Tuesday, December 18, 2007

Poligini Adalah Sunnah Nabi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Poligini (Poligami) adalah praktek pernikahan yang terdapat polemik. Hanya saja, zaman dahulu perdebatan hanya terjadi seputar jumlah perempuan yang boleh dipoligini. Akan tetapi, sekarang banyak perdebatan yang terjadi tentang legalitas poligini. Golongan yang melakukan perdebatan tentang legalitas poligini ini tentunya banyak dari kalangan perempuan, akan tetapi ada juga dari kalangan lelaki yang memperjuangkan larangan poligini. Kebanyakan mereka merupakan golongan feminis atau liberalis.
Alasan yang melatar belakangi tindakan mereka adalah karena mustahil untuk bersikap adil terhadap istri-istri suami yang melakukan poligini, sesuatu perkara yang hanya penuh dengan nafsu belaka, sebuah perkara yang tidak memiliki faedah sama sekali dan banyak lagi alasan-alasan yang mencerminkan poligini sebagai sebuah perkara yang keji.
Di satu sisi, eksistensi poligini memang didasari kekutan Alquran dan sunah Nabi Muhamamd SAW. Sejarah yang mutawatir memang membenarkan bahwa Rasulullah SAW sendiri melakukan poligini. Dari latar belakang inilah muncul golongan yang mengatakan bahwa poligini adalah sunah Nabi Muhammad SAW.
Demi mengklarifikasi anggapan sebuah permasalahan, haruslah dilakukan penelitian yang mendalam pada perkara tersebut. Bukan hanya ditinjau dari aspek sosial dan pengetahuan umum, akan tetapi dari aspek teologis-normatif yang bersifat kepustakaan juga perlu untuk diperhatikan, sebab dalam penelitian teologis-normatif dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sedangkan sebuah penelitian yang menyeluruh dapat memberi hasil yang objektif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah eksistensi poligini di dalam tinajuan teologis normatif Islam yang berkaitan dengan kesunahan Nabi?
2. Bagaimanakah relevansi poligini kalau ditinjau dari aspek sosial sesuai dengan zaman sakarang?
3. Bagaimanakah relevansi poligini kalau ditinjau dari aspek psikologis sesuai dengan zaman sakarang?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligini
Di Indonesia, pernikahan yang dilakukan laki-laki dengan lebih dari satu istri, biasa disebut dengan kata poligami. Akan tetapi, makna yang dimaksud di dalam sebuah pembicaraan sebenarnya kurang sesuai dengan arti kata tersebut. Kata poligami berasal dari bahasa Yunani polygamy. Poly atau polus mempunyai arti banyak, sedangkan gamien atau gamos mempunyai arti perkawinan. Maka pengertian secara harfiah adalah perkawinan yang lebih dari satu orang. Poligami adalah sebuah kata yang memiliki makna yang luas. Di dalam poligami terdapat poliandri (polyandry) yaitu perkawinan seorang perempuan dengan laki-laki yang lebih dari satu, sedangkan poligini (polygyny) yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang lebih dari satu.[1]
Di dalam bahasa Arab, etimologi poligini adalah ta'addud al-zaujât. Kata ta'addud mempunyai arti berbilangan, sedangkan al-zaujât berarti istri dalam bentuk plural (jamak). Sesuai dengan definisi yang telah diterangkan, maka penggunaan poligini lebih sesuai dibandingkan poligami, karena melihat konteks pembahasan yang hanya berhubungan dengan perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang lebih dari satu. Seumpama memakai kata poligami, maka dikhawatirkan terdapat asumsi yang salah yaitu pembahasan poliandri serta poligini, sedangkan inti pembahasan hanyalah seputar poligini, bukan poliandri, karena poliandri jelas menyalahi hukum Islam.[2]

B. Makna Sunah Nabi
Sebelum menetapkan apakah poligini itu merupakan sunah Nabi, perlulah diketahui lebih dalam makna sunah (al-sunnah). Definisi al-sunnah secara bahasa adalah “Jalan yang menjadi kebiasaan (tradisi). Maka sunah seseorang adalah apa yang menjadi kebiasaan (tradisi) seseorang sama ada baik atau buruk.” Pengertian seperti ini dapat dilihat dari sabda Nabi Muhammad SAW:

“من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة ومن سن سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة” [3]

“Barang siapa yang berkebiasaan dengan kebiasaan yang bagus, maka baginya pahala kebiasaan tersebut dan pahala orang yang mengamalkan kebiasaan tersebut sampai hari kiamat. Barang siapa yang berkebiasaan dengan kebiasaan yang jelek, maka baginya dosa kebiasaan jelek itu dan dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat”.

Dalam terminologi syariat, al-sunnah memiliki beberapa pengertian. Oleh ulama-ulama Islam, kosakata ini direduksi dari pengertiannya sebagaimana dalam Alquran dan bahasa Arab, dan dipergunakan dalam pengertian yang lebih khusus. Yakni jalan yang menjadi kebiasaan dalam melaksanakan ajaran agama, atau dengan kata lain suatu gambaran amal perbuatan yang sesuai dengan teladan Nabi dan para shahabatnya, atau dengan tuntunan Alquran, sebagaimana petunjuk dan maksud yang terkandung di dalamnya.[4] Dengan pengertian inilah, secara terminologis kata al-sunnah dipergunakan pada permulaan Islam, sebagaimana hadis Nabi :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ (رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجه وابن حبان والحاكم)
Artinya: Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa’ al-Rasyidin (para pengganti Rasul yang mendapatkan petunjuk) sepeninggalku. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Ibn Hibbân dan Al-Hâkim).
Antonim (lawan kata) dari al-sunnah dalam pengertian di atas adalah bid’ah yang diartikan sebagai perilaku "baru" yang tidak sesuai perintah Nabi.[5] Dalam sebuah hadis disebutkan :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
Artinya: "Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kita, (yakni agama Islam), dengan sesuatu yang bukan merupakan bagian darinya, maka ia tertolak". (HR. Muslim).
Kemudian setelah melewati kurun waktu pertama, al-sunnah mengalami perkembangan istilah yang bervariasi, sejalan dengan perkembangan disiplin ilmu keislaman. Ada beberapa pengertian al-sunnah dipandang dari berbagai sudut disiplin ilmu tersebut, di antaranya pengertian dari sudut pandang ilmu fiqh, hadis, dan usul fiqh.
Menurut ulama' fiqh, al-sunnah berarti suatu perbuatan yang dianjurkan tanpa ada keharusan, artinya, barang siapa yang mengerjakan maka akan mendapatkan pahala dan bila tidak dikerjakan maka tidak mendapatkan dosa. Dengan kata lain, al-sunnah adalah antonim dari wajib.[6] Sedangkan menurut ahli hadis, al-sunnah adalah segala sesuatu yang tercermin dari diri Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat-sifat lahir maupun batin dan universalitasnya, serta setiap hal yang dinisbatkan pada Rasul, baik sebelum atau sesudah diutus, baik yang telah ditetapkan dalam hukum syara’ maupun belum. Adapun al-sunnah menurut ulama usul fiqh adalah segala sesuatu yang muncul dari Nabi Muhammad SAW selain Alquran yang mencakup perkataan, perbuatan dan ketetapan atau persetujuan (taqrir) yang dapat digunakan sebagai landasan hukum syariat.[7]
Letak perbedaan pengertian sunnah secara terminologi antara ahli usul dan ahli fiqh adalah bahwa sunnah menurut ahli usul merupakan nama dari salah satu dalil atau sumber hukum, sedangkan sunnah menurut ahli fiqh merupakan salah satu hukum syara' untuk menunjukkan status hukum suatu perbuatan dengan dalil tersebut. Dari pengertian sunnah yang bervariasi ini, sunnah menurut ulama usul fiqhlah yang menjadi fokus pembahasan kali ini.
Dari definisi al-sunnah menurut ulama usul terdapat tiga fokus pembahasan yang penting untuk diuraikan secara transparan, yaitu sunnah qauliyyah, sunnah fi’liyyah dan sunnah taqrîriyyah.
- Sunnah qauliyyah berarti sabda-sabda Rasul, seperti sabda beliau: "Tidak ada hak wasiat bagi ahli waris" (HR. Dâruquthnî). "Segala amal perbuatan harus disertai dengan niat" (HR. Bukhari) dan lain sebagainya.
- Sunnah fi’liyyah berarti perbuatan-perbuatan Rasul dalam kesehariannya, seperti halnya pelaksanaan shalat lima waktu, pelaksanaan ibadah haji, putusan hukum dengan disertai saksi dari pendakwa dan sumpah dari pihak terdakwa.
- Sunnah taqrîriyah, berarti sikap diam Nabi Muhammad terhadap sesuatu yang dilakukan oleh para shahabat – berupa perbuatan maupun perkataan – di hadapan beliau, atau dilakukan tidak di hadapan beliau, akan tetapi beliau mengetahuinya. Dengan sikap diam Nabi terhadap apa-apa yang dilakukan oleh shahabat, membuktikan perbuatan tersebut tidak beliau ingkari, atau membuktikan perbuatan shahabat tersebut dianggap tidak bertentangan dengan syariat. Karena sangat tidak mungkin beliau diam terhadap perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum syariat Islam.[8]
Berkaitan perhubungan (munâsabah) antara definisi al-sunnah secara bahasa dengan definisi al-sunnah secara terminologis yang dikemukakan ulama ahli usul, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa al-sunnah dapat juga diartikan dengan tradisi (kebiasaan) Rasulullah SAW tanpa melihat sisi hukum taklîfi-nya.

C. Poligini Sebagai Sunah Nabi
Melihat konsep di atas, maka praktek poligini bisa dimasukkan di dalam sunnah Nabi Muhammad SAW, ini didasari definisi secara terminologis menurut ahli usul seperti di atas yaitu berupa tradisi yang dilakukan Rasul.[9] Selain dari fakta sejarah secara mutawatir; yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW itu melakukankan poligini, terdapat juga bukti-bukti tekstual berupa hadis, salah satunya:

"حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعُ نِسْوَةٍ فَكَانَ إِذَا قَسَمَ بَيْنَهُنَّ لَا يَنْتَهِي إِلَى الْمَرْأَةِ الْأُولَى إِلَّا فِي تِسْعٍ فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيهَا فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ فَجَاءَتْ زَيْنَبُ فَمَدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا فَقَالَتْ هَذِهِ زَيْنَبُ فَكَفَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فَتَقَاوَلَتَا حَتَّى اسْتَخَبَتَا وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ عَلَى ذَلِكَ فَسَمِعَ أَصْوَاتَهُمَا فَقَالَ اخْرُجْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَى الصَّلَاةِ وَاحْثُ فِي أَفْوَاهِهِنَّ التُّرَابَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ الْآنَ يَقْضِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ فَيَجِيءُ أَبُو بَكْرٍ فَيَفْعَلُ بِي وَيَفْعَلُ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَتَاهَا أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهَا قَوْلًا شَدِيدًا وَقَالَ أَتَصْنَعِينَ هَذَا"[10]

Dari Hadis ini, redaksi “تسع نسوة” menunjukkan bahwa Nabi jelas-jelas melakukan poligini, sehingga dapat memberi kesimpulan bahwa pologini jelas-jelas merupakan sunah Nabi.[11] Hanya saja, kesunahan di sini bukan pada sisi jumlah wanita yang dipoligini Nabi, karena jumlah sembilan tersebut adalah sebuah kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW, dan bukan untuk diikuti umatnya.[12]
Seperti yang telah diterangkan di atas, kesunahan di sini bukanlah sunah seperti yang dikemukakan ahli fiqh (mandûb), melainkan ia adalah tradisi. Maka dari itu, perlu untuk diteliti konsep penetapan hukum taklîfî oleh ulama usul fiqh terhadap sunah yang bermakna tradisi di sini.
Dalam penetapan hukum, ulama ahli usul mengklasifikasi tradisi Rasulullah SAW di sini kepada tiga bagian:
1. Perilaku Rasul yang berhubungan dengan watak manusiawi, seperti berdiri, duduk, makan, dan minum. Dalam konteks ini, tidak dapat dupungkiri bahwa hukumnya adalah mubah bagi beliau sendiri dan umatnya. Umatnya juga tidak wajib untuk menirunya. Demikian diungkapkan mayoritas ulama. Sebagian ulama berpendapat, hukum meniru perilaku Rasulullah yang semacam ini adalah mandûb. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Abdullah bin 'Umar gemar mengamati dan meneladani perilaku Rasul dalam kesehariannya.
2. Perilaku Rasul yang hanya dikhusukan pada diri Nabi Muhammad SAW saja. Seperti kewenangan melakukan puasa wishâl (meneruskan berpuasa hingga malam hari), kewajiban shalat dluha, idul adlha, witir, dan tahajjud pada malam hari, beristeri lebih dari empat, dan lain-lain. Perilaku semacam ini tidak boleh diikuti umatnya. Dalam arti; tidak boleh beristri lebih dari 4, melakukan puasa wishâl dan tidak berkewajiban bagi umatnya melakukan sholat seperti di atas.
3. Perilaku Rasul selain dua kategori di atas yang dimaksud untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan tuntunan syariat Islam secara umum. Dalam konteks ini, umatnya dituntut untuk meneladani dan mengikuti jejak beliau. Hanya saja, dalam konteks syari'at, perilaku-perilaku Rasul dalam kategori ini mengandung berbagai jenis hukum, adakalanya wajib, mandûb (sunnat), atau ibâhah (perkenan).[13]
Dari konsep yang telah diberikan ulama usul fiqh, maka dapat diklarifikasikan bahwa poligini adalah bagian dari perilaku Rasul nomor satu, yaitu perilaku yang berhubungan dengan watak manusiawi. Maka dari itu, hukum asal poligini adalah mubah. Hanya saja perlu diketahui bahwa pendapat kedua yang mengatakan perilaku ini (perilaku watak) adalah mandûb itu jelas dapat diantisipasi dengan melakukan perbandingan dalil lain yang secara jelas mengklarifikasi hukum poligini secara kukuh.
Salah satu dari dalil yang secara tegas mengklarifikasi hukum asal poligini adalah mubâh ialah berdasarkan firman Allah di dalam surat al-Nisâ', ayat 3:
"فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ لَا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً"

"Maka kawinlah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, seumpama kamu takut tidak berlaku adil maka (kawinlah) satu".

Sesuai dengan bentuk kalimat dari ayat tersebut, yaitu “فَانْكِحُوا” adalah berbentuk amr, yang biasanya memiliki arti wujûb. Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa ayat ini menunjukan pada arti ibâhah. Penetapan hukum ibâhah di sini terdapat beberapa alasan: 1. Ayat ini sama seperti ayat “كلوا واشربوا” dan “كلوا من طيبات ما رزقناكم” yang mana berarti mubâh disebabkan makan dan minum itu adalah perkara yang diperlukan sifat manusiawi, begitu juga dengan poligini yang memang kadang merupakan keperluan manusiawi.[14] 2. Dalam ayat di atas mengunakan amr yang mengandung jawâb al-syarti, yang artinya: “Jika kalian semua (laki-laki) merasa tidak mampu bersikap adil terhadap anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu cintai”.[15]
Kekuatan hukum ibâhah bagi poligini juga terdapat pada sebuah hadis yang intinya memperkuat hukum poligini (mubâh), yaitu hadis Rasulullah SAW yang bersabda pada sahabat yang masuk Islam (Ghîlân) akan tetapi dia memiliki 10 istri: "أمسك أربعا وفارق سائرهن" yang berarti "simpanlah empat (dari istrimu) dan ceraikanlah selebihnya (dari istrimu)".[16]
Setelah meneliti kedua dasar tersebut, ulama dan para sahabat memberi sebuah konsensus (إجماع) bahwa poligini adalah mubâh, dengan ketentuan jumlah maksimal untuk berpoligini bagi seorang laki-laki adalah 4 istri. Ini disebabkan oleh hadis yang ditujukan pada sahabat Ghîlân yang menegaskan untuk menceraikan 6 istrinya dan menyimpan 4 yang lain seperti yang tertulis di atas.[17]
Akan tetapi, hukum mubâh di sini tidak mutlak. Karena yang diperbolehkan berpoligini hanyalah bagi orang yang memang benar-benar mampu bersikap adil, karena adil adalah wajib secara syar'i.[18] Bagi yang tidak mampu bersikap adil, maka hukum berpoligini adalah haram, karena sesuatu yang membawa pada perkara yang haram, maka sesuatu tersebut dihukumi haram juga.[19]
Adil yang dimaksud di sini adalah adanya seorang suami tersebut harus memenuhi empat perkara terhadap istri-istrinya dengan sama rata. Empat perkara tersebut adalah (1) giliran meniduri[20] (2) nafkah dari segi makanan dan minuman (3) pakaian (4) tempat tinggal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama kecuali Syafi'iyyah. Menurut Syafi'iyyah; adanya adil di sini bukan "sama rata", akan tetapi, yang dimaksud adalah adanya nafakah yang diberi seorang suami pada istri-istrinya harus sesuai dengan kebutuhan yang umum. Seperti contoh, istri pertama (a) memerlukan alat transportasi untuk menghantar dan menjemput anak-anaknya ke sekolah, sedangkan istri kedua (b) belum memiliki anak. Maka seorang suami wajib memberi alat transportasi kepada istri (a), sedangkan istri (b), seorang suami tidak berkewajiban memberi alat transportasi. Jadi, kalau menurut mayoritas ulama, seumpama seorang suami memberi sesuatu seperti contoh mobil kepada salah satu istri-istrinya, maka wajib baginya untuk memberi mobil kepada istri-istrinya yang lain. Menurut Syafi'iyyah pula, kalau istri (A) memerlukan mobil untuk kebutuhannya, sedangkan istri (b) tidak memerlukannya, maka wajib bagi si suami memberi hanya pada istri (a) sedangkan istri (b) tidak wajib diberi. Walau bagaimanapun, tetap disunnahkan untuk memberi kepada kedua istrinya.[21]
Adapun permasalahan cinta dan hubungan seksual, itu tidak diharuskan bersikap adil. Dengan kata lain, seorang suami tidak wajib bersikap adil untuk masalah cinta dan kebutuhan biologis, karena cinta dan hubungan seksual itu adalah sesuatu yang tidak dapat dipilih, akan tetapi adalah sebuah perkara yang sudah dipastikan Allah. Ini berdasarkan firman Allah surat al-Nisa' ayat 129: " وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ"[22] yang berarti "Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian" yaitu adil dalam hal syahwat al-Qalbi dan cinta. Rasulullah SAW saja paling sayang dengan Siti Aisyah RA, akan tetapi beliau tetap mampu bersikap adil bersama istri-istri beliau dalam hal yang diwajibkan seperti yang telah disebutkan di atas. Beliau berdoa "اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ , فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ" yang berarti: "Wahai Tuhanku inilah pembagian hal-hal yang aku miliki, maka janganlah Engkau menyiksaku dalam hal-hal yang Engkau miliki dan tidak aku miliki" yakni cinta dan kebutuhan seksual.[23]
Kesimpulannya, dalam hukum Islam, berpoligini tidak dilarang, juga tidak diperbolehkan secara mutlak. Orang yang ingin berpoligini harus memiliki harta yang cukup, karena tidak mungkin bagi dirinya untuk berlaku adil kalau dia tidak memiliki harta yang mencukupi, sesuai dengan konsep "ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب" yang maknanya ialah "Apabila perkara wajib tidak akan sempurnya kecuali dengan sesuatu tersebut, maka sesuatu tersebut itu juga dihukumi wajib". Setelah dia berpoligini, dia diwajibkan untuk bersikap adil terhadap semua istri-istrinya sesuai dengan perbedaan pendapat ulama yang telah dijelaskan tadi.
Ada sebagian kalangan yang menolak poligini, mengatakan bahwa poligini pada dasarnya adalah sebuah praktek yang dibenci Rasulullah SAW. Pengakuan ini mereka kuatkan dengan memakai sebuah hadis riwayat Muslim:

إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُونِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يُحِبَّ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِي بَضْعَةٌ مِنِّي يَرِيبُنِي مَا رَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا[24]

“Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al-Mughîrah meminta izin kepadaku untuk menikahkan puteri mereka dengan Ali bin Abî Thâlib, akan tetapi aku tidak mengizinkan mereka, sekali lagi aku tidak mengizinkan mereka kecuali Ibn Abî Thâlib berkenan menceraikan puteriku lalu menikahi puteri mereka, sesungguhnya puteriku adalah sepotong daging dariku, mendustakanku orang yang mendustakannya dan menyakitiku orang yang menyakitinya”.

Berdasarkan hadits ini, kalangan yang menolak poligini (anti-poligini) berpendapat bahwa Rasulullah SAW membenci poligini karena akan melukai kaum wanita, terbukti ketika putrinya, Fâtimah al-Zahra’ hendak dipoligini Ali, beliau melarangnya, kecuali apabila Ali bersedia mencerainya.
Pengakuan yang diberikan kalangan anti-poligini ini terlihat kurang mengerti asbab al-wurûd hadis ini. Menurut ulama, hadis ini menerangkan tentang keharaman melukai Nabi Muhammad SAW dengan segala keadaan dan bentuk, walaupun perlukaan tersebut timbul dari perkara yang asalnya mubâh, sedangkan Nabi Muhammad SAW itu masih hidup. Hukum seperti ini tidak berlaku pada selain Nabi Muhamamd SAW. Larangan Nabi Muhamamd SAW tersebut bukanlah karena melihat poligini itu adalah sebuah perkara yang dilarang akan tetapi didasari dua perkara:
1. Karena pernikahan Ali terhadap putrinya musuh Allah itu menyakitkan Fâtimah. Dengan sakitnya Fâtimah ini, menjadikan Nabi merasa sakit. Maka dari itu Nabi melarang poligini tersebut karena sangat sayangnya Nabi terhadap Ali dan Fâtimah.
2. Kekhawatiran terjadi fitnah pada Fâtimah dengan sebab kecemburuan.
Menurut ulama, sebenarnya Rasulullah SAW itu memberitahu bahwa diperbolehkan bagi Ali menikahi anak perempuan Abu Jahal dengan redaksi hadis: “وَإِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلَالًا وَلَا أُحِلُّ حَرَامًا”, akan tetapi Rasulullah SAW mencegah mengumpulkan kedua mereka disebabkan dua faktor di atas dengan mengunakan redaksi: “وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ مَكَانًا وَاحِدًا أَبَدًا” sebagai kelanjutan hadis di atas.[25]
Maka dari itu, secara konsisten Rasulullah SAW tidak menganggap bahwa poligini adalah sebuah perkara yang keji, dan tidak disukai Rasulullah SAW, akan tetapi lebih didasari faktor lain yang keluar dari pembahasan poligini.
Dari seluruh keterangan di atas, dapat diketahui bahwa legalitas dan status poligini sebagai sunah Nabi tidak diragukan kembali. Lebih-lebih lagi, poligini juga sudah menjadi sebuah perkara yang mujma’ alaih (yang disepakati) dari kalangan muslim sejak zaman ulama salaf lagi, malah zaman Rasulullah SAW.[26]
Dalam Islam, mujma’ alaih diklasifikasikan ke dalam dua kategori: 1. Mujma’ alaih yang tidak sampai dlarûrî yaitu masalah-masalah hukum yang hanya diketahui oleh orang-orang khusus seperti hak waris 1/6 bagi bintu al-Ibni (anak perempuannya anak laki-laki) ketika ada binti al-shulb (anak perempuan tunggal kandung). 2. Mujma’ alaih yang sampai batas dlarûrî atau diketahui oleh kalangan umum, seperti kewajiban sholat, zakat, puasa dan lain-lainnya. Dari klasifikasi ini, ulama sepakat mengingkari mujma’ alaih yang dlarûrî dapat menyebabkan kufur bagi yang sudah mengetahui. Sedangkan legalitas poligini adalah termasuk masalah mujma’ alaih dan ma’lûm dlarûrî, sehingga tidak dibenarkan menolak legalitas poligini, bahkan dapat menyebabkan kufur bagi mereka yang tahu dan mengingkarinya.[27]

D. Poligini Ditinjau dari Aspek Sosial
Penolakan terhadap poligini yang dikeluarkan golongan anti-poligini, seperti aktifis feminis, liberalis dan lain-lain, banyak memberi hujah dari sisi pemakaian nash (yang sering tersalah interpretasi), dan juga mengguatkan hujah mereka dengan dukungan penalaran aspek sosial. Akan tetapi, dengan berpeganggan pada ayat “لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ”, sangat tidak mungkinlah apa yang diajarkan Rasulullah SAW itu memberi dampak negatif terhadap aspek sosial. Maka dari itu, haruslah diteliti dampak poligini terhadap aspek sosial.
Dari segi tinjauan sosial, poligini adalah sebuah hal yang positif dan dapat menjadi solusi dalam beberapa permasalahan. Salah satu permasalahan adalah adanya dunia ini didominasi perempuan lebih banyak daripada lelaki walaupun bagi negara yang tidak dilanda peperangan. Statistik di beberapa negara telah membuktikan bahwa kelahiran seorang anak laki-laki diikuti dengan kelahiran lebih dari dua anak perempuan.[28] Maka dapat dibuat kesimpulan, bahwa perempuan mendominasi dunia sebanyak 2/3, sedangkan lelaki hanya berjumlah 1/3. Seumpama lelaki diharuskan hanya memiliki 1 orang istri, maka 1/3 perempuan yang lain tidak diketahui nasibnya. Statistik inilah yang menjadi hikmah dari penetapan syariat Islam yang memperkenankan lelaki untuk berpoligini. Seumpama 1/3 dari perempuan yang tidak mendapat jodoh ini dibiarkan, maka prostitusi dan perselingkuhan akan menjadi sebuah budaya yang amat buruk sekali, yang berakibat pada pergaulam bebas, karena semua orang memerlukan pasangan untuk melampiaskan gairah seksualnya. Ini disebabkan fakta bahwa manusia normal harus memenuhi kebutuhan biologis (sexual intercourse), dan dalam pemenuhannya, manusia juga harus menggunakan cara yang legal agar tidak timbul permasalahan sosial yang lebih rumit lagi. Ini juga sudah menjadi bukti. Lihat saja di negara barat yang melarang poligini seperti Amerika Serikat dan Inggris, anak yang dihasilkan melalui hubungan yang diluar nikah setiap harinya bertambah banyak. Menurut penelitian, di Prancis jumlah anak luar nikah mencapai 30 dari 100 anak. Di Munich mencapai 40 dari 100 anak, sedangkan di Brussel mencapai 60 dari 100 anak.[29] Kalau hal ini sampai dibiarkan begitu saja, maka akan terjadi krisis moral generasi bangsa, sebab kehadiran anak–anak tersebut tidak diharapkan kehadirannya di masyarakat, sehingga akan dikucilkan oleh masyarakat, padahal ini bukan kesalahan mereka. Hanya dengan poliginilah mereka bisa hidup normal dan diterima masyarakat sekitar.[30]
Fenomena berkurangnya kaum lelaki terhadap perempuan akibat peperangan disebabkan politik maupun agama juga dapat menjadikan poligini sebagai solusi bagi permasalah sosial. Di Eropa telah terjadi dua kali perang dunia yang telah menelan korban mencapai jutaan kaum lelaki. Ini menyebabkan masyarakat eropa dipenuhi dengan kaum perempuan yang telah kehilangan suami dan gadis-gadis yang masih menunggu giliran sampai memasuki usia lanjut. Karena itu, sanggat logis jika organisasi wanita di Eropa seperti di German, menuntut pemerintah setempat agar poligini diperbolehkan bagi setiap laki-laki yang mampu. Atau dengan kata lain, mereka menuntut agar ditetapkan atas setiap lelaki berkewajiban memenuhi keperluan perempuan lebih dari satu orang, karena setiap seorang laki-laki diperlukan untuk melindungi lebih dari seorang perempuan.[31]
Selain itu; menurut antropologi, sebagian kaum dan golongan orang, poligini dapat menjadi kebutuhan sosial dan ekonomi. Bagi beberapa tempat yang mengalami kemiskinan yang sangat tinggi, kematian bayi karena kurang gizi dan lain-lain adalah sangat tinggi. Di samping itu, anak kecil adalah salah satu sumber pencari nafkah tambahan, seperti membantu ayahnya untuk membuat batu bata dan bekerja di sawah. Demi memiliki banyak anak, satu-satunya cara adalah dengan berpoligini. Selain itu berpoligini juga dapat mensejahterakan anak yatim yang hidupnya terlantar, dan yang paling penting adalah, apabil kita mempunya banyak anak dan kita yakin mampu mendidik mereka menjadi oarng yang benar dan soleh, maka ini merupakan salah satu cara untuk mencetak generasi – generasi islam yang baru guna melanjutkan perjuangan Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern saat ini. Sebab, beberapa misionaris Kristen di sebagian daerah Afrika memberi izin kepada orang setempat untuk mengamalkan poligini tanpa mengalami pengucilan dari pihak gereja. Salah seorang penyelidik telah menemukan bahwa perempuan di beberapa tempat bukan hanya menerima poligini, malah sebagian dari mereka lebih memilih untuk berpoligini.[32]
Di samping kebutuhan ekonomi, memiliki banyak anak juga dianjurkan di dalam Islam. Ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW "تَنَاكَحُوا تَنَاسَلُوا تَكْثُرُوا فَإِنِّي مُبَاهٍ بِكُمْ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ". Memiliki banyak anak juga dapat memperkuat agama, karena sekarang banyak sekali misionaris Kristen yang berusaha untuk melakukan pemurtadan terhadap orang Islam. Poligini dapat digunakan agar umat Islam bertambah dan kukuh dalam membentengi pengaruh-pengaruh Kristen. Hikmah lain dari memiliki banyak anak adalah diharapkan anak tersebut dapat mendoakan orang tuanya pada waktu ajal menimpa mereka kelak. Bayangkan kalau seseorang memiliki 10 anak, maka ada sepuluh orang yang akan sering mendoakannya setelah dia meninggal. Ini juga dikuatkan dengan hadis " إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ" yang berarti "apabila seorang anak Adam meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali 3, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa'at bagi orang setelahnya dan anak sholih yang mendoakannya".[33]


E. Poligini Ditinjau dari Aspek Psikologi
Secara psikologi, poligini memang terdapat dampak negatifnya. Banyak dari kalangan perempuan kalau ditanya tentang poligini, jawaban mereka selalu menolak untuk dipoligini walaupun tidak sampai mengharamkan poligini itu sendiri. Ini bukanlah sebuah rahasia, melainkan sebuah kenyataan yang sudah merata. Alasan mereka yang pasti adalah karena tidak ada wanita yang ingin dimadu (dipoligini), karena menurut mereka berkongsi suami itu menyakitkan hati. Lebih lagi kalau sang suami tidak dapat memberi perhatian penuh karena harus membagi waktu dan lain-lain agar bersikap adil bersama istri-istri yang lain.
Di sisi lain, poligini dapat menjadi solusi bagi keraguan dan ketakutan akan perbuatan yang dilarang agama. Allah berfirman, surah al-Isra' ayat 32 "وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا" yang berarti "Janganlah kamu semua mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". Biasanya, perasaan seperti ini terdapat pada istri-istri yang sholihah.
Alasan mengapa monogami dapat membawa kepada perzinaan adalah, seorang lelaki diciptakan Allah dalam keadaan yang suka untuk berhubungan seksual. Mereka terkadang tidak kuasa menunggu beberapa hari untuk melakukan hubungan seksual pada waktu istrinya sedang haid. Hanya dengan poliginilah seorang suami itu dapat melampiaskan gairah seksualnya ke jalan yang benar. Istri kedua dapat menjadi solusi agar dia selamat dan terhindar dari perzinaan. Perzinaan adalah sebuah masalah sosial dan psikologi serta kesehatan yang dampak negatifnya banyak sekali. Fenomena anak-anak hasil perzinahan semakin merebak di tengah-tengah masyarakat, sama seperti kejadian di negara-negara yang menentang keras poligami. Eropa misalnya, mulai 14 abad yang lalu, tidak kurang 30-60 anak dari tiap seratus anak, merupakan anak hasil zina. Dan merekapun tidak dapat hidup dengan nyaman sebab masyarakat disekitarnya akan mengucilkan mereka, mereka dianggap anak buangan yang tidak jelas asal–usul bapaknya. Fenomena ini sangatlah tidak baik bagi perkembangan kejiwaan anak tersebut, sebab mereka hidup dalam susana yang tertekan dan dikucilkan. Zina juga menjadi alat transisi virus mematikan HIV yang jelas membahayakan nyawa.
Poligini juga dapat menjadi solusi bagi pasangan yang istrinya lebih tua dari sang suami. Menurut penelitian, bagi kebanyakan perempuan yang mengalami menopause,[34] pasti mengalami penurunan daya seksual.[35] Sedangkan lelaki, mulai mengalami penurunan daya sexual biasanya pada umur 80 tahun. Melihat kebiasaan perempuan yang mengalami menopause pada umur 50, maka dapat diambil kesimpulan bahwa lelaki akan mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan seksual dengan pasangannya sekitar 30 tahun lamanya. Maka kemungkinan terjadinya perselingkuhan adalah sangat besar.[36]
Sebenarnya, anggapan sebuah perkara itu negatif, tidak lain adalah disebabkan oleh pendidikan yang didapatkan pada waktu kecil. Kalau seseorang itu dari kecil sudah diajarkan bahwa poligini adalah sebuah perkara negatif, maka tentunya pada saat dia dewasa pasti menganggap poligini itu negatif. Buktinya, banyak dari kalangan perempuan yang mendapatkan didikan pesantren atau didikan orang tua yang Islami – di mana mereka diajarkan bahwa poligini adalah sebuah perkara yang positif dan tentunya dengan cara berpoligini yang benar – seperti di Maroko, Yaman, Syria, Saudi Arabia, Thailand Selatan dan Indonesia, itu rata-rata menerima untuk dipoligini, malah menganjurkan suaminya untuk berpoligini. Seperti di Eropa, free sex bukanlah sebuah perkara yang negatif, malah menurut mereka free sex adalah sebuah kebebasan mutlak dan merupakan hak peribadi. Berbeda dengan Islam. Islam mengajarkan, setiap hubungan haruslah dengan cara pernikahan yang sah. Barangsiapa yang melanggar akan mendapat hukuman di akhirat kelak. Hasil dari didikan ini, banyak dari kalangan muslim nusantara masih merasa seks adalah sebuah perkara yang tabu dan sangat sensitif untuk dibicarakan. Free sex juga dianggap sebagai perkara yang negatif, dan seseorang akan merasa malu apabila tertangkap melakukannya.
Dapat ditarik sebuah benang merah, bahwa penentuan sebuah perkara itu baik atau buruk, tidak dapat dilihat dari segi perasaan yang terdapat di dalam diri seseorang. Ia haruslah ditentukan dengan konsep teologis dan filosofis. Orang bisa saja menganggap kebebasan mutlak itu sebuah perkara positif (seperti perjuangan HAM dan emansipasi yang diperjuangkan para aktifis modernis yang mendapat didikan Amerika). Akan tetapi agama secara tegas diturunkan agar manusia mengikuti kode etik yang benar.[37] Menurut al-Asy'ari; manusia tidak akan bisa menentukan yang baik dan buruk, melainkan Allah.[38] Malahan, di dalam kitab 'Uqûd al-Lujjayn fî Bayâni Huqûq az-Zawjayn, karangan Syaikh Nawawi al-Jawi ada menceritakan seorang perempuan yang memiliki suami, sedangkan suaminya berpoligini tanpa sepengetahuannya. Akan tetapi, karena perempuan tersebut adalah wanita yang sholihah, maka dia ridha setelah dia tahu kalau suaminya itu memilih untuk berpoligini. Pada saat suaminya itu meninggal, perempuan tersebut sampai menyisihkan separuh dari harta warisnya dan memberikan kepada istri yang kedua.[39] Ini adalah bukti bahwa, di dunia ini, sebuah ideologi itu terbentuk dengan pendidikan. Apakah muslim sekarang ini ingin meniru pemikiran barat yang tujuannya adalah untuk menghilangkan ketaqwaan kepada Allah dan membawa kepada kebebasan mutlak (free world) yang jelas tidak didasari nilai-nilai moral dan religius? Ataukah muslim sekarang tetap berjuang memegang Alquran sebagai kalam Allah yang menjadi petunjuk bagi seluruh umat? Yang jelas, walau bagaimanapun usaha barat dalam menghancurkan ideologi muslim, poligini tetap berupa perbuatan yang mulia dan sebuah perkara yang indah menurut Islam.
BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Sesuai dengan definisi al-sunnah menurut ahli usul, praktek poligini yang dilakukan Rasulullah SAW adalah jelas termasuk bagian dari sunah Nabi Muhammad SAW, hanya saja kesunahan di sini bukan yang berarti mandûb, akan tetapi ia memiliki arti tradisi yang memiliki hukum asal mubâh.
Hukum mubâh di sini bukan secara mutlak, akan tetapi ia dapat berubah sesuai dengan status orang yang akan melakukan poligini tersebut.
Dengan segala pertimbangan aspek sosial maupun aspek psikologi, terbukti poligini masih tetap relevan sampai sekarang, dan tidak mungkin untuk diilegalkan secara hukum.Poligini adalah sebuah konsensus (إجماع) di dalam Islam, yang mana kalau terdapat seorang muslim yang menentang kelegalitasnya poligini dapat menyebabkan orang tersebut kufur.
[1] Irwan Masdhuqi, dkk., Kontekstualisasi Turâts (Kediri: Kopral, 2005) hlm. 101.
[2] Ibid.
[3] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, hlm. 450.
[4] Mahmûd Syaltût, Islam, Aqîdah wa Syari'ah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1966) hlm. 499.
[5] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad Al-Syaukâni, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.) hlm. 33.
[6] Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001.) juz I, hlm. 450.
[7] Ibid. ;Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al-'Arabî, tt.) hlm. 104.
[8] Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, tt.) juz I, hlm. 450; Abdullah Umar, Fathul Qodir, dkk., Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam (Kediri: PP. Lirboyo, 2005) hlm. 31.
[9] Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro & Kontra (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2007) hlm. 76.
[10] Muslim, Shahîh Muslim: Kitab al-Radlâ’ (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003) hlm. 692.
[11] Yang dimaksud dengan sunah Nabi di sini bukan makna sunah dari kalangan ahli fiqh yang mengartikan sunah sama dengan mandub. Akan tetapi, sunah di sini merupakan tradisi (kebiasaan) Nabi yaitu melakukan poligini.
[12] Ahmad bin Muhammad Al-Dimyâtî, Hâsyiyah al-Dimyâtî ‘alâ Syarh al-Waraqât (Surabaya: al-Hidayah, t.t.) hlm. 14; Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro & Kontra (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2007) hlm. 76.
[13] Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, tt.) juz I, hlm. 478; Abdullah Umar, Fathul Qodir, dkk., Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam (Kediri: PP. Lirboyo, 2005) hlm. 65.
[14] Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm (Beirut, Dâr al-Fikr, t.t.) Juz 1, hlm. 302; Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, hlm. 220.
[15] Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro & Kontra (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2007) hlm. 30.
[16] Zakaria al-Anshârî, Fath al-Wahhâb bi Hâmisy Hâsyiat al-Jamal (Beirut, Dâr al-Fikr, t.t.) Juz 4, hlm. 184;
[17] Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm (Beirut, Dâr al-Fikr, t.t.) Juz 1, hlm. 303
[18] Muhammad bin Ahmad al-Syâthirî, Syarh al-Yâqût al-Nafîs (t.k.: Dâr al-Hâwiy, 1997) Juz 3, hlm. 36.
[19] Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004) Juz 9, hlm. 6516.
[20] Giliran meniduri di sini adalah tidur bersama secara hakiki, bukan melakukan hubungan seksual. Untuk lebih jelasnya, baca keterangan selanjutnya tentang ayat “ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم”.
[21] Ibid, hlm. 6593; Abd al-Rahmân bin Muhammad 'Audh al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'at (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2001) hlm. 942.
[22] Ada dari kalangan Feminis dan Liberalis memakai ayat ini untuk mengilegalkan poligini. Mereka mengklaim bahwa ayat ini mengatakan bahwa lelaki itu pasti tidak dapat berlaku adil. Maka dari itu, sesuai dengan ayat “فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة”, maka lelaki hanya diperbolehkan monogami, bukan poligini. Padahal, semua Mufassirîn menyatakan bahwa adil dalam ayat ini adalah keadilan yang bersifat batini seperti kecenderungan hati dan gairah seksual bukan urusan nafakah dan lain-lain. Lihat: Mudâ’imulLâh Azza, HabîbulLâh Achmad, dkk., Dimensi Doktrinal (Kediri: Lirboyo, 2007) hlm. 202.; Mudâ’imulLâh Azza, HabîbulLâh Achmad, dkk., Manhaj Solusi Umat (Kediri: Lirboyo, 2007) hlm. 162.
[23] Wizârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.) juz 33 hlm. 185; 'Ali al-Jarjâwi, Hikmah At-Tasyrî' Wa Falsafatuh (Sangkapura: al-Haramain, t.t.) Juz 2, hlm. 13; Mudâ’imulLâh Azza, HabîbulLâh Achmad, dkk., Manhaj Solusi Umat (Kediri: Lirboyo, 2007) hlm. 162.
[24] Muslim, Shahîh Muslim: Kitab Fadlâil Fâthimah (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003) hlm. 1218.
[25] Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Minhâj bi Syarh Shahîh Muslim (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2002) 1781.
[26] Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurtubî, Bidâyat al-Mujtahid (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 2 hlm. 33; Mudâ’imulLâh Azza, HabîbulLâh Achmad, dkk., Manhaj Solusi Umat (Kediri: Lirboyo, 2007) hlm. 164.
[27] Ibid., hlm. 165.
[28] Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm (Beirut, Dâr al-Fikr, t.t.) Juz 1, hlm. 306.; Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro & Kontra (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2007) hlm. 18.
[29] al-Jarjâwi, Hikmah At-Tasyrî' Wa Falsafatuh (Sangkapura: al-Haramain, t.t.) Juz 2, hlm. 11.
[30] Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro & Kontra (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2007) hlm. 22.
[31] Ibid., hlm. 18.
[32]Jamal Badawi, Polygamy in Islamic Law (http://www.al-islamforall.org/litre/englitre/Polygainis.htm, diakses 17 Desember 2007) t.h.
[33] 'Ali al-Jarjâwi, Hikmah At-Tasyrî' Wa Falsafatuh (Sangkapura: al-Haramain, t.t.) Juz 2, hlm. 9 & 10.
[34] Menopause adalah sebuah fase dimana perempuan mulai berhenti menstruasi. Pada fase ini perempuan mulai mengalami gangguan fisik dan rohani, seperti mulai terasa kurang tenang dan terasa panas di dada. Biasanya perempuan mengalami menopause sekitar umur 45-55 tahun.
[35] Menopause, Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD) t.h.
[36] 'Ali al-Jarjâwi, Hikmah At-Tasyrî' Wa Falsafatuh (Sangkapura: al-Haramain, tt.) Juz 2, hlm. 10.
[37] Buktinya, muslim diwajibkan untuk mengikuti apa yang terdapat di dalam Alquran, karena Alquran adalah petunjuk manusia di dalam melakukan apa saja. Allah berfirman di dalam surah al-Baqarah ayat 2; "ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين". Dari ayat ini, jelaslah Alquran dijadikan petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Dengan kata lain, setiap gerakan yang dilakukan manusia sudah ditentukan di dalam Alquran. Barangsiapa yang melanggar hukum Alquran, maka dia haruslah menanggung risiko. Sebelum turunnya Alquran, kebebasan manusia juga tidak mutlak. Setiap Rasul yang diutus Allah, pasti membawa syari'at untuk mengatur kehidupan manusia. Syari'at Nabi Musa contohnya, Allah mewajibkan orang Yahudi untuk tidak bekerja dan hanya beribadah di hari sabtu yang mana disebut dengan "The Sabath Day". Kalau ada yang melanggar, maka Allah akan menurunkan Azab. Contoh lain adalah kisah moyang kita yaitu Nabi Adam AS. Beliau diberi kebebasan oleh Allah untuk melakukan apa saja yang diingininya. Akan tetapi, Allah memberi sebuah batasan yang mana batasan tersebut kalau dilanggar, maka Nabi Adam haruslah bertanggung jawab atas apa yang telah beliau lakukan. Batasan yang diberikan adalah buah khuldi. Pada saat Nabi Adam memakan buah tersebut, secara langsung Allah melemparnya ke bumi atas konsekwensi apa yang telah beliau lakukan. Jadi, anggapan bahwa setiap orang harus mendapat kebebasan dalam melakukan apa saja adalah kurang tepat, karena tujuan adanya agama adalah untuk mengatur kehidupan manusia. Lihat: Irwan Masdhuqi, dkk, Kontekstualisasi Turâts (Kediri: Kopral, 2005) hlm. 177.
[38] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, hlm. 115.
[39] A. Fauzi Hamzah, dkk., Potret Ideal Hubungan Suami Istri (Kediri: LBM Pon Pes Lirboyo, 2006) hlm. 116.

Tuesday, November 20, 2007

Taklif dan Mukallaf (Pembebanan hukum terhadap manusia dari Allah)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat.
Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas tidak diingini.
Begitu juga dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai batasan dalam peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-hukum yang taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah taklîf itu serta objeknya?
2. Apakah mukallaf itu serta bagaimana gambarannya?
3. Apakah filsafat dibalik wujudnya taklîf dan predikat mukallaf di dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pembahasan Taklîf
Sebelum membahas lebih dalam tentang taklîf, perlu diketahui bahwa pembahasan taklîf di sini adalah berkaitan dengan hukum. Maka dari itu, perlu diketahui bahwa pengertian hukum secara istilah menurut mayoritas ulama usul adalah:

“خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع”
“Kalam/Ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf baik berupa tuntutan (melakukan atau meninggalkan), atau pilihan atau meletakan/menjadikan (suatu sebab atau penghalang bagi suatu hukum)”.[1]

- Yang dimaksud dengan “خطاب الله” adalah dalil yang secara langsung datang dari Allah SWT yaitu Alquran, atau dalil yang datang dengan wâsithah (lantaran) seperti Sunah, Ijmak, Qiyas, dan dalil-dalil yang lain. Maka setiap satu dari dalil-dalil ini adalah hukum syar’î menurut ulama-ulama usul.
- Yang dimaksud dengan “بالإقتضاء” adalah tuntutan (الطلب) untuk melakukan sesuatu, sama ada tuntutan untuk melakukan sebuah pekerjaan atau meninggalkan pekerjaan.
- Yang dimaksud dengan “بالتخيير” adalah kebolehan (الإباحة) antara melakukan atau meninggalkan sesuatu perbuatan dengan posisi yang sama.
- Yang dimaksud dengan “بالوضع” adalah meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah, sah, rusak, azîmah, atau keringanan pada sesuatu yang lain.[2]
Dari sini, hukum syar’i itu terbagi menjadi dua bagian: 1. Hukum Taklîfî, dan 2. Hukum Wadl’î.
Bagi yang pertama, yaitu hukum taklîfî: Secara bahasa, kata taklîf (تكليف) berasal dari fi’il mâdli “كلّف” yang memiliki makna “membebani”. Seperti contoh “كلّف زيد عمرا بالأمر” yang berarti “Zaid membebani Umar dengan sebuah perkara”. Maka kata “تكليف” berarti “pembebanan”.[3]
Pengertian hukum Taklîfî secara istilah adalah:

“ما اقتضى طلب فعل من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل والكف عنه” “Hukum taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan”.[4]

Contoh tuntutan melakukan perbuatan adalah ayat “أقيموا الصلاة” atau “كتب عليكم الصيام”. Sedangkan contoh tuntutan meninggalkan perbuatan adalah ayat “ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق” atau “حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير...”. Bagi contoh pilihan pula adalah ayat “فلا جُناح عليهما فيما افتدتْ به” atau “وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة”.[5]
Hukum ini disebut sebagai hukum taklîfî adalah dikarenakan hukum ini memiliki pembebanan (تكليف) dengan melakukan atau meninggalkan atau pilihan dalam melakukan perbuatan tersebut.[6]
Hukum taklîfî terbagi menjadi 5 jenis karena “خطاب الله” yang berupa tuntutan melakukan sebuah perbuatan itu terkadang ada yang tegas, maka hukumnya adalah al-Ijâb. Ada juga yang tidak tegas, maka hukumnya adalah al-Nadb. Tuntutan yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan seumpama ia tegas, maka hukumnya al-tahrîm. Akan tetapi kalau ia tidak secara tegas, maka hukumnya al-karâhah. Apabila “خطاب” itu menunjukkan pada kebolehan melakukan pemilihan, maka hukumnya adalah al-Ibâhah.[7]
Sedangkan perkara-perkara yang dituntut untuk melakukannya atau meninggalkannya atau terdapat pilihan itu ada 5 jenis:
1. Al-Wâjib: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan itu mendapat pahala dari Allah SWT dan bila ditinggalkan berakibat dosa. Seperti contoh mendirikan solat lima waktu, membayar zakat, dan lain-lain.
2. Al-Mandûb: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan mandûb mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila ditinggalkan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menulis hutang-piutang, siwakan, dan lain-lain.
3. Al-Harâm: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan itu mendapat dosa dari Allah SWT dan bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Seperti contoh memakan harta riba, melakukan zina, dan lain-lain.
4. Al-Makrûh: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang yang meninggalkan perbuatan makrûh mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila dilakukan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menjatuhkan thalâq terhadap istrinya.
5. Al-Mubâh: Sebuah perkara yang oleh al-Syâri’ memperbolehkan terhadap mukallaf untuk memilih antara melakukannya atau meninggalkannya. Dengan gambaran orang yang melakukan atau meninggalkan perkara yang mubâh tidak diberi pahala maupun dosa. Seperti contoh diperbolehkannya berburu apabila telah selesai melaksanakan ibadah haji.[8]
Bagian yang kedua dari hukum syar’î adalah hukum wadl’î. Menurut Wahbah al-Zuhaylî, Hukum wadl’î ialah “خطاب الله” yang turun untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah, sah, rusak, ‘azîmah, dan keringanan.[9] Sedangkan menurut Khalîl al-‘Alâ`î al-Syâfi’î, hukum wadl’î adalah sebuah “الخطاب” yang tumbuh yang berhubungan dengan pekerjaan orang mukallaf, tidak dengan tuntutan atau pilihan.[10]
Perbedaan antara hukum taklîfî dan hukum wadl’î terdapat 3 poin:
1. Hukum taklîfî menghendaki terwujudnya pekerjaan yang dituntut untuk dilakukan dan menjauhkan diri dari yang terlarang atau memilih menurut keinginan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu perkara. Sedangkan hukum wadl’î tidak ada beban dengan tuntutan maupun pilihan, melainkan hukum wadl’î adalah memperhatikan tentang adanya ikatan atau kaitan antara suatu perkara dengan lainnya dengan menjadikan sebab, syarat atau pencegah baginya.
2. Yang dituntut dalam hukum taklîfî ialah sesuatu yang mampu dilakukan oleh mukallaf menurut ukuran normal, seperti mengerjakan ibadat, menulis, berjalan dan sebagainya. Sedangkan hukum wadl’î adalah sesuatu yang mampu atau tidak mampu dilakukan oleh mukallaf. Seperti contoh mencuri akan menyebabkan (مسبب) pada terpotongnya tangan, dan sifat kerabat menjadi sebab pada dapat menerima warisan.
3. Hukum taklîfî itu tidak ada hubungan kecuali dengan orang mukallaf. Sedangkan hukum wadl’î itu berhubungan dengan manusia, sama ada ia mukallaf atau tidak, seperti anak kecil dan orang gila. Seperti contoh sahnya jual-belinya anak kecil, dan tetapnya hutang bagi tanggungan orang gila maupun anak kecil.[11]

B. Pengertian dan Pembahasan al-Mahkûm Fih
Al-Mahkûm Fih (obyek hukum syar’î) adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan khitâb al-Syârî’, baik tuntutan melakukan suatu perbuatan, memilih suatu pekerjaan, atau yang bersifat wadl’î (syarat, sebab, penghalang, sah, rusak, ‘azîmah, maupun rukhshah). Seperti contoh:
1. “أقيموا الصلوة وأتوا الزكوة”. Tuntutan kewajiban (إيجاب) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
2. “يآأيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلي أجل مسمى فاكتبوه”. Anjuran (ندب) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan menulis hutang piutang.
3. “فإذا قُضِيَتِ الصلاةُ فانتشروا في الأرض”. Kebolehan (إباحة) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan mencari rezeki.
4. “ولا تقتلوا النفس”. Larangan tegas (التحريم) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan membunuh.[12]
Menurut para ulama Usul Fiqh, tuntutan Syârî’ tersebut dapat menjadi beban hukum (التكليف) jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. Seorang mukallaf telah mengetahui secara sempurna terhadap hukum Syârî’ yang berkaitan dengan perbuatan yang akan dilakukannya sehingga tujuannya dapat dipahami dengan jelas dan dapat dilakukannya.
2. Seorang mukallaf telah mengetahui dengan baik dan benar terhadap sumber taklîf suatu perbuatan yang akan dilaksanakannya sehingga pelaksanaan perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap tuntutan Allah SWT.
3. Perbuatan tersebut mungkin untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh seorang mukallaf. Dalam hal ini, perbuatan tersebut dibagi menjadi 3 ketentuan:
a. Tidak sahnya al-taklîf dengan sesuatu yang mustahil menurut mayoritas ulama, sama ada mustahil tersebut dengan cara penalaran pada zatnya atau penalaran pada selain zatnya.
Ø Contoh penalaran pada zatnya: mengumpulkan antara dua perkara yang berlawanan dalam satu taklîf, Seperti terdapat sebuah perbuatan yang ada dua ketentuan hukum pada waktu bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama; yaitu wajib dikerjakan dan pada saat yang sama haram dikerjakan.
Ø Contoh penalaran pada selain zatnya: Sesuatu yang dapat digambarkan oleh akal wujudnya, akan tetapi tidak pernah berlaku secara adat. Seperti manusia bisa terbang layaknya burung.
Kedua jenis mustahil ini itu tidak sah adanya taklîf, karena Allah SWT sendiri menyatakan bahwa taklîf terhadap sesuatu yang tidak bisa dikerjakan itu tidak ada.[13]
b. Tidak sahnya seseorang menunaikan kewajiban yang di-taklîf-kan kepada orang lain untuk dan atas nama orang tersebut, karena ini adalah sesuatu yang tidak mungkin yang mana dikatagori sebagai taklîf dengan sesuatu yang tidak kuasa. Oleh sebab itu, seseorang tidak dibebani melakukan sholat untuk saudaranya. Akan tetapi, disini ada beberapa pengecualian seperti melakukan haji untuk orang lain sebagai wakil, dengan syarat ia sudah pernah melakukan haji, dan menurut sebagian syâfi’iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengizinkan menganti puasa orang lain berdasarkan hadits “من مات وعليه صيام صام عنه وليه”.
c. Tidak sah menurut syara’ membebankan perbuatan yang bersifat jibilliyyah/fithriyyah, di mana manusia tidak turut campur di dalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiyâr), seperti sikap marah, benci, takut, gembira, kasih sayang, cinta, gairah makan dan minum. Perbuatan-perbuatan tersebut bukan lah bersifat ikhtiyâri dan kehendak manusia. Oleh sebab itu tidak ada taklîf bagi perbuatan seperti itu. Ini didasari doa Rasulullah SAW “اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ , فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ”. Maka adil mencintai istri-istri (bagi lelaki yang berpoligini) itu bukanlah sebuah kewajiban. Apabila ada nash yang menyuruh sesuatu seperti di atas, maka nash itu dipalingkan dari makna zahirnya kepada sebab dan akibat. Seperti ayat “ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون”. Secara zahir, ayat ini menyuruh untuk tidak mati pada saat masih kafir, akan tetapi, ini bukanlah sesuatu yang mampu bagi manusia. Maka yang diingini dari ayat ini adalah untuk memeluk Islam sebelum datangnya kematian.[14]
Dari syarat-syarat di atas, mucul sebuah persoalan lain yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklîf. Apakah sah sebuah taklîf dengan amal yang berat? Dari sini ulama membagi masyaqqah kepada dua bentuk, yaitu al-masyaqqah al-mu’tâdah dan al-masyaqqah ghair al-mu’tâdah.[15]
1. al-Masyaqqah al-Mu’tâdah: Sebuah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudaratan baginya. Masyaqqah seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’. Hal ini biasa terjadi karena seluruh perbuatan dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Contohnya: mengerjakan solat itu bisa melelahkan badan, berpuasa itu menimbulkan rasa lapar, dan menunaikan ibadah haji itu menguras tenaga. Kesulitan seperti ini, menurut para ahli usul fiqh, berfungsi sbagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan seorang hamba dalam menjalankan taklîf syara’. Dengan demikian, masyaqqah seperti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk melaksanakan taklîf syara’.
2. al-masyaqqah ghair al-mu’tâdah: Suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, dan akan merusak jiwanya bila dipaksakan. Hal itu terjadi, biasanya apabila melebih-lebihkan perbuatan yang sebenarnya bermanfaat. Taklîf seperti ini mungkin bisa menurut akal, namun tidak ada dalam syariat. Allah tidaklah menuntut kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan dan kemudaratan. Seperti melakukan puasa terus-menerus tanpa berbuka, dan mewajibkan diri untuk sentiasa bangun solat malam. Adapun dalil yang dikemukakan ulama adalah ayat-ayat yang berbicara tentang menghilankan kesulitan dan kesempitan dalam syara’: “وما جعل عليكم في الدين مِنْ حرج”, “يريد الله أن يُخفِّف عنكم وخلق الإنسان ضعيفا” dan “يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر”. Terdapat lagi dalil-dalil seperti hadits Nabi Muhammad SAW dan fasilitas rukshah yang terdapat di dalam syariat Islam seperti jama’ dan qashor untuk mendukung penolakan terhadap pemberatan.[16]
C. Pengertian dan Pembahasan Mukallaf
Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk ism al-maf’ûl dari fi’il al-mâdli “kallafa” (كَلَّفَ), yang bermakna membebankan. Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani.
Secara istilah, mukallaf adalah:

“الإنسان الذي تعلق بفعله خطاب الشارع أو حكمه”
“Seorang manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syâri’ atau hukumnya”.[17]

Dari sini, dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum taklîfî yang sudah diterangkan.[18]
Sebagian besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar adanya taklîf (pembebanan hukum) terhadap seorang mukallaf adalah akal (العقل) dan pemahaman (الفهم). Seorang mukallaf dapat dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara baik yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’. Termasuk ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa. Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:

“رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق (رواه البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني )”
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”
“رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له (رواه ابن ماجة والطبراني)”
“Beban hukum diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.[19]

Dari sini, ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat:
1. Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf. Ini dikarenakan taklîf itu adalah khitâb, sedangkan khitâb orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas tidak mungkin (محال). Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menemukan ide (الإدراك). Hanya saja akal itu adalah sebuah perkara yang abstrak (الخفية). Maka al-Syâri’ sudah menentukan batas taklîf dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan (منضبط) yaitu sifat baligh seseorang. Sifat baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk mukallaf karena tidak memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis yang di atas.[20]
2. Seseorang telah mampu bertindak hukum/mempunyai kecakapan hukum (أهلية).
Secara istilahi, ahliyyah didefinisikan sebagai:

“صلاحية الإنسان لاستحقاق الحقوق وأداء التصرفات”
“Kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa hak dan melakukan beberapa transaksi”.[21]

Dari sini, ulama membagi sifa ahliyyah menjadi dua jenis, yaitu: Ahliyyah Wujûb dan Ahliyyah Adâ`. Definisi Ahliyyah Wujûb adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum cukup untuk dibebani seluruh kewajiban. Dasar adanya kecakapan ini adalah adanya kehidupan / nyawa (وجود الحياة).[22]
Kecakapan semacam ini menurut ulama Fiqh disebut “ذمة”, yaitu suatu sifat yang secara hukum menjadikan seseorang dapat bertindak dan menerima kewajiban tertentu. Untuk menentukannya adalah berdasarkan sifat kemanusiaannya (إنسانية) yang tidak dibatasi umur, baligh atau tidak, cerdas atau tidak. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup di dunia sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat kecakapan ini. Kecakapan ini akan hilang apabila nyawanya hilang atau meninggal dunia.[23]
Para ulama usul fiqh membagi Ahliyah al-Wujûb ini menjadi dua bagian:
1. Ahliyyah al-Wujûb al-Nâqishah (أهلية الوجوب الناقصة), yaitu: ketika seseorang masih berada di dalam kandungan ibunya. Janin dianggap memiliki Ahliyyah al-Wujûb yang belum sempurna karena hak-hak yang harus diterimanya belum dapat menjadi miliknya secara sempurna sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat. Terdapat empat macam hak seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:
a. Hak keturunan ayahnya.
b. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
c. Wasiat yang ditujukan kepadanya.
d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
2. Ahliyyah al-Wujûb al-Kâmilah (أهلية الوجوب الكاملة), yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan berakal walaupun masih kurang sempurna. Pada periode ini, seseorang telah menerima kewajiban-kewajiban tertentu, seperti kewajiban untuk menjaga harta orang tuanya, kewajiban agama yang berkaitan dengan hartanya seperti zakat, dan kewajiban membayar ganti rugi yang diambil dari hartanya apabila ia telah merusakkan harta orang lain.[24]
Ahliyyah al-`Adâ` adalah sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung-jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia melakukan perbuatan yang dituntut al-Syâri’ maka ia dianggap telah memenuhi kewajiban dan berhak mendapat pahala, sedangkan apabila ia melakukan perbuatan yang dilarang al-Syâri’ maka ia dianggap telah melanggar kewajiban dan mendapat dosa. Dasar adanya kecakapan ini adalah “تمييز”, yaitu kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan buruk dan yang bagus dan yang jelek.[25]
Ahliyyah al-`Adâ` juga terbagi menjadi dua:
1. Ahliyyah al-`Adâ` al-Nâqishah (أهلية الأداء الناقصة) yaitu, ketika seseorang masih kecil sampai dengan mencapai masa baligh dan berakal secara sempurna. Pada periode ini tindakan atau perbuatan hukum seseorang dalam hal-hal tertentu dianggap sah, seperti transaksi-transaksi yang semata-mata menguntungkan.
2. Ahliyyah al-`Adâ` al-Kâmilah (أهلية الأداء الكاملة) yaitu, periode di mana seseorang telah baligh dan berakal sempurna. Pada periode ini seluruh tindakan atau perbuatan hukum seseorang harus dipertanggung jawabkan, baik melaksakan tuntutan Syari’ maupun meninggalkan tuntutan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Transaksi-transaksi yang dilakukannya juga mengikat secara sempurna. Perpindahan seseorang dari periode sebelumnya menuju periode ini ditandai secara fisik, bagi laki-laki apabila telah mimpi basah dan bagi wanita apabila telah haid.[26]
Terkadang, beberapa penghalang dapat menghilangkan, mengurangi, atau merubah hukum-hukum ahliyyah (أهلية). Penghalang ini dibagi menjadi dua:
1. ‘Awâridl Samâwiyyah (عوارض سماوية) yaitu, halangan kecakapan yang datangnya dari Allah, seperti gila, dungu, sakit keras yang berakibat kematian, dan lupa.
2. ‘Awâridl Muktasabah (عوارض مكتسبة) yaitu, halangan kecakapan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, khilaf, bodoh, dan berada di bawah pengampuan.[27]
Sedangkan dilihat dari segi obyeknya, maka halangan kecakapan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk:
1. Halangan kecakapan yang mengakibatkan kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء) akan hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa.
2. Halangan kecakapan yang dapat mengurangi kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء), seperti dungu.
3. Halangan kecakapan yang dapat mengubah sebagian kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء), seperti orang yang berhutang, pailit, di bawah pengampuan, khilaf, dan tolol.[28]

D. Filsafat di balik Taklîf dan Mukallaf di dalam Islam
Seorang ulama yang digelar sebagai bapak kepada Filsafat Tasyrî, yaitu Imam Abu Ishâk al-Syâthibî; berpendapat bahwa tujuan dari peletakan syari’at adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari dorongan hawa nafsu, sehingga ia menjadi hamba Allah dengan kamauannya sendiri.
Adapun dalil yang mendukung pendapat ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa sesungguhnya hamba itu diciptakan untuk menyembah Allah, serta terkandung dalamnya adalah perintah Allah dan larangannya. Seperti contoh ayat “وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون”, dan “وَأْمُرْ أَهْلَكَ بالصلوة وَاصْطَبِرْ عليها لا نَسْئَلُكَ رزقا نحن نرزقك”, dan lain-lain. Banyak juga dalil yang mencela orang yang berpaling dari perintah Allah.[29]
Pendapat ini didasari juga dengan bukti ayat-ayat Alquran yang memberi kesimpulan bahwa wahyu dan nafsu itu bertentangan. Maka mengikuti hawa nafsu itu berlawanan dengan kebenaran. Dasar yang diambil adalah “يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكُمْ بين الناس بالحق ولا تَتَّبِعِ الْهوى فَيُضِلَّكَ عن سبيلِ الله”. Karenanya inilah, tidak boleh seseorang mengatakan bahwa hukum Islam dibuat sesuai dengan keinginan hawa nafsu, karena prinsip utama hukum-hukum syara’ adalah wajib, ataupun haram. Prinsip dasar ini bertentangan dengan hawa nafsu. Hukum Islam dibuat untuk kemaslahatan hamba, maka kemaslahatan itu kembali kepada hamba menurut ukuran syara’ dan kemaslahatan itu semuanya kembali kepada si mukallaf baik di dunia maupun di akhirat.[30]
Dari sinilah hamba diuntut untuk mematuhi hukum syari’at, karena tujuannya adalah kebaikan bagi hamba itu sendiri, yaitu kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Maka kesimpulan lain dari sifat taklîf ini adalah adanya hukum yang ditetapkan untuk dipatuhi mukallaf haruslah sesuatu yang dapat dilakukan atau mampu dilakukan (القدرة). Ini diaplikasikan ulama usul fiqh dengan kaedah syarat hukum taklîf yang ada di bab al-mahkûm fîh seperti yang telah diterangkan di atas.[31]
Menurut al-Syâthibî, ayat-ayat yang menuntut sebuah pekerjaan yang tidak mungkin untuk dilakukan (ما لا يطاق) haruslah dirujuk pada perbuatan yang maqdûr yang mendahului (سابق), atau yang menyusul (لاحق), atau terjadi serentak (قارن). Contohnya ayat “ولا تَمُوْتُنَّ إلا وأنتم مسلمون” yang mana secara zahir, ayat ini menyuruh untuk tidak mati pada saat masih kafir, akan tetapi, ini bukanlah sesuatu yang mampu bagi manusia. Maka yang diingini dari ayat ini adalah untuk memeluk Islam sebelum datangnya kematian.[32]

BAB III
KESIMPULAN

1. Hukum taklîfî itu berarti pembebanan terhadap mukallaf dengan menuntut sebuah perbuatan darinya, sama ada melakukan, memilih atau larangan; yang mana ia memiliki 5 jenis hukum, yaitu wajib, sunnah, mubâh, makrûh, haram.
2. Al-Mahkûm fîh memiliki arti perbuatan mukallaf yang dikenai tuntutan Allah sama ada ia berupa hukum taklîfî ataupun wadl’î dengan beberapa syarat yang telah ditentukan, salah satu darinya adalah sebuah perbuatan yang mampun untuk dilakukan mukallaf.
3. Mukallaf adalah seorang manusia yang memiliki akal, serta faham akan “خطاب الله” yang mana ketentuan perbuatannya ditentukan Syâri’ dari segi hukumnya.Filsafat dari hukum taklîf adalah bertujuan untuk mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsu menuju pada kepatuhan terhadap Allah SWT demi kedamaian dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
[1] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 37; al-Amidî, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005) Juz 1, 84; Khalîl Kaikaldî al-‘Alâ`î, al-Majmû’ al-Mudzhabi fî Qawâ’id al-Madzhab (Mekah: al-Maktabah al-Makiyyah, 2004) Juz 1, 25.
[2] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 120.
[3] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002) 1225.
[4] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 42.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 124.
[8] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 124.
[9] Ibid. 135; Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 93.
[10] Khalîl Kaikaldî al-‘Alâ`î, al-Majmû’ al-Mudzhabi fî Qawâ’id al-Madzhab (Mekah: al-Maktabah al-Makiyyah, 2004), Juz 1, 27.
[11] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 43.
[12] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 132.
[13] Akan tetapi, mayoritas ulama Asy’ariyyah berpendapat bahwa diperbolehkannya taklîf dengan sesuatu yang mustahil secara mutlak (sama ada mustahil tersebut dengan cara penalaran pada zatnya atau penalaran pada selain zatnya). Pendapat mereka ini didasari pada argumen: Sumpama tidak sah taklîf dengan sesuatu yang tidak mampu itu pasti tidak terjadi secara realita. Akan tetapi, realitasnya memang terjadi; seperti taklîf beriman untuk orang yang inkar, contohnya Abu Jahal. Dalam kasus ini menurut mereka, Allah sudah mengetahui bahwa mereka tidak akan beriman, dan Abu Jahal tidak akan pernah menyatakan beriman dan membenarkan Rasul. Bila Allah tidak mengetahuinya, berarti Allah itu tidak mengetahui. Maka ini adalah mustahil. Lihat: Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 136.
[14] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 133; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 295.
[15] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 133; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 300; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 326.
[16] Perlu diketahui, bahwa ketidak mampuan melaksanakan tugas yang sukar yang bukan secara adat ini menjadi dasar dari filsafat tasrî’ menurut Imam al-Syâtibî. Untuk faham lebih dalam akan masalah filsafat taklîf dalam Islam, baca di bab Filsafat taklîf dan mukallaf di dalam Islam.
[17] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 155.
[18] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 334; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 304.
[19] al-Amidî, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005) Juz 1, 130; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 335; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 305.
[20] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 156.
[21] Ibid.
[22] Ibid.; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 341; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 309; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 58.
[23] Ibid.
[24] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 157; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 341; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 310; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 59.
[25] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 157; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 340; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 308; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 59.
[26] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 158; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 60.
[27] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 159; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 343; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 311; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 60.
[28] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 159; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 343; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 312; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 61.
[29] al-Syâtibî, al-Muwâfaqât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2004), 318.
[30] Ibid.; Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 218; Muhammad Khalid Masud, Shatibi’s Philosophy of Islamic Law (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1995), 196.
[31] al-Syâtibî, al-Muwâfaqât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2004), 281.
[32] al-Syâtibî, al-Muwâfaqât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2004), 281; Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 198.

Thursday, July 12, 2007

Negara

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Negara Serta Tujuannya
Kata negara secara bahasa memiliki arti: suatu masyarakat yang menduduki kawasan tertentu dan diperintah oleh sebuah kerajaan. Ia juga dapat diartikan dengan kawasan yang di bawah kekuasaan kerajaan tertentu, seperti contoh 'Negara China' dan lain-lain.[1] Selain dari itu, negara dapat menjadi terjemahan dari kata-kata asing, yakni state yang diambil dari bahasa Latin yaitu status atau statum. Kedua kata ini lazim diartikan dengan standing atau station. Isitilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae.[2]
Negara secara terminologi pula adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, badan politik, atau sebagai institusi kepemerintahan.[3] Menurut Kranenburg, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi, terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari kelompok itu.[4]
Sedangkan menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa. Jadi, pertama-tama negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, maka organisasi ini memiliki suatu kewibawaan dalam mana terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi tersebut. Ini berbeda dengan organisasi yang tidak memiliki kuasa yang kuat seperti negara, contohnya adalah organisasi mahasiswa, dan lain-lain.[5]
Kesimpulannya, kalau menurut Kranenburg, negara ditubuhkan oleh bangsa-bangsa (kelompok manusia) sebagai primier negara, sedangkan negara adalah sekunder. Bagi Logemann pula, yang primier adalah organisasi kekuasaannya yaitu negara. Sedangkan kelompok manusianya adalah sekunder.[6]
Berdasarkan makna dari negara dengan sebuah organisasi kemasyarakatan atau kekuasaan, maka negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama, karena sebuah organisasi yang tidak memiliki kesepakatan bersama tidak mungkin dapat terus bertahan. Akan tetapi, apa tujuan sebuah negara sangatlah relatif dan tidak dapat ditentukan secara konkrit atau pasti. Ini disebabkan, sebuah tujuan pastilah sesuai dengan latar belakang sebuah negara dengan kebutuhan yang diperlukan. Seperti contoh, dahulu ada beberapa hal yang tidak menjadi tugas negara misalnya ekonomi. Akan tetapi, sekarang ekonomi menjadi tugas negara. Begitu juga dengan pendidikan. Dahulu pendidikan menjadi tugas individu, akan tetapi sekarang ia menjadi tugas individu juga negara, karena bangsa yang memiliki pendidikan yang rendah sangat mudah tereliminasi.[7]
Walau bagaimanapun, sebagian besar dari tujuan negara adalah sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata-mata sama ada dari segi daerah jajahan, maupun pengaruh atau ekonomi, seperti Pemerintahan Nazi German atau Amerika Syarikat;
2. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum, seperti pemerintahan yang menganut pada sistem demokrasi dan kedaulatan hukum;
3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum, seperti pemerintahan Uni Soviet, Kuba, China maupun pemerintahan sosialis lainnya, dan seperti Indonesia.[8]
Bagi Islam pula, tujuan sebuah negara adalah menuju kepada kemaslahatan dan kesejahteraan sosial dengan jalan syari'at Islam sebagai pedoman menuju pada kemaslahatan.[9] Konsep ini hanpir sama dengan sistem teokrasi yang dipelopori Thomas Aquinas dan Agustinus. Menurut sistem ini, tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Sedangkan pemimpin menjalankan kekuasaannya hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepadanya.[10]
B. Sistem Pemerintahan
Setiap negara memiliki sistem tersendiri dalam menjalankan roda kepemerintahannya. Sebut saja sistem yang dianut Indonesia dan Thailand maupun Malaysia. Walaupun kedua negara ini bertetangga, akan tetapi sistem yang dianut banyak terdapat perbedaan. Kalau di Indonesia, sistem kepemerintahannya menganut pada sistem demokrasi yang meletakkan legitimasi kekuasaannya pada rakyat atau dapat disebut dengan kedaulatan rakyat yang meletakkan amanatnya pada konstitusi atau parlimen (MPR).
Sedangkan Thailand, begitu pula Malaysia, mengadopsi sistem kerajaan Inggris Raya (Great Britain); dengan sistem monarki serta kekuatan konstitusi parlimen (demokrasi). Sistem ini mengakui kedaulatan raja, juga meletakkan roda kepimpinan pada kekuatan parlimen dengan sistem demokrasi melalui Perdana Menteri (Prime Minister). Jadi, kekuatan roda kepemerintahan seorang Perdana Menteri dapat dikawal oleh Raja di bawah konstitusi. Sedangkan roda kepemerintahan tetap dijalankan Perdana Menteri karena ia sebagai hasil dari sistem demokrasi yang memilihnya. Dalam hal ini, seorang Raja dapat melakukan pencopotan terhadap Perdana Menteri, begitu juga dapat memberi amnesti terhadap pelaku kriminal. Akan tetapi, seorang raja tidak berhak untuk memerintah dengan alasan demokrasi. Kejadian ini dibuktikan sejarah dengan kudeta di Thailand.
Sistem pemerintahan dapat dibagi menjadi tiga jenis:
Monarki: Kata monarki merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu momos yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Monarki adalah sebuah sistem kepemerintahan yang dipegang hanya oleh satu orang, atau kedaulatan bagi satu orang. Biasanya, orang yang memegang pucuk kepimpinan ini disebut dengan sebutan Raja (King) atau Emperor.[11] Sistem ini, menurut kebanyakan ahli filsafat adalah sebuah sistem yang bersifat tirani.[12] Akan tetapi, Islam justru lebih dekat dengan sistem ini, karena melihat pada tujuan negara sendiri yaitu untuk maslahat. Seumpama sebuah negara memiliki lebih dari satu pemimpin, dikhawatirkan terdapat perbenturan kebijaksanaan. Para ulama mengambil dasar dari Surah al-Anbiyâ', ayat 22: "لَوْ كَانَ فِيهِمَا ءَالِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ". Dari pernyataan ini, seorang Raja pada dasarnya memiliki kekuasaan mutlak. Untuk mengantisipasi dari kezaliman, maka Islam meletakkan konsep kedaulatan hukum (Syari'at) sebagai aturan kepemerintahan. Inilah alasan mengapa kebanyakan negara Islam seperti Umayyah, Abbasiyyah, Ottoman, Saudi Arabia, dan Brunei memilih sistem monarki.[13]
Demokrasi: Asal nama dari demokrasi adalah dari bahasa Yunani "dēmokratiā " yaitu ''dēmos" (Rakyat) dan "kratos" (Memerintah). Sistem demokrasi adalah merupakan bentuk negara yang pimpinan (pemerintah) tertinggi negara terletak di tangan rakyat. Dalam bentuk negara yang demokratis, rakyat memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan.[14] Sistem ini adalah yang paling terkenal pada zaman ini. Hampir semua negara menganut sistem ini. Ini disebabkan, adanya demokrasi menganut pada pilihan rakyat yang diyakini sebagai perkara yang paling adil dan benar. Sistem menentukan apa yang menjadi pilihan rakyat biasanya dengan sistem pemilihan umum, dalam memilih perwakilan rakyat di parlimen. Dengan parlimen inilah nantinya akan menentukan seorang presiden atau pemimpin tertinggi.[15] Pemimpin tertinggi ini bertanggung jawab untuk memerintah dan menyelesaikan permasalahan negara dengan kebijakan darinya dan orang yang ia percayai. Sedangkan parlimen memiliki kekuasaan untuk merubah dan menetukan undang-undang negara serta mengamat presiden agar tidak terjadi tirani, dan penyalahgunaan kekuasaan. Akan tetapi, banyak juga tirani terbentuk dari demokrasi, seperti pemerintahan Adolf Hitler (Nazi German), Suharto (Golkar pra reformasi), Idi Amin (Mantan Presiden Uganda). Pemimpin ini pada awalnya disukai rakyat, akan tetapi, pada akhirnya menjadi pemimpin yang tirani dan menindas siapa saja yang bercanggah dengannya. Banyak juga negara yang menganut sistem demokrasi, akan tetapi tidak sanggup mengeluarkan negaranya dari krisis seperti Indonesia, Filipina, dan lain-lain. Seperti Indonesia, yang sangat mendewakan demokrasi, terbukti setelah melakukan perubahan pucuk pimpinan berkali-kali tetap tidak mampu keluar dari reformasi. Dapat dilihat secara nyata, Indonesia setiap harinya penuh dengan demonstrasi yang terkadang demonstrasi tersebut tidak diperlukan. Kadang pemerintah atasan sudah berfikir lebih jauh daripada gerakan-gerakan rakyat atau mahasiswa yang terus menentang pemerintah. Indonesia belum pernah memiliki seorang pemimpin yang naik secara positif, dan turun juga secara positif. Presiden Sukarno naik secara positif, akan tetapi dilengser oleh rakyat (negatif). Begitu juga Presiden Suharto. Presiden B.J. Habibie naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Presiden Suharto (dianggap negatif karena kenaikannya bukan pilihan rakyat), baru turunnya secara positif. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), naik secara positif, akan tetapi dilengser MPR (negatif). Presiden Megawati naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Abdurrahman Wahid (negatif), turun secara positif. Apakah Presiden Susilo Bambang Yudohono yang naiknya secara positif turunnya juga positif? Kenyataan yang dapat dilihat adalah mahasiswa masih saja tetap berdemonstrasi meminta Presiden Susilo Bambang Yudohono untuk turun.
Pada dasarnya, Islam tidak menentukan sistem manakah yang dianut, akan tetapi, Islam secara tegas menuntut sebuah negara untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Ini sesuai dengan kaedah fiqh "تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة".[16] Jadi, bagi sebuah negara, untuk mencapai kemaslahatan yang terbaik baginya adalah monarki, maka sistem itulah yang dianut. Jika yang terbaik adalah demokrasi, maka demokrasilah yang dianut sesuai dengan kelebihan dan kekurangannya.[17]
C. Relasi Antara Negara dan Agama
Menurut teori teokrasi,[18] sebuah negara itu diibaratkan sebagai sebuah perkara yang tidak dapat dipisahkan dengan agama. Maka dari itu, segala sesuatu haruslah berdasarkan pada agama. Seperti contoh, pemerintahan Paus (Papal State). Segala undang-undang di negara ini merujuk pada Kitab Suci Injil.[19]
Sedangkan menurut teori Sekuler, bahwa negara dan agama itu tidak ada hubungan sama sekali. Negara adalah urusan yang berhubungan antara manusia dengan manusia itu sendiri. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan ini, kedua perkara ini tidak dapat disatukan. Maka dari itu, setiap kebijakan yang ditentukan untuk menyikapi sebuah masalah dalam negara haruslah ditentukan dengan kesepakatan antara para ahli, bukanlah berdasarkan firman-firman Tuhan, meskipun keputusan tersebut bertentangan dengan firman Tuhan.[20] Teori ini berkembang pesat pada abad ke XVI yaitu pada zaman renaissance.[21]
Menurut teori Komunisme,[22] yang dipelopori Karl Marx dan Lenin beranggapan bahwa negara dan agama berdasarkan pada filosofis materialisme-dialektis dan materialisme-historis. Paham ini akan menimbulkan paham atheis (tidak ada Tuhan). Paham ini mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat yang digambarkan sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Maka dari itu, paham ini berpendapat bahwa agama harus ditahan dan dilarang. Nilai tertinggi bagi negara adalah materi, karena manusia pada hakikatnya adalah materi.[23]
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Islam tidak pernah mengatur sistem pemerintahan yang baku. Tegasnya, Islam hanya menuntut agar umat muslim melaksanakan syari'at dan pemerintahan memberikan yang terbaik bagi rakyat. Maka dari itu, menurut penulis, hubungan antara negara dan agama menurut Islam adalah sangat reletif. Seumpama sebuah negara hanya dapat memberikan yang terbaik bagi rakyat, serta dapat memberi peluang bagi umat muslim untuk menjalankan syari'at dengan meletakkan posisi negara sebagai negara sekuler, maka itulah yang menjadi kewajiban bagi negara tersebut di sisi Islam.[24] Seperti contoh Indonesia, yang seumpama menjadikan negara Islam bagi NKRI, maka dikhawatirkan terjadi konflik berkepanjangan yang justru akan membuat umat muslim tidak bebas melaksanakan kewajibannya.
Ini berbeda dengan Kerajaan Saudi Arabia pula, yang seumpama menjadikan ia sebagai negara sekuler, justru akan menyebabkan kerusakan terhadap tanah suci yang dikhawatirkan kalau berhaluan non muslim akan berakibat hilangnya nilai-nilai moral Islamis.
KESIMPULAN
Negara adalah sebuah organisasi kekuasaan yang tertinggi daripada organisasi kekuasaan yang lain, seperti organisasi mahasiswa, LSM, dan organisasi-organisasi yang lain. Dengan kekuasaan yang tinggi ini, negara diharapkan dapat memberikan yang terbaik bagi rakyat, karena itulah tujuan terbentuknya negara itu. Seumpama negara gagal dalam memberikan terbaik bagi rakyatnya, maka secara otomatis, negara tersebut disebut sebagai negara yang jelek, dan harus untuk direformasi bentuknya.
Maka atas dasar itu, terbentuklah beberapa teori tentang negara, mulai dari sistemnya, sampailah apa saja yang berhubungan dengannya. Dalam menyikapai, teori mana yang terbaik, perdebatan antara ahli tidaklah dapat dibendung. Akan tetapi, faktor empiris telah berbicara; bahwa segala sesuatu itu tergantung pada situasi dan bagaimana sebuah negara menjalankannya. Seperti monarki terbukti dapat memberikan yang terbaik bagi Brunei, yang mungkin saja seumpama memakai sistem demokrasi seperti Indonesia malah membuat ia menjadi kacau. Begitu juga dengan Indonesia, yang seumpama mengadopsi sistem monarki akan mengakibatkan munculnya gerakan sparatis sebagai dampak dari negara yang multi kultural dan multi etnis.Selanjutnya, perbicaraan antara agama dengan negara juga menjadi sebuah tema yang sangat dialektis. Ini mengacu pada munculnya zaman renaissance di Eropa yang memisahkan kekuasaan Paus terhadap negara-negara Eropa yang memiliki Raja sejak dahulu. Sedangkan Islam sendiri, awal berdirinya memang identik dengan mensatukan agama dengan negara. Akan tetapi, Islam juga tidak secara jelas mewajibkan untuk membentuk sebuah negara yang mensatukan kepala negara dengan agama, seperti apa yang dipercayai oleh kaum Katolik (Paus adalah wakil Tuhan di bumi). Yang jelas dalam Islam, nilai-nilai keislamanlah yang diwajibkan bagi seluruh umat muslim. Maka dari itu, negara Islam bukanlah tujuan, akan tetapi hanya wasilah. Sedangkan wasilah bisa dengan bentuk apapun selagi tidak menyalahi aturan mestinya.
[1] Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Ampang: Dawama, 2005), 1074.
[2] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 41.
[3] "State", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006).
[4] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 142.
[5] Ibid., 143.
[6] Ibid., 142-143.
[7] Ibid., 147-148.
[8] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 43.
[9] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29; Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinbutgh University Press, 2004), 263.
[10] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 44.
[11] Ibid., 58; "Monarchy", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006).
[12] Sebuah sistem yang akan menjurus pada kekejaman dan keterbatasan, karena diperintah secara mutlak oleh satu orang tanpa ada yang berada di atasnya.
[13] Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinbutgh University Press, 2004), 263; Ali bin Muhammad al-Mâwardî, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn (Beirut: Dâr Maktabah al-Hayyât, t.t.), 137.
[14] Robert A. Dahl, "Democracy", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006); Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 58.
[15] Ini adalah bentuk pemilihan yang banyak diikuti negara demokrasi seperti Malaysia, dan lain-lain. Akan tetapi, banyak juga negara yang memiliki bentuk lain dalam pemilihan presiden yaitu dengan pemilihan langsung, seperti Amerika Syarikat, Indonesia, dan lain-lain.
[16] Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh (Kediri: Purna Siswa III Aliyah, 2005), 75-87.
[17] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29.
[18] Teori ini pertama kalinya dipelopori Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Teori ini berkembang antara abad ke V sampai abad ke XV. Lihat: Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 152.
[19] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 59.
[20] Ibid., 60.
[21] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 68.
[22] Komunisme adalah sebuah ideologi yang mengajarkan bahwa tidak ada hak pribadi terhadap harta. Semua material dimiliki sepenuhnya oleh negara atau komunitas tersebut, dan diberi kepada setiap individu sesuai dengan kebutuhannya, bukan sesuai dengan berapa yang ia memproduktif. Jadi, Komunisme adalah sebuah paham negara yang mensejajarkan seluruh rakyatnya sebagai satu tahap atau sama antara satu dengan yang lain. Konsep ini menghapus perbedaan tahap kehidupan sosial seperti adanya golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah. Ideologi ini muncul akibat dari sistem kapitalis yang merajalela, dan dipercaya bahwa sistem komunis ini mampu untuk merubah taraf kehidupan menjadi lebih baik. Lihat: "Communism", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006)
[23] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 60.
[24] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29; Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 62.