
Ulama menetapkan konsep ini berdasarkan dalil dari ayat Alquran sebagai berikut:[3]
1. Surah al-Anbiyâ’, ayat 165: “رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ”.
2. Surah al-Anbiyâ’, ayat 107: “وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ”.
3. Surah Yûnus, ayat 57: “يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ”.
Posisi konsep maqâshid al-syarî’ah di dalam ruang lingkup syari’at itu dapat menjadi sebuah batasan (حد) apabila ditemukan 3 perkara dalam setiap hukum. Sebuah sifat yang jelas, yang dapat dibatasi (المنضبط) itu adalah seperti jual-beli, ghasab, dan zina. Sifat yang jelas tersebut disebut dangan ‘illat al-qiyâs yang mana tidak ada perbedaan pendapat sama sekali di dalam penetapan syari’atnya. Apa yang pada kenyataannya menjadi penyebab kepada kemanfaatan atau kebahayaan, dan perkara tersebut berhubungan dengan hukum syar’i, itu disebut dengan mashâlih atau mafâsid. Sifat yang jelas tersebut juga disebut dengan hikmat al-tasyrî’, yaitu sebuah perkara yang membentuk ‘illat al-qiyâs. Maka ‘illat al-qiyâs itu menjadi tempat perkiraan dalam menetapkan hikmat al-tasyrî’, seperti mudah, meringankan, berat, dan kesukaran. Dengan ini, apa yang menjadi penyebab dalam penetapan syari’at nanti, dari segi menarik kepada kemanfaatan, atau menolak kerusakan, itu disebut dengan maqshad al-tasyrî’.[4] Ketetapan ini adalah sebuah perkara yang wajib bagi setiap hukum-hukum syara’. Tidak ada satupun dari hukum itu wujud kecuali ditetapkan karena bertujuan untuk menjaga maslahat, menolak kerusakan, atau membersihkan alam ini dari kejelekan dan dosa, dari segala apa yang menunjukkan bahwasanya syari’at itu mengarah untuk menetapkan tujuan umum ini. Ketahuilah bahwa ini bertujuan untuk membahgiakan individu dan masyarakat serta menjaga kemaslahatan manusia.[5]
Syarat dapat dianggapnya sebuah perkara itu menjadi bagian dari tujuan sebuah syari’at itu adalah apabila ia memiliki 4 krateria:[6]
1. Tetap (ثبوت): Adanya maksud dari tujuan yang dianggap itu haruslah dapat dipastikan dengan pengukuhannya, atau dianggap dengan sebuah anggapan yang mendekati pasti.
2. Zahir (ظهور): Tujuan yang dianggap itu haruslah jelas, sekira tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ahli Fiqh terhadap makna dari tujuan tersebut. Seperti contoh hfidz al-nasb itu bagian dari tujuan syari’at di dalam penetapan pernikahan. Ini adalah makna yang jelas, perempuan itu hanya dapat ditentukan anaknya apabila ia memiliki pasangan yang tertentu.
3. Dapat dibatasi (الإنضباط): Adanya maksud dari tujuan yang dicapai tersebut itu haruslah memiliki kadar atau batas yang tidak diragukan lagi. Seperti contoh hifdz al-‘aql. Di dalamnya, terdapat pentapan haramnya minum khamr, dan disyari’atnya sebuah batasan di dalamnya yaitu karena memabukkan; yaitu hilangnya akal.
4. Terlaku (الإطراد): Adanya maksud dari tujuan yang dicapai tersebut itu tidak berbeda dari berbagai zaman dan tempat. Seperti contoh sifat Islam, sifat mampu bagi konteks memberi nafakah di dalam syaratnya sifat kufu` di dalam nikah menurut madzhab Maliki.
Apabila maksud yang dicapai tersebut itu dapat dibuktikan memiliki 4 syarat ini, maka dapatlah secara yakin menganggap bahwa ia bagian dari tujuan-tujuan syari’at (مقاصد الشريعة).[7]

B. Jenis-Jenis Maqâshid al-Syarî’ah
Berbicara mengenai konsep ini, bahwa maksud umum dari Syâri’ dalam menetapkan syari’at itu adalah untuk mengukuhkan kemaslahatan manusia di dalam kehidupan ini, mendatangkan kemanfaatan bagi mereka, dan membuang kemudaratan dari mereka.[8]
Maka dari itu, Imam Abu Ishaq al-Syâthibî berpendapat bahwa kemaslahatan itu terbagi menjadi tiga tingkatan:[9]
1. Dlarûriyyât (الضروريات): Sebuah kemaslahatan yang mana kehidupan manusia dari segi agamawi dan duniawi sangat bergantung kepadanya secara primer. Sekira kemaslahatan ini tidak wujud, maka hilanglah kehidupan di dunia dan semakin semaraklah kerusakan, serta semakin sempitlah kenikmatan abadi dan akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Dalam hal ini, terdapat 5 perkara yang disyari’atkan Islam untuk menjaganya dalam bentuk hukum meliputi dua perkara yaitu mewujudkannya dan melestarikannya:[10]
a. Agama: Kumpulan akidah, ibadah dan muamalah yang disyari’atkan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannnya, dan perhubungan antara sesamanya. Allah SWT mensyari’atkan untuk mewujudkan, mengukuhkan, dan mendirikannya dengan cara mewajibkan melakukan lima rukun Islam yaitu Syahadah, mendirikan sholat, membayar zakat, puasa bulan Ramadhan dan melakukan haji bagi orang yang mampu. Allah juga mewajibkan mengajak kepada agama dengan hikmah dan nasihat yang baik. Allah juga mensyari’atkan untuk menjaga agama, maka dari itu wujudlah konsep jihad demi melawan siapa saja yang berusaha membatalkan Islam. Begitu juga konsekwensi murtad, penyesatan, dan lain-lain.
b. Diri Manusia (nyawa): Islam mensyari’atkan agar mewujudkan dan melestarikan ras manusia dengan jalan pernikahan dan melanjutkan keturunan. Agar dapat menjaga dan menjamin kehidupan manusia, Islam mewajibkan secara pasti untuk makan, minum, pakaian dan lain-lain.
c. Akal: Akal adalah sebuah nikmat yang agung. Allah memberinya agar membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya, karena itu Allah mensyari’atkan untuk menjaganya dan menganjurkan untuk memanfaatkan akal untuk mendapatkan ilmu. Agar dapat menjaganya, Allah melarang segala sesuatu yang dapat merusak atau melemahkan akal. Maka dari itu, sebuah hukuman akan didapatkan bagi yang memakan sesuatu yang dapat menghilangkan akal.
d. Nasab: Karena itu syari’at tetap melestarikan pernikahan dan menganjurkannya. Agar dapat menjaganya, Islam mengharamkan zina dan menegakkan hukuman bagi pelakunya. Ini adalah karena menyegah dari bercampurnya nasab dan menjaga kemuliaannya manusia.
e. Harta: Harta adalah sebuah lantaran agar dapat bertahan hidup. Maka dari itu syari’at mewajibkan agar menghasilkan harta, dan berusaha untuk mendapatkan harta. Syari’at juga memperbolehkan melakukan muamalah di antara manusia dengan cara jual-beli, sewa, dan lain-lain untuk mengatur cara memanfaatkan harta. Agar dapat menjaganya, maka diharamkan dan dihukumnya mencuri. Diharamkannya menipu dan mengkhianat. Begitu juga lainnya agar dapat mencegah dari tercelanya pentasaruffan dan bahaya terhadap diri dan lainnya.
2. Hâjiyât (حاجيات): Sebuah kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk memudahkan mereka, dan menghilangkan kesulitan dari mereka. Apabila kemaslahatan ini tidak ada, maka tidaklah sampai merusak kehidupan manusia seperti halnya kemaslahatan yang dlarûriyyât. Akan tetapi, mereka akan mengalami kesulitan yang akan berdampak pada kemaslahatan yang dlarûriyyât. Maka dari itu, semua jenis penetapan syari’at Islam itu memberi ruang untuk menghilangkan kesulitan karena meringankan manusia dan memudahkan kehidupan mereka. Seperti contoh, di dalam Ibadah, disyari’atkannya sebuah rukhshah seperti jamak-qashar sholat. Diperkenannya tidak berpuasa di bulan Ramadhan bagi orang musafir, dan orang sakit.
3. Tahsînât (التحسينات): Kemaslahatan yang termasuk adab sopan santun, dan hal-hal yang perlu untuk menjalankan suatu metode. Apabila tidak ada, maka tidak akan merusak kehidupan manusia seperti halnya kemaslahatan yang dlarûriyyât. Manusia juga tidak akan mendapatkan kesulitan seperti halnya hâjiyât. Akan tetapi, kehidupan manusia akan tidak disukai menurut penilaian akal dan fitrah (naluri) yang baik. Kemaslahatan seperti ini wujud di dalam ibadah, muamalah, adat dan akibat. Seperti contoh di dalam ibadah, disyari’atkannya bersuci, menutup aurat dan lain-lain.
C. Tertib Maqâshid al-Syarî’ah
Kemaslahatan yang dlarûriyyât itu adalah pokok dari semua syari’at. Ia ada pokok dari kemaslahatan yang hâjiyât dan tahsînât. Barangsiapa yang meniadakan dlarûriyyât maka ia meniadakan selain dari dlarûriyyât secara wajib; karena sesungguhnya dlarûriyyât itu seperti halnya fardhu, sedangkan hâjiyât itu seperti sunat, dan tahsînât itu adalah perkara yang penting selain sunat. Barangsiapa yang meniadakan hâjiyât dan tahsînât, maka ia seperti halnya meniadakan dlarûriyyât, maka dari itu, menjaga hâjiyât dan tahsînât itu adalah bagian dari menjaga dlarûriyyât.[11]
Berdasarkan ini hukum syari’at yang disyari’atkan demi menjaga dlarûriyyât itu adalah lebih pentingnya hukum dan yang paling berhak untuk dijaga. Selanjutnya adalah hukum hâjiyât, karena hâjiyât itu adalah untuk menyempurnakan dlarûriyyât. Barulah hukum tahsînât, karena ia seperti menyempurnakan hukum hâjiyât. Asal haruslah didahulukan daripada penyempurna (perlu diketahui, perkara yang akan merusak asal itu tidaklah dapat disebut sebagai penyempurna). Penyempurna dlarûriyyât itu didahulukan daripada hukum hâjiyât dan tahsînât. Dari sini, dapat diurutkan; tidak boleh menjaga hukum tahsînât apabila ia akan merusak hukum hâjiyât atau dlarûriyyât. Maka, sebagai contoh; diperbolehkan membuka aurat pada saat darurat atau ada hajat seperti operasi untuk penyembuhan, karena menjaga diri manusia adalah perkara yang dlarûriyyât. Maka apa yang membawa kepada dlarûriyyât itu juga disebut dlarûriyyât. Menutup aurat itu bagian dari tahsînât, maka ia tidak berlaku pada saat darurat atau ada hajat. Begitu juga diperbolehkan makan bangkai pada saat darurat, karena menjaga diri itu adalah bagian dari dlarûriyyât, sedangkan menjaga dari kekotoran di dalam makanan atau mencegah dari memakan bangkai itu hanya tahsînât.[12]
Tidak diperbolehkan juga menjaga hukum hâjiyât pada saat ia akan merusak hukum dlarûriyyât, karena menghilangkan kesulitan itu adalah hâjiyât, sedangkan melakukan kewajiban itu adalah dlarûriyyât. Seperti halnya sholat, ia adalah dlarûriyyât walaupun terdapat kesukaran; Maka dari itu, tidak sah mengugurkan kewajiban sholat pada saat tidak mampu menghadap kiblat.[13]
Adapun hukum yang dlarûriyyât, maka ia wajib dipelihara. Tidak boleh menghilangkan sesuatu hukum, kecuali apabila pemeliharaannya itu menjurus kepada merusak dengan sesuatu yang lebih penting daripadanya. Berdasarkan ini, jihad itu wajib, walaupun akan merusak nyawa, karena menjaga agama itu lebih penting daripada menjaga nyawa. Diperbolehkan minum khamr pada saat terpaksa demi menjaga nyawa, karena menjaga nyawa itu lebih penting daripada menjaga akal. Semua ini adalah hukum yang dlarûriyyât yang mana paling tinggilah harus didahulukan yaitu: 1. Hifdz al-dîn 2. Hifdz al-nafs 3. Hifdz al-‘akl 4. Hifdz al-nasb 5. Hifdz al-mâl.[14]
Berdasarkan konsep ini, maka diciptakannya prinsip-prinsip syari’ah yang tertentu yaitu: 1. Menolak kerusakan (دفع الضرر) 2. Menghilangkan kesulitan (رفع الحرج).[15]
Dalam prinsip yang pertama (دفع الضرر), maka di dalam ini terkenal dengan sebuah kaedah “لا ضرر ولا ضرار”. Kaedah ini adalah berdasarkan nash hadits Nabi Muhammad SAW, dan ia adalah bagian dari rukun-rukun syari’ah. Dikarenakan kaedah ini sangat luas, maka ulama membaginya kepada beberapa kaedah yang lain.[16] Berikut ini adalah kaedah-kaedah yang berada dibawahnya:[17]
1. “الضرر يدفع بقدر الإمكان”: Wajib menolak kerusakan sebelum ia terjadi dengan segala cara yang memungkinkan. Contohnya: Diwajibkan melakukan jihad sebelum dianiaya musuh; disyari’atkannya konsep syuf’ah karena menolak kemungkinan kerusakan diantara dua orang yang berkongsi.
2. “الضرر يزال”: Wajib menghilangkan kerusakan setelah terjadi. Contohnya: Disyari’atkannya konsep khiyâr bagi akad yang memiliki kerusakan seperti khiyâr terhadap barang yang memiliki aib; Begitu juga diwajibkan berubat bagi yang sakit.
3. “الضرر لا يزال بمثله”: Tidak diperbolehkan menghilangkan sebuah kerusakan dengan mendatangkan kerusakan yang sesamanya. Contohnya: Tidak boleh merusak harta orang lain demi menjaga hartanya; Tidak boleh membunuh orang lain demi menyelamatkan dirinya ketika kelaparan di hutan misalnya.
4. “الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف”: Kerusakan yang lebih berat boleh dihilangkan dengan mendatangkan kerusakan yang lebih ringan. Kaedah ini juga terkenal dengan dua kaedah yang sama: “يختار أهون الشرين” dan “يتركب أخف الضررين لاتقاء أشدهما”. Contohnya: Diperbolehkan untuk diam daripada melakukan perinkaran ketika kalau tetap melakukan pengingkaran akan menyebabkan bahaya yang lebih agung. Diperbolehkan melakukan otopsi terhadap jasad wanita yang mati tatkala bertujuan mengeluarkan janin yang diharapkan masih hidup.
5. “يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام”: Memikul kemudaratan yang khusu demi menolak kemudaratan yang umum. Contohnya: Diperbolehkan menahan dokter bodoh, mufti gila, karena menolak dari terjadi bahaya yang berdampak pada masyarakat, walaupun terpaksa membahayakan mereka.
6. “درء المفاسد أولى من جلب المنافع”: Menolak kerusakan itu lebih utama daripada menarik kemanfaatan. Contohnya: Diharamkan menjual semua jenis khamr walaupun dapat memberi keuntungan ekonomi.
7. “الضرورات تبيح المحظورات”: Dalam keadaan gawat darurat, diperbolehkan melakukan perkara yang diharamkan. Contohnya: Tidak akan mendapatkan dosa bagi orang yang kelaparan untuk memakan bangkai atau barang yang diharamkan demi berlangsung hidup.
8. “الضرورات تقدر بقدرها”: Keadaan darurat itu ditentukan dengan kadarnya. Contohnya: Tidak diperbolehkan bagi orang yang kelaparan itu makan barang yang haram kecuali yang diperlukan baginya untuk hidup.
9. “الإضطرار لا يبطل حق الغير”: Keterpaksaan itu tidak boleh membatalkan hak orang lain. Contohnya: Brangsiapa yang terpaksa memakan makanan orang lain, karena menolak dari mati, maka ia berkewajiban menganti makanan tersebut.
Bagi prinsip yang kedua (رفع الحرج), maka ulama menciptakan tiga kaedah global bagi prinsip ini. Berikut ini kaedahnya:[18]
1. “المشقة تجلب التيسير”: Kesulitan yang berlebihan yang bukan biasanya itu akan mendapatkan keringanan. Contohnya: Seluruh rukhshah yang disyari’atkan Allah karena ada salah satu sebab yang dikehendaki oleh keringanan ini.[19] Sebab-sebab tersebut adalah:
a. Perjalanan (السفر): Ini adalah penyebab diperbolehkannya berbuka puasa pada siang hari pada bulan Ramadhan; Qashar sholat; Gugurnya kewajiban sholat Jum’at; dan lain-lain.
b. Sakit (المرض): Ini adalah penyebab diperbolehkannya berbuka puasa pada siang hari pada bulan Ramadhan; tayammum; Sholat duduk; dan lain-lain.
c. Terpaksa (الإكراه): Ini adalah penyebab dihapuskannya dosa orang yang dipaksa untuk menyebutkan kata-kata yang menyebabkan kufur; dan lain-lain.
d. Lupa (النسيان): Ini adalah penyebab dihapuskannya dosa orang-orang yang terjerumus ke dalam maksiat karena lupa; Tidak batalnya puasa orang yang makan pada siang hari Ramadhan; dan lain-lain.
e. Bodoh (الجهل): Ini adalah penyebab diperbolehkannya memulangkan barang yang dibeli karena terdapat cacat bagi orang yang tidak tahu kecacatannya; dan lain-lain.
f. Umumnya Percobaan (عموم البلوى): Ini adalah penyebab dimaafkannya percikan najis lumpur di jalan-jalan, karena tidak mungkin untuk dihindari.
g. Sifat Kurang (النقص): Hilangnya hukum taklîf dari orang yang hilang sifat kecakapannya, seperti anak kecil dan orang gila. Hukum yang hilang itu seperti kewajiban sholat Jum’at, jama’ah, jihad, dan lain-lain.
2. “الحرج مرفوع شرعا”: Kesulitan itu dihilangkan secara syari’at. Contohnya: Cukup hanya dengan persangkaan (الظن), ketika hilang pedoman untuk menentukan arah kiblat sholat.
3. “الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة”: Hajat itu dapat menduduki tingkatan keterpaksaan sama ada ia umum atau khusus. Contohnya: Keringanan dengan diperbolehkannya melakukan akad al-salm, al-istishnâ’, bai’ al-wafâ’, dan lain-lain.

BAB III
KESIMPULAN

1. Maqâshid al-syarî’ah adalah konsep untuk mengetahui inti dari tujuan Allah mensyari’atkannya sebuah hukum, dengan syarat ia haruslah tetap, jelas, dapat dibatasi dan terlaku.
2. Maqâshid al-syarî’ah itu terbagi menjadi 3: 1. Dlarûriyyât, 2. Hâjiyât, 3. Tahsînât.Dlarûriyyât haruslah didahulukan, barulah hâjiyât dan selanjutnya Tahsînât, begitu juga dengan pecahan di dalamnya yaitu 1. Hifdz al-dîn 2. Hifdz al-nafs 3. Hifdz al-‘akl 4. Hifdz al-nasb 5. Hifdz al-mâl.
[1] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 2, 1045.
[2] Ibid.; Abd al-Wahhâb Khalâf, ‘Ilm `Usûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Qalm, 1978) 197.
[3] Ibid., Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 2, 1045; Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (t.t.: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.t.), 364.
[4] Kesimpulannya: Setiap hukum itu pasti ada ‘illat al-qiyâs, yang mana latar belakang wujudnya ‘illat al-qiyâs itu disebabkan terdapat hikmat al-tasyrî’. Lalu dengan ‘illat al-qiyâs tersebut maka akan terbentuk suatu hukum karena untuk mencari manfaat misalnya. Maka mencari manfaat tersebut itu, disebut dengan maqshad al-tasyrî’. Seperti contoh: Jual-beli itu hukumnya mubâh di dalam Islam, karena Jual-beli itu diperlukan manusia, agar supaya dapat berlangsung hidup. Maka kata “Jual-beli itu diperlukan manusia” itu adalah ‘illat al-qiyâs. Kata “agar supaya dapat berlangsung hidup” itu adalah hikmat al-tasyrî’. Kata “berlangsung hidup” itu adalah maqshad al-tasyrî’.
[5] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), 218.
[6] Muhammad al-Thâhir bin ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah (Oman: Dâr al-Nafâ`is, 2001), 252; Ibid., Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 2, 1047.
[7] Ibid.
[8] Ibid., ‘Ilm `Usûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Qalm, 1978) 198.
[9] Ibid., Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 2, 1048; al-Syâtibî, al-Muwâfaqât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2004), 221
[10] Ibid., ‘Ilm `Usûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Qalm, 1978) 200; Ibid., al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), 218.
[11] al-Syâtibî, al-Muwâfaqât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2004), 226; Ibid., al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), 218.
[12] Ibid., 225; Ibid., ‘Ilm `Usûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Qalm, 1978) 206.
[13] Ibid., al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), 225
[14] Ibid.; Ibid., ‘Ilm `Usûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Qalm, 1978) 206.
[15] Ibid., al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), 226
[16] Ibid.
[17] Ibid., 227.
[18] Ibid., 229; Ibid., ‘Ilm `Usûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Qalm, 1978) 206.
[19] Di dalam kaedah ini, dibatasi dengan kaedah lain yaitu “إذا ضاق الأمر اتسع وإذا اتسع ضاق”. Maka apabila sebuah perkara itu sempit, maka ia menjadi luas, dan apabila ia luas, maka ia akan menjadi sapi.