Friday, May 18, 2007

Paradigma Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah atau Sunni sering terdengar sebagai sebuah sekte aliran akidah Islam yang benar. Pengakuan sebagai golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah banyak datang dari berbagai sekte akidah. Padahal, perbedaan konsep akidah antara golongan-golongan ini semua berbeda, yang terkadang meliputi perkara yang prinspal.
Seperti golongan yang dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi, pengakuan sebagai Sunni adalah yang paling kuat sejak polemik dengan Mu'tazilah. Pada abad ke 18 Masehi, ada sebuah gerakan yang terkenal dengan nama Wahabiyah. Gerakan ini juga dengan kobar-kobar menyebut mereka adalah Sunni. Padahal kedua golongan ini saling bertentangan dalam banyak hal yang menyangkut urusan prinsipal.
Mengklaim sebagai golongan Sunni bukanlah sebuah perkara yang dapat menentukan bahwa ia adalah Sunni. Sedangkan menuduh golongan lain sebagai 'bukan Sunni' juga bukanlah perkara yang dapat menentukan siapa Ahl Sunnah. Hanya isi ajarannya saja yang dapat membedakan antara Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah dan bukan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan bahwa pembahasan 'Paradigma Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah' dapat dipisahkan menjadi beberapa masalah:
1. Sejarah Sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah
2. Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah Menurut al-Khalafiyyah
3. Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah Menurut al-Salafiyyah
4. I'tiqâd-I'tiqâd Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah
Asal mula nama Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah atau zaman sekarang lebih terkenal dengan nama Sunni itu muncul dari tanggapan hadits Nabi Muhammad SAW:

1- حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
2- حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادٍ الْأَفْرِيقِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
3- حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ[1]

Dari ketiga hadits ini, para ulama dapat memberi kesimpulan bahwa golongan Sunni itu adalah satu-satunya golongan (sekte) dalam Islam yang benar dan akan selamat di akhirat kelak. Kesimpulan ini dapat diambil dari sabda Nabi: "ما أنا عليه وأصحابي" yang memiliki arti "apa yang ada padaku dan sahabatku" dan "وهي الجماعة" yaitu "dan ia adalah al-Jama'ah". Imam al-Syihâb al-Khafâjî berkata di dalam kitab Nasîm al-Riyâdl bahwa golongan yang beruntung (الناجية) itu adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah.[2]
Terdapat juga sebuah hadits yang intinya sama, akan tetapi memiliki redaksi yang berbeda:

"وأخبر النبي عليه الصلاة والسلام: ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة الناجيةُ منها واحدة والباقون هلكى قيل ومن الناجية؟ قال أهل السنة والجماعة وقيل وما السنة والجماعة؟ قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي . "[3]

Berdasarkan hadits ini, perkataan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah sudah ada di zaman Rasulullah SAW.
Akan tetapi, pada awal mula perkembangan teologi Islam, penggunaan terminologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah belumlah begitu terkenal. Terminologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah mulai terkenal digunakan adalah sekitar abad ke 3-4 Hijriyah oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari sebagai perlawanan terhadap Mu'tazilah[4] yang memang lebih mengandalkan akal dan meninggalkan sunnah/hadits Nabi Muhammad SAW.[5]
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah adalah sebuah nama golongan yang identik dengan Imam Abu Hasan al-Asy'ari atau al-Asy'ariyyah. Walau bagaimanapun, inti dari ajaran dan penisbatan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah itu sudah wujud lama sebelum lahirnya Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Ini dapat dibuktikan dengan sebuah surat al-Ma'mûn kepada gubernur Ishaq Ibn Ibrahîm yang ditulis pada tahun 218 H, yaitu sebelum al-Asy'ari lahir. Dalam surat tersebut tercantum kata-kata "ونسبوا أنفسهم إلى السنة" dan kata-kata "أهل الحق والدين والجماعة". Juga golongan yang lebih terkenal dengan Imam-Imam fiqh dari ahli penalaran akal (الرأي) dan hadits; seperti Imam Malik, al-Syâfi'I, dan lain-lain.[6]
Untuk memahami Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah perlu diketahui bahwa semua golongan mengklaim bahwa mereka Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah. Maka dari itu, akan dipisahkan dua aliran yang paling besar dan paling kuat memperjuangkan akidah mereka dan menamakan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah. Aliran yang pertama adalah al-Asy'ariyyah dan al-Maturîdiyyah. Mereka akan dinamai sebagai al-Khalafiyyah karena memandang konsep takwil pada ayat musyabihat (bukan berarti semua ulama di dalamnya adalah orang yang mentakwil). Sedangkan golongan Ibn Taimiyyah dan Wahhabiyyah, akan dinamai dengan sebutan al-Salafiyyah karena mereka menolak untuk mentakwilayat-ayat musyabihat (bukan berarti ulama salafiyyah seperti Imam Malik, Hanbali al-Asy'ari adalah golongan al-Salafiyyah ini).
B. Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah Menurut al-Khalafiyyah
Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah versi Khalafiyyah itu terdapat dua jenis yang tidak begitu berlawanan secara prinsipal. Keterangan perbedaan antara keduanya akan diterangkan nanti. Demi memahami konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah versi Khalafiyyah, maka perlulah untuk memahami maksud dari kata Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah menurut versi ini.
Menurut al-Asy'ariyyah dan al-Maturîdîyyah, Ahli al-Sunnah itu adalah golongan yang beri'tiqâd sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan wa al-Jamâ'ah adalah penganut I'tiqâd jama'ah sahabat-sahabat Nabi. Jadi, kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah adalah kaum yang mengikuti keyakinan Nabi Muhammad SAW serta sahabat-sahabatnya. Ini berdasarkan hadith yang telah disebut di atas. Redaksi matan " ما أنا عليه وأصحابي" itu adalah apa yang dimaksud sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah.[7]
I'tiqâd Nabi dan sahabat-sahabatnya itu sudah termaktub dalam al-Qur'an dan Hadits secara terpencar-pencar. Lalu Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturîdî menyusunnya dengan rapi dan menyebut bahwa rumusan yang telah disusunnya inilah yang dinamakan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah.[8] Menurut Imam Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, bahwa beliau belum pernah menemui pada zaman beliau sebuah golongan umat yang sesuai dengan para sahabat Rasulullah SAW selain Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah dari kalangan ahli fiqh dan ahli kalam sifâtiyyah, bukan Syi'ah (الرافضة), Qadariyyah, Khawârij, Jahmiyyah, Musyabbihah, dan lain-lain.[9]
Maka dari itu, banyak sekali ulama mengatakan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah itu adalah aliran al-Asy'ariyah dan al-Maturîdîyyah serta, kedua golongan ini juga adalah golongan mayoritas bagi orang Islam di dunia ini.[10] Malah, Imam al-Zabîdî mengukuhkan, bahwa apabila dimutlakkan sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy'ariyah dan al-Maturîdîyyah.[11] Menurut al-Khayâlî; panggilan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah ini sudah masyhur di daerah Khurâsân, Irak, Damascus, dan lain-lain.[12]
Golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah yang dirumuskan ini dipercaya bukan hanya meliputi al-Asy'ariyah dan al-Maturîdîyyah. Menurut Abd al-Qahîr al-Baghdâdî, termasuk dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah ialah:
Orang yang benar-benar alim masalah ketauhidan, kenabian, hukum-hukum janji dan ancaman, pahala dan siksa, syarat-syarat ijtihad, kepimpinan, melalui metode aliran ahli kalam yang sifâtiyyah yang mana tidak tersangkut dengan pemahaman al-Tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk), Khawarij, Jahmiyyah, Najâriyyah, dan golongan hawa nafsu yang lainnya.
Fuqaha' dari Ahl al-Ra'yu maupun al-Hadits yang menganut madzhab sifâtiyyah dalam soal-soal pokok agama. Juga yang mengikuti khalifah yang empat. Mereka adalah Imam Hanafi, Syafi'I, Maliki dan Hanbali.
Ahli hadits yang dapat membedakan antara benar dan salah dengan tidak bersangkutan dengan bid'ah yang sesat.
Golongan yang alim ilmu sastra dan nahwu serta tasrif seperti al-Khalil, Abi Amr bin al-'ala', Sîbawaih dan lain-lain yang tidak mencampurkan perkara yang bid'ah dan sesat.
Ahl al-Qira'ât wa Tafâsîr yang penakwilannya sesuai dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah bukan takwilannya orang yang mengikuti hawa nafsu semata.
Zâhid dan al-Shufîyun yang giat beramal dengan tidak banyak berbicara, menepati ketauhidan dan meniadakan tasybih, serta menyerahkan diri kepada Tuhan.
Mereka yang menjaga pertahanan kaum muslimin dan mempertahankan akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah.
Orang awam negara-negara yang terdapat syiar Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah, bukan negara yang terdapat syiar akidah ahli yang mengikuti hawa nafsu.[13]
Kesimpulannya, golongan ini sudah wujud sejak Rasulullah SAW, hanya saja mereka tidak menamakan sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah (pengamalan tanpa memerlukan nama). Imam Abu Hasan al-Asy'arilah yang pertama membangkitkan sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah untuk menisbatkan pada aliran yang sudah dirumusnya.
Seperti yang telah diterangkan di atas, Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah itu dirumuskan oleh dua orang, yaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturîdî. Berikut akan diterangkan konsep kedua aliran ini:
1- Imam Abu Hasan al-Asy'ari (al-Asy'ariyyah)
Nama panjang beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari (w. 324 H). Beliau seorang ahli fiqh dan teolog keturunan Abu Musa al-Asy'ari (sahabat Nabi). Pada awalnya, beliau adalah pengikut Mu'tazilah dengan berguru pada Abu Ali al-Juba'i. Beliau dijadikan kader Mu'tazilah dengan sering diutus untuk ikut forum diskusi, akibat dari keahlian dan kecerdasan yang dimilikinya.
Sebagai murid kesayangan, al-Asy'ari sering mendapat kesempatan melakukan diskusi bersama gurunya, akan tetapi dari berbagai diskusi bersama gurunya, beliau sering merasa tidak puas atas jawaban gurunya. Pada suatu hari, ketidakpuasan tersebut sampai pada puncaknya dalam membahas soal al-Aslah.[14] Pada saat itu beliau sedang bertanya masalah tiga jenis orang yang meninggal, yaitu anak kecil, orang kafir, dan orang mu'min yang sholeh. Beginilah dialog antara mereka berdua:
Al-Asy'ari: Bagaimana pendapat tuan tentang 3 orang yang wafat: a) Dewasa dalam taat, b) Dewasa dalam durhaka, b) Anak dalam usia kecil.
Al-Jubbai: Yang taat masuk syurga, yang kafir masuk neraka, dan yang anak-anak berada diantara neraka dan syurga (manzilah bayn al-Manzilatayn).
Al-Asy'ari: Andai kata yang kecil mau masuk syurga, dapatkah dia?
Al-Juba'i: Tidak dapat, karena dikatakan kepadanya: "Orang mu'min tersebut mendapat tingkatan tertinggi karena ia menjalankan ketaatan, sedangkan engkau tidak".
Al-Asy'ari: Kalau begitu, si kecil akan berkata; "Ya Allah, kenapa engkau mewafatkan aku di waktu kecil, apakah tidak lebih baik aku dimatikan setelah dewasa, sehingga aku dapat beramal sholeh dan bisa masuk syurga?"
Al- Juba'i: Tuhan menjawab: Aku tahu bahwa engkau sampai dewasa akan mendurhakai Tuhan. Oleh karena itu yang lebih baik engkau diwafatkan ketika usia kecil.
Al-Asy'ari: Kalau dewasa yang mati kafir berkata: Ya Allah, kenapa engkau tidak mewafatkan aku ketika masih kecil sehingga aku tidak masuk neraka seperti sekarang, lebih baik engkau wafatkan aku ketika masih kecil, apa jawab Tuhan?
Ketika ini, al-Juba'i tidak mampu menjawab pertanyaan al-Asy'ari sesuai dengan konsep Mu'tazilah dan dia memilih untuk diam.[15] Setelah kejadian ini, beliau mengasingkan dirinya di rumah selama 15 hari. Pada saat itu, beliau berusaha mencari kebenaran dengan mendalami dalil-dalil antara Mu'tazilah dan Ahl al-Hadits. Akan tetapi jalannya buntu. Oleh karena itu, beliau mendirikan sholat 2 rakaat dan memohon untuk diberi petunjuk. Setelah itu, beliau tidur dan mimpi bertemu Rasulullah SAW dan beliau mengadukan semua permasalahan pada Nabi. Lalu Nabi berkata "Berpegang teguhlah dengan sunnahku!".[16]
Dari sinilah Imam Abu Hasan al-Asy'ari menemukan kesimpulan bahwa tidak semua pertanyaan harus dijawab dengan penalaran akal. Ada banyak hal yang harus dipercayai dan diyakini dengan dasar iman. Segala keputusan Allah SWT tidak dapat difahami hanya mengandalkan penalaran rasionil semata. Banyak hal yang dilakukan Allah tanpa diduga sebelumnya berada di luar jangkauan akal manusia.[17] Sedangkan isi sebagian dari ajaran-ajarannya akan diterangkan nanti.
2- Imam Abu Manshur al-Maturîdî (al-Maturîdîyyah)
Aliran ini pada awalnya hanya terdapat satu. Namun terpecah menjadi dua aliran disebabkan terdapat ketidak fahaman yang akan dijelaskan nanti. Dua aliran tersebut adalah 1) al-Maturîdîyyah Samarqand dan 2) al-Maturîdîyyah Bukhara.
Aliran Maturîdîyyah Samarqand dipelopori oleh Abu Manshur bin Muhammad al-Maturîdî (w. 332 H) yang mana ajarannya cenderung bersifat rasional. Ini dikarenakan latar belakang beliau sebagai madzhab Hanafi yang memang terkenal rasionalis. Bermula dengan mengkaji kitab karangan Abu Hanifah yaitu Fiqh al-Akbar dan Fiqh al-Abshath, beliau menjadi seorang ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah dengan memberi ulasan pada karangan beliau yang berjudul 'Syarh al-Fiqh al-Akbar' dan 'syarh al-Fiqh al-Abshath'. Dari ini, ternyata pemikiran-pemikiran Abu Manshur bin Muhammad al-Maturîdî sebenarnya berintikan pikiran-pikiran Abu Hanifah dan merupakan penguraian yang lebih luas.[18]
Kesimpulan akidah al-Maturîdîyyah Samarqand pada dasarnya sama dengan al-Asy'ariyyahi seperti al-Qur'an itu qadîm. Hanya terdapat sedikit perbedaan yang tidak begitu prinsipil. al-Maturîdî memberikan porsi cukup luas terhadap peran rasio dalam ajarannya, sementara al-Asy'ariyyah cenderung membatasinya. Contohnya: al-Maturîdîyyah berpendapat bahwa mengetahui Allah SWT diwajibkan secara akal, sementara al-Asy'ariyyah diwajibkan secara syar'i. Dengan alasan inilah, aliran al-Maturîdîyyah banyak dianut golongan madzhab Hanafi. Sedangkan al-Asy'ariyyah banyak dianut kalangan Syâfi'iyyah, Mâlikiyyah, dan Hanâbilah.[19]
Sedangkan aliran Maturîdîyyah Bukhara, ini dikembangkan oleh Abu al-Yusr Ali Muhammad al-Badzdawi (w. 493 H). Pada mulanya, al-Badzdawi mempelajari aliran Maturîdîyyah Samarqand, namun dalam proses pembelajaran tersebut al-Badzdawi tidak selalu sepaham dengan konsep Maturîdîyyah Samarqand. Maka dari itu, beliau mengembangkan aliran tersendiri yang berbeda, lebih-lebih lagipada saat itu beliau memiliki banyak pengikut, diantaranya Najmu al-Dîn Muhammad al-Nasafi (w. 537 H). al-Nasafi inilah yang nantinya mengembangkan aliran ini. Walau bagaimanapun, al-Badzdawi tetap mengaku dirinya sebagai pengikut Abu Manshur al-Maturîdî.[20]
Ajaran yang dibawa al-Badzdawi itu pada dasarnya sama, hanya saja al-Badzdawi sedikit lebih cenderung pada al-Asy'ariyah. Sedangkan Abu Manshur itu agak liberal dan sedikit dekat dengan Mu'tazilah dengan gaya penalaran rasionya. Salah satu perbedaannya adalah keberadaan Tuhan dapat diketahui melalui perantaraan syari'at (wahyu), sedangkan Abu Manshur, dengan akal saja manusia sudah dapat mengetahui keberadaan Tuhan. Selain dari itu, menurut al-Badzdawi; baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu. Sementara Abu Manshur berpendapat akal sudah cukup untuk mengetahuinya. Selanjutnya, aliran al-Asy'ariyyah yang lebih mendominasi dunia Islam, sedangkan faham Maturîdîyyah cenderung tenggelam di bawah kegemilangan kaum Asy'ariyyah.[21]
C. Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah Menurut al-Salafiyyah
Pada dasarnya, Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah hanya merupakan satu golongan. Akan tetapi, ulama terpaksa membagi sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah salafiyyah, dan yang kedua adalah khalafiyyah. Ini disebabkan banyak perbedaan dikalangan ulama yang mengklaim sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah.[22]
Menurut Imam al-Qurtubî di dalam kitab tafsirnya yang berjudul "الجامع للأحكام القرآن" menjelaskan bahwa yang pertama kali mempelopori fahaman salafiyyah adalah Hisyam al-Jawaliki dan golongan al-Mujassimah.[23] Namun aliran ini mendapat pertentangan hebat dari khalafiyyah/Asy'ariyyah dan akhirnya tersingkir begitu saja.[24]
Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya "تاريخ المذاهب الإسلامي" halaman 187, seperti yang dikutip Zamihan Mat Zin al-Ghari, menjelaskan:

"… yang kami maksudkan dengan orang-orang al-Salaf ialah orang-orang yang menggelarkan diri mereka sebagai penganut fahaman al-Salaf yang lahir pada kurun ke 4 H. Mereka adalah penganut Madzhab Hanbali dan mendakwa fahaman mereka diambil daripada Imam Ahmad ibn Hanbal RHM yang dikatakan imam yang menghidup dan mempertahankan akidah al-Salaf dan memeranggi fahaman yang lain. Kemudian fahaman ini diperbaharui semula pada kurun ke 7 H dan dihidupkan kembali oleh Syaikh Islam Ibn Taimiyyah. Beliau bersungguh-sungguh mengajak orang ramai kepadanya. Beliau menokok tambah beberapa perkara yang menepati pada zamannya. Kemudian firqah ini lahir pula di Semenanjung Arab (Arab Saudi sekarang) pada kurun ke 12 H oleh Muhammad Abd al-Wahhab. Selepas itu, ramai pengikut-pengikutnya menyeru kepada fahaman ini. Maka ada setengah ulama muslimin yang berang dan tidak berpuas hati terhadapnya."[25]

Kesimpulannya, aliran salaf terdiri dari orang-orang yang memiliki ideologi seperti Hanâbillah yang muncul pada abad ke 4 Hijiriyyah. Menurut mereka, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)[26] adalah orang yang menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama salaf dari kecaman Mu'tazillah. Disebabkan motif dari berdirinya aliran ini adalah mempertahankan ideologi ulama salaf, maka aliran ini menamai diri mereka sebagai salafiyyah.[27] Selanjutnya, perjuanggan salafiyyah ini diperbarui Imam Ibn Taimiyyah (w. 728 H)[28] dan digerakkan secara besar-besaran oleh Muhammad bin Abd al-Wahhâb (w. 1206 H)[29] yang mereka beri nama sebagai al-Muwahhidîn, sedangkan bagi al-Asy'ariyyah pula memanggil mereka dengan sebutan Wahâbbiyyah.[30]
Pengertian Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah menurut salafiyyah adalah pada dasarnya lebih kurang sama. Intinya, Ahl al-Sunnah adalah orang yang berpegang teguh dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Sedangkan wa al-Jamâ'ah adalah golongan mayoritas sahabat Nabi yang benar-benar mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. KH. Moenawar Chalil di dalam buku yang berjudul "Kembali Kepada al-Qur'an dan al-Sunnah" menegaskan bahwa:

"Berhubung dengan itu, maka sekali lagi kami nyatakan, bahwa yang dinamakan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah itu, ialah: 'Orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi SAW yang pernah diterangkan dan dicontohkan oleh para sahabatnya, baik ang mengenai urusan akidah maupun yang mengenai urusan ibadah dan akhlak".[31]

Akan tetapi, persoalan bagaimanakah metode akidah dan ibadah yang dilakukan Nabi serta sahabatnya itulah yang mengakibatkan perpecahan antara aliran salafiyyah dengan khalafiyyah seperti konsep penggalian hukum (إستنباط الحكم).
Urutan konsep ijtihad menurut Imam Hanbali itu adalah 1) al-Qur'an, 2) al-Sunnah yang Shahih, 3) Fatwa/Ijmak Sahabat, 4) Hadits Mursal atau Daif (selagi tidak maudlu'), 5) al-Qiyâs. Jadi, Imam Hanbali sangat mencintai hadits sehingga qiyâs diakhirkan. Bagi beliau, qiyâs itu hanya dipakai ketika dlarûrat sahaja.[32] Namun, menurut penelitian ulama, dasar istinbât hukum yang terdapat dalam kitab-kitab Madzhab Hanbali itu tidak hanya terbatas pada 5 tersebut, malah lebih: 1) al-Qur'an 2) al-Sunnah yang Shahih 3) Fatwa Shahabat 4) Ijmak 5) Qiyâs 6) Istishâb 7) Mashlahah al-Mursalah 8) Sadd al-Dzarâi'.[33]
Tersebut di dalam sebuah kitab pegangan pengikut aliran salafiyyah ala Ibn Taimiyyah yang dikarang Shâlih bin Fauzân, dengan judul "مقرر التوحيد" mengatakan bahwa konsep istidlâl aliran ini adalah berpegangan pada 3 perkara 1) al-Qur'an 2) al-Sunnah 3) Ijmak Ulama. Dalam hal ini, terdapat perbedaan dengan KH. Moenawar Chalil. Menurut beliau ijmak tersebut bukanlah ijmak ulama akan tetapi ijmak para sahabat Nabi SAW. Akan tetapi, sesuatu yang dapat disepakati, bahwa sangat jelas aliran Ibn Taimiyyah ini menolak qiyâs.[34] Ini juga dikuatkan dengan pendapat aliran al-Wahhabiyyah; yang mengatakan bahwa al-Qur'an dan Sunnah sudah cukup sempurna untuk penetapan hukum. Dalil yang dikemukakan adalah ayat: "اليوم أكملت لكم دينكم".[35] Bagi aliran wahabbiyyah pula pada dasarnya sama dengan Ibn Taimiyyah, seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa Muhammad bin Abd al-Wahhab itu mengikut pada Ibn Taimiyyah dan beliau adalah penggerak dan penyebar luas ajaran salafiyyah ini. Namun secara praktek, Muhammad bin Abd al-Wahhab ternyata lebih radikal dan keras daripada Ibn Taimiyyah.
D. I'tiqâd-I'tiqâd Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah
Di sini akan didaftarkan secara ringkas inti dari ajaran-ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah. Karena melihat kenyataan terdapat perbedaan antara Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah yang khalafiyyah dengan salafiyyah, maka akan dipisah keduanya. Akan tetapi, perbedaan diantara kalangan khalafiyyah sendiri atau salafiyyah sendiri tidak dipisah melainkan dijadikan satu, karena perbedaan tersebut bukanlah menjadi sebuah perkara yang prinsipil.
F Daftar Ringkas I'tiqâd Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah al-Khalafiyyah:
Imam yang sempurna ialah ikrar dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota.
Tuhan itu wujud, nama-Nya Allah serta 99 nama yang ada pada hadits Turmidzi.
Tuhan memiliki sifat yang banyak sekali dengan kesimpulan perkataan: Tuhan mempunyai sifat Jalal, Jamal, dan Kamal.
Sifat yang wajib diketahui dan hafal oleh mu'min yang baligh serta berakal ada 20. Lalu wajib juga mengetahui sifat yang mustahil baginya sebanyak 20.
Allah memiliki satu sifat Jâiz (جائز), yaitu Allah boleh berbuat juga boleh pula tidak berbuat.
Wajib percaya akan wujudnya malaikat. Jumlahnya banyak, akan tetapi yang wajib diketahui secara perinci ada 10.
Wajib percaya bahwa ada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Rasul-Nya. Jumlahnya banyak, akan tetapi yang wajib diketahui ada 4: Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur'an.
Wajib mengimani bahwa Allah mengutus Rasul. Sedangkan yang wajib diketahui secara terperinci ada 25 Rasul.
Wajib mengimani hari akhirat.
Wajib percaya bahwa qadla dan qadr itu datang dari Allah, sedangkan manusia hanya memiliki ikhtiyar atau kasab (usaha) yang juga dipercayai dimiliki Allah.
Tuhan bersama nama-Nya dan sifat-Nya semuanya qadîm termasuk Kalam Allah (al-Qur'an).
Anak kecil orang kafir kalau mati sewaktu kecil masuk syurga.
Doa mu'min memberi manfat baginya dan bagi yang didoakan (termasuk pahala tahlil dan sholawat).
Menziarahi kubur mu'min (para Rasul, wali, ibu bapa dan lain-lain) adalah sunnah. Melakukan safar untuk ziarah kubur juga merupakan ibadah.
Tawassul itu diperbolehkan dan hukumnya sunnah.
Bagi ayat-ayat musyabihat seperti "يد الله فوق أيديهم" harus ditakwil dengan makna sesuai dengan qaidah bahasa Arab karena bertentanggan dengan ayat "ليس كمثله شيء". Jadi maknanya "kekuasaan Allah mengungguli kekuasaan mereka".[36]
Allah dapat dilihat di syurga dengan mata kepala bukan dengan hati.
Di dunia tidak ada yang dapat melihat Allah kecuali Nabi Muhamamd SAW sewaktu mi'raj.
Rasul memiliki 4 sifat wajib: shidiq, amanah, fathonah, tabligh.
Rasul memiliki 1 sifat jâiz (جائز) yaitu seperti umumnya manusia (kawin, tidur, makan dan lain-lain).
Wajib mengerti sejarah Nabi Muhammad SAW dari segi silsilah, istri-istrinya, anak-anaknya dan menyakini beliau adalah Nabi dan Rasul terakhir.
Khalifah setelahnya Nabi Muhammad SAW adalah 1) Abu Bakar 2) Umar 3) Utsman 4) Ali. Mereka semua mu'min bukan kafir sampai akhir hayatnya.
Orang mu'min hanya bisa kembali menjadi kafir (murtad) apabila dia melakukan perkara-perkara yang dapat membuat dia murtad seperti yang terdapat dalam kitab-kitab. [37]
Dan lain-lain lagi
F Daftar Ringkas I'tiqâd Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah al-Salafiyyah:
Tauhid ada 2: al-Rubûbiyyah dan al-Ulûhiyyah.
Mengimani nama-nama dan sifat Allah sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur'an tanpa perlu ditakwil (malah haram ditakwil). Maka dari itu, Allah disebut memiliki tangan namun tangan Allah tidak sama seperti tangan makhluk dan tidak diketahui bentuknya. Begitu juga Allah memiliki mata dan wajah.[38]
Qiyâs tidak boleh dipakai karena ada ayat "اليوم أكملت لكم دينكم".[39]
Akal tidak berhak memiliki posisi dalam menentukan apa-apa dasar hukum agama.
Dilarang bertaqlid pada salah satu madzhab sekalipun. Muslimin haruslah berijtihad hanya memakai al-Qur'an dan al-Sunnah secara langsung.
Ziarah kubur Nabi Muhammad SAW adalah haram.
Tawassul adalah termasuk perlakuan syirik
Thalak tiga sekaligus hanya jatuh satu.
Bagi yang tidak sesuai dengan aliran ini adalah kafir dan halal untuk dibunuh.[40]
Berpendapat bahwa bid'ah itu semua sesat. Tidak ada bid'ah yang baik.
Thariqât al-Shufiyyah itu bid'ah dan sesat.
Dilarang bernadzar pada selain Allah.
Amalan seperti tahlil, mauludan, barzanji, dalail al-Kahirât, manaqib, dan lain-lain amalan yang tidak dilakukan Rasulullah SAW hukumnya bid'ah yang sesat dan maksiat.[41]
Dan lain-lain lagi.
BAB III
KESIMPULAN

Pengakuan sebagai golongan yang beruntung (أهل السنة والجماعة) pasti berlaku. Ini dikarenakan setiap manusia menganggap pegangannya itulah yang benar. Mana ada manusia merasa kepercayaannya itu sesat. Disebabkan dasar inilah, semua golongan mengklaim mereka adalah golongan yang beruntung. Kalau dahulu al-Asy'ari muncul karena melawan mu'tazilah. Sedangkan sekarang, wahabbiyyah muncul untuk memurnikan lagi akidah Ahl Sunnah wa al-Jamâ'ah.
Kesimpulannya, perbedaan pendapat antara satu golongan dengan golongan yang lain itu disebabkan latar belakang disebalik itu semua. Seperti al-Asy'ari yang keluar dari mu'tazilah juga karena melihat pada saat itu mu'tazilah sudah mulai merosot karena memaksakan rakyat untuk menerima aliran tersebut. Perpecahan di dalam tubuh Ahl al-Sunnah itu sendiri juga akibat dari latar belakang Ibn Taimiyyah yang menjadi seorang ahli fiqh Madzhab Hanbali yang memang terkenal tekstualis, bukan kontekstualis. Sedangkan Muhammad bin Abd al-Wahhab juga menjadi radikal karena memiliki latar belakang seorang Arab yang hidup di permukiman yang memang terkenal radikal seperti halnya kaum khawârij.Ahl Sunnah wa al-Jamâ'ah sebagai aliran yang selamat, walaupun terpecah-pecah, dapat dipahami sebagai aliran yang berpegangan dengan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai sumber utama dan yang pertama. Inilah dasar yang memang berbeda dengan mu'tazilah sebagai rival dari Ahl Sunnah wa al-Jamâ'ah itu sendiri.
[1] Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Farq baina al-Firq. (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, 2005), 5-6.
[2] Ibid. 244; Muhammad Hasyim Asy'ari, Risâlah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah. (Jombang: Maktabah al-Turâts al-Islâmî, 1418H), 23.
[3] Muhammad al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal. (Beirut: al-Maktabah al-'Ashriyyah, 2002), 9; Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), 9; Achmad Masduqi, Konsep Dasar Pengertian Ahli al-Sunnah wa al-Jamâ'ah (Surabaya: al-Miftah, t.t.), 6.
[4] Golongan al-Mu'tazilah memanggil golongannya dengan sebutan Ahl al-'Adl wa al-Tauhîd. Lihat: Abu al-Fadl al-Sanaurî, Syarh al-Kawâkib al-Lamâ'ah. (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), 17.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam. (Jakarta: UI-Press, 1986), 64.
[6] Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Farq baina al-Firq. (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, 2005), 240-1.
[7] Ibid. 244
[8] Sedangkan al-Maturidiyyah adalah sebuah aliran yang hampir sama dengan al-Asy'ariyyah. Maka dari itu al-Maturidiyyah juga digolongkan dengan Ahli al-Sunnah wa al-Jamâ'ah.
[9] Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Farq baina al-Firq. (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, 2005), 244.
[10] Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), 2-26.
[11] Perlu diketahui bahwa, sebuah kata itu adakalanya lughawî, syar'I dan 'urfî. Lughawî adalah sebuah kata yang dibuat ahli bahasa untuk mengistilahkan sebuah nama seperti Singa untuk binatang yang galak. Syar'I adalah kata yang dibuat oleh Syâri' (yang membuat syariat), seperti sholat untuk ibadah yang ditentukan. Sedangkan 'urfî adalah kata yang dibuat ahl al-'Urf yang awam (yang tidak tertentu siapa yang membuatnya) seperti 'الدابة' bagi haiwan yang memiliki kaki 4 seperti keledai. Kata ini secara bahasa adalah nama bagi setiap perkara yang jalan di atas tanah. Kalau yang dibuat ahl al-'Urf yang khash (yang tertentu siapa yang membuatnya) itu seperti kata 'الفاعل' bagi nama orang yang sudah diketahui ahli nahwu. Setelah mengetahui ini, haruslah diketahui bahwa sebuah lafadz itu wajib dipakai sesuai dengan yang menyebutnya. Seperti kata syar'I, maknanya diserahkan pada 'الشارع'. Begitu juga kata 'urfî atau lughawî atau keduanya karena adatnya seperti itu, lalu ia tidak terdapat makna syar'î atau ada akan tetapi dirubah, maka maknanya diserahkan pada makna 'urfî yang umum. Lalu, kalau tidak terdapat makna 'urfî yang umum, atau ada akan tetapi dirubah, maka maknanya diserahkan pada makna lughawî karena makna lughawî itu sudah pasti (tertentu). Begitu juga lafadz yang dipakai Ahl 'urf yang khash, maka dipegang pada makna yang sudah terkenal bagi mereka. Contohnya, al-Fâ'il itu dibaca rafa', maka wajib mengikuti makna yang sudah diketahui dalam nahwu bukan lainnya. Setelah mengetahui ini, ketahuilah bahwa kata al-Sunnah itu sudah memiliki makna tersendiri seperti yang telah diketahui. Kata al-Jamâ'ah pula adalah segala sesuatu yang terkumpul 3 atau lebih. Kata Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah pula adalah sebuah lafadz 'urfî yang dibuat 4 golongan (ahli hadits, ahli sufi, al-Asy'ariyyah dan al-Maturîdiyyah) pada diri mereka sendiri yang sesuai dengan apa yang mereka yakini yaitu alirannya Rasulullah SAW dan aliran sahabat-sahabatnya. Maka sampai sekarang nama tersebut dimutlakkan bagi orang yang mengikuti golongan ini seperti yang dinukil dari Imam al-Zabîdî. Kesimpulannya, tidak boleh menisbatkan nama Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah kecuali pada golongan 4 ini, karena mereka sebagai peletak nama tersebut. Lihat: Abu al-Fadl al-Sanaurî, Syarh al-Kawâkib al-Lamâ'ah. (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), 40.
[12] Muhammad al-Zabîdî, Ittihâf al-Sâdah al-Muttaqîn. (Beirut: Dâv al-Fikr, t.t.), vol. 2, 6.
[13] Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Farq baina al-Firq. (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, 2005), 240-3
[14] Al-Aslah adalah sebuah konsep inti dari ajaran Mu'tazilah yang mengajarkan bahwa Allah wajib berbuat baik kepada hambanya.
[15] Dialog ini dinukil dari beberapa kitab ini dengan sedikit dirubah redaksinya karena tidak ditemukan redaksi dalam bahasa Arab, juga karena redaksi dari berbagai kitab ini berbeda-beda sehingga memerlukan kata-kata yang memudahkan untuk difahami. Lihat: Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), 255; Harun Nasution, Teologi Islam. (Jakarta: UI-Press, 1986), 65; A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2003), 128; Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan (Kediri: Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, 2005), 124.
[16] Ibid., 124-5.
[17] Ibid., 125.
[18] Ibid., 128; A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2003), 167-8.
[19] Ibid. 168-70; Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan (Kediri: Tamatan Aliyah Lirboyo Angkatan 2005, 2005), 129.
[20] Ibid., 129-130.
[21] Ibid., 130.
[22] Amal Fathullah Zarkasyî, 'Ilm al-Kalam (Ponorogo: Dâr al-Salâm, 1997), 160.
[23] Al-Mujassimah adalah sebuah aliran yang menyakini bahwa tuhan itu memiliki jisim (anggota badan) dengan berupa bentuk apapun. Mereka berimajinasi bahwa tuhan itu memiliki tangan, kaki, wajah, dan lainnya. Salah satu dari tokohnya adalah Abu Abd Allah ibn Hamîd al-Baghdâdî al-Warraq (w. 403 H).
[24] Zamihan Mat Zin al-Ghari, Salafiyah Wahabiyah Suatu Penilaian (Selangor: Tera Jaya Enterprise, 2001), 15.
[25] Ibid., 16-17.
[26] Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhamamd bin Hanbal. Beliau adalah seorang imam pendiri Madzhab Hanbali. Dilahirkan di Baghdad. Dalam proses untuk mencari ilmu, beliau melakukan perjalanan ke Kufah, Bashrah, Mekkah, Madinah, Yaman, Damascus, al-Tsaghur, Maghrib, Jazâir, Farsi, Khurâsân, dan lain-lain. Beliau pernah berguru dengan Imam al-Syâfi'I. Pada saat beliau hidup, beliau mengalami masa-masa yang kritis karena pemerintahan setempat mengikuti aliran Mu'tazilah dan melakukan mihnah. Beliau dipenjara selama 28 bulan karena enggan mengakui bahwa al-Qur'an itu makhluk. Pada pemerintahan al-Mutawakkil, beliau dimuliakan al-Mutawakkil sebagai peralihan dari pemerintahan Mu'tazilah menjadi Ahl al-Sunnah. Lihat: Khair al-Dîn al-Ziriklî, al-A'lâm (Beirut: Dâr al-'Ilm al-Malâyîn, 2002), vol. 1, 203.
[27] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2003), 175.
[28] Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abd al-Halîm bin Abd al-Salâm bin Abd Allah bin Abi al-Qâsim al-Hanbalî Abu al-'Abbâs Taqiyy al-Dîn ibn Taimiyyah. Beliau adalah seorang imam dan syaikh al-Islam. Dilahirkan di Harrân dan pindah bersama bapaknya ke Damascus lalu jadi terkenal di sana. Karangan beliau banyak sekali, sehingga diprediksi mencapai 300 jilid. Lihat: Khair al-Dîn al-Ziriklî, al-A'lâm (Beirut: Dâr al-'Ilm al-Malâyîn, 2002), vol. 1, 144.
[29] Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abd al-Wahhab bin Sulaimân al-Tamîmî al-Najdî. Beliau dianggap sebagai pejuang memurnikan kembali agama di Jazirah Arab. Di lahirkan di Uyainah (daerah Najd). Dua kali melakukan perjalanan ke Hijaz, lalu tinggal di Madinah dan belajar bersama beberapa orang alim di sana. Pernah juga pergi ke Damascus dan Bashrah lalu kembali lagi ke Najd. Beliau tinggal di Huraimalâ' sedangkan bapaknya adalah qadi di sana. Lalu beliau pindah ke Uyainah lagi dengan membawa aliran al-Salaf al-Shâlih yang mengajak kepada tauhid yang murni serta membrantas semua jenis bid'ah yang berlaku. Pada awalnya beliau diusir oleh pemerintah setempat dan pindah ke Dar'iah. Di sinilah ia bertemu dengan Muhammad bin Su'ûd (moyang kepada kerajaan Saudi sekarang) dan berafliasi dengannya, yang mana urusan agama (pengaruh) dipegang Muhammad bin Abd al-Wahhab sedangkan Su'ûd memegang pucuk politik. Lihat: Khair al-Dîn al-Ziriklî, al-A'lâm (Beirut: Dâr al-'Ilm al-Malâyîn, 2002), vol. 6, 257.
[30] Ibid., 175.
[31] Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Qur'an dan al-Sunnah (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 447.
[32] Hafizh Anshari AZ, et.al., "Hanbali, Imam", Ensiklopedia Islam, ed. Kafrawi Ridwan, et.al. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2004), vol. 2, 84; Siradjuddin Abbas, Sejarah & Keagungan Madzhab Syafi'i. (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), 139-44.
[33] Ini adalah masalah yang terdapat dalam aliran salafiyyah. Metode penetapan hukum (yang juga digunakan untuk urusan tauhid) itu ternyata bertentangan antara satu sama yang lain. Berbeda dengan khalafiyyah yang memang menetapkan konsep istinbât tidak hanya terpacu pada konsep tertentu, akan tetapi tergantung pada konsep tersebut apakah memiliki dasar. Lihat: Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Damascus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 1, 53; Hafizh Anshari AZ, et.al., "Hanbali, Mazhab", Ensiklopedia Islam, ed. Kafrawi Ridwan, et.al. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2004), vol. 2, 85.
[34] Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Muqarrar al-Tauhîd (Ponorogo: Dâr al-Salâm, t.t.), 164; Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Qur'an dan al-Sunnah (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 360.
[35] Jamîl Afandî Shodaqî al-Zahâwî, al-Fajr al-Shâdiq (Kediri: al-Ma'had al-Islâmî al-Salafî Petok, t.t.), 19.
[36] Untuk masalah ini sebenarnya masih khilaf. Menurut Imam Abu Hasan al-Asy'ari, beliau menegaskan bahwa ayat tersebut tidak bisa ditakwil, tapi ditafwidl. Begitu juga pendapatnya Imam Malik. Akan tetapi, ulama al-Asy'ariyah yang mutaâkhir memilih untuk ditakwil dan mentarjih pendapat ini. Lebih jelasnya baca: Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy'arî, al-Ibânah an Ushul al-Diyânah (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, 1998), 51; Zamihan Mat Zin al-Ghari, Salafiyah Wahabiyah Suatu Penilaian (Selangor: Tera Jaya Enterprise, 2001), 20.
[37] Semua daftar tersebut dinukil dan diedit dari: Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), 78; W. Montgomery Watt, Islamic Creeds (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), 41.
[38] Lihat pembahasan ayat-ayat musyabbihat.
[39] Ini menurut pendapat Ibn Taimiyyah dan setelahnya. Sedangkan Hanbali hanya dipakai ketika darurat.
[40] Untuk hal halal membunuh ini hanya pendapat Wahabbiyah. Sedangkan Ibn Taimiyyah belum ditemukan pendapatnya.
[41] Semua daftar tersebut dinukil dan diedit dari: Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), 306; A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2003), 181; Jamîl Afandî Shodaqî al-Zahâwî, al-Fajr al-Shâdiq (Kediri: al-Ma'had al-Islâmî al-Salafî Petok, t.t.); Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Qur'an dan al-Sunnah (Jakarta: Bulan Bintang, 1999); W. Montgomery Watt, Islamic Creeds (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), 30; Amal Fathullah Zarkasyî, 'Ilm al-Kalam (Ponorogo: Dâr al-Salâm, 1997); Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Muqarrar al-Tauhîd (Ponorogo: Dâr al-Salâm, t.t.).