Friday, June 22, 2012

Biografi Ringkas KH Tubagus Falak, Bogor - Kyai Berumur 130 Tahun

KH Tubagus Muhammad Falak bin KH Tubagus Abbas adalah seorang kiai kharismatik yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan kemudian dikenal luas oleh kalangan masyarakat sebagai pemimpin rohani dalam gerakan sufi sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang mengambil ijazah langsung dari Syekh Abdul Karim Banten.

Beliau adalah tokoh agama yang dikenal pula karena keahliannya dalam ilmu kasyaf yang memiliki kedalaman ilmu agama dan memiliki keluhuran budi pekerti yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.

KH Tubagus Muhammad Falak dilahirkan pada tahun 1842 di Sabi, Pandeglang Banten. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan agama Islam dari orang tuanya. Ayahnya KH. Tubagus Abbas adalah kiai pemimpin pesantren yang hidup dari hasil bertani dan sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah dan syiar Islam di daerah Pandeglang dan sekitarnya bersama isterinya yaitu Ratu Quraisyn.

Secara garis kuturunan, KH Tubagus Muhammad Falak tidak saja berasal dari keturunan kiai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan Banten melalui ayah beliau, KH Tubagus Abbas. Silsilah keturunan beliau sarnpai kepada salah seorang dari sembilan wali yang memiliki putera bernama Sultan Maulana Hasanuddin Banten yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kebangsawanan beliau diperkuat pula oleh garis keturunannya dari sang ibu yaitu Ratu Quraisyn yang masih merupakan keturunan Sultan Banten.

Dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren di Sabi, Pandeglang Banten menjadi awal yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup beliau. Suasana keagamaan serta bimbingan agama Islam yang diberikan oleh orangtuanya semasa kecil sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan semangat KH. Tubagus Muhammad Falak untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkan ilmu tersebut demi kepentingan masyarakat luas.

Setelah selesai mempelajari beberapa kitab dalam bidang bahasa, fiqh dan terutama aqidah dari orangtuanya hingga usia 15 tahun, KH. Tubagus Muhammad Falak yang sejak kecil mempelajari Al-Quran dan tergolong cerdas dalam menyerap pengetahuan Islam serta pintar dalam menguasai ilmu beladiri ini pernah memperdalam pengetahuan agamanya di Cirebon dan beberapa ulama banten diantaranya Syekh Abdul Halim Kadu Peusing atas anjuran KH. Tubagus Abbas.

Di usia 15 tahun tepatnya pada tahun 1857, MH. Tubagus Muhammad Falak diberangkatkan oleh orangtuanya ke Mekah untuk menunaikan lbadah haji dan menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan agama di sana. Selama mukim di Mekkah beliau bertempat tinggal bersama salah seorang gurunya yang merupakan ulama besar lndonesia bernama Syekh Abdul Karim Banten sesuai dengan anjuran salah seorang gurunya selama di Banten yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang.

Mula-mula KH. Tubagus Muhammad Falak belajar ilmu tafsir Quran dan fiqh kepada Syekh Nawawi Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany yang keduanya berasal dari Indonesia. Dalam bidang ilmu Hadist beliau belajar kepada Sayyid Amin Qutbi dan dalam ilmu tasawwuf beliau belajar kepada Sayyid Abdullah Jawawi. Sedangkan dalam ilmu falak beliau belajar kepada seorang ahli ilmu falak bernama Sayyid Affandi Turki.

Khusus dalam ilmu fiqh, beliau belajar kepada Sayyid Ahmad Habasy, dan Sayyid Umar Baarum. Setelah dewasa KH. Tubagus Muhammad Falak memperdalam ilmu hikmat dan ilmu tarekat kepada Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah dan Syekh Abdul Karim dan Syekh Ahmad Jaha yang keduanya berasal dari Banten.

Di bidang fiqh beliau belajar pula kepada Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-Falimbany. Di samping nama-nama di atas, selama di Mekkah beliau juga menuntut ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama besar lainnya antara lain: Syekh Ali Jabrah Mina, Syekh Abdul Fatah Al-Yamany. Syekh Abdul Rauf Al-Yamany. dan Sayyid Yahya Al-Yamany. Bahkan selama di Indonesia, baik sebelum pergi maupun pada saat kembali dari Mekkah, KH. Tubagus Muhammad Falak berguru dan memperdalam ilmu pengetahuan kepada beberapa ulama besar banten diantaranya Syekh Salman, Syekh Soleh Sonding. dan Syekh Sofyan.

Selama berada di Timur tengah, KH.Tubagas Muhammad Falak berkunjung ke Baghdad Irak dan sempat berguru kepada ulama Mekkah yang sedang berada di Baghdad yaitu Syekh Zaini Dahlan. Di sana beliau pernah berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jailani. Sedangkan selama berada di Madinah beliau berziarah ke makam Nabi Besar Muhammad SAW. Selama mukim pertama di Mekkah dan Madinah, KH.Tubagus Muhammad Falak seangkatan dengan Syekh Kholil Bangkalan yang pada periode yang sama tepatnya sekitar tahun 1860-an menuntut ilmu di Mekkah.

Setelah periode mukim pertama di Mekkah selama kurang lebih 21 tahun lamanya, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Nusantara pada tahun 1878.

Dalam konteks pergerakan kebangsaan melawan penguasa kolonial, dalam salah satu keterangan disebutkan bahwa KH Tubagus Muhammad falak menjadi salah satu kiai Banten yang turut aktif dalam pemberontakan petani banten 1888 yang dimotori oleh para kiai tarekat, diantaranya Syekh Abdul Karim, KH. Asnawi Caringin, KH. Tubagus Wasid dan KH.Tubagus lsmail. Akibat aktifitas politik tersebut beliau menjadi salah seorang yang menjadi sasaran untuk ditangkap oleh Belanda. Periode tersebut bertepatan dengan periode kepulangan beliau dari timur tengah ke Nusantara.

Pada tahun 1892, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali memperdalam ilmu di sana hingga menjelang awaI abad ke-20 dan mengalami masa kebersamaan dalam kurun waktu yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, kedua tokoh agama pendiri dua organisasi besar di Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Selama berada di Mekkah dan Madinah pada periode pertama dan kedua, beliau sangat dikenal oleh para ulama baik seangkatan maupun angkatan yang lebih muda khususnya yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang sedang menuntut dan memperdalam ilmu di sana.

Kemudian pada awal abad 20 setelah kepulangannya dari Timur Tengah, KH. Tubagus Muhammad Falak memulai aktivitas pendirian pesantren setelah melalui masa perintisan yang cukup panjang baik setelah melalui aktivitas dakwah dan syiar Islam sejak dari Pandeglang hingga ke pelosok-pelosok di daerah bogor dan sekitarnya maupun setelah merintis pengajian di daerah Pagentongan.

Pendirian Pesantren Al-Falak di Pagentongan Bogor oleh KH. Tubagus Muhammad Falak merupakan perwujudan akhlak yang ditunjukan oleh beliau sebagai seorang ulama yang telah mengalami perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang di Timur Tengah untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat serta mernberikan penerangan-penerangan bagi umat dalam hal keislaman. begitu banyak kalangan yang datang kepada beliau untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang dipandang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan agama Islam.

Dan begitu banyak pula para santri yang telah mendapatkan bimbingan beliau menjadi kiai, tokoh agama yang merupakan pendiri dan pemimpin pondok pesantren dan majelis ta`lim serta guru-guru agama Islam yang tersebar di berbagai pelosok di Indonesia dan mancanegara. bahkan banyak pula para santri beliau yang telah menjadi birokrat dan politisi di Indonesia.

Khusus dalam konteks pergerakan, aktifitas KH. Tubagus Muhammad Falak dalam gerakan kebangsaan semakin terlihat mantap ketika beliau semakin banyak berinteraksi dengan para tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ir. Soekarno, dan berbagai tokoh pergerakan nasional lainnya. kemudian pada masa sebelum dan masa revolusi fisik 1945-1949, KH. Tubagus Muhammad Falak telah tercatat sebagai salah searang ulama besar Indonesia yang menjadi tokoh Spiritual dalam bidang kerohanian di laskar Hizbullah yang pelatihannya berpusat di daerah Cibarusa dan pemimpin spiritual di Bogor yang senantiasa membangkitkan semangat Jihad fii Sabilillah melawan penjajah untuk membela dan mempertahankan republik Indonesia. Pada masa-masa kritis beliau banyak didatangi oleh banyak masyarakat dari kalangan sipil dan militer untuk meminta keberkahan atas karomah yang diyakini di miliki oleh beliau.

Pada tahun 1953, KH Tubagus Muhammad Falak mendirikan Nahdlatul Ulama di Bogor dan pada saat pembentukan dihadiri langsung oleh KH Wahid Hasyim. Adapun salah seorang cucunya yakni KH Soleh Tohor Falak pernah menjadi salah Ketua Tanfidziyah NU Bogor

Adapun gelar falak yang selama hidupnya melekat pada beliau rnerupakan gelar yang diberikan oleh gurunya yang bernama Sayyid Affandi Turki oleh karena kecerdasan dan keahlian beliau dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu falak yang diajarkan oleh gurunya tersebut. Beliau yang dikenal di Mekkah dengan sebutan Sayyid Syekh Muhammad Falak ini selama hidupnya memiliki hubungan interaksi yang amat luas dan memiliki kedekatan dengan ulama-ulama besar di dalam dan luar Nusantara yang sebagian besar pernah berkunjung kepada beliau di Pagentongan antara lain: Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syeikh Ahmad Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jawa Timur, Habib Umar Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar Kwitang dan para habaib dan kiai dari berbagai daerah lainnya di Nusantara.

Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten. Ia sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir separuh usianya dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. Dari beliaulah pertama kali KH. Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya kepada ilmu, di usianya yang masih muda, KH Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.

Selama di Mekah KH. Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh Abdul Karim hingga akhirnya mendapatkan kedalaman ilmu tarekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Pada tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat kepercayaan untuk memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya.

Tetapi seperti pada umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah dan tablignya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti sampai disana demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai wujud untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga beliau mulai melancarkan aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai dari daerah Pandeglang, Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan bermukim disana hingga wafatnya.

KH Tubagus Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu tanggal 19 Juli 1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke, 130 tahun di Pagentongan, Bogor.


Akhsan Ustadhi
Sekretaris PCNU Kabupaten Bogor
*Biografi ini diperoleh dari para anak dan cucu KH Tubagus Falak di Pondok Pesantren Al-Falak Pagentongan dalam acara Haul beliau, 5 Mei 2012.
Nukilan:

Sunday, June 17, 2012

Hadis Mencukur Sebahagian Rambut (Qaza')


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Umat Islam di daerah Nusantara memang identik dengan praktek-praktek klenik. Salah satu yang sering berlaku adalah mencukur rambut bayi yang baru lahir pada acara ‘aqîqah.
Sesuai dengan fiqh, ‘aqîqah dilakukan bersamaan dengan mencukur seluruh rambut bayi tersebut (حلق), lalu ditimbang dan dibelikan perak sebanyak timbangan tersebut lalu disedekahkan.[1]
Bagi daerah Nusantara, acara ‘aqîqah yang dilakukan adalah sama seperti yang ada di dalam ilmu fiqh seperti yang telah disebutkan, hanya saja dalam mencukur rambut bayi itu tidaklah dilakukan dengan mencukur seluruh rambut, akan tetapi hanya sebagian.
Alasan yang diberikan juga tidak jelas. Sesuatu yang pasti, praktek seperti ini dilakukan karena praktek inilah yang sering terjadi di kalangan orang Nusantara, sehingga seolah-olah sudah menjadi adat kebiasaan bagi mereka.
Sebagian orang Islam yang lain, menganggap praktek ini adalah tidak benar, bid’ah, serta bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW seperti yang akan dijelaskan dipembahasan nanti.
Mereka berhujjah, kalau memang ingin melakukan pencukuran, ia haruslah dengan cara mencukur seluruh rambut bayi tersebut. Rasulullah SAW melarang mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian yang lain.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Hadis tentang larangan mencukur sebagian rambut (القزع).
2.      Kritik terhadap sanad, perawi, dan takhrîj hadis tersebut.
3.      Kritik terhadap matan, dan fiqh hadis tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadis Larangan Mencukur Sebagian Rambut Bayi
Pada dasarnya, hadis mengenai larangan mencukur sebagian rambut bayi ini ada beberapa riwayat, akan tetapi di sini penulis akan memulai meneliti dari hadis yang paling pokok dalam pembahasan ini:

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنِي يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْقَزَعِ قَالَ قُلْتُ لِنَافِعٍ وَمَا الْقَزَعُ قَالَ يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِيِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ (رواه المسلم في كتاب اللباس والزينة في باب كراهة القزع)
(Telah bercerita padaku dari Zuhair bin Harb, berkata telah bercerita padaku dari Yahya yaitu anak lelaki Sa’îd dari ‘Ubaidillah, yang berkata ‘Umar bin Nâfi’ telah mengkabarkan padaku dari bapaknya dari Ibn ‘Umar bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW melarang dari melakukan “al-Qaza’”. Lalu ‘Umar bin Nâfi’ bertanya pada Nâfi’, “Apa itu al-Qaza’?”, Nâfi’ menjawab: “Dicukurnya sebagian kepala anak dan ditinggalkan sebagian yang lain”).[2]

B. Kritik Sanad, Perawi, dan Takhrîj Hadis
Hadis tersebut diriwayatkan Imam Muslim melalui jalur Zuhair bin Harb – Yahya bin Sa’îd – ‘Ubaidillah – ‘Umar bin Nâfi’ – Nâfi’ – Ibn ‘Umar – Rasulullah SAW. Skema sanad hadis tersebut adalah seperti ini:

 
Melihat sanad hadis muslim ini, maka ada enam (6) perawi yang perlu untuk dipelajari:[3]
1.      Zuhair bin Harb: Nama lengkapnya adalah Abû Khaitsamah Zuhair bin Harb bin Syadâd al-Harsyî al-Nasâ`î. Seorang ulama tâbi’ al-tâbi’în yang besar. Beliau bermukim di Baghdad dan wafat di sana pada tahun 234 H. Menurut penilaian ulama tentang beliau: a. Yahya bin Mu’în [ثقة]; b. Abû Hâtim al-Râzî [صدوق]; c. al-Husain bin Fahm [ثقة ثبت]; d. al-Nasâ`î [ثقة مأمون]; e. Ibn Hibbân [متقن ضابط]; f. al-Khathîb [ثقة ثبت حافظ متقن].
2.      Yahya bin Sa’îd: Nama lengkapnya adalah Abû Sa’îd Yahya bin Sa’îd bin Farrûkh al-Qaththân al-Tamîmî. Seorang tâbi’în yang kecil yang bermukim dan wafat di Basrah pada tahun 198 H. Menurut penilaian ulama tentang beliau: a. Ibn Mahdî [لا ترى عيناك مثله]; b. Ahmad bin Hanbal [إليه المنتهى في التثبت بالبصرة]; c. ‘Alî bin al-Madînî [ما رأيت أعلم بالرجال منه]; d. Abû Zar’ah al-Râzî [من الثقات الحفاظ]; e. Abû Hâtim al-Râzî [حجة حافظ]; f. al-Nasâ`î [ثقة ثبت].
3.      ‘Ubaidillah: Nama lengkapnya adalah Abû ‘Utsmân ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Hafsh bin ‘Âshim bin ‘Umar bin al-Khathâb al-‘Adawî. Bermukim dan wafat di kota Madinah. Tahun wafat adalah 147 H. Menurut penilaian ulama tentang beliau: a. Yahya bin Mu’în [من الثقات]; b. al-Nasâ`î [ثقة ثبت]; c. Abû Zar’ah al-Râzî [ثقة]; d. Abû Hâtim al-Râzî [ثقة]; e. Muhammad bin Sa’d [ثقة حجة]; f. Ahmad bin Shâlih al-Mishrî [ثقة ثبت مأمون].
4.      ‘Umar bin Nâfi’: Nasabnya adalah al-‘Adawî. Beliau tidak sampai menemui para sahabat. Bermukim dan wafat di Madinah. Menurut penilaian ulama tentang beliau: a. Ahmad bin Hanbal [من أوثق ولد نافع]; b. Yahya bin Mu’în [ليس به بأس]; c. Muhammad bin Sa’d [ثبت]; d. Abû Hâtim al-Râzî [ليس به بأس]; e. al-Nasâ`î [ثقة]; f. Ibn ‘Adî [ليس به بأس].
5.      Nâfi’: Nama lengkapnya adalah Abû ‘Abdillah Nâfi’ Maulâ bin ‘Umar al-Madanî. Beliau termasuk tâbi’în tengah yang bermukim di Madinah. Wafat di Madinah pada tahun 117 H. Menurut penilaian ulama tentang beliau: a. Yahya bin Mu’în [ثقة]; b. al-‘Ijlî [ثقة]; c. al-Nasâ`î [ثقة]; d. Ibn Khirâsy [ثقة]; e. Ahmad bin Shâlih al-Mishrî [حافظ ثبت]; f. al-Khalâl [إمام متفق عليه صحيح الرواية].
6.      Ibn ‘Umar: Nama lengkapnya adalah Abû ‘Abd al-Rahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khathâb bin Nufail al-‘Adawî al-Qarsyî. Beliau adalah salah satu sahabat Nabi. Bermukim di Madinah dan wafat di Marw al-Raudz pada tahun 73 H. Menurut penilaian ulama terhadap sahabat Nabi adalah derajat al-‘adâlah dan al-tautsîq tertinggi.
Hadis tentang larangan mencukur sebagian rambut ini ternyata tidak hanya diriwayatkan Imam Muslim. Ia juga diriwayatkan beberapa Imam Hadis yang lain. Berikut ini adalah takhrîj hadisnya:[4]
1.      Imam al-Bukhari; dalam kitab Sahihnya pada kitab al-libâs, no. 5465 dan 5466.
2.      Imam al-Nasâ`î; dalam Sunan al-Nasâ`înya pada kitab al-zînah, no. 4964, 4965, 5133, 5134, 5135, dan 5136.
3.       Imam Abû Daud; dalam Sunan Abî Daudnya pada kitab al-tarajjul, no. 3661 dan 3662.
4.      Imam Ibn Mâjah; dalam Sunan Ibn Mâjahnya pada kitab al-libâs, no. 3627 dan 3628.
5.      Imam Ahmad bin Hanbal; dalam Musnad Ahmad pada kitab musnad al-mukatstsarîn min al-Shahâbat, no. 4243, 4732, 4928, 5102, 5289, 5291, 5358, 5509, 5582, 5717, 5935, 6012, 6132, dan 6170.
Setelah meneliti sanad hadis ini, maka dapat disimpulkan bahwa hadis ini memiliki sanad yang muttashil[5] dan marfû’[6].[7] Hadis ini dapat diterima dan dijadikan hujjah karena ia bebas dari ‘illat yang dapat menolak sebuah hadis, yaitu terputusnya sanad dan cacatnya perawi.[8] Ia juga dikategorikan sahih, karena telah memenuhi lima (5) syarat: a. sambungnya sanad; b. adilnya perawi; c. perawi yang dlâbit; d. tidak syâdz; e. tidak terdapat ‘illat.[9]
Selain dari sanad ini, Imam Muslim juga mendapatkan hadis yang sama dengan tiga (3) sanad berbeda. Akan tetapi, penulis tidak akan membahas sanadnya lebih lanjut karena pada dasarnya semua kembali kepada Nâfi’ dari Ibn ‘Umar, dari Nabi Muhammad SAW. Hanya saja, dalam riwayat lain hadis ini, terdapat perbedaan matan. Perbedaannya hanya seputar penafsiran terhadap kata al-qaza’. Kalau menurut riwayat yang pertama, penafsir kata al-qaza’ adalah Nâfi’, sedangkan riwayat yang lain adalah ucapan ‘Ubaidillah.[10]
C. Kritik Matan dan Fiqh Hadis
Sekilas, matan hadis ini sudah jelas maknnya. Akan tetapi, ada sebuah kata yang perlu dibahas karena ia jarang sekali digunakan. Kata tersebut adalah ‘al-Qaza’’ (القزع).
Menurut Imam Nawawi di dalam kitab al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, kata al-Qaza’ adalah dengan dibaca fathah huruf qaf (ق) dan huruf zainya (ز).[11]
Sesuai dengan tafsiran yang ada di dalam matan hadis, maka al-qaza’ adalah [حلق[12] بعض الرأس مطلقا] (mencukur sebagian kepala secara mutlak). Menurut sebagian ulama yang lain, berpendapat bahwa ­al-qaza’ adalah [حلق مواضع متفرقة منه] (mencukur tempat-tempat yang berbeda bagi kepala). Imam Nawawi berpendapat bahwa yang paling shahîh adalah yang pendapat yang awal, karena ia adalah tafsiran yang diberi perawi, serta ia tidak bertentangan dengan . Maka wajib untuk beramal dengannya (memakainya).[13]
Menurut Ibn ‘Âbidîn, al-qaza’ adalah [أن يحلق البعض ويترك البعض قطعا مقدار ثلاثة أصابع] (mencukur sebagian rambut dan meninggalkan sebagian yang lagi pada bagian-bagian yang lain kira-kira tiga jari). Begitulah menurutnya yang dinukil dari kitab al-Gharâ`ib.[14]
Secara fiqh, ulama dari berbagai mazhab telah sepakat (اتفق/أجمع) bahwa melakukan qaza’ adalah makruh. Perbedaan pendapat hanya terjadi seputar teknis qaza’ itu sendiri. Menurut Imam Nawawi, kalau qaza’ dilakukan pada tempat yang berbeda-beda, maka ulama sepakat akan kemakruhannya, serta makruhnya adalah makruh tanzih. Seumpama qaza’ dilakukan untuk perubatan atau sesamanya seperti untuk bekam dan lain-lain, maka hukum kemakruhannya sudah hilang.[15]
Menurut Imam Malik, kemakruhan tersebut hanya berlaku bagi jâriyyah dan gulâm secara mutlak. Sebagian dari sahabat Imam Malik berpendapat bahwa mencukur di depan dan di tengkuk, lalu meninggalkan yang lain bagi gulâm.[16]
Walaubagai bagaimanapun, Imam Nawawi menegaskan bahwa menurut mazhab beliau, kemakruhan tersebut berlaku secara mutlak bagi lelaki maupun perempuan karena umumnya hadis tersebut.[17]
Ulama berbeda pendapat terhadap ‘illat larangan tersebut yang menyebabkan makruh. Sebagian berpendapat bahwa qaza’ merubah ciptaan Tuhan. Ada yang berpendapat ia adalah hiasan syaitan. Ada lagi yang mengatakan ia adalah perhiasan orang Yahudi. Ada riwayat dari Imam Daud bahwa qaza’ adalah perhiasan orang tercela.[18]





BAB III
KESIMPULAN

1.      Pada dasarnya, hadis yang menerangkan pencukuran sebagian rambut ada banyak, akan tetapi yang diambil sebagai bahan primer adalah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim.
2.      Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim adalah berstatus sahih, karena ia memiliki sanad yang muttashil. Hadis ini dapat diterima dan dijadikan hujjah karena ia bebas dari ‘illat yang dapat menolak sebuah hadis, yaitu terputusnya sanad dan cacatnya perawi.
3.      Al-Qaza’ adalah mencukur sebagian rambut dan membiar sebagian yang lain. Hukum melakukan qaza’ adalah makruh, tidak sampai berstatus haram seperti anggapan sebagian orang. Maka dari itu, memvonis pelaku qaza’ dengan bid’ah dan sesat adalah tidak dapat dibenarkan karena ia hanya dihukum makruh. Walau bagaimanapun, menghindari melakukan qaza’ adalah lebih baik daripada melakukannya.



.



DAFTAR PUSAKA

Âbidîn, Ibn.  Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr. Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987.
Mausu’ah al-Hadîts al-Syarîf. (CD-ROM: Global Islamic Software Company, 2000).
Muslim. Shahîh Muslim: Kitâb al-Libâs wa al-Zînah. Beirut: Dâr al-Fikr, 2003.
al-Nawawi, Ibn Yahya. al-Minhâj bi Syarh Shahîh Muslim. Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2002.
al-Ramlî, Muhammad bin Syihâb al-Dîn. Nihâyat al-Mutâj `ila Syarh al-Minhâj. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1993.
al-Thahhân, Mahmûd. Taisîr Mushthalah al-Hadits. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..
Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait. Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah. Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah,  t.t.


[1] Muhammad bin Syihâb al-Dîn al-Ramlî, Nihâyat al-Mutâj `ila Syarh al-Minhâj (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1993) juz 8, 148.
[2] Muslim, Shahîh Muslim: Kitâb al-Libâs wa al-Zînah (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), 1069.
[3] Mausu’ah al-Hadîts al-Syarîf (CD-ROM: Global Islamic Software Company, 2000).
[4] Mausu’ah al-Hadîts al-Syarîf
[5] Sebuah hadis yang sanadnya sambung sama ada ia berupa marfû’ atau mauqûf. Lihat: Mahmûd al-Thahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 111.
[6] Sebuah hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dari segi ucapan, pekerjaan, penetapan, atau sifat. Lihat: al-Thahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadits, 105.
[7] Mausu’ah al-Hadîts al-Syarîf
[8] al-Thahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadits, 52.
[9] al-Thahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadits, 30.
[10] Muslim, Shahîh Muslim: Kitâb al-Libâs, 1069.
[11] Ibn Yahya al-Nawawi, al-Minhâj bi Syarh Shahîh Muslim (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2002), 1599.
[12] Kata ‘حلق’ adalah ‘إزالة الشعر’ (menghilangkan rambut). Lihat: Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah,  t.t.) vol. 18, 94.
[13] al-Nawawi,  Syarh Shahîh Muslim, 1599.
[14] Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987), vol. 5, 261.
[15] Wuzârat al-Awqâf, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, vol. 33, 165; al-Nawawi,  Syarh Shahîh Muslim, 1599.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.; Wuzârat al-Awqâf, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, vol. 33, 165.