Saturday, June 9, 2007

Cinta dalam Prespektif Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cinta adalah sebuah kata yang sering terdengar pada saat manusia itu berada dalam usia muda. Pemahaman cinta biasanya diartikan sebagai sebuah perkara yang meletakkan kesetiaan dan ketundukan oleh sesuatu pada sesuatu yang lain.
Tasawwuf sebagai disiplin ilmu hati juga tidak melupakan objek cinta ini. Hanya saja, pemahamannya sedikit berbeda dengan makna cinta yang biasa disebut-sebut kaum muda.
Melihat cinta adalah sebuah perkara yang abstrak, maka dalam memahami perkara ini pasti tidak bisa ditentukan dengan objektif dan absolut. Perbedaan pendapat dari kalangan ahli tasawuf, atau bisa disebut dengan mutasawwif pasti tidak bisa dihindari. Ini dikarenakan, ilmu tasawwuf itu bukan sebuah ilmu teori pada dasarnya. Ia adalah sebuah ilmu yang hanya dapat diidentifikasi secara jelas dengan melalui pengamalan atau empiris.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan bahwa pembahasan 'Cinta dalam Prespektif Tasawwuf' dapat dipisahkan menjadi beberapa masalah:
1. Definisi Cinta dari Segi Bahasa dan Istilah
2. Hukum Cinta dalam Islam
3. Tanda-Tanda Mencintai Allah
4. Jenis-Jenis Orang yang Mencintai Allah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Cinta dari Segi Bahasa dan Istilah
Melihat realitas cinta, sebenarnya sulit untuk didefinisikan secara tepat. Ini disebabkan cinta adalah sebuah perkara yang abstrak. Sebuah perkara yang abstrak itu sulit untuk diartikan kecuali melalui jalan empiris. Sedangkan empiris sendiri, itu adalah sebuah pengalaman yang pastinya antara satu orang dengan orang yang lain itu berbeda. Dengan dasar inilah, terjadi banyak perbedaan antara cinta seseorang dengan seseorang yang lain.
Bentuk perkataan cinta dalam bahasa Arab adalah al-hubb (الحب). Ia berasal dari fi'il mâdli "حَبَّ". Sedangkan fi'il mudlâri'nya adalah "يَحِبُّ". Masdarnya adalah "حُبّ" atau "مَحَبَّة".[1]
Definisi cinta (المحبة) secara bahasa, sesuai dengan perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama adalah sebagai berikut:[2]
1. Kata al-hubb (الحب) itu adalah sebuah nama bagi kemurnian cinta kasih (المودة). Karena, sesungguhnya orang Arab mengatakan tentang gigi yang paling putih dengan habab al-asnân (حبب الأسنان).
2. Kata al-hubb (الحب) berawal dari kata al-hubâb (الحباب), yaitu gelembung-gelembung yang terbentuk di atas air pada saat hujan yang deras. Maka, cinta (المحبة) itu adalah menggelembungnya hati ketika ia haus dan berputus asa untuk segera bertemu dengan yang ia cintai.
3. Kata al-hubb (الحب) yang berarti cinta itu muncul dari kata "حَباب الماء" yang berarti "air bah besar". Alasannya adalah karena cinta (المحبة) itu adalah perkara yang paling agung yang terdapat di dalam hati dari sekian perkara yang penting/perduli bagi seseorang itu.
4. Kata al-hubb (الحب) itu tercetak/bersumber dari makna keteguhan (اللزوم) dan kemantapan (الثبات). Seperti contoh "أحب البعير" yang bermakna seekor unta yang berlutut dan tidak mau berdiri. Maka ia disimpulakan seperti halnya orang yang mencintai (المحب) itu tidak akan menggerakkan hatinya jauh dari mengingat orang yang dia cintai (المحبوب).
5. Kata al-hubb (الحب) itu diambil dari al-habb "الحَبّ" yang berarti anting-anting. Ini berdasar kan sebuah syair (من بحر الوافر):

مَكَانَ الْحُبِّ يَسْتَمِعُ السِّرَارَا
!
تَبِيْتُ الْحَيَّةُ النَّضْنَاضُ مِنْهُ
Artinya: Ular menjulur-julurkan lidahnya, menghabiskan malam di sisi anting-anting, mendengarkan rahasia-rahasia.

Alasannya: Dalam syair di atas, digunakan kata al-habb untuk anting-anting, dikarenakan posisinya yang tetap di telinga, atau karena goyangnya. Kedua makna tersebut itu yang relevan pada kata cinta.
6. Kata al-hubb (الحب) diambil dari al-habb yang merupakan bentuk plural (جمع) dari kata "حَبَّة" yang berarti biji-bijian. Sedangkan habbat al-qalb itu adalah sesuatu perkara yang menjadi tempat berdirinya hati. Dengan demikian cinta dinamakan hubb dengan mengunakan nama tempatnya.[3]
7. Kata al-hubb (الحب) diambil dari al-hibbat (الحبة). Al-Hibbat adalah biji-bijian dari padang pasir. Alasan disebut al-hubb adalah lubuk kehidupan (لباب الحياة), seperti halnya al-hubb sebagai benih tumbuh-tumbuhan (لباب النبات).
8. Kata al-hubb (الحب) adalah berasal dari keempat sisi tempat air. Alasannya dalah ia menanggung segala sesuatu dari yang dicintai (المحبوب) sama ada keluhuran maupun kehinaan.
9. Kata al-hubb (الحب) berasal dari kata al-habb (الحَب), yaitu biji-bijian yang di dalamnya terdapat air. Alasannya pada saat tempat tersebut penuh, maka tidak ada lagi tempat bagi lainnya. Begitu juga apabila hati itu penuh dengan cinta, maka tidak ada lagi tempat bagi selain yang dicintai (المحبوب).
Kesimpulannya, kata cinta itu muncul dengan latar belakang sebagai sebuah perkara yang sangat terikat pada perkara yang dicintainya dan melupakan pada lainnya, sama ada diambil dari sebuah qiyasan air, biji-bijian maupun lainnya.
Definisi cinta secara istilah atau makna juga terdapat beberapa pendapat. Menurut al-Syaikh Muhammad Amîn al-Kurdî,[4] cinta adalah kecondongannya hati pada sesuatu karena adanya sesuatu itu enak (لذيذ) menurut orang yang mencintai.[5]
Menurut Abu Yazîd al-Busthâmî,[6] "cinta adalah meminimalisir sesuatu yang banyak dari dirimu, dan memperbanyak sesuatu yang sedikit dari kekasihmu".[7] Sahl bin Abd Allah pula berkata: "Cinta" adalah memeluk ketaatan dan menjauhi perbedaan.
Menurut ahli sufi yang lain pula, cinta adalah:[8]
1. Kecondongan yang bersifat selamanya dengan hati yang bimbang.
2. Mengutamakan kekasih di atas semua yang dikasihi.
3. Kesesuaian diri dengan kekasih pada perkara yang dapat dilihat maupun perkara yang ghaib.
4. Peleburan orang yang mencintai pada sifat-sifatnya dan penetapan orang yang dicintai dengan dzat-Nya.
5. Relevansi hati dengan kehendak Tuhan.
6. Ketakutan bila berlaku kurang hormat beserta menegakkan khidmat.
Imam al-Junaid[9] pernah ditanya masalah cinta, lalu beliau menjawab: "Cinta adalah masuknya sifat orang yang dicintai (المحبوب) sebagai gantian dari sifat-sifat orang yang mencintai". Dari kata ini, Imam al-Junaid menunjukan bahwa tingginya mengingat orang yang dicintai sehingga tidak ada apapun di dalam hati orang yang mencintai kecuali mengingat sifat-sifat orang yang dicintai dan melupakan semua sifat-sifat dirinya (المحب) serta lupa akan rasa sifatnya.[10]
Sesuatu yang perlu untuk diperhatikan adalah cinta apabila dikaitkan dengan Allah haruslah berbeda dengan makhluk. Adapun cintanya Allah SWT kepada hambanya itu adalah keinginannya untuk memberi kenikmatan yang khusus padanya. Seperti halnya pemberian rahmat oleh Allah kepada hambanya adalah bentuk keinginan-Nya memberi kenikmatan. Maka, rahmat itu lebih khusus daripada keinginan (الإرادة). Sedangkan cinta itu lebih khusus daripada rahmat. Jadi keinginan Allah untuk memberikan hamba-Nya sebuah pahala (الثواب) dan kenikmatan disebut sebagai rahmat. Kalau keinginan Allah untuk mengkhususkan kepada hamba-Nya suatu kedekatan dan keadaan yang tinggi itu disebut sebagai cinta. Sifat keinginan Allah (إرادة الله) itu adalah sifat tersendiri. Lalu, dengan melihat perbedaan hubungan sifat keinginan Allah tersebut, maka berbedalah nama-nama sifat tersebut. Apabila sifat tersebut berhubungan dengan hukuman (العقوبة) maka ia disebut ghadab. Apabila berhubungan dengan umumnya kenikmatan, maka ia disebut rahmat. Apabila ia berhubungan dengan kekhususan nikmat, maka ia disebut cinta.[11]
Sebagian kaum berkata bahwa cinta Allah kepada hamab-Nya itu adalah pujian-Nya terhadap hamba-Nya dangan sifat jamîl. Maka makna cintanya Allah kepada hamba-Nya itu kembali pada kalamnya Allah, sedangkan kalam-Nya itu sifatnya qadîm.[12]
Sekelompok ulama salaf berkata, Cinta-Nya merupakan sifat-sifat yang mulia (الخيرية). Mereka memutlakkan lafadz dan menghindar penafsiran. Selain dari itu, termasuk hal-hal yang rasional (المعقول) dalam sifat-sifat cinta makhluk, seperti kecondongan hati pada sesuatu atau menyenangi sesuatu, seperti juga situasi kemesraan antara pecinta dan yang dicintainya antar sesama makhluk; maka Allah SWT yang qadîm jauh dari semua itu.
Sedangkan cintanya hamba kepada Allah, itu adalah keadaan yang dapat ditemukan di dalam hatinya yang terlalu lembut untuk diibaratkan. Keadaan ini mendorong hamba untuk menta'zimi Allah, memilih ridhanya, sedikit kesabaran dari berpisah dengan-Nya, bergerak kepada-Nya, tidak menemukan kenyamanan dalam sesuatu pun selain-Nya, dan mengalami keceriaan hati dengan selalu mengingati Allah.[13]
Menurut Imam al-Ghazâlî, cinta adalah kecondongan jiwa pada sesuatu karena keberadaannya sebagai sesuatu yang enak/lazat. Sedangkan kebalikannya adalah benci (البغض), yaitu ketidaksukaan jiwa karena keberadaannya sebagai sesuatu yang tidak cocok baginya. Setiap perkara yang bertambah kelazatannya maka bertambahlah kecintaannya. Kelazatan mata berada pada penglihatan, kelazatan pendengaran berada pada mendengarkan, kelazatan bau berada pada bau-bau yang enak. Begitu juga semua perkara yang memiliki panca indra yang merasakan lazat sesuatu perkara maka ia akan mencintainya. Di sini, Imam al-Ghazâlî mengemukakan sebuah hadits Rasulullah:

} قال عليه الصلاة والسلام حُبِّبَ إلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ ثَلاَثٌ : الطِّيْبُ وَالنِّسَاءُ وَقُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ {
Yang berarti: Ada 3 perkara di dunia kamu yang membuat aku cinta: 1) Bau wangi, 2) Wanita, 3) Sejuknya hatiku ketika sholat.

Berdasarkan hadits ini, Imam al-Ghazâlî menerangkan bahwa selain dari rasa panca indra, terdapat sesuatu yang dicintai dan lezat, karena sholat bukanlah sesuatu yang dapat melezatkan panca indra. Maka di sini penglihatan hatilah yang lebih kuat daripada penglihatan zhâhir. Hati lebih tajam pandangannya daripada mata. Keindahan makna-makna yang dikenali dengan akal lebih besar dan lebih sempurna daripada keindahan gambar-gambar dzahir. Sudah pasti, kelezatan hati diperoleh dari perkara-perkara Ilahi yang mulia yang lebih agung daripada yang diperoleh indra yang sempurna. Kelezatan ini tidak dipungkiri kecuali oleh orang yang diliputi keterbatasan dalam tingkatan binatang yang mana panca indra hanya sebatas itu, tidak lebih.[14]
B. Hukum Cinta dalam Islam
Yang dimaksud kata hukum cinta di sini adalah hukum mencintai Allah dan Rasul-Nya. Para umat Islam sudah sepakat bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya itu adalah fardu ain bagi setiap orang. Ini berdasarkan pada ayat dan hadits Nabi Muhammad SAW:[15]

} وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ { [16]
Yang berarti: Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.
} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ { [17]
Yang berarti: Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemeberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
} قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ { [18]
Yang berarti: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".
} وقال صلى الله عليه وسلم "لايؤمن أحدكم حتى يكون الله ورسوله أحب إليه من أهله وماله والناس أجمعين" { [19]
Yang berarti: Tidaklah sempurna imannya salah satu dari kamu sehingga adanya Allah dan Rasul-Nya, itu lebih dicintai oleh orang tersebut daripada keluarganya, hartanya dan sekalian manusia.

Dari sekian dalil yang telah disebutkan, dapat diambil kesimpulan, bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah fardu ain (wajib) bagi semua muslim.
Menurut Abdullah bin 'Alawî al-Haddâd, mencintai Rasulullah, seluruh Nabi yang lain, para Malaikat, hamba-hamba yang sholih, dan orang yang menolong pada mentaati Allah, itu semua termasuk mencintai Allah. [20] Ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW:

} حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ الْأَشْعَثِ قَالَ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُلَيْمَانَ النَّوْفَلِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحِبُّوا اللَّهَ لِمَا يَغْذُوكُمْ مِنْ نِعَمِهِ وَأَحِبُّونِي بِحُبِّ اللَّهِ وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي بِحُبِّي { [21]
Yang berarti: Diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Cintailah kamu semua kepada Allah karena apa yang telah Allah kenyangkan pada kamu semua dari beberapa kenikmatan-Nya, dan cintailah Aku (Muhammad) sebab kecintaan Allah, dan cintailah keluargaku disebabkan kecintaan ku."

C. Sebab dan Tanda Mencintai Allah
Menurut al-Ghazali, sebab mendekatkan diri agar mencintai Allah itu ada 2:
Kekosongan hati selain Allah. Ini karena apabila sebuah tempat itu kosong dari sesuatu, maka ia akan menjadi luas bagi lainnya. Memutuskan segala hubungan itu adalah sebab kepada pengosongan dan penyendirian.
Penyempurnaan Ma'rifat.
Bagi yang pertama dapat diibaratkan seperti membersihkan tanah dari duri dan rumput. Sedangkan yang kedua adalah meletakkan benih pada tanah agar tumbuh lalu lahirlah dari benih tersebut sebuah pohon ma'rifat. Ma'rifat di sini adalah kalimat al-Thoiyibah.[22]
Tanda-tanda cinta Allah itu adalah terpotongnya gairah duniawi dan ukhrawi. Imam Yahya bin Mu'adz berkata: Sabarnya orang yang mencintai itu lebih kuat daripada sabarnya orang yang zuhud. Dari sini, Imam Amin al-Kurdi memberi kesimpulan bahwa sangat tidak mungkin seseorang mengaku mencintai Allah akan tetapi tidak menjauhi perkara-perkara yang haram. Menurutnya, barangsiapa mengaku bahwa ia cinta akan tetapi tidak menjauhi beberapa kegairahan, maka ia adalah penipu. Barangsiapa yang mengaku mencintai syurga dengan tanpa memberi infaq, maka ia adalah penipu.[23]
Seorang wali wanita terkenal, Rabi'ah al-'Adawiyah mengumandangkan sebuah syair (من بحر الكامل):

هَذَا لَعُمْرِيْ فِي اْلقِياسِ بَدِيْعُ
إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحَبُّ مُطِيْعُ
!
تَعْصِى اْلإلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ
Maknanya: Engkau durhaka kepada tuhan, sedangkan engkau menampakkan cinta kepada-Nya. Yang demikian ini adalah suatu qiyasan yang indah. Andaikan cintamu benar, niscaya engkau taat kepada-Nya, karena orang yang cinta selalu taat kepada orang yang dicintai.[24]

Disebutkan bahwa, dzahirnya cinta itu adalah ridhanya orang yang dicintai. Adapun batinnya cinta itu adalah memberikan hati kepada orang dicintai dengan sekira hati itu tidak sisa untuk lainnya.[25]
D. Jenis Orang yang Mencintai Allah
Jenis orang yang mencintai Allah itu terbagi menjadi tiga golongan: 1) golongan awam, 2) golongan khusus, 3) golongan khususnya kekhususan (خواص الخوائص).
Golongan awam itu kecintaan mereka terhadap Allah adalah karena banyaknya kebaikan dari Allah.
Golongan khusus itu kecintaan mereka terhadap Allah adalah karena bersih dari kekotoran.
Golongan khususnya kekhususan itu kecintaan mereka terhadap Allah adalah ibarat dari sangat cintanya yang dengan cinta tersebut, orang yang cinta akan merasa hilang ketika nampak cahaya zat yang dicintainya.
Bila orang yang dicintai tau kesungguhan orang yang mencintai maka hilanglah hijab diantaranya. Maka yang dicintai akan memperlihatkan rahsia-rahsia-Nya dan membukakan kepadanya ilmu-ilmu yang lembut dan rahasia yang tinggi. [26]
Ada sebuah riwayat, Nabi Ibrahim AS pernah berkata kepada Malaikat Maut pada saat ia datang untuk mencabut nyawanya. "Apakah engkau tidak melihat seorang kekasih yang mematikan kekasihnya?" Lalu Allah mewahyukan kepada Malaikat Maut, "Apakah kamu tidak melihat orang yang mencintai itu benci untuk bertemu dengan kekasihnya?" Maka Nabi Ibrahim AS berkata: "Wahai Malaikat Maut, sekarang cabutlah ruhku".[27]
BAB III
KESIMPULAN
Cinta adalah sebuah perasaan yang terdapat bagi orang-orang yang sudah mengenal Allah dan hanya melatakkan hatinya hanya pada Allah. Tingkatan cinta adalah termasuk tingkatan yang tinggi. Hukum mencintai Allah, Rasulullah, adalah sebuah perkara yang fardhu ain bagi setiap muslimin. Untuk mencapai derajat ini, seseorang itu haruslah mematuhi peraturannya dahulu, karena orang yang mencintai hanya akan turut pada apa yang ia cintai.
Tanda-tanda cinta itu adalah apabila seseorang memotong kegairahan duniawi dan ukhrawi. Yang dimaksud dengan duniawi adalah kecintaan pada perkara-perkara yang akan rusak. Sedangkan ukhrawi adalah suka melakukan ibadah hanya karena harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah, bukanlah karena merasa Allah sebagai zat yang dicintainya.Jenis-jenis orang yang mencintai Allah itu dapat dibagi menjadi tiga bagian. 1) orang awam 2) orang yang khusus 3) orang yang lebih khusus. Alangkah indahnya seseorang yang dapat merasakan betapa cintanya dia pada Allah SWT. Dengan kecintaan ini akan timbulah sebuah perasaan rindu untuk bertemu dengan Allah.
[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabya: Pustaka Progressif, 2002), 229.
[2] Abd al-Karîm al-Qusyairî, al-Risâlat al-Qusyairîyyah. (t.t.: Dâr al-Khâir, t.h.), 320; Ahmad Musthofa, Jâmi' al-Ushûl fi al-Aûliyâ'. (Sangkapura: al-Haramaîn, t.t.), 289.
[3] Menurut konsep ini adalah sama seperti majaz yang mengunakan konsep naqli (pindahan dari makna asal kepada makna lain karena terdapat kesamaan). Contohnya adalah lafadz 'الغائط' yang dimaknai sebagai kotoran yang keluar dari manusia. Akan tetapi, kata 'الغائط' di sini bukanlah makna hakiki, akan tetapi majaz. Makna hakikinya adalah tanah yang dikeduk untuk membuang air besar. Akan tetapi, orang arab memakai 'الغائط' sebagai makna kotoran yang keluar dari manusia (tahi) sebagai majaz naqli. Lihat: Muhammad bin 'Alawî al-Mâlikî, Syarh Mandzumah al-Waraqât (Mekkah: Dâr al-Qiblah, 1411 H), 20; al-Amudî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, 2005), vol. 1, 27.
[4] al-Syaikh Muhammad Amîn al-Kurdî adalah seorang ahli sufi yang tinggal di Cairo, Mesir. Beliau adalah seorang mursyid thoriqat al-Naqshabandiyyah al-'Aliyyah; sebuah thoriqat naqshabandi yang paling besar di dunia dan yang paling sulit untuk diamalkan menurut sebagian ahli thoriqat. Beliau wafat tahun 1372 H. Lihat: Muhammad Amîn al-Kurdî, Tanwîr al-Qulûb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), 5.
[5] Muhammad Amîn al-Kurdî, Tanwîr al-Qulûb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), 423.
[6] Nama lengkap beliau adalah Abu Yazîd Thaifûr bin 'Isa bin Adam bin Sarûsyân al-Busthâmî (w. 261 H). Beliau adalah seorang yang zuhud terkenal, banyak kabar tentang beliau. Imam Ibn Arabî menamakan beliau dengan sebutan Aba Yazîd al-Akbar. Menisbatkan beliau pada Bustam (sebuah negara di antara Khurasan dan Iraq) karena beliau berasal dan wafar di sana. Menurut seorang dari golongan orientalis, beliau menganut fahaman wahdah al-Wujûd, juga dipercaya sebagai orang yang pertama mendirikan madzhab Nirvana (الفناء). Lihat: Khair al-Dîn al-Ziriklî, al-A'lâm (Beirut: Dâr al-'Ilm al-Malâyîn, 2002), vol. 3, 235.
[7] Abd al-Karîm al-Qusyairî, al-Risâlat al-Qusyairîyyah (t.t.: Dâr al-Khâir, t.h.), 321.
[8] Ibid.
[9] Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qâsim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Baghdâdî (w. 297 H). Beliau adalah seorang ahli sufi dan alim yang lahir, besar dan wafat di Baghdad. Imam Ibn Katsîr menyifatinya dengan Imam dunia di zamannya. Para ulama memberi pangkat pada beliau sebagai syaikh madzhab tasawwuf karena konsep madzhab beliau yang sesuai dengan kaidah-kaidah al-Qur'an dan al-Sunnah dan beliau juga turut melawan akidah-akidah yang sesat. Salah satu kalam beliau yang termasyhur adalah "Jalanku itu ditentukan oleh al-Qur'an dan al-Sunnah, barangsiapa yang tidak menghafal al-Qur'an, dan tidak menulis hadits serta tidak ahli janganlah mengikutinya. Karangan beliau banyak sekali, salah satunya adalah al-Rasâil dan Dawâ' al-Arwâh". Lihat: Khair al-Dîn al-Ziriklî, al-A'lâm (Beirut: Dâr al-'Ilm al-Malâyîn, 2002), vol. 2, 141.
[10] Abd al-Karîm al-Qusyairî, al-Risâlat al-Qusyairîyyah (t.t.: Dâr al-Khâir, t.h.), 321.
[11] Ibid., 318.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Al-Ghazâlî, al-Mursyid al-Amîn (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2004), 212.
[15] Muhammad Amîn al-Kurdî, Tanwîr al-Qulûb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), 423; al-Ghazâlî, Ihyâ' Ulûm al-Dîn (Surabaya: Maktabah Nabhân, t.t.), 286.
[16] Al-Qur'an, 2:165.
[17] Ibid., 5:54
[18] Ibid., 3:31
[19] Muhammad Amîn al-Kurdî, Tanwîr al-Qulûb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), 423; al-Ghazâlî, Ihyâ' Ulûm al-Dîn (Surabaya: Maktabah Nabhân, t.t.), 287.
[20] Abdullah bin 'Alawî bin Muhammad al-Haddâd, Risâlah al-Mu'âwanah (Cairo: al-Bulaq, t.t.), 37.
[21] Menurut Abu 'Isâ, hadits ini adalah Hasan Gharîb. Lihat Sunan al-Turmidzi no. 3722.
[22] Al-Ghazâlî, al-Mursyid al-Amîn (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2004), 213.
[23] Muhammad Amîn al-Kurdî, Tanwîr al-Qulûb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), 423.
[24] Ibid.
[25] Ibid., 424.
[26] Ibid.
[27] Ibid., 425; al-Ghazâlî, Ihyâ' Ulûm al-Dîn (Surabaya: Maktabah Nabhân, t.t.), 287.