Wednesday, September 21, 2011

Mencari Ilmu di Maghribi @ Morocco (siri ke 1)

Sejak dua bulan lalu, ana teringin untuk mulai menulis artikel ini. Akan tetap, disebabkan oleh sibuknya mengurus tasjil dan lain-lain, terpaksalah tulisan ini tertunda. Walau bagaimanapun, harapan ana, tulisan ini merupakan tulisan bersambung dan sentiasa berusaha memberikan informasi yang diperlukan oleh setiap insan yang ingin mencari ilmu di Morocco.

Semua orang bertanya, mengapa Morocco menjadi pilihan belajar bukan Mesir, Jordan, Saudi atau Syria. Tanpa ada niat untuk merendahkan mana-mana dearah, terus terang sebagian alasan kenapa ana memilih Morocco adalah 1) Di Morocco, orang Malaysia dan Asia umumnya hanya sedikit. Lebih-lebih lagi, orang Maghribi rata-rata tidak mampu berbicara bahasa Inggeris. Mereka hanya tahu Perancis dan Arab atau Arab Local yaitu Darijah. Ini akan membuat ana mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab lebih banyak dan membiasakan lidah dengan bahasa Arab secara fasih. 2) Morocco dikenal dengan negara mutun @ jamak bagi kitab matan. Di sinilah anta akan belajar Alfiyah, dan lain-lain walaupun di University. 3) Semua biaya pendidikan dari degree, master dan PHD adalah percuma. Jadi ini sangat membantu bagi pelajar-pelajar yang ingin melanjutkan pengajian post graduate. Sebab kalau di Jordan dan Syria biaya akan melonjak. 4) Morocco adalah negara berkerajaan monarki yang meletakkan Islam sebagai agama rasmi negara serta bermazhab Asya'iroh dalam akidah, Maliki dalam mazhab fiqh dan Thoriq Imam Junaid dalam bertasawwuf. Asas ini telah diadopsi oleh Raja Morocco dari sebuah nazam karangan ulama Fes, Morocco yang terkenal yaitu Ibn Asyir: 

في عقد الأشعري وفقه مالك # وفي طريقة الجنيد السالك
 Dalam akidah al-Asy'ari dan fiqh Maliki dan di dalam jalan al-Junaid jalan mencari (Allah)

5) Morocco adalah negara bersejarah. Bahkan University tertua dan masih berfungsi di dunia adalah University Qarawiyyin berada di negara ini. Kehebatan ulama seperti Imam Abd al-Wahid bin Ahmad bin Asyir al-Anshori al-Fasi pengarang Manzumah fi al-Fiqh al-Maliki, Imam Shonhaji pengarang Matan al-Ajjurumiyyah, Imam Jazuli pengarang Dalail al-Khoirat, Imam al-Makudi yang mensyarahkan Alfiyah Ibn Malik, sampaikan filosof Yahudi yang dikenal Maimonides juga pernah menuntut di sini. Untuk lebih lanjut sila buka http://en.wikipedia.org/wiki/University_of_Al-Karaouine untuk mengetahui lebih. Insya Allah ana akan menceritakan banyak tentang Qarawiyyin ini pada thread yang lain. Dan banyak lagi alasan lain.



Untuk sistem akademik, semua permohonan wajib melalui Kementrian Pelajaran Tinggi (KPT/MOHE). Kementrian akan memilih 15 sahaja pelajar setahun. Ini disebabkan ia sudah merupakan kesepakatan antara kerajaan Morocco dengan Malaysia. Begitu juga dengan negara lain seperti Indonesia, dan Thailand. Ana tidak tahu kenapa bagi Singapura, Brunei, Cambodia dan lain-lain negara ASEAN tidak ada program ini. Walau bagaimanapun, dalam waktu-waktu tertentu, kadangkala dengan permohonan dari pihak Kedutaan Malaysia Rabat, mungkin sahaja akan diterima pelajar selain 15 tersebut. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa pelajar selain 15 itu hanya akan diproses setelah 15 pelajar tersebut selesai dan juga tetap wajib melalui KPT. Pelajar yang memilih jenjang ijazah akan ditempatkan di University yang ditentukan oleh Wikalah Morocco untuk orang Ajanib atau mereka dikenal dengan AMCI dan kalau menurut istilah KBRI adalah Anjung. Walau bagaimanapun, setiap pelajar diperkenan memberi 3 pilihan university yang diinginkan. Bidang yang disediakan adalah banyak akan tetapi yang menjadi pilihan utama rakyat Malaysia adalah Pengajian Islam (دراسة إسلامية) dan Bahasa Arab (دراسة اللغة العربية).

Sedangkan untuk jenjang Master, calon mahasiswa harus mencari tahu dahulu bidang apa yang dibuka untuk tahun ajaran yang akan dia masuk. Bidang ini disebut dengan maslak master (مسلك الماستر). Setelah mengetahui bidang yang ditawarkan maka barulah mahasiswa tersebut boleh daftar melalui KPT, dan selanjutnya KPT akan forwardkan permohonan tersebut ke Kedutaan Malaysia di Rabat dan akan didaftarkan di AMCI. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kesulitan dan kemusykilan dalam permohonan master adalah disebabkan pengumuman maslak yang dibuka tidak pasti. Dalam arti, kadang-kadang satu maslak akan di buka pada tahun ini dan mungkin tahun depan ditutup. Juga maslak yang dibuka dihadkan kepada beberapa maslak saja satu Jabatan di University tertentu. Misalnya, Maqashid al-Syari'ah hanya buka di University Sidi Muhammad ben Abdillah, Fes di cabang Sais. Dan ini tidak ada di tempat lain. ia jugaa mungkin hanya dibuka 3 tahun. setelah itu tutup. Begitu juga mungkin sampai 5 tahun. Yang jelas, sebuah nasihat dari ana adalah "Morocco tidak dapat ditebak dengan pasti, semua bergantung nasib dan usaha seseorang untuk mencapai sebuah cita-cita". Selain itu, setiap maslak akan diberi had jumlah orang ajanib yang dapat diterima. Sesuatu yang disesalkan adalah biasanya hanya 1 kursi untuk Ajanib dari Asia. So anta kena bersaing dengan pelajar2 ASEAN lainnya. Bagi calon Dukturoh pula, sebaiknya mencari musyrif terlebih dahulu dengan memberikan keyakinan kepadanya bahwa anta layak untuk membuat PHD di bawah bimbingan beliau. Berikutlah sekilas tentang pendidikan akademik di Morocco.

Pendidikan lain yang perlu diperhatikan dan perlu menjadi tujuan para thalib sekarang adalah Ta'lim Atiq (تعليم عتيق) atau dapat ana terjemahkan dengan pendidikan traditional atau pendidikan sistem pondok pesantren. Pendidikan ini sudah wujud sejak awal terbentuknya Jami' Qarawiyyin yaitu pada tahun 859 M atau boleh dikatakan abad ke 3 Hijriyyah. Sistem pendidikan yang berjalan sekarang adalah seperti layaknya Pondok-pondok di Malaysia dan Thailand atau Pesantren di Indonesia. Yaitu, kitab-kitab yang digunakan adalah kitab Turats @ kitab lama seperti Alfiyah Ibn Malik dalam Nahwu, Muwatha', Matan Ibn Asyir bagi fiqh Mazhab Maliki, Jam'u al-Jawami' oleh al-Subki al-Syafi'i dalam Usul Fiqh, Akidah Sanusiyyah dalam Akidah, juga ada beberapa pelajaran seperti bahasa Inggeris dan Perancis akan tetapi pendalamannya kurang begitu ditekankan.


Sistem pengajian di sini adalah seperti yang terdapat di Jawa yaitu masih mengaji di atas lantai serta ustaz atau syaikh duduk di kursi seperti yang tertera di gambar. Bahkan, di masjid yang agung ini, terdapat banyak kursi menunjukkan berapa muhadharah yang diadakan. Sebelah kursi ada papan putih sebagai alat untuk menerangkan kepada para murid. Pengajian dimulai pada pukul 8 pagi sampai zuhur. Setelah itu istirehat dan mulai lagi pukul 2.30 sampai pukul 6 petang. Di masjid ini juga terdapat sebuah perpustakaan kecil yang tidak dibuka kecuali bagi Asatidz yang di dalamnya tersimpan manuscript-manuscript ulama-ulama Qarawiyyin yang lama.

Kehebatan di madrasah ini adalah syarat masuknya yang sangat diperketat sejak zaman dulu kala lagi. Misalnya, murid yang ingin melakukan pengajian di sini wajib menghafal al-Qur'an secara sempurna, menghafal beberapa matan yang penting seperti Alfiyah Ibn Malik, Matan Ibn Asyir, Akidah Sanusiyyah, dan beberapa lagi yang lain. Pada tahun 2002, kerajaan Morocco telah merombak pendidikan ta'lim atiq di negaranya dengan menetapkan ujian akhir untuk mendapatkan sijil Bakuluria/Alimiyyah atau seperti ijazah Aliyah (Indonesia) atau STAM (Malaysia). Walau bagaimanapun, kerajaan Morocco tidak merubah silubus kitab yang digunakan di madrasah-madrasah atiq yang tersebar di berbagai daerah di Morocco.

Insya Allah akan Bersambung....

Friday, September 16, 2011

Ziarah Rohani Bersama KH Maimun Zubair di Fes

Alhamdulillah adalah sebuah kata-kata yang ana ucapkan berkali-kali hari ini. Ini disebabkan ana secara tidak sengaja dapat berkhidmat untuk seorang Ulama Agung di Indonesia, yaitu KH. Maimun Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Terima Kasih juga ana ucapkan kepada segenap Staff KBRI Maroko: Ibu Duta, Bapak Dedy, Bapak Suparman, dan Bapak Plasit (Maaf kalau salah eja karena memang sulit menyebutkan nama beliau yang merupakan asal Maroko tapi fasih bertutur bahasa Indonesia). Juga tidak dilupakan kepada Gus Kamil Maimun (Putra Mbah Yai), Gus Arwani (Putra Kyai Thoifur Lasem), Ibu-ibu nyai dan salah seorang pengiring Romo Yai. 

Awal cerita dari perjalanan ini adalah sambungan dari acara di Universitas Ibn Tofail, Kenitra di mana beliau berpeluang berceramah di hadapan dosen-dosen salah satu universitas bergengsi di Maroko. Salah satu petikan di dalam ceramah beliau adalah "Ilmu pertama yang masuk di dalam dadaku adalah kitab al-Ajjurumiyyah fi al-Nahwi maka ilmu pertama yang masuk dalam dadaku adalah ilmu ulama Maghribi"... Masya Allah, Tidak salah bagi ana untuk memilih Maroko sebagai tempat ana menuntut ilmu setelah Indonesia. Beliau juga menceritakan di mana ulama Indonesia dan Maroko memiliki ikatan yang kuat karena memiliki budaya, dan asal usul ilmu yang sama. Di Indonesia, kitab Dalail al-Khoirat diamalkan di mana-mana. Pengarang kitab ini adalah Syaikh Jazuli yang mana beliau mengarang kitab ini di salah satu Madrasah tempat santri-santri Jami' Qarawiyyin tinggal. Ana sendiri memang sudah mengamalkan kitab selawat ini dan semoga dapat memberi manfaat bagi diri ana agar lebih istiqamah dalam apapun ibadah dan amalan. Amin.

Tanpa perlu panjang cerita, kesan dari ceramah di Kenitra, ana memutuskan untuk berangkat ke Fes pagi-pagi agar dapat ikut rombongan KH Maimun Zubair untuk berziarah di kota Fes. Apalagi, ana memang sudah pindah di Fes. Ana juga memang sudah sering ke Madinah Qadimah serta ke Dharih (Maqam) wali-wali kota Fes. Dalam Sepur, ana menghubungi Mas Sholeh @ President PPI Maroko priode 2011-2012. Dan terima kasih beliau telah menghubungkan ana kepada Bapak Dedy yaitu staff KBRI Maroko dan tanpa disangka pak Dedy begitu ramah serta mensilakan ana untuk tunggu di Atlas tepatnya bunderan yang ada al-Kurrah al-Ardliyyah. Ana pun pergi berangkat bersama salah seorang kawan Malaysia dan terima kasih juga buatnya. Sekitar pukul 11.30 ana melihat mobil hitam Merci dan Land Cruiser berpelat kuning. Maka ini adalah tanda mobil kedutaan Indonesia. Ana pun bergegas menemui Pak Dedy dan ternyata Pak Dedy memberi tempat untuk ana masuk dalam mobil serta menunjukkan jalan ke Madinah Qadimah. Malah yang terkejut, perjalanan ini seolah-olah ditanggung jawabkan kepada ana, padahal tujuan ana hanya ingin bertabarruk dengan Romo Yai serta ingin mendengarkan beberapa fatwa beliau. Inilah suatu nikmat yang diberikan kepada Allah ketika niat kita adalah untuk mengabdi kepada orang Alim. Kyai Hannan Kwagean pernah berpesan kepada ana bahwa "man khadama khudima" (siapa yang berkhidmat maka akan diberi khidmat). Maka bermulalah ziarah Fes kami di pintu masuk Bab Rasif.

Ketika mobil KBRI berhenti di halaman yang semua mobil dilarang masuk kecuali kami, maka KH Maimun pun turun. Ana tanpa ragu-ragu terus sambut beliau dan memperkenalkan diri ana. Maka ana menjelaskan sedikit tentang sejarah Madinah Qadimah Fes ini serta tujuan pertama kita yaitu Madrasah al-Shaffarin. Madrasah ini sebenarnya merupakan kamar-kamar untuk santri-santri Jami' Qarawiyyin. Teman Malaysia ana pernah bilang kalau dulu pernah ada santri dari Indonesia yang mondok di sini. Dan beliau juga menceritakan kalau di dalam salah satu kamar ini ada mauqifnya Imam Jazuli di mana beliau gunakan untuk mengarang kitab Selawat Dalail al-Khoirat. Ana pun menceritakan ini kepada Romo Yai.

Setelah itu, ana mengajak Romo Yai ke perpustakaan Qarawiyyin. Biasanya dilarang untuk dijadikan tempat tourist. Tapi dengan karisma KH Maimun, kami dapat masuk serta kekuatan Ibu Duta, pegawai perpustakaan seolah-olah tidak mampu menghalang kami. Bahkan, orang Maroko biasa aja tidak dapat masuk sampai di bahagian kitab, tapi kami berhasil memegang dan membaca beberapa kitab di tempat buku tersusun. Bahkan Romo Yai sempat membuka-buka kitab dan membaca hampir 15 minit di situ. Ketua Perpustakaan bahkan bilang ke Romo Yai kalau mereka memiliki 4000 lebih manuscript yang di simpan di sini. dan kebanyakannya sudah di foto atau masuk dalam micro film untuk dibaca oleh para ahlinya. Ana berharap untuk dapat melakukan tahqiq kitab seperti ini di sini apalagi dengan modal didikan mas ana yang memang ahli baca makhthutat. Amin.

Ketika Azan Zuhur kedengaran, maka ana menyusulkan kepada rombongan untuk segera ke Jami' Qarrawiyyin dan melakukan solat Zuhur karena pintu masjid hanya akan dibuka ketika waktu solat sahaja. Ketika selesai mereka akan menguncinya. Di dalam masjid, saya membantu Romo Kyai untuk berwudlu dan beliau mampu untuk wudlu sendiri walaupun berumur 84 masih kelihatan peka dan tetap menjaga wudlu beliau serta membasuh tempat2 yang memerlukan untuk diperhatikan masuknya air di dalamnya seperti celah2 jari kaki. Setelah itu, ana menghantarkan beliau di depan mihrab solat agar beliau mendapatkan saf pertama. Ketika itu, beliau bertanya mengapa orang-orang pada solat mereng ke kiri? ana pun menjawab bahwa dulu bangunan masjid Qarawiyyin dibina ketika belum tahu arah kiblat. akan tetapi setelah beberapa ratus tahun baru diketahui kesalahan tersebut. Oleh sebab itu mereka merubah arah kiblat akan tetapi bangunan tetap sama. Perkara ini langsung ditolak oleh KH Maimun Zubair. Beliau berkata itu tidak sepatutnya berlaku. Karena dalam 4 mazhab yang penting adalah dalail al-qiblat. Jadi dengan menghadap arah timur sudah benar. Ini berbeda dengan mazhab Syiah menurut beliau. Ana juga ada menambahkan beberapa keterangan tentang Jihah al-Qiblat yang dipegang bukan Ain al-Ka'bah. Oleh itu, Romo Yai jelas kurang suka dan mengingatkan ana berulang kali. Perkara ini ditegur beliau karena isu perubahan kiblat masjid di Indonesia yang juga seperti di dalam film Sang Pencerah. Tanpa perlu membahas ini, ana memperkenalkan beliau dengan Imam Masjid Qarrawiyyin. Setelah itu ana menunjukkan kursi-kursi di masjid di mana kursi tersebut adalah tempat duduk Syuyukh Qarawiyyin untuk mengajar. Dan ana juga menjelaskan bahwa Jami' Qarawiyyin bahwa ia seperti pesantren di Indonesia. 

Setelah itu, kami pun bergegas ke Mat'am @ Restoran Maroko dan makan. Ketika di sinilah ana dapat bertanya beberapa soalan kepada beliau tentang perkara-perkara yang ana perlu petunjuk dari beliau. Tentunya tidak dapat ana jelaskan isi dari perbicaraan kami. Tapi sesuatu yang menarik adalah keistimewaan kitab Dalail al-Khoirat. Habis menjamu selera, kami pun berangkat menuju ke Maqam Syeikh Tijani. Di sana kami disambut oleh khalifah Thoriqoh tersebut. Selanjutnya membaca tahlilan dan doa bersama.

Ketika sudah selesai, kami berangkat menuju kenderaan untuk selanjutnya berangkat ke Dhorih Abu Bakar Ibnu al-Arabiy, pengarang Tafsir Ahkam al-Qur'an yang masyhur. Alhamdulillah ana dibantu oleh teman Arab untuk menunjukkan jalan. Setelah selesai, ana pun pamit kepada Romo Yai serta Rombongan dan minta agar didoakan segalanya lancar. Maka dengan ini, ana mengucapkan Terima Kasih banyak kepada KH. Maimun Zubair. Semoga kami ada umur panjang untuk bertemu kembali. Amin.

Saturday, September 3, 2011

Sekali Lagi Cakung-Jakarta Timur Membawa Fitnah

Ana teringat pada Tahun 2007 kalau tidak salah, di mana lebaran bagi NU sendiri terbagi menjadi dua. Yang PBNU menetapkan hari Selasa kerana menurut Hisab Tahqiqi adalah tidak Imkan Rukyah. Sedangkan PWNU dengan sepihak menetapkan hari Senin sebagai lebaran kerana menerima Syahadah Rukyah dari Cakung, dan juga dari Bangkalan Madura dengan hanya berpandukan Hisab Taqribi. Setelah itu, pesantren-pesantren terutama di daerah Kediri dan Jawa Timur mengadakan Bahtsul Masail yang diawali di Lirboyo pada malam pembukaan LBM dengan soal yang dirumuskan oleh beberapa Team Perumus dan ana juga turut andil dalam pembuatan soal tersebut. Ketika itu ana sudah memberikan gambaran kalau secara falak dan rasional tidak mungkin menerima syahadah tersebut. Akan tetapi sebagian berpendapat untuk menerima syahadah secara mutlak. Lalu diberi ibarat dari Ibn Hajar dan lain-lain mengkisahkan di mana ternyata syahadah orang tersebut bertentangan dengan kenyataan pada hari setelahnya. Akhirnya mayoritas berpegang pada pendapat Ibn Hajar yang lebih bersifat ilmiah tapi tetapi dogmatis yaitu untuk itsbat awal bulan memang harus memakai rukyah akan tetapi hisab dijadikan dasar untuk menolak syahadah-syahadah yang tidak masuk akal. Ini berbeda dengan al-Romli yang menerima syahadah mutlak dan pendapat yang hanya ingin berpegang pada hisab bahkan hanya dengan metode wujud al-hilal yang jelas-jelas bertentangan dengan nas itu sendiri.

Walau bagaimanapun, bagi kelompok yang memilih untuk berpegang dengan wujud al-hilal ini biarlah mereka dengan dimensi paradox mereka. Itu adalah hak mereka. Akan tetapi, yang ana tekankan dalam beberapa diskusi ana bersama asatidzah di pesantren-pesantren salaf adalah untuk tidak terpesong dengan rukyah Cakung dan hanya dengan hitungan Taqiribi. Misalnya, ada pesantren yang berkata bahwa mereka berhujjah dengan gabungan dua kriteria NU yaitu RUKYAH - dalam hal ini berpegang pada rukyah Cakung, dan HISAB - dalam hal ini imkan rukyah berdasarkan hitungan kitab Sullam al-Nairoin dan Fath al-Rauf al-Manan yang sebenarnya merupakan Hisab Taqribi. Ketika berhujjah, ana tidak salahkan hujjah mereka (gabungan hisab dan rukyah) tapi bahan hujjah mereka yaitu Cakung dan Hisab Taqribi. Buktinya, Cakung selalu dan bahkan hampir setiap tahun bersyahadah kalau mereka rukyah, padahal ketika diselidiki posisi hilal selalu ganjal. Apalagi mereka sudah ditolak hakim untuk diterima sumpahnya. Dan menurut fiqh, ini menunjukkan mereka sudah kehilangan sifat adil bagi kacamata hakim. Untuk selanjutnya baca artikel dari Lajnah Falakiyyah NU Jatim dari portal rasmi NU. Sedangkan di sisi lain, Hisab dari kitab Sullam al-Nairoin dan sejenisnya adalah tidak akurat dan sudah bergeser zaman. Ana beri contoh: dalam Sullam al-Nairoin setiap hasil perhitungan yang dirumus dalam Zaiqh Ulugh Baighk harus ditambah atau dikurangi 6 kerana menurut kitab itu terbenam dan terbitnya matahari adalah jam 6. Secara real, apakah terbenam dan terbit matahari pasti jam 6? Banyak lagi alasan lain yang dapat kita ketahui kalau kita mempelajari hisab-hisab yang lain seperti Ephimeris, Odeh, Nautical Almanak, dan kitab-kitab Falak yang ana dapat di Maghrib ini.

Oleh itu, ana nasihatkan kepada segenap warga NU dan juga kepada pesantren-pesantren NU untuk menyadari masalah ini. Bukan berarti ana menolak Qadhi Betawi yang mengarang Sullam al-Nairoin. Ana hanya ingin menyeru dalam menjadikan panduan imkan rukyah sebaiknya kita memakai kriteria Hisab Tahqiqi. Walau bagaimanapun, Kitab Sullam al-Nairoin tetap perlu dipelajari di pesantren-pesantren, kerana kitab ini adalah tangga awal bagi santri untuk memahami falak. Begitu juga dengan kitab falak lainnya seperti Risalah al-Qomarain yang dikarang oleh salah seorang ulama falak Kediri. Tapi setelah para santri faham dan mahir Hisab Taqribi, marilah kita mengaji kitab Hisab Haqiqi pula. Sedangkan masalah Cakung kita harus segera tolak bersama-sama dan kalau bisa pemerintah harus segera mengangkat hakim dan aparat hukum khusus di sana untuk memastikan masalah rukyah di sana....

Untuk menutup pembahasan ana, beriku ana beri artikel dari Lajnah Falakiyyah NU dan Hasil Bahtsul Masail di Pembukaan BM LBM Lirboyo yang ana hadiri waktu itu:


02/09/2011 08:03
Hilal Imajiner 1 Syawal 1432 dari Cakung

Oleh : Ibnu Zahid Abdo el-Moeid

Dalam menyikapi kesaksian rukyat di pantai Cakung Jakarta Timur sebagian kalangan berargumen "Walaupun secara hisab tidak ada kemungkinan hilal bisa dirukyat akan tetapi jika Alloh menghendaki kenapa harus ditolak?". Dalam kaedah ilmu hakekat argumen tersebut tidaklah salah, akan tetapi tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan hukum syar'i, karena hukum berdasarkan kenyataan bukan hakekat.

Syarat pertama kesaksian rukyat hilal adalah adilnya seorang saksi (Al-Adalah/Kredibel) dan yang kedua adalah adanya obyek hilal yang bisa dilihat secara indera, akal, adat dan syara'. Jadi apabila ahli hisab sepakat secara ilmiah tidak mungkinnya hilal untuk dilihat, maka kesaksian seseorang atau beberapa orang adil sekalipun yang menyaksikan hilal harus ditolak, karena hisab adalah qothi sedangkan rukyat adalah dhonni, I'anatut Tholibin juz 2 hal 216 (Maktabah Syamilah 3.8)

Kesaksian melihat hilal tidaklah serta merta harus diterima hanya karena saksi bersedia untuk disumpah. Hilal bukanlah benda gaib, hilal adalah obyek nyata yang bisa diamati, dianalisa dan diprediksi posisi keberadaannya secara ilmiah. Kesaksian yang tidak rasional memang seharusnya ditolak. Misalnya, ketika hari sedang mendung, kemudian pada pukul 5 sore seseorang menyerukan bahwa sudah tiba saatnya berbuka puasa karena telah melihat matahari terbenam di ufuk barat, yang demikian itu tidak bisa diterima walaupun kesaksian tersebut diperkuat dengan sumpah sekalipun.

Pun juga kesaksian melihat hilal di Cakung Jakarta Timur memang seharusnya dipertanyakan karena tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan yakni hisab hakiki (qoth'i). Memang sebagian hisab taqribi (hisab yang perhitungannya belum menggunakan segitiga bola) mengklaim bahwa ketinggian hilal pada tanggal 29 Agustus 2011 tersebut sudah mencapai 3-4 derajat. Akan tetapi berdasarkan penelitian kami sepuluh tahun terakhir ini hasil perhitungan dengan hisab taqribi jauh dari realitas di lapangan dengan pengukuran yang seksama menggunakan perangkat theodolite. Dan ketidak sesuaian hisab taqribi ini juga bisa dibuktikan ketika terjadinya gerhana bulan maupun gerhana matahari yang mana kesalahannya mencapai 1 jam.

Untuk itu menurut hemat penulis agar tidak menambah perselisihan dalam penentuan awal Romadlon, Syawal dan Dzulhijjah diantara para ahli hisab sendiri, sebaiknya tidak menggunakan hisab taqribi dalam penyusunan kalender hijriyah, bersikaplah obyektif dalam menilai keakurasian sebuah metode hisab karena kitab hisab bukanlah kitab suci yang tidak boleh dikritisi. Kitab hisab/falak seharusnya dikoreksi terus-menerus dengan melakukan pengukuran seksama terhadap matahari dan bulan agar sesuai dengan perkembangan zaman dan realitas yang ada.

Seperti diberitakan beberapa media televisi, seperti di TvOne bahwa hilal awal Syawal 1432 hijriyah terlihat di Cakung Jakarta Timur dengan ketinggian 3,5 derajat. Andaikata klaim itu dianggap benar tentu satu hari berikutnya 30 Agusuts 2011 ketinggian hilal minimal sudah mencapai 15,5 derajat karena secara rata-rata kecepatan bulan dalam sehari semalam diatas 12 derajat. Akan tetapi realitasnya satu hari berikutnya tinggi hilal saat maghrib hanya 14° 10' 50"

Setelah tidak berhasil melihat hilal pada hari Senin, 29 Agustus 2011, kami Lajnah Falakiyah NU Kabupaten Gresik bersama Lajnah Falakiyah NU Surabaya dan Lajnah Falakiyah Lanbulan Madura melakukan observasi hilal pada hari berikutnya (Selasa, 30 Agustus 2011) di bukit Condrodipo Kebomas Gresik koordinat 112° 37' 2,5" BT, 7° 10' 11,1'' LS.

Dalam observasi ini kami menggunakan tiga theodolite, Nikon NE-202, Nikon NE-102 dan theodolite China. Sebelum pengamatan hilal berlangsung azimut theodolite kami kalibrasi dengan matahari. Petunjuk waktu menggunakan Casio W96H dikalibrasi dengan Atom Time. Untuk mengarahkan theodolite ke arah hilal kami menggunakan tabel yang kami persiapkan sebelumnya dengan algoritma Irsyadul Murid dan sebagai pembanding kami menggunakan Accurate Times dan Ascript.

Sabit bulan pertama kali terlihat pada pukul 17:14:00 (sebelum maghrib) ketika theodolite kami arahkan ke posisi Alt 18° 15' 05", Azm 269° 49' 10". Pada posisi tersebut hilal tidak pas di tengah-tengah theodolite, lalu posisisinya kami perbaharui mengikuti obyek hilal tersebut dan terbaca di layar theodolite posisinya berada di Alt 17° 49' 25", Azm 269° 49' 10". Untuk melihat foto saat tersebut silahkan klik link dibawah ini : http://moeidzahid.site90.net/rukyat/foto_rukyat_29_08_2011/foto_rukyat_29_08_2011_01.JPG

Setelah obyek hilal terdeteksi, kami mengikuti hilal sampai saat maghrib tiba yakni pukul 17:30:30 dimana posisinya berada di Alt 14° 10' 50", Azm 269° 20' 05". Untuk melihat foto saat tersebut silahkan klik link dibawah ini : http://moeidzahid.site90.net/rukyat/foto_rukyat_29_08_2011/foto_rukyat_29_08_2011_02.JPG

Dengan demikian klaim hilal dari Cakung yang melihat hilal di kisaran 3-4° derajat pada hari Senin 29 Agustus 2011 tidak sesuai dengan adanya bukti otentik yang diambil saat maghrib pada hari Selasa, 30 Agustus 2011 di Condrodipo, Andaikata klaim hilal dari Cakung tersebut dianggap benar tentu satu hari berikutnya ketinggian hilal minimal sudah mencapai 15,5 derajat karena secara rata-rata kecepatan bulan dalam sehari semalam diatas 12 derajat. Akan tetapi realitas yang ada satu hari berikutnya tinggi hilal saat maghrib hanya 14° 10' 50"

Maka bisa jadi obyek yang terlihat di Cakung tersebut bukanlah hilal 1 Syawal 1432 H. melainkan potongan awan yang terkena sinar matahari yang akhirnya terbentuk seperti hilal. Atau bisa jadi hilal imajiner yang timbul karena terobsesi oleh kenginan yang kuat untuk melihat hilal dengan dukungan system hisab yang ketinggian hilalnya berkisar antara 3°- 4°.

Penulis adalah :
- Dewan Pakar Lajnah Falakiyah NU Gresik
- Koordinator RHI (Rukyah Hilal Indonesia) wilayah Gresik
- Anggota Badan Hisab Rukyat Jawa Timur
- Litbang Forum Kajian Falak Jawa Timur


Rumusan Bahtsul Masail Perdana

LBM P2L 2006-2007 M.

yumuw

PERBEDAAN HARI RAYA IDUL FITRI

Deskripsi Masalah

Meski telah terjadi beberapa kali dalam satu dasawarsa ini, perbedaan hari raya Idul Fitri nampaknya masih menjadi bahan kontroversi menarik di sejumlah kalangan. Perbedaan ini bukan saja timbul karena perbedaan orientasi penetapan berdasarkan hisab ataupun ru'yah, atau berbagai perbedaan (khilafiyah) teori ru'yah dan hisab. Di kalangan warga Nahdliyyin sendiri terjadi perbedaan hari raya. PBNU dan pemerintah sepakat membuat keputusan (itsbat) Hari Raya Idul Fitri jatuh pada hari Selasa dan menolak hasil ru'yah di beberapa daerah. PWNU Jawa Timur yang dengan berlandaskan hasil ru'yah di Bangkalan meng-ikhbar-kan hari raya Senin. Daerah-daerah di Jawa Timur khususnya (sejumlah PCNU) pun menyikapi dualisme ini secara beragam. Ada yang mengekor hasil ru'yah serta ikhbar PWNU. Sementara itu, pemerintah melalui Departemen Agama, tidak memaksakan hasil "itsbat" yang dilakukan bersama sejumlah ormas Islam untuk diikuti, namun mempersilahkan kepada umat Islam untuk berhari raya sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Pertanyaan

Dalam perspektif hukum fiqh, manakah diantara dua perbedaan hari raya di atas yang wajib diikuti oleh kaum muslimin?

Jawaban

Menyikapi permasalahan di atas, para ulama berbeda pendapat;

@ Imam As-Subki berpendapat, jika menurut ahli hisab pada suatu hari dinyatakan tidak mungkin terlihat hilal, maka hasil ru'yah yang menyatakan terlihatnya hilal pada saat itu tidak dapat dibenarkan. Karena menurutnya, validitas perhitungan (hisab) atas tidak mungkinnya ru'yah oleh ahli hisab tidak dapat dimentahkan dengan ru'yah yang (menurutnya) hanya mampu mengantarkan pada taraf persangkaan (zhan). Ketidakmungkinan melihat hilal ini harus berdasarkan pada instrumen ilmu hisab yang memadai dan dinyatakan pasti serta telah teruji kebenarannya (valid-qath'iy);

@ Versi kedua, menurut pendapat Imam Romli, penentuan hilal hanya dapat dicapai melalui metode ru'yah, atau istikmal, karena persaksian tentang munculnya hilal oleh saksi merupakan hal yang mendapatkan legitimasi dari syariat dengan sabda: "Shumu liru'yatihi wa-afthiru liru'yatihi". Dengan mengabaikan atas mungkin ataupun tidak mungkinnya ru'yah (yang disampaikan oleh ahli hisab). Sehingga jika ada yang bersaksi bahwa hilal telah muncul, maka itu yang diikuti, walaupun ahli hisab menyangsikan kesaksian ru'yah tersebut.

@ Sedangkan Imam Ibnu Hajar cenderung mengakomodir pro-kontra penentuan hilal dengan mempertimbangkan ru'yah dan hisab. Ia bersepakat untuk mementahkan hasil ru'yah namun dengan syarat yang ketat. Yakni, pernyataan yang disampaikan oleh ahli hisab (atas tidak mungkinnya ru'yah) harus didukung dengan kesepakatan seluruh ahli hisab, serta disampaikan oleh golongan yang mencapai jumlah banyak (tawatur). Selanjutnya, tendensi ilmu hisab yang digunakan harus hisab yang valid (qoth'iy), telah berulang kali terbukti kebenarannya. Jika tidak memenuhi persyaratan di atas, maka beliau menyatakan harus mengikuti hasil ru'yah.

Kesimpulan dari uraian di atas, fenomena perbedaan Hari Raya Idul Fitri yang terjadi pada tahun ini dapat dibenarkan sesuai dengan pendapat para ulama, baik yang melaksanakannya pada Hari Senin maupun Selasa. Wallohu A'lam bisshowab.

Referensi

1. I'anatuttholibin, Juz.II Hal. 216

2. Fatawi Ar-Romli, Hal. 358

3. Fatawi An-Nafi'ah, Hal. 34

4. Fatawi Sayidi Kholili, Hal. 112

5. Fathul Jawad Juz I Hal. 282

6. Bughyah al-Mustarsyidin Hal. 109-110

7. Al-Mufasshol Juz II Hal. 26

8. Busyrol Karim Hal. 541

9. Tafsir Jami'ul Ahkam Juz V Hal. 259

10. Fatawi As-Subki Juz I Hal. 207-213

Ibarot

1. إعانة الطالبين تاجزء الثاني ص: 216

(فرع) لو شهد برؤية الهلال واحد او اثنان واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته قال السبكي لاتقبل هذه الشهادة لأن الحساب قطعي والشهادة ظنية والظن لا يعارض القطع وأطال فى بيان رد هذه الشهادة والمعتمد قبولها إذ لا عبرة بقول الحساب إهـ وفصل فى التحفة فقال الذي يتجه ان الحساب ان اتفق اهله على ان مقدماته قطعية وكان المخبرون منهم بذلك عدد التواتر ردت الشهادة وإلا فلا إهـ

2. فتاو الرملي ص: 358

سئل عن قول السبكي لو شهدت بينة برؤ ية الهلال ليلة الثلاثين من الشهر وقال الحساب بعدم امكان الرؤية تلك الليلة عمل بقول اهل الحساب لأن الحساب قطعي والشهادة ظنية وأطال الكلام فى ذلك فهل يعمل بما قاله ام لا وفيما إذا رئي الهلال نهارا قبل طلوع الشمس يوم التاسع والعشرين من الشهر وشهدت بينة برؤية هلال رمضان ليلة الثلاثين من شعبان هل تقبل الشهادة ام لا؟ لأن الهلالإذا كان الشهر كاملا يغيب ليلتين او ناقصا يغيب ليلة وغاب الهلال الليلة الثالثة قبل دخول وقت العشاء لأنه r كان يصلي العشاء لسقوط القمر لثالثة هل يعمل بالشهادة ام لا؟ (فأجاب) ان المعمول به فى المسائل الثلاث ما شهدت به البينة لأن الشهادة نزلها الشارع منزلة اليقين وما قاله السبكي مردود رده عليه جماعة من المتأخرين وليس العمل بالبينة مخالفة لصلاته r ووجه ما قلناه أن الشارع لم يعتمد الحساب بل ألغاه بالكلية بقوله "نحن أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا او هكذا " وقال إبن دقيق العيد الحساب لا يجوز الإعتماد عليه فى الصيام إهـ والإحتمالات التي ذكرها السبكي بقوله ولأن الشاهد قد يشتبه عليه الخ لا أثر لها شرعا لإمكان وجودها فى غيرها من الشهادات إهـ

3. فتاوي النافعة ص : 34 (للإمام أبي بكر بن أحمد بن عبد الله الخطيب الأنصاري التريمي الحضرمي الشافعي)

(سئل) عما إذا رئي الهلال اليوم التاسع والعشرين من رمضان صباحا فى غير أيام القلب والنعائم مع عدالة الشهود وعلمهم وزهدهم وكونهم يبلغون عدد التواتر ثم رئي ليلة الثلاثين من رمضان على أنه هلال شوال فهل تقبل شهادة الشهود الذين رأوه لشوال مع أنها مستحيلة رؤيته تلك اليلة إذا قلتم إن أدلة الحساب قطعية أم لا تقبل ؟ وإذا قلتم لا تقبل فما الدليل على عدم قبولها ؟ أو تقبل فما البرهان الواضح الذي يتبين به خطأ القائلين بعدم قبولها واستحالة رؤيته إذا أخبر به عدد التواتر صبح التاسع والعشرين ؟ أوضحوا وبينوا وانشروا خلاف العلماء والمعتمد المفتى به فى الجهة وبينوا هل يجوز للقاضي الحكم بالأول أم بالثاني أو ما ذا يعمل مع تساهل الشهود واستعجال القضاة ؟ برهنوا على ذلك لاعدمكم المسلمون, المسألة واقعة حال والمستفتي متحير والتوفيق بيد الله .

(فأجاب بقوله) الحمد لله والله الموفق للصواب : اعلم أولا ايها السائل وفقني الله وإياك لمرضاته فى جميع أحوالنا حتى نلقاه وهو راض عنا فى عافية أني قد سئلت سابقا عن مثل هذا السؤال أو قريب منه منذ أزمنة مديدة وسنين عديدة فأجبت عنه بإذن بعض مشايخي بجواب طويل وبسطت فيه الخلاف وتطلبته الآن فلم أجده وسأجيب الآن على هذا بما بقي فى ذاكراتي من ذاك .

فأقول اعلم اولا انه لا يخفى على السائل ان صريح مذهب الشافعي وجمهور العلماء رحمهم الله تعالى ان من شروط الشاهد ان يكون عدلا وبتقدير صحتها من غيره عند تعذره او ندرة وجوده اي العدل وخصوصا فى هذه الاعصار وقبلها بأزمنة طويلة انما هو للضرورة الملجئة إاى ذلك ولا ضرورة فى مسألة الهلال والضرورة انما تكون فى الأموال لخوف فواتها او فى الأبضاع لخوف الفساد فحسب مع ان القائلين بصحتها عند وجود الضرورة المذكورة يقولون بوجوب تقديم شهادة الأمثل فالأمثل اي الأقل فالأقل فسقا فمن فتاوى الشيخ ابن حجر نفع الله به ما لفظه : اذا فات شرط العدالة من اهل ناحية فهل يجوز الحكم بمن غلب على الظن صدقه أجاب نفع الله به : صريح كلام الأصحاب انه لا يجوز الحكم واختار ابن عبد السلام ما لايجرى على قواعد المذهب ولا يعد منه قبول من غلب عليه صدق اللهجة ةلا يعرف له كذب وتبعه جمع متأخرون فى أنظار شتى لا تخفى على من له ادنى ممارسة بالقواعد فالحق ان يقال لمن ابتلي بالحكم ببلد ليس فى أهله عدل ان يقلد غير الشافعي فى قبول المستور فى النكاح وغيره وأما حكمه على مذهب الشافعي رضي الله عنه فهو حكم باطل إهـ

وفى فتاوى الأسخر نفع الله به بسط فى المسألة بما حاصله قريب من هذا الإفتاء وعبارته اي الشيخ ابن حجر فى التحفة واختار جمع منهم الأذرعي والغزي واخرون قول بعض المالكية انه اذا فقدت العدالة وعم الفسق قضى الحاكم تشهادة الأمثل فالأمثل للضرورة ورده ابن عبد السلام بأن مصلحته عارضتها مفسدة المشهود عليه وقال سيدي الحبيب طاهر بن محمد بن هاشم تتبعت كلام المتأخرين لقبول الأمثل فلم أر لأحد منهم تصريحا بجواز القبول فى الأهلة ولها ضرورة فيها على الرؤية لا على وجود الهلال فحتى يوجد بل صرحوا بذلك فى مثل النكاح وعللوه بخشية انقطاع التناسل او فى نحو الأموال خشية فوات الحقوق

واما الصوم فالشرط العدالة فحتى يشهد العدل فإن فقد فحتى يشهد الجم الغفير اللذين يعلم الحق بشهادتهم وقريب من هذا الشرط فى قبول العدول فى الصحو عند الإمام أبي حنيفة رضي الله عنه قال صاحب الينابيع ما لفظه مع اظهار الضمير وعند أبي حنيفة بالعدل فى الغيم وبكثير فى غيره فقيل بعدد القسامة وقيل أكثر اهل الحلة إهـ

هذا مع وجود العدالة فماالمانع من عدم العدول عن نص المذهب عند فقد شرط العدالة سيما مع عدم التصريح فى الإختيار فى قبول الأمثل فى الصوم من أحد من اعتبار المصير إاى وجود الجم الغفير الذي يقع معه الصدق فى المشهود به كما هو قريب من مذهب الإمام عند وجود العدالة وأطال الحبيب طاهر فى ذلك

ثم انهم اختلفوا فى العدالة المشروطة فى خصوص الشهادة بالهلال ما هي ؟ هل هي الباطنة وهي التي يرجع فيها لقول المزكين او الظاهرة وهي كما قال النووي من عرفت عدالته ظاهرا لا باطنا ومعناه كما ذكره الحبيب طاهر المذكور ان يخالط فى ظاهر أمره ولا يعرف منه الا العدالة ولكن لا تصل تلك المعرفة إاى الحد الذي تجوز به تزكيته عند الحاكم فقال بالأول جماعة من العلماء وهم الأقلون ومنهم الشيخ أبو مخرمة وقال بالثاني اخرون وهم الأكثرون ومنهم الشيخ ابن حجر

واعلم أيها السائل ايضا أنهم ذكروا ان من شروط المشهود به امكانه شرعا وعقلا وحسا اي عادة ذكره ابن أبي شريف فى الإسعاد وأقروه ودل عليه كلام الشيخ ابن حجر فى تحفته فى كلامه على مسألة ما اذا وصف الشاهد الهلال بمحل ورئى فى الليلة الثانية بمحل اخر لا يمكن الإنتقال اليه عادة بأن كب الشاهد ووجب قضاء ما أفطروه .

اذا علمت ما تقدم فاجعل ذينك الشرطين دستورا للدخول على المسألة ودليلا لوجه منع صحة الشهادة برؤيته مساء فيها هذا: وقد طال النزاع فى هذه المسألة أعنى مسألة الهلال وخصوصا بين علماء حضر موت فيما إذا رئى صباحا يوم تسع وعشرين قبل الشمس ثم شهدت بينة برؤيته بعد غروب الشمس فى ذلك اليوم هل تقبل البينة المذكورة ام لا؟ وألفوا فيها التآليف العديدة والرسائل المفيدة والسؤالات الكثيرة والأجوبة الشهيرة ولم يبرح ذلك فى ميدانها ركض ولم يعترض فيها بعضهم على بعض ثم أرسلوا بعض تلك الرسائل والأجوبة إاى علماء الحرمين يستفتونهم فى ذلك فاختلفوا فيها كذلك حتى قال الشيخ العلامة عبد الله ابن أبى بكر الخطيب التريمى فى بعض أجوبته والشيطان قد باض وفرخ فى حضر موت فى مسألة الهلال فلا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم.

وأما حكم المسألة المسؤول عنها من حيث الفتوى فلها ثلاثة أحوال :

اللحالة الأولى: أن تكون البينة الشاهدة مساء ليست بصفة العدالة وهذه لا خلاف فى بطلانها وعدم اعتبارها والإعتداد بها ولا أظن أحدا ينازع فى ذلك وقول من يقول بصحة شهادة الأمثل فالأمثل عند تعذر العدالة انما يقول به للضرورة الملجئة إاى ذلك ولا ضرورة فى مسألتنا كما تقدم الكلام عليه مستوفى.

الحالة الثانية: أن تكون بصفة العدالة وعددهاأقل من عدد التواتر فهه هي التي وقع الخلاف فيها وتصوير بعضهم لها بكون الرائين له صباحا عدد التواتر كالشيخ عبد العزيز الزمزمي وابن علان وغيرهما انما هو لنقض حكم الحاكم او وقع بها كما صرح بذلك بعضهم لانتفى الخلاف والقائلون بردها وعدم صحتها هم الكثيرون بل الأكثرون من علماء حضر موت كالمسألة التى نشأ الخلاف فيها أولا بينهم التى حكاها صاحب المشرع فى ترجمة شيخه السيد أحمد بن عمر عيديد وسنذكر بعد أدلة القائلين بهذا ووجه القائلين بقبولها.

الحالة الثالثة : ان يكون الراءون له مساء مثل الرائين له صباحا ثقة وعدالة وعددهم عدد التواتر كالرائين له صباحا وهذه الصورة لا تكاد توجد ولا تتصور على كلام القائلين بالإستحالة الا فى أطول أيام السنة التى استثناها السائل فى صورة سؤاله فإن فرضنا وقوع هذه الصورة فى غير الأيام المذكورة فالذى يظهر للفقير على كلام هؤلاء تساقط البينتين كلتيهما الرائين له صباحا والرائين له مساء وإبقاء الشهر على ما كان أخذا من قول التحفة قبيل البغاة : وخرج بالفعل الإقرار فلو قال أحدهما أقر بالقتل يوم السبت وقال الأخر يوم الجمعة فلا تناقض لاحتمال أنه أقر به فى كل من الزمنين نعم ان عينا زمنا فى مكانين يستحيل عادة الوصول من أحدهما إاى الأخر فيه كأن شهد أحدهما أنه أقر بقتله بمكة يوم كذا والأخر انه أقر به في مصر فى ذلك اليوم لغت شهادتهما إهـ لأن الشاهدين فى الإقرار بالفعل اتفقا فيه واختلفا فى جريانه بمكانين يستحيل عادة الوصول من أحدهما إاى اللآخر وما هنا ينبغى ان يكون كذلك لأن البينتين هنا لم يتفقا على شيء بل شهدت كل واحدة منهما برؤيته بمكان يستحيل عادة انتقاله من الأول إاى الثانى وانما قلت وهذه الصورة لا تكاد توجد ولا تتصور الخ وذلك لأن أخبار عدد التواتر يفيد العلم الضرورى فكيف بتصوره مع القول بالإستحالة فتدبر ثم رأيت للسيد العلامة طاهر بن محمد هاشم المذكور كلاما فيه دلالة لما ذكرنا واستدل بعبارة التحفة المذكورة فى صورة ما اذا كان الراءون له صباحا مثل الرائين له مساء ولكن لم يبلغ كلاهما عدد التواتر نقله عنه السيد علوى بن أحمد الحداد فلأردت نقله الآن وان كان فيه طول لتعلقه بما نحن فيه قال رحمه الله إن المستحيل العادى قد يثبت بالتواتر فرد البينة حينئذ بين من كلامهم وقد لا بل تشهد بينة بأنه رؤى بعد الفجر بنحو أربع درج ثم تأتى أخرى وتشهد برؤيته بعد الغروب وحينئذ فما الحكم؟

والذى يؤخذ من كلام الشيخ ابن حجر نفع الله به قبيل البغاة وهو: وخرج بالفعل الإقرار فلو قال أحدهما أقر بالقتل يوم السبت وقال الآخر يوم الجمعة فلا تناقض لاحتمال أنه أقر به فى كل من الزمنين نعم ان عين زمنا فى مكانين يستحيل عادة الوصول من أحدهما إاى الآخر كأن شهد أحدهما أنه أقر بقتله بمكة يوم كذا والآخر أنه أقر به بمصر فى ذلم اليوم لغت شهادتهما إهـتساقط البينتين لأن الشاهدين فى الإقرار بالفهل اتفقا فيه واختلفا فى جريانه فى مكانين يستحيل عادة الوصول من أحدهما الى الآخر وما هنا ينبغى ان يكون أولى لأن البينتين هنا لم يتفقا على شيء بل شهد مل واحد منهما برؤيته بمكان يستحيل عادة انتقاله من الأول الى الثانى إهـ كلامه.

قال الحبيب علوى الحداد بعده فلله دره من إمام نقاد فأفهم كلامه أن المستحيل العادى له حكم شرعى غير حكم الحساب ولا ينكر ذلك صاحب شريعة أصلا فعرف من كلامه أنه ان كان عدد التواتر رأوه قبل طلوع الشمس ولم يره عدد التواتر بعد غروبها ردت شهادتهم وإن رأوه غير عدد التواتر قبل الطلوع ورأوه غير عدد التواتر بعد الغروب تساقطت البينتان إذا كانت العادة فى جميع ذلك تحيل عادة الوصول اليه ثم قال الحبيب طاهر المذكور أقول وما عليه مدار حجتى هو منع الشهادة بالمستحيل فى العادة وجوده وما أظن أنهم ينازعون فى ذلك غير أنا فى جهتنا هذا الزمان بلينا بمن غلب عليه التعصب والجمود على الظواهر فتراهم يرون قبول البينة أى وقت كان ممن كان ويرون خلاف ذلك هو تحكيم الحساب ولم يعرفوا أمرا وراء ذلك وأقول متى قامت بينة برؤية الشهر ففيه ثلاث حالة:

الأولى: ان يقول الحساب بدخول الشهر تلك الليلة وجواز الؤية فيها فهذا مما لانزاع فيه .

الثانية: ان يقولوا بدخول الشهر واستحالة الرؤية فيها فهذا محل نزاع بين الأئمة من أكابر العلماء فمنهم من منع الرؤية والحال ما ذكر مطلقا ومنهم من قبلها مطلقا وتوسط الشيخ ابن حجر فقال: والذى يتجه أن الحساب إن اتفق أهله على ان مقدماته قطعية وكان المخبرون منهم عدد التواتر ردت الشهادة وإلا فلا إهـ وهذا أولى من إلغاء الشهادة اذا دل الحساب القطعى على استحالة الرؤية وإطلاق غيره قبولها واطال كل لما قاله بما فى بعضه نظر للمتأمل إهـما قاله الحبيب طاهر قال الحبيب علوى بن أحمد الحداد وما ذكره ابن حجر اى فى صورة ما إذا ذكره الشاهد بمحل ثم رئى ثانى ليلة بمحل لا يمكن انتقاله اليه عادة بأن كذب الشاهد ذكره ايضا الشربينى فى المغنى والهروى وابن قاضى شهبة قال الحبيب طاهر ولا يكاد يوجد ثم قال:

الثالثة : ان تحيل العادة الرؤية لما ضبطته من سير القمر بالحس والمشاهدة فلا تقبل البينة والحال ما ذكر بل لا تقبل فى كل ما يستحيل عادة من ذلك وغيره لما تقدم اللهم إلا أن يكون النزاع منهم في قدر انتقال الشهر وانضباطه في العادة والنقل والتجربة يشهدان بصدق ما قلته ولا يختص بدركه العلماء بل يشاركهم فيه كل ذي حس سليم ومن كان ينكر فليجرب اهـ فإن قلت فما تقول في عبارة التحفة التي ذكر فيها الأخذ بالحساب وضيق الأمر في الأخذ به بقوله : والذي يتجه أن الحساب إن اتفق أهله على أن مقدماته قطعية وكان المخبرون منهم عدد التواتر ردت الشهادة وإلا فلا انتهت مع قول الحبيب طاهر بن محمد بن هاشم وهذا لا يكاد يوجد ومع قول الحبيب العلامة عبد الرحمن بن عبد الله بلفقيه في كتابه قاطع الجدال ما ذكره الشيخ ابن حجر في عبارته المذكورة إنما هو على سبيل الفرض لا الوقوع . قلت : الجواب عن ذلك ما أجاب به الشيخ العلامة عبد الله بن محمد ابن قطنة بقوله : تنبيه الذي يظهر ويتبادر من كلام الشيخ ابن حجر في قوله ولو دل الحساب القطعي إلخ أنه مفروض في استحالة لا تعلم إلا من قول أهل الحساب فاشتراط تواتر المخبرين من أهل الحساب بالاستحالة المذكورة ظاهر . أما ما سبق تقريره في هذه الرسالة عند ظهور الهلال أمام الشمس بكرة التاسع والعشرين فهو مدلول نصوص المفسرين والفقهاء وأئمة المجتهدين فلا حاجة فيه إلى الرجوع إلى أهل الحساب ولا إلى تواترهم فلا يشمله كلام الشيخ في اشتراط التواتر وعلى التنزيل في أن كلام الشيخ يشمله فما اشترطه الشيخ من أخبار عدد التواتر بالاستحالة حاصل بتواتر الكتب ونقله في جملة منها وقد تقرر نقل الاستحالة في كثير من الكتب الشرعية فضلا عن الكتب الحسابية كما عرفته مما سبق نقله عن الأئمة وتواتر الكتب معتبر كما نص على ذلك الشيخ ابن حجر في تحفته في كتاب السير ولفظه تواتر الكتب معتد به كما صرحوا به . قال سيدنا علوي باحسن فيكفي ذكر الاستحالة في خمسة كتب فصاعدا من كتب الحساب والإجماع المنقول بالآحاد حجة أيضا كما في جمع الجوامع فحينئذ فيكفي نقل الثقة اجماع اهل الحساب ان هذا الأمر مستحيل وقال الأمر المأخوذ من الكتاب والسنة وهو الذى عليه التأويل والمخالف لهما مردود وان كان فى صورة دليل ومن هنا اطلنا النفس في مقدمة مر النسيم بنقل ما ورد مما يقتضى اعتبار عادة الحساب واعتنينا بالجمع بين ما قد يتراءى من ناظواهر المنافية لما ذكرناه وبين قولهم على وجه لا يعد فيما نظن عين الصواب (وفوق كل ذي علم عليم) إهـ ثم قال الشيخ عبدون المذكور تنبيه آخر: اعلم ان مسألة السبكي التى نوزع فيها أدق مما قرره غيره ممن سبق النقل عنهم بالمنع من قبول الشهادة عند ظهور الهلال قبل الشمس لأن مسألة السبكى فيما اذا تحققت رؤيته خلف الشمس لكن دل الحساب على انه لا يرى لقربه من الشمس فالمنازعة التي وقعت فى السبكى انما هى فى هذالأمر الدقيقى الخفى ولم تقع منهم منازعة فى هذالأمر الآخر الظاهر الجلى وهو تحققرؤيته قبل الشمس فافهم وفرق بين الحقائق لئلا تضل أقوم السبل وخير الطرائق ولا شك أن من وافق السبكى فى ذلك ألأمر الدقيق وقال بالمنع من قبول الشهادة فيه يقول به فى هذا الأمر الواضح من باب أولى ومن نازع السبكى فى مسألته لدقتها لم تنقل عنه منازعة فيما قرره المانعون فى هذه المسألة لأنها من الواضحات الجليات التى يبعد انيتصور من عالم محقق انكارها لوضوح أدلتها واستنباطها من النصوو القرآنية والأدلة النقلية كما سبق تقريرها ولو ردوه إلى الرسول وإلى أولى الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم والأقرب المأخوذ من بين كلام الأئمة ان المنع من قبول الشهادة فى هه المسألة أعنى مسألة ما اذا رئى نهارا ثم ليلا يوم التاسع والعشرين محل وفاق ويبعد فيه تصوير الخلاف والنزاع الا ممن لا نصيب له فى فهم المسألة والله أعلم إهـ كلام الشيخ عبدون المذكور.

قلت ظاهر كلام اكثر المتأخرين ان الخلاف ظاهر فيما اذا رئى قبل الشمس صباحا لا بعدها والله أعلم.

صريح كلام هـؤلاء المنع فى مسألتنا من قبيل المستحيل العادى لا الحساب قلت الأمر كذلك لأن الحساب امر دقيق لا يعرفها الا الآحاد كما قال ابن الصلاح بخلاف المستحيل العادى فيشترك فى معرفته العالم وغيره اذ هو مدرك بالعيان بمعنى أنا نشاهد بالعيان تنقل الشمس والقمر من منزلة إلى منزلة ومضت على هذه الأعصار لدى الراصدين من اول الدنيا إلى وقتنا هذا وايضا فإن الحادثة الواقعة فيها منازعة السبكى مع غيره قد حكاها الأسنوى فى شرحه على المنهاج بقوله : حادثة شهد برؤية الهلال واحد او اثنان فقط واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته قال الشيخ يعنى المجتهد السبكى لا تقبل الشهادة به الخ عبارة الأسنوى فتراه اطلق العبارة بقوله واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته ولم يفرض مثلا فى مسألتنا التى هى رؤيته صباحا ثم مساء فإن قلت ان الشرع الغى الحساب بقوله فى الحديث الصيص صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وفى حديث انا أمة أميون لا نحسب ولا ننكثب الشهر هكذا تسع وعشرون فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين وكذا الفقهاء قالوا لا عبرة بقول حاسب ولا منجم "قلت" قدأجاب عن ذلك الأسنوى بقوله انما قالوا لا عبرة ذلك اى بعدم العبرة بقولهم اى المنجمين واهل الحساب فى عكس هذه الصورة وهو ما اذا دل على امكان الرؤية والحال انه لم ير وصورتنا عكسها فتنبة لذلك انتهى بمعناه على ان الشيخ سعيد باعشن فى بشرى الكريم استشكل القول بصحة ذلك لأن العبرة بالرؤية لا بالوجود فحسب وغاية القول بصحة ذلك إنما هو بالنسبة للعمل بذلك فى حق أنفسهما ولمن صدقهما ومع ذلك لا يجزيهما عن صوم رمضان عند الشيخ ابن حجر . وقال الرملى بإجرائه بل بوجوبه عليهما إهـ ودليل القائلين بقبول الشهادة مساء وان رئى صباحا قبل الشمس اطلاق قوله صلى الله عليه وآله وسلم فى الحديث الصحيح "صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته" مع قوله "الشهر تسع وعشرون " فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلا ثين " وفى رواية "فاقدروا له ثلاثين" وفى ذلك تأويلات كثيرة للعلماء لسنا لها الآن

واستدلوا ايضا بأن الحركة الفلكية لا يحصل الجزم بأسباسها ولا يمسبباتها ولا تترتب الآثار عليها لعدم الإحاطة بها فى جميع الأحوال ولهذا لم يعتبرها الشارع بل انتقل إلى الظل وهو مشاهد وإلى الرؤية وهى من فعل الإنسان وإلى الطلوع والغروب وهما مشنهدة الطالع والغارب مفارقا للأفق صاعدا وهابطا فلم يرجع الا إلى فعل للرائى وهو المشاهدة للصورة والإخبار عنها وإلى شيء مشاهد محسوس وهو الظل وكلاهما محاط به قطعا ولم يلتفت الشرع إلى الحركة وتفاوتها صيفا وشتاء وطول النهار والليل وقصرها بسببها لأن ذلك وإن كان مقطوعا به فى الجملة لكن لا يقطع به فى كل جزء على انفراده .

واستدلوا بأشياء من نحو ما ذكر والقائلون لهذا كثير فمنهم الشيخ محمد الرملى تبعا للزركشي وتبع الرملى كثير من المتأخرين مثل السيد محمد البرزنجى والحبنب العلامة عبد الرحمن بن عبد الله بلفقيه والشيخ المحدث سالم بن عبد الله البصرى وغيرهم .

واستدلوا القائلون بالمنع و ورد الشهادة وهم الأكثرون ومنهم الشيخ ابن حجر وابن بنته عبد العزيز الزمزمى وابن علان وبا جمال وغيرهم ممن يعسر عدهم ويتعذر حصرهم وذلك بأشياء كثيرة تقدم بعضها ومنها ان استحالة الرؤية فى الحساب مقطوع بها عند اهله كما مر نقله موضحا عن الشيخ عبدون بن قطنة فى الكلام على تنبيه التحفة ان قلنا هى اى مسألتنا داخلة تحت قول اهل الحساب وبالأولى ذما اذا قلنا انها من المستحيل العادى وهو الظاهر من كلام اكثرهم واذا قلنا ان الخساب قطعي فلا تعارضه البينة لكونها ظنية والظنى لا يعارض القطعي فحسب. وأيضا فالشرع لم يأت بالمستحيلات والرؤية اذا استحيلت ألغيت او استبعدت أشكلت واذا اشكلت لم تحقق واذا انتفى التحقق عنها التحقت بالعدم والمشكوك كالمعدوم ولا تصح العبادة مع الشك فى دخول وقتها ومع عدم الجزم بنيتها وايضا فإن القول بمنع الشهادة وردها هو الأولى والأحوط لأن المانع مقدم على المقتضى والمحرم مقدم على المجوز والمبيح واعتضائه بالأصل وهو بقاء الشهر وغير ذلك مما ذكروه فى منعهاوردها حتى قال قائلهم منشدا :

هلاكا رأوا قالوا هلالا فصفحوا # وكم ضل بالتصحيف راو وكاتب

وجميع ما ذكرناه هنا هو من حيث الفتوى ونقل كلام العلماء فى ذلك واما من حيث العمل فالذى ادركنا عليه مشايخنا مثل شيخنا المحقق العلامة عبد الرحمن المشهور وغالب من فى عصره وخصوصا ببلدنا تريم من القضاة أنه متى ثبتت رؤيته صباحا وكان الراءون له عدد التواتر لا يقبلون شهادة الرائين له مساء بل يأمرون بعدم التعرض له مساء تلك الليلة أصلاوكذا ان كانوا أقل من عدد التواتر وهم ثقاتوقدوقع في وقته أعنى شيخنا عبد الرحمن المذكور مرات عديدة أنه يرى في بلد (سيون) ويثبته قضاتها فإذا وصل الخبر إلى تريم يقول لقضيها لا تقبله ولا تثبته وما ذاك إلا ما ذكرناه من تحقق رؤيته صباحا ثم رأيت في ذلك كلاما للشيخ عبدالله بن قطنة المذكور آنفا يؤيد ما قلته من أن العمل جار على عدم القبول قديما حتى عند القائلين بامكان رؤيته صباح ومساء لاستحالته أواستبعاده. قال رحمه الله: ومن نظر بعين الإنصاف وتحلى بسنى الأوصاف علم وتحقق أن العلماء المتحققين والفقهاءالمبرزين من علماء حضر موت وغيرهم إلا من شذ كاالمتفقين من حيث العمل على منع قبول الشهادة برؤيته مغربا إذا تحققت رؤيته صباحا أمام الشمس القئلين منهم بإمكان والقائلين بعدمه وكا المتفقين على أن ذلك مستحيل أو مستبعد استبعادا يمنع القبول ومنكرين على من خالف ذلك وتساهل فيه من الحكام وقد سمعت من شيخنا ومولانا العارف بالله قطب العارفين الشيخ عبدالله بن علوى الحداد نفع الله به غير مرة تشديد النكير على المتعرضين لرؤيته والحلة هذه وينكر تساهل الحكام فى قبولهم مع ذلك ويرى ان الصواب والأحق إلغاء شهادتهم وعدم أعتبارها وترك سماعهم والعمل بها وينسب من أقدم على الشهادت إلى الجراءة ولإقدام على مالايسوغ ويذكرهم بكلام يحشى عليهم مغبته وعاقبته فلا حولا ولا قوة إلا بالله والله المستعان وسمعته ايضا يقول كان الفقيه العلامة عبدالله بن أبى بكر الخطيب ممن يتعصب على ذلك ويشدد فيه ويمنع من التعرض للترائى إذ تحققت رؤيته بكرة إهـ كلام شيخنا نفع الله به بمعناه.

وفى ذلك دليل على أن عمل الفقيه المذكور على المنع من القبول والحالة هذه وقد نقلت عنه وقائع تدل على ذلك سمعناها من شيخنا نفع الله به ومن غيره والله أعلموقال الفقيه المذكور فى أثناء كلام فالذى نعتمده ونعمل عليه الوقوف عند النصوص ونقول إلى ان قال غير ان الخلل قد يكون فى البينة والشيطن قد باض وفرخ فى حضر موت ونحوها فى الأشهر والشهادة بها فلا حولا ولا قوة إلا بالله إهـ من خط سيدنا عبد الرحمن العدروس.

قلت: وقوله بالوقوث عند النصوص حجة للقائلين بالمنع لأنها قد دلت على موافقتهم وهو يدل أيضا على ميله للمنع من القبول من العمل عند القيام القرائن الدلة على الخلل والإنكار على من تساهل فى ذلك كما حكاه عنه شيخنا فيما سبق وإن كان فحوى كلامه يدل على إمكان الرؤية وكذلك الفقيه العلامة محمد عبد الله باعلى أنكر على حكام هذا الأوان تساهلهم فى ذلك كما رأيته بخطه فى أثناء كتاب منه إلى شيخنا ولم يحضرنى فى الآن لفظه مع كونه مائلا إلى الإمكان أيضاوالله أعلم .

وقال العلامة أحمد بن محمد مؤذن باجمال فى نبذة له منكرا على بعض القضاة فى تساهله فى قبوله الأهلة وقد علم وتحقق أن فى ثبوت الأهلة عنده السابقة لايرى فى ليلةالثانية غالبا وإن رؤى فهو مما يقطع المحسوس بأن الشهادة تجاسر فى شهادته أهـ

قلت:وقد وقع مثل ذلك فى عام إثنى عشرة ومائة وألف فى خروج رمضان من السنة المذكورة فإنه وقع التجاسرمن الشهود والتساهل من الحكام من قبولهم ولم يأخذ سيدنا وشيخنا نفع الله به بمقتضى هذه الشهادة فصام صبيحتها وأتم الشهر ثلاثين وتبعه على ذلك جماعة أمسكوا بإمساكه لما بلغهم ذلك عنه وشدد الانكار فى ذلك بعد أن بلغ النصيحةحسبما أخذه الله على العلماء من التبليغ والبيان ووقع أن الهلال لم ير فى هذه الواقعة إلا فى الليلة الثالثة من تلك الشهادة التى هي عن الحق مائلة وعلامات الخطأ والغلط عليها لائحة وكان من كلامه فى هذه الواقعة قال:إن شبهات الضلالات أشد إظلاما من غيوم السماوات وقد قال عليه الصلاة والسلام (فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين )فيرجع إلى الاصل عند ذلك ونعتصم به إهـ كلامه بمعناه

قلت:وقفت على جواب للعلامة عبد الهادى بن عبد الله القريعى الشافعى قرر فىصدرجوابه المذكور القول بالإمكان ثم قال فىآخر جوابه :فاعلم وفقنى الله وإياك وجميع المسلمين إلى مرضاته أنه لاريب أن رؤية الهلال قبل الشمس فى اليوم التسع والعشرين مما يبعث الريبة في الشاهد برؤيته ليلة الثلاثين بعد الغروب فينبغى التثبت والتروى فى ذلك وعدم التساهل لأن رؤيته صباح التاسع والعشرين قرينة قوية جدا على عدم رؤيته فى الليلة فالليلة الآتية والتثبت والاحتياط فى امر الرؤية لا يؤدى إلى فوات شىء ولا إفساد.اهـ وتقريره الإمكان مع ميله من حيث العمل إلى الاحتياط والثبوت دليل ظاهر على ما قلناه من أن رد الشهادة مغربا مع ظهور الهلال قبل الشمس صبحا كالمتفق عليه عملا حتى عند القائلين بالإمكان إلامن شذ فى ذلك ومال عن شاكلة الصوب وإنما وقع من شذ فى الغلط من عدم التأمل وإمعان النظر فيما يترتب على ذلك من مخالفة النصوص إستئناسا بما قد تقرر عندهم في النفوس فرضوا أن يكونوا مع الخالفين وأن يقال لهم اقعدوا مع القاعدين فإذا تقرر ذلك ظهر لك أنه يجب على القاضى المتولى لقبول الأهلة أن يرد شهادة من شهد بالرؤية إذا تحقق ظهور الهلال في أول النهارأمام الشمس ويلزم إلغاءها وعدم ترتب الحكم عليها وان كان الرأى عدلا لمصادمة هذه الشهادة للنصوص المصرحة بالإستتار وانه لابد منه وانه لا يتغير أبدا لأن الشاهد والحالة هذه إما كاذب او غالط لكونه شاهدا بمستحيل او مستبعد استبعادا يمنع القبول او كونه حاد البصر وقد سبق تقريره انه غير معتبر وحمله على الغلط اوحدة البصر أقرب إلى حسن الظن او إلى العذر ان كان ظاهر العدالة صادق اللهجة تبعد نسبة الكذب إلى مثله في العادة امامن قد عرف بالمجازفة في الشهادة وقد حفظ عليه في بعض الوقائع فينبغى للقاضى وفقه الله وسدده ان لايصغى إلى شهادته البتة حتى يتحقق منه التوبة الصادقة النصوح بالشروط التى ذكرها أئمة الدين في ابواب الشهادات ولا ينكر الغلط ولا يستبعد فإن مغلطات النظر كثيرة وقد ذكر في شرح المواقف وغيره جملة مستنكرة وقد نقلت فيها وقائع لأكابر واصاغر والله اعلم .

قال السبكى فيما نقل عنه الدميرى بعد كلام سبق مالفظه ولأن الشاهد قد يشتبه عليه او يرى ما يظنه هلالا وليس بهلال وتريه عينه ما لا يرى ويكون جهله عظيما يحمل ان يعتقد ان في حمله الناس على الصيام أجرا أو يكون ممن يقصد اثبات عدالته فيتخذ ذلك وسيلة إلى أن يزكى ويصير مقبولا عند الحكام وكل هذه الأنواع سمعناها ورايناها إهـ

وقد يحمله على ذلك شهود استشعار أن يقال فلان رأى الشهر كما وقع لا سيقع جهينة فى سبقه للحاج ففى الموطأ للإمام مالك رضي الله عنه ان رجلا من جهينة كان يسبق الحاج ويشترى الرواحل فيغلى بها ثم يسرع السير فيسبق الحاج فأفلس فرفع امره إلى عمر فقال اما بعد أسيفع جهينة رضي من دينه وامانته بان يقال سبق الحاج إهـ

ومن مغلطات النظر النجوم الكبار كالزهرة والمريخ والمشترى وعطارد وغيرها من النيرات والزواهر وكذلك ما قد يعرض من الأبخرة المتصاعدة وقطع السحاب الدقيقة واطراف الأشجار فى قلل الجبل وممن يقرب غلط الشاهد ويقرب الظن بخطإه تهدف الجماعة الكثيرة للرؤية فى الوقت الواحد فلا يرونه مع حرصهم على ذلك وشدة اهتمامهم ويراه دونهم وقد وقع لسيدنا أنس بن مالك رضي الله عنه صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه حضر فى جماعة يتراءون الهلال وفيهم القاضى إياس المشهور فزعم أنس رؤيته ووصفه للحاضرين فلم يروا شيئا حيث وصف فأدرك إياس القاضى بفضل ذكائه الشائع فنظر إلى أنس وقد أسن فإذا شعرة تدلت من حاجبه على عينه فمسحها ثم قال أرنا يا أبا حمزة فنظر فلم ير شيئا إهـ

فإن قلت المخبر بالرؤية هو المثبت وهو مقدم على النافي قلنا هذا في النفي المطلق أما النفي المحصور كالحالة هذه فلا يقدم بل يتعارضان كما ذكروه في محله وإذا تعارضا تساقطا ورجع إلى الأصل وهو إكمال العدة وسمعت شيخنا نفع الله به يحكي أن بعض السادة المشهورين رأى في بعض السنين ليلة مظنة الهلال قطعة سحاب فظنها هلالا وعزم على الشهادة بذلك ثم لم يزل يلاحظ ما رآه حتى تبين أنه قطعة سحاب إهـ . ويحكى أن شخصا حضر عند الذين يتراءون الهلال ليلة فقالوا الهلال الهلال فنظروا فإذا هي حدأة صفحت جناحها بينهم وبين شعاع الشمس فبرق لهم فظنوه هلالا وما أحسن ماقال بعض فضلاء العصر :

هلاكا رأوا قالوا هلالا فصحفوا # وكم ضل بالتصحيف راو وكاتب

وقال الشيخ عبد الله بن قطنة المذكور أيضا في أثناء رسالته المذكورة والرجوع إلى الأصل عند قيام الشبه القوية في استبعاد الرؤية أو استحالتها هو اختيار شيخنا أعني السيد العارف بالله تعالى عبد الله الحداد نفع الله به قولا وعملا وقد سبق ما يدل على ذلك من كلامه فيما نقلناه عنه ومن كلامه في ذلك أيضا في أثناء جواب مكاتبة إلى بعض السادة في تلك الواقعة التي سبقت الإشارة إلى ذكرها ووقوعها فى سنة اثنتى عشرة ومائة والف قال فى ذلك الجواب ما صورته وما ذكرتم من ظهور الهلال يوم التاسع والعشرين من الشهر الظهور الواضح البين ثم استهلاله تلك الليلة وقبول الشهادة به فهذا شيء قد انكرناه من قبل اليوم مع علمنا بأن مثل ذلك من التساهل وانه مما يتوقف فيه ويحتاط له ولكنا كرهنا ان نشق عصا المسلمين وحصول التفرقة فوقعت منا الموافقة مع ما فى الصدور من الحرج من قيام الشبهة القوية فى ذلك ولما رأينا منهم الإنجرار فى التساهل والتداعى فيه بما لا يمترى ولا يشك فى كونه خطأ مجانبا للصواب توقفنا عن الموافقة لهم فى هذه السنة وبقينا مع الأصل ولم نفطر إلا يوم الخميس والله تعالى مسئول ان يوافق الجميع للصواب ويحسن العاقبة والمآب ويرينا الحق حقا ويوفقنا لاتباعه والباطل باطلا ويمن علينا باجتنابه إهـ

وقال ايضا فى أثناء جواب كتاب إلى سيدنا العلامة الشريف علوى بن عبد الله با حسن علوى بعد أن وقفت على مصنفه المسمى (مر النسيم) ما صورته: قد وقفنا على النبذة المباركة التى لكم فى مسألة الهلال ورأينا على مثل ذلك او قريب منه وقد كنا على ذلك او قريب منه وقد كنا على ذلك من سابق ونرى ما سواه ضعيفا إهـ

وانت اذا تأملت ما تقرر فى هذه الرسالة من الأدلة المتعاضدة فى استحالة الرؤية او استبعادها ووقفت على ما قاله الفريق الآخر تبين لك ضعف قولهم وأنه لا مستند لهم فيما ذهبوا اليه إلا اشكالات وشبه ركنوا اليها واعتمدوا عليها لا تقوم بها حجة ولم يسلكوا فيها على المحجة ولا يصادم بها هذه النقول والنصوص التى أدركناها لأن الإشكال لا يدفع المنصوص والمنقول قال الله تعالى "هو الذى أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات" الآية فالمحكم والمنصوص هو الحكم على المتشابه ولا عكس وهذا جار فى جميع أحكام الشريعة والطريقة والحقيقة والرأي والعقل تابعان للنص والنقل ولا عكس فإياك ان تحكم عقلك ورأيك ما لم تنظر اولا بعيني قلبك ولا تغتر بقول كل من قال ولا تمل مع من مال حتى تفكر فى المخلص والمآل وما أحسن قول القائل :انظر إلى ما قال ولا تنظر إلى من قاله ولا تغتر بصاحب المقالة ونحوه منقول عن سيدنا على رضي الله عنه نثرا أخرج السمعانى فى تارخه عن على رضي الله عنه أنه قال : لا تنظروا إلى من قال وانظروا إلى ما قال إهـ

زذلك لأن الجواد قد يسكبو والسيف قد ينبو والحليم قد يتغير والحريث قد يتحير إهـ

إذا علمت ما ذكر وتدبرت ما زبر مما أمليناه من النقول وسطرناه هنا عن الأئمة الفحول الجامعين بين العقول والمنقول زالفروع والأصول ولا سيما كلام محيى رسومهم ومبدى فهومهم وجامع علومهم وأحوالهم والحاوى لمعارفهم وأسرارهم المجمع على جلالته وإمامته والمتفق على غوثيته وقطبانيته العارف بالله والدال عليه سيدى الحبيب عبد الله بن علوى بن محمد الحداد ظهر لم ان الأحق والأولى والأظهر والأجلى إلغاء الشهادة مساء والحال ما ذكر السائل لاستحالتها او استبعادها استبعادا يمنع القبول او يوجب التوقف عنه لما مر عن الأئمة الفحول وبهذا مع ما تقدم قبله يعلم الجواب عن قول السائل هل يجوز للقاضى الحكم بالأول أم بالثانى ؟ إلى أخر السؤال وأرجو ممن وقف على هذا الجواب وتأمله بعين الإنصاف لا بعين الاعتساف ثم اطلع فيه على خطإ او خطل او غلط او زلل ان يرده إلى الصواب وله الأجر من الله وجزيل الثواب وصلى الله على سيدنا محمد وآله وصحبه وسلم والحمد لله رب العالمين إهـ

4. فتاوي سيدي خليلي ص:112

(سئل :) عما لو دل الحساب على كذب الشاهد فى أول رمضان أو أخره بأن شهد فى الأول برؤية هلال رمضان ودل الحساب على كذب الشاهد وشهد فى الثاني برأية هلال شوال ودل الحساب على كذبه فهل يجب فى الأول الصوم وفى الثاني الإفطار عملا بالرؤية المعلق بها الحكم فى الإخبار والغاء الخساب لاحتمال الغلط فيه أم لا يجب صوم فى الأول والإفطار فى الثاني عملا فى الحساب لأنه مبني على قواعد وضوابط وأهله حروره ونسبة الشهود أولى من نسبته إلى الحساب أم يفصل فيجب الصوم ولايجب الإفطار احتياطا للعبادة فيهما . (أجاب :) اتعلم أن هذه المسألة وقع فيها خلاف بين علماء أهل المذهب مثل الأذرعي و السبكي و الاسنوي وغيرهم وتبعهم خلق كثير فمن ذهب إلى العمل بالحساب والغاء الشهادة مطلقا كالسبكي ومن ذاهب إلى قبولها والغاء الحساب مطلقا عن ان يكون اهل الحساب بلغوا عدد التواتر أم لا والذي اختاره ابن حجر وغيره هو أن اتفق أهل الحساب على أن مقدماته قطعية وكان المخبرون منهم بذلك عدد التواتر ردت الشهادة وإلا بأن اختلفت أهل الحساب فى مقدماته بين كونها قطعية وظنية بأن قال بعضهم أنها قطعية و بعضهم أنها ظنية أو قالوا جميعا أنها ظنية أولم يبلغوا عدد التواتر فالعمل بالشهادة هذا ظاهر كلامهم فى أول رمضان والذي جريان مثله فى أول شوال فيعمل بالحساب إذا وجدت شروطه .

5. فتح الجواد الجزء الأول ص: 282

قال جمع من مشايخنا ومعاصريهم وليلة أول شوال إذ المدار على حصول الإ عتقاد الجازم فمتى حصل أوله أو أخره بقول عدل او غيره مما ذكر ونحوه جاز العمل بقضيته بل وجب كما بسطته ثم بما لا مزيد على حسنه وتحريره ولو دل الحساب القطعي على عدم إمكان الرؤية ففيه اضطراب للمتأخرين كما بينته ثم مع الراجح وهو ان العمل بشهادة البينة الا ان أجمع عدد التواتر من الحساب على استحالتها وأن سببها ضروري عندهم وما عدا ذلك منهم لا يعول عليه فقد اجمع على استحالة كسوف الشمس يوم العاشر وقد وقع كما مر فى الكسوف إهـ

6. بغية المسترشدين ص 109 & 110 دار الفكر

(مسئلة ش) إذا لم يسند القاضى فى ثبوت رمضان إلى حجة شرعية بل بمجرد تهور وعدم ضبط كان يوم شك وقضاؤه واجب إذا بان رمضان حتى علىمن صامه إلا إن كان عاميا ظن حكم الحاكم يجوز بل يوجب الصوم فيجزيه فيما يظهر إهـ (مسئلة ك) يجوز للمنجم وهو من يرى أن أول الشهر طلوع النجم الفلانى والحاسب وهو من يعتمد منازل القمر وتقدير سيره العمل بمقتضى ذلك لكن لا يجزيهما عن رمضان لو ثبت كونه منه بل يجوز لهما الإقدام فقط قاله فى التحفة والفتح وصحح ابن الرفعة فى الكفاية الإجزاء وصوبه الزركشى والسبكى واعتمده فى الأيعابب والخطيب بل اعتمد م ر تبعا لوالده الوجوب عليهما وعلى من اعتقد صدقهما وعلى هذا يثبت الهلال بالحساب كالرؤية للحساب ومن صدقه وهذه الآراء قريبة التكافؤ فيجوز تقليد كل منها والذى يظهر أوسطها وهو الجواز الإجزاء نعم إن عارض الحساب الرؤية فالعمل عليها لا عليه على كل قول إهـ

7. المفصل الجزء الثاني ص: 26

إذا حكم القاضي بثبوت الهلال او عدم ثبوته فالراجح اتباعه فى ذلك لأن ما يثبت به الهلال وهو مبني على حكم القاضي من الأمور الإجتهادية التي يسوغ الأخذ بها ويترجح ما يأخذ به القاضي باعتباره يؤدي إلى وحدة المسلمين فى أدائهم شعيرة الصوم ابتداء وانتهاء والشرع الإسلامي يحنص على وحدة المسلمين وعدم تفرقهم واختلافهم كلما أمكن ذلك وكان اجتماعهم على امر سائغ إهـ

8. شرح المقدمة الحضرمية المسمى ببشرى الكريم ص: 541

ولا يكلف الشاهد ذكر صفة الهلال لكن لو ذكر محله ثم بان الليلة الثانية بخلافه مما لم يمكن عادة ردت شهادته إهـ

9. تحفة المحتاج الجزء الثالث ص: 377

والذي يتجه أن الشاهد لا يكلف ذكر صفة الهلال ولا محله نعم إن ذكر محله مثلا وبأن الليلة الثانية بخلافه فإن أمكن عادة الانتقال لم يؤثر وإلا علم كذبه فيجب قضاء بدل ما أفطروه برؤيته

( قوله ذكر صفة الهلال ولا محله ) أي بأن يقول رأيته فى ناحية المغرب ويذكر صغره وكبره وتدويره وتقويره وأنه بحذاء الشمس أو فى جانب منها وأن ظهره إلى الجنوب أو الشمال وأن السماء مصحية أو لا إيعاب ومغني ( قوله فإن أمكن عادة إلخ ) أي وإن كان الغالب خلافه إيعاب ( قوله قضاء بدل ما أفطروه إلخ ) عبارته فى الإيعاب قضاء يوم بدل اليوم الأول الذي صاموه معتمدين على رؤيته ا هـ وينبغي حمله على ما إذا كانت الشهادة المذكورة فى أول الشهر ثم تبين بطريق آخر أنه كان أول الشهر وحمل ما هنا على ما إذا كانت فى آخر الشهر .

10. مغنى المحتاج الجزء الثاني ص: 144

ويكفي فى الشهادة : أشهد أني رأيت الهلال كما صرح به الرافعي فى صلاة العيد وصرح به القاضي شريح والروياني وغيرهما وعبارة الروياني وصفة الشهادة على الهلال أن يقول : رأيته فى ناحية المغرب ويذكر صغره وكبره وتدويره وتقديره وأنه بحذاء الشمس أو فى جانب منها وأن ظهره إلى الجنوب أو الشمال وأنه كان فى السماء غيم أو لم يكن وفائدة التنصيص على ذلك الاحتياط حتى إذا رئي فى الليلة الثانية ولم يكن بهذه الصفات بان كذب الشاهد ; لأن الهلال فى الليلة الثانية لا يتحول عن صفاته التي طلع عليها بالأمس وإن خالف فى ذلك ابن أبي الدم فقال لا يجوز أن يقول : أشهد أني رأيت الهلال ; لأنها شهادة على فعل نفسه بل طريقه أن يشهد بطلوع الهلال أو على أن الليلة من رمضان مثلا ونحو ذلك

11. تفسير جامع الأحكام الجزء الخامس ص: 259

قال سهل بن عبد الله التستري أطيعوا السلطان فى سبعة أضرب الدراهم والدنانير والمكاييل والأوزان والأحكام والحج والجموعة والعيدين والجهاد واذا نهى السلطان العالم ان يفتي فليس له ان يفتي فإن أفتى فهو عاص وان كان أميرا جائرا إهـ

12. الفتاوى السبكي الجزء الأول ص: 207-213

كتاب الصيام ( مسألة ) فيمن شهد برؤية الهلال منفردا بشهادته واقتضى الحساب تكذيبه قال الشيخ الإمام رحمه الله قال الله سبحانه يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج والمواقيت التي تحتاج إلى الهلال ميقات صلاة العيد والزكاة وصدقة الفطر وصيام رمضان والفطر منه وصيام الأيام البيض وعاشوراء وكراهية الصوم بعد نصف شعبان وصيام ست من شوال ومعرفة سن شاة الزكاة وأسنان الإبل والبقر فيها والاعتكاف فى النذر والحج والوقوف والأضحية والعقيقة والهدي والآجال والسلم والبلوغ والمساقاة والإجارة واللقطة وأجل العنة والإيلاء وكفارة الوقاع والظهار والقتل بالصوم والعدة فى المتوفى عنها وفى الآيسة والاستبراء والرضاع ولحوق النسب وكسوة الزوجة والديات وغير ذلك فكان من المهم صرف بعض العناية إاى ذلك ومعرفة دخول الشهر شرعا . وقد قال رسول الله r "إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا عقد الإبهام فى الثالثة والشهر هكذا وهكذا يعني تمام ثلاثين ” رواه البخاري ومسلم من حديث ابن عمر رضي الله عنهما وقد تأملت هذا الحديث فوجدت معناه إلغاء ما يقوله أهل الهيئة والحساب من أن الشهر عندهم عبارة عن مفارقة الهلال شعاع الشمس فهو أول الشهر عندهم ويبقى الشهر إاى أن يجتمع معها ويفارقها فالشهر عندهم ما بين ذلك وهذا باطل فى الشرع قطعا لا اعتبار به فأشار النبي r بأنا أي العرب أمة أمية لا نكتب ولا نحسب أي ليس من شأن العرب الكتابة ولا الحساب فالشرع فى الشهر ما بين الهلالين ويدرك ذلك إما برؤية الهلال وإما بكمال العدة ثلاثين واعتباره إكمال العدة ثلاثين دليل على أنه لا ينتظرون به الهلال وأن وجوده فى نفس الأمر معتبر بشرط إمكان الرؤية ولو لم يقل النبي r ذلك لكان إذا فارق الشعاع مثلا قبل الفجر يجب صوم ذلك اليوم فأبطل النبي r ذلك ولم يجعل الصوم إلا فى اليوم القابل وهذا محل مجمع عليه لا خلاف فيه بين العلماء وثم محل آخر اختلفوا فيه يمكن أن يؤخذ من الحديث ويمكن أن يعتذر عنه وهو ما إذا دل الحساب على أنه فارق الشعاع ومضت عليه مدة يمكن أن يرى فيها عند الغروب فقد اختلف العلماء فى جواز الصوم بذلك وفى وجوبه على الحاسب وعلى غيره أعني فى الجواز على غيره فمن قال بعدم الوجوب عليه وبعدم الجواز فقد يتمسك بالحديث ويعتضد بقوله r " إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له " وفى رواية " فأكملوا عدة شعبان ثلاثين ” وهذا هو الأصح عند العلماء ومن قال بالجواز اعتقد بأن المقصود وجود الهلال وإمكان رؤيته كما فى أوقات الصلاة إذا دل الحساب عليها فى يوم الغيم وهذا القول قاله كبار ولكن الصحيح الأول لمفهوم الحديث وليس ذلك ردا للحساب فإن الحساب إنما يقتضي الإمكان ومجرد الإمكان لا يجب أن يرتب عليه الحكم وترتيب الحكم للشارع وقد رتبه على الرؤية ولم تخرج عنه إلا إذا كملت العدة الفرق بينه وبين أوقات الصلاة أن الغلط قد يحصل هنا كثيرا بخلاف أوقات الصلاة يحصل القطع أو قريب منه غالبا وهذا الخلاف فيما إذا دل الحساب على إمكان الرؤية ولم ير فأحد الوجهين أن السبب إمكان الرؤية والثاني وهو الأصح أن السبب نفس الرؤية أو إكمال العدة وعلى كلا الوجهين ليس ما دل عليه الحساب محكوما عليه بالبطلان وقد يكون فى نفسه بحيث تنتهي مقدماته إاى القطع وقد لا تنتهي إاى ذلك بحسب مراتب بعده عن الشمس وقربه وههنا صورة أخرى وهو أن يدل الحساب على عدم إمكان رؤيته ويدرك ذلك بمقدمات قطعية ويكون فى غاية القرب من الشمس ففى هذه الحالة لا يمكن فرض رؤيتنا له حسا لأنه يستحيل فلو أخبرنا به مخبر واحد أو أكثر ممن يحتمل خبره الكذب أو الغلط فالذي يتجه قبول هذا الخبر وحمله على الكذب أو الغلط ولو شهد به شاهدان لم تقبل شهادتهما لأن الحساب قطعي والشهادة والخبر ظنيان والظن لا يعارض القطع فضلا عن أن يقدم عليه والبينة شرطها أن يكون ما شهدت به ممكنا حسا وعقلا وشرعا فإذا فرض دلالة الحساب قطعا على عدم الإمكان استحال القبول شرعا لاستحالة المشهود به والشرع لا يأتي بالمستحيلات ولم يأت لنا نص من الشرع أن كل شاهدين تقبل شهادتهما سواء كان المشهود به صحيحا أو باطلا ولا يترتب وجوب الصوم وأحكام الشهر على مجرد الخبر أو الشهادة حتى إنا نقول : العمدة قول الشارع صوموا إذا أخبركم مخبر فإنه لو ورد ذلك قبلناه على الرأس والعين لكن ذلك لم يأت قط فى الشرع بل وجب علينا التبين فى قبول الخبر حتى نعلم حقيقته أولا ولا شك أن بعض من يشهد بالهلال قد لا يراه ويشتبه عليه أو يرى ما يظنه هلالا وليس بهلال أو تريه عينه ما لم ير أو يؤدي الشهادة بعد أيام ويحصل الغلط فى الليلة التي رأى فىها أو يكون جهله عظيما يحمله على أن يعتقد فى حمله الناس على الصيام أجرا أو يكون ممن يقصد إثبات عدالته فيتخذ ذلك وسيلة إاى أن يزكى ويصير مقبولا عند الحكام وكل هذه الأنواع قد رأيناها وسمعناها فيجب على الحاكم إذا جرب مثل ذلك وعرف من نفسه أو بخبر من يثق به أن دلالة الحساب على عدم إمكان الرؤية أن لا يقبل هذه الشهادة ولا يثبت بها ولا يحكم بها ويستصحب الأصل فى بقاء الشهر فإنه دليل شرعي محقق حتى يتحقق خلافه ولا نقول الشرع ألغى قول الحساب مطلقا والفقهاء قالوا : لا يعتمد فإن ذلك إنما قالوه فى عكس هذا وهذه المسألة المتقدمة التي حكينا فيها الخلاف أما هذه المسألة فلا ولم أجد فى هذه نقلا ولا وجه فيها للاحتمال غير ما ذكرته ورأيت إمام الحرمين فى النهاية لما تكلم فيها إذا رئي الهلال فى موضع ولم ير فى غيره وللأصحاب فيه وجهان هل تعتبر مسافة القصر أو المطالع جزم بمسافة القصر وذكر المطالع على وجه الاحتمال له لأنه لم ينقله ثم رده بأنه مبني على الأرصاد والتمودرات وفرض ذلك فى دون مسافة القصر بانخفاض وارتفاع وهذا الفرض الذي قد فرضه نادر فإن أمكن ذلك وحكم حاسب بعدم الإمكان فى هذا الموضع احتمل أن يقال بعدم تعلق الحكم واحتمل أن يقال إنما دون مسافة القصر كالبلد الواحد فيتعلق به الحكم ومسألتنا هذه فى قطر عظيم وأقاليم دل الحساب على عدم إمكان الرؤية فيها فشهد اثنان أو ثلاثة على رؤيته مع احتمال قولهما بجميع ما قدمناه فلا أرى قبول هذه البينة أصلا ولا يجوز الحكم بها واعلم أنه ليس مرادنا بالقطع ههنا الذي يحصل بالبرهان الذي مقدماته كلها عقلية فإن الحال هنا ليس كذلك وإنما هو مبني على أرصاد وتجارب طويلة وتسيير منازل الشمس والقمر ومعرفة حصول الضوء الذي فيه بحيث يتمكن الناس من رؤيته والناس يختلفون فى حدة البصر فتارة يحصل القطع إما بإمكان الرؤية وإما بعدمه وتارة لا يقطع بل يتردد والقطع بأحد الطرفين مستنده العادة كما نقطع فى بعض الأجرام البعيدة عنا بأنا لا نراها ولا يمكنا رؤيتها فى العادة وإن كان فى الإمكان العقلي ذلك ولكن يكون ذلك خارقا للعادة وقد يقع معجزة لنبي أو كرامة لولي أما غيرهما فلا فلو أخبرنا مخبر أنه رأى شخصا بعيدا عنه فى مسافة يوم مثلا وسمعه يقر بحق وشهد عليه به لم يقبل خبره ولا شهادته بذلك ولا نرتب عليها حكما وإن كان ذلك ممكنا فى العقل لكنه مستحيل فى العادة فكذلك إذا شهد عندنا اثنان أو أكثر ممن يجوز كذبهما أو غلطهما برؤية الهلال وقد دل حساب تسيير منازل القمر على عدم إمكان رؤيته فى ذلك الذي قالا : إنهما رأياه فيه ترد شهادتهما لأن الإمكان شرط فى المشهود به وتجويز الكذب والغلط على الشاهدين المذكورين أولى من تجويز انخرام العادة فالمستحيل العادي والمستحيل العقلي لا يقبل الإقرار به ولا الشهادة فكذلك المستحيل العادي وحق على القاضي التيقظ لذلك وأن لا يتسرع إاى قبول الشاهدين حتى يفحص عن حال ما شهدا به من الإمكان وعدمه ومراتب الإمكان فيه وهل بصرهما يقتضي ذلك أو لا وهل هما ممن يشتبه عليهما أو لا فإذا تبين له الإمكان وإنهما ممن يجيد بصرهما رؤيته ولا يشتبه عليهما لفطنتهما ويقظتهما ولا غرض لهما وهما عدلان ذلك بسبب أو لا فيتوقف أو يرد ولو كان كل ما يشهد به شاهدان يثبته القاضي لكان كل أحد يدرك حقيقة القضاء لكن لا بد من نظر لأجله جعل القاضي فإذا قال القاضي : ثبت عندي علمنا أنه استوفى هذه الأحوال كلها وتكاملت شروطها عنده فلذلك ينبغي للقاضي التثبت وعدم التسرع مظنة الغلط ولهذا إن الشاهد المتسرع إاى أداء الشهادة ترد شهادته ومن عرف منه التسرع فى ذلك لم تقبل شهادته فيه ومراتب ما يقوله الحساب فى ذلك متفاوتة منها ما يقطعون بعدم إمكان الرؤية فيه فهذا لا ريب عندنا فى رد الشهادة به إذا عرفه القاضي بنفسه أو اعتمد فيه على قول من يثق به ويظهر أن يكتفى فيه بإخبار واحد موثوق به ويعلمه أما اثنان فلا شك فيهما ومنها ما لا يقطعون فيه بعدم الإمكان ولكن يستعدون فهذا محل النظر فى حال الشهود وحدة بصرهم ويرى أنهم من احتمال الغلط والكذب يتفاوت ذلك تفاوتا كبيرا ومراتب كثيرة فلهذا يجب على القاضي الاجتهاد وسع الطاقة أما إذا كان الإمكان بحيث يراه أكثر الناس فلا يبقى إلا النظر فى حال الشاهدين فلا يعتقد القاضي أنه بمجرد شهادة الشاهدين وتزكيتهما يثبت الهلال ولا يعتقد أن الشرع أبطل العمل بما يقوله الحساب مطلقا فلم يأت ذلك وكيف والحساب معمول به فى الفرائض وغيرها وقد ذكر فى الحديث الكتابة والحساب وليست الكتابة منهيا عنها فكذلك الحساب وإنما المراد ضبط الحكم الشرعي فى الشهر بطريقين ظاهرين مكشوفين رؤية الهلال أو تمام ثلاثين وأن الشهر تارة تسع وعشرون وتارة ثلاثون وليست مدة زمانية مضبوطة بحساب كما يقوله أهل الهيئة ; ولا يعتقد الفقيه أن هذه المسألة هي التي قال الفقهاء فى كتاب الصيام : إن الصحيح عدم العمل بالحساب لأن ذلك فيما إذا دل الحساب على إنكار الرؤية وهذا عكسه ولا شك أن من قال هناك بجواز الصوم أو وجوبه يقول هنا بالمنع بطريق الأولى ومن قال هناك بالمنع فههنا لم يقل شيئا والذي اقتضاه نظرنا المنع فالمنع هنا مقطوع به . ولم نجد هذه المسألة منقولة لكنا تفقهنا فيها وهي عندنا من محال القطع مترقية عن مرتبة الظنون والله أعلم . ( مسألة ) قال الشيخ الإمام رضي الله عنه : كان الداعي إاى كتابة هذه المسألة أنه فى هذه السنة وهي سنة ثمان وأربعين وسبعمائة يرى الناس هلال ذي الحجة بدمشق ليلة الأحد فى المعظمية من عمل داري المجاورة لدمشق وربما قيل إنه رئي فى بيسان وهي وإن كانت أكثر من مسافة القصر لكن لا يقتضي الحساب إمكان الرؤية فيها بل حكمها فى ذلك حكم دمشق . فلما بلغني ذلك توقفت لأنه ثبت عندي أن أوله يوم الاثنين عملا بالاستصحاب المضموم إاى عدم إمكان الرؤية والاستصحاب وحده دليل شرعي وقد قوي بذلك . وقلت للقاضي الذي وقعت الشهادة عنده لا تستعجل فلم أشعر إلا وقد حضر شاهدان من عنده أنه أثبته وأن اليوم وهو يوم الاثنين التاسع من ذي الحجة وأنه حكم بذلك مع علمه بالخلاف . قلت : ما هو الخلاف ؟ قيل : اختلاف المطالع فلم أر هذا دافعا لما ثبت عندي وامتنعت من تنفيذ حكمه لما قدمته ولأني قد جربته فى عشرين عيدا أولها عيد الفطر سنة تسع وثلاثين فى كل عيد هكذا أتحرص على إثباته وتارة نسمع منه وتارة لا نسمع منه وفى العام الماضي هكذا وعيد أهل دمشق بقوله الجمعة وكانت الوقفة عند الحجاج وأرسل فى هذا العام بعد أن حكم وأشاع ذلك إاى المحضر الذي شهد فيه عنده وفيه شهادة اثنين قالا إنهما رأياه فى المعظمية من عمل داري وزكيا عنده فما ألويت على قولهما وعيد الناس بقوله يوم الثلاثاء ولم يمكن رد السواد الأعظم ولا استحسنت الطعن فى حكم حاكم بعد اشتهاره لئلا يتطرق الناس إاى الريبة فى حكم الحاكم واكتفيت بصيانة نفسي عن الحكم بما لا أراه مع عدم إمكان دفعه . ( فصل ) ونفذه حاكم آخر ولم أر ذلك التنفيذ سائغا وصممت على عدم التنفيذ . ( فصل فى التضحية فى هذا العام ) أما يوم الأربعاء والخميس فلا شك فى جواز التضحية فيهما وكذا الجمعة عند من يجعل أيام التشريق ثلاثة أيام بعد العيد وأما الثلاثة فعندي أن التضحية غير جائزة ومن ضحى فيه تطوعا لم يجزئه ولم يحصل له ثواب الأضحية ومن ضحى منذورا لم يجزئه ووجب عليه الإعادة وكذا المتطوع إذا كان ممن يرى وجوب التضحية عليه وهو قادر عليها وعكسه يوم السبت عندي يجوز فيه التضحية . ( فصل فى الصوم يوم الثلاثاء ) عندي أنه جائز لأنه يوم عرفة فينبغي أن لا يفوت صومه لأنه كفارة سنتين وقد يقال بأنه يعارض هذا احتمال العيد وصومه حرام واحتمال عرفة وصومه سنة فكان ترك الحرام أولى . وجوابه أنه إنما يكون حراما إذا تحققنا أنه العيد والأصل عدمه ونظيره إذا شك المتوضئ هل غسل ثلاثا أو اثنتين ؟ قال الشيخ أبو محمد : لا يغسل أخرى لأن ترك السنة أولى من اقتحام البدعة والمذهب أن يغسل عملا بالأصل وإنما يكون بدعة إذا تحقق أنها رابعة وقد يقال : إن هنا أولى بالترك لأن التردد فى الوضوء بين سنة ومكروه وهنا بين سنة وحرام فقد يقال بتحريم الصوم . وجوابه أنه يستحيل القول بالتحريم مع الشك وغاية السؤال أن يقال الأولى الترك هنا كما قاله الشيخ أبو حامد فى الوضوء ولا يقال بالاستصحاب هنا كما قاله الأصحاب هناك وجوابه أنه لما حصل التعارض بين الدليلين فى تحية المسجد لمن دخل بعد العصر استحبها الشافعي وإن كان التنفل بعد العصر فالتعارض بين سنة وحرام ولم يجعل ذلك مرجحا لجانب الترك وسببه أن التعارض المعتبر إذا لم يحصل رجحان من دليل آخر وفى الصلاة حصل دليل مرجح وكذا هنا استصحاب الأصل مرجح . وجواب آخر وهو إذا حصل ليلة الاثنين من شعبان شك فى رؤية هلال رمضان حصل التردد فى يوم الشك بين فطر يوم من رمضان وهو حرام وصوم يوم من شعبان وهو جائز فكان على مقتضى القياس ينبغي الصوم وليس كذلك بل هو حرام ; وهذا أدل دليل فى مسألتنا على أن التمسك بالأصل أولى وقد يقال : إنه حصل فى يوم الشك مع ذلك التنطع وخشية التشبه بأهل الكتاب فى التقدم بالصوم محرم لذلك وهذا معنى صحيح ومثله ليس موجودا هنا لكن مقصودنا دفع التحريم وإن الاستصحاب يكفى فى التمسك به ويبقى رجحان الصوم فيه من جهة كثرة الأجر الموعود فيه واندفاع المعارض بالاستصحاب . ( فصل ) لما قيل : إن ذلك القاضي حكم بأن غدا العيد سمعت بعض الشباب يقول صوم غد حرام بالإجماع فأعرضت عن جوابه وحمله على ذلك ما سمعه من أن صوم العيد حرام بالإجماع وهو ما يفرق بين الجزئي والكلي ولا بين كلام المفتي وكلام العلماء فى الكتب فوظيفة العلماء فى الكتب ذكر المسائل الكلية ووظيفة المفتي تنزيل تلك الكليات على الوقائع الجزئية فإذا علم المفتي اندراج ذلك الجزئي فى ذلك الكلي أفتى فيه بالحكم المذكور فى الكتب وهذا العيد جزئي والحكم عليه بأنه العيد المذكور فى الكتب هو الذي تسكب فيه العبرات فإنه يتوقف على شروط كثيرة منها فى الشاهدين وقد ذكرناها ومنها فى الحكم . وقد ذكرناه ومنها أنه هل حكم فى محل الإجماع أو فى محل الاختلاف فإنه على تقدير استيفاء الشروط فى الشهود والمشهود به والتثبت فى الحكم وصحته اختلف العلماء هل لكل بلدة حكمها أو لا وقد علم أنه لم ير فى دمشق فإذا كان قد رئي فى بلدة أخرى مخالفة لدمشق فى مطالع الهلال حتى يجري خلاف وحكم فىه وسلمنا صحة الحكم فى سائر مواضع الخلاف وقد اختلف العلماء هل ينفذ ظاهرا أو باطنا ولا ينفذ إلا ظاهرا والذي يقول : لا ينفذ إلا ظاهرا يقول : إنه لا يجوز للمحكوم عليه مخالفته فيما بينه وبين الله تعالى فههنا لم يحصل إجماعنا على تحريم الصوم وإنما الإجماع فيما يقع أنه يوم العيد وإنما يكون ذلك إذا رئي فى ذلك البلد رؤية لا شك فيها ألا ترى أن يوم العيد عند أهل الديار المصرية الأربعاء فهل يكون عيدان فى يومين متجاورين حرام صومهما ; ولو فرضنا أنه رئي عندنا لكان يقال باختلاف الحكم لكن لم ير .

13. مجموع فتاوى للحبيب عبد الله بن عمر بن يحيى العلوي ص: 97

اعلم أن ثبوت شهر رمضان يكفى فيه عدل واحد وثبوت غيره لا بد فيه من عدلين هذا بالنسبة إاى حكم الحاكم وثبوت الشهر بالنسبة إاى عموم الناس كافة من صدق الشاهد ومن لم يصدقه ونحن ليس غرضنا الخوض فى هذا القسم حتى نتكلم فيه اذ ليس هو من محل النزاع واما بالنسبة إاى احاد الناس ممن سمع من الرائى ومن مخبر عنه فلا يشترط فيه عدد ولا عدالة سواء اخبر عن رؤية رمضان او خروجه او رؤية غيره من الشهور كشعبان بل لسامع الرائى والمخبر عنه ثلا ث حالة (الأولى) الوجوب على من غلب ظن صدق الرائى على قلبه وصدقه وصدق المخبر عنه (الثانية) الجواز لمن ظن صدق من ذكر من غير غلبة (الثالثة) الحرمة على من شك فى صدق من ذكر ولم يظنه إهـ

14. فتاوي النافعة ص : 34- 36 (للإمام أبي بكر بن أحمد بن عبد الله الخطيب الأنصاري التريمي الحضرمي الشافعي)

(وسئل نفع الله به) عن رجلين سمعا سماعا مطلقا ليلة الثلاثين من رمضان أنه وصل خط لقاضى بلدهما من بلدة أخري بينهما نحو من مرحلة إعلاما للقاضي المذكور بثبوت شهر شوال تلك الليلة ثم انهما أرسلا للقاضى المذكور رسولا يستخبره عن ثبوت الشهر المذكور ووصول الخط المذكور . فأجاب القاضى : إن الشهر لم يثبت عنده ولم يصدق بما تضمنه الخط المذكور فأعلما بالتكبير في الطرق والشوارع والمساجد وأشاعا عند العوام أن الشهر ثبت وأن العيد بكرة وألزما بعض الناس بالفطر وأشاعا أن الصوم غدا حرام والحال أنهما مستندان في جميع ما ذكر على السماع المذكور أعلاه لا غير مع أن جمعا كثيرين أكثر من عدد التواتر رأوه يوم التاسع والعشرين صباحا قبل طلوع الشمس بنحو ثلث ساعة وتعرض ليلة الثلاثين جمع كثيرون أيضا منأهل حاسة النظر لرؤيته من أهل تلك البلدة وغيرها فلم يروه فهل يجوز لرجلين المذكورين الإقدام على الفطر اعتمادا على ما ذكر ؟ وهل يسوغ لهما الإلزام بالفطر والتشييع والإعلان اعتمادا على ما ذكر ؟ وإا قلتم بعدم الجواز لهما وأنهما آثمان بذلك فهل لولي الأمر زجرهما وردعهما وتأبيدهما والحال ما ذكر ؟ (فأجاب بقوله) والله أعلم بالصواب إنه لا يجوز لهما إظهار الفطر فضلا عن إظهار شعار العيد من تكبير وصلاة والحال ما ذكر قال الشيخ ابن حجر في فتاويه وحيث قلنا بجواز الفطر أو وجوبه ولم يثبت عند الحاكم وجب إخفاؤه لئلا يتعرض لمخالفته وعقوبته اهـ فإذا كان هذا في مجرد إظهار الفطر فما بالك بإظهار شعار العيد من التكبير والصلاة فعلى ولي الأمر – أيده الله – زجرهما وردعهما وكذا تأديبهما وتعزيرهما بما يليق ككل معصية لا حد فيها ولا كفارة وأشنع من ذلك وأفظع إلزامهما الغير الفطر وكأنهما طالبان منصب القضاء ومسترشفان على مركزه للفصل والإمضاء إذ الإلزام لا يكون إلا للولاة ونوابهم لا للآحاد ولعمري لقد ارتكبا أمرا فظيعا وفعلا فعلا شنيعا فلا حول ولا قوة إلا بالله , وأما مجرد الإقدام على الفطر من غير إظهار فإن علم ما تضمنه الخط من الثبوت أو أخبرا بمضمونه أو بثبوته في بلدة متحدة المطلع هي وبلدتهما واعتقداه في الكل اعتقادا جازما جاز بل وجب الفطر على المعتمد لكن جاز سرا كما تقدم وبقبول الشهادة وثبوته بها والحال ما ذكر من طلوعه يوم التاسع والعشرين أمام الشمس ورؤية عدد التواتر له خلاف منتشر جدا بين العلماء ولكن الأكثرين قائلون بردها وإلغاء الحكم المترتب عليها قال في البراهين العقلية : قال العلامة إبراهيم بن علي الأصبحي في كتابه (اليواقيت في معرفة المواقيت) ولا يمكن أن يرى قبل طلوع الشمس وبعد غروبها في يوم واحد ومن شهد بها فهو شاهد زور اهـ : وشاهد الزور ترد شهادته كما هو معلوم وممن أفتى برد الشهادة ونقض الحكم المترتب عليها محمد بن علي علان وعبد العزيز الزمزمي وأحمد مؤذن بإجمال وتبعهم الحبيب العلامة علوي ابن عبد الله باحسن والحبيب العلامة طاهر ابن محمد بن هاشم وعبدون بن قطنة والشيخ علي بن قاضي وغير هؤلاء ولم يبالوا بمخالفة الشمس الرملي وإن تبعه البرزنجي والحبيب عبد الرحمن بن عبد الله بافقيه وردوا عليهم ردا بليغا وصنفوا في الرد عليهم رسائل متعددة وفي التحفة ووقع تردد لهؤلاء وغيرهم فيما لو دل الحساب على كذب الشاهد بالرؤية : والذي يتجه منه أن الحساب إن اتفق أهله على أن مقدماته قطعية وكان المخبرون منهم عدد التواتر ردت الشهادة وإلا فلا اهـ . قال سيدنا العلامة عبد الرحمن بن محمد العيدروس سألت بعض مشايخي من المالكية عن مثل هذه المسألة وهل استحالتها قطعية لديهم أي الحسّاب أو لا ؟ فأجاب بأنه قطعية وإن نقل كلام الأئمة وإفراده بتصنيف ضائع لأنه ضروري عادي لهم اهـ . ونقل الشيخ العلامة عبد الله بن قطنة عن السيد العارف بالله علوي باحسن بأنه إن وجد في عصر خمسة من أهل الفلك واجتمع كلامهم في تحرير تلك المسألة كفى , وإن لم يوجدوا فكتبهم تغني عنهم . وإذا وجد اجتماع كلام خمسة في تصانيفهم كان ذلك من الخبر المتواتر اهـ بمعناه . وقال الشيخ عبد الله بن قطنة المذكور (تنبيه) الذي يظهر ويتبادر من كلام ابن حجر في قوله : ولو دل الحساب إلخ أنه مفروض في استحالة لا تعلم إلا من قول أهل الحساب , أما ما سبق تقريره في هذه الرسالة من المنع عند ظهور الهلال أمام الشمس بكرة التاسع والعشرين فهو مدلول نصوص المفسرين والفقهاء والأئمة المجتهدين , فلا حاجة فيه إلى الرجوع إلى أهل الحساب ولا إلى تواترهم ولا يشمله كلام الشيخ في اشتراط التواتر وعلى التنازل في أن كلام الشيخ يشمله فما اشتراطه من إخبار عدد التواتر باستحالة حاصل بتواتر الكتب ونقله في جملة منها , وقد تقرر نقل الاستحالة في كثير من الكتب الشرعية فضلا عن الكتب الحسابية كما عرفته مما سبق نقله عن الأئمة , وتواتر الكتب معتبر كما نص على ذلك الشيخ ابن حجر في تحفته في كتاب السير ولفظه : تواتر الكتب معتد به كما صرحوا به .