Ospek Stain Kediri tahun 2006 digemparkan dengan seminar bertajuk "Gender". Dari kata gender, terlintas di pemikiran para cama-cami "apa perlu?". Ada juga yang berfikir, "Ya! Kaum kita harus diperjuangkan! (mungkin cami khususnya)". Akan tetapi, apa yang ingin dibahas di sini adalah sebuah perkara yang sudah basi, cuma perlu untuk diangkat kembali, karena khawatir mahasiswi Stain terjerumus oleh pengaruh pemikiran liberal yang mengempur benteng Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah. Karena keterbatasan ruang, akan kami singgung hanya 2 isu yang sangat diperselisihkan zaman sekarang yaitu isu kesetaraan (1) dalam ekonomi (2) dalam keluarga dan masalah polygyny.
Kesetaraan yang dituntut dalam masalah ekonomi adalah seperti kebebasan para wanita untuk keluar bekerja, sama ada waktu malam mahupun siang, serta kebebasan memilih pekerjaan apapun selagi mampu. Mereka mengklaim bahwa orang Islam sangat sengit melarang wanita untuk keluar bekerja, dan ini adalah sebuah penindasan menurut mereka. Juga tentang pelarangan wanita keluar malam yang berlaku di Nusantara khususnya. Apakah Islam sesempit itu? Perlu diketahui, dalam Islam tidak pernah terlintas atau terdapat pelarangan bagi perempuan untuk bekerja maupun mempunyai hak memiliki harta. Seperti hak mendapat waris, hak uang mahar mahupun usaha mereka sendiri, dan yang lebih menarik mereka tidak wajib mengeluarkan uang untuk kebutuhan orang lain sama ada sebelum maupun setelah kawin. Hanya saja di dalam kasus tertentu, wanita diperkenan mengeluarkan uangnya untuk membiayai orang lain seperti suaminya yang sakit dan tidak memiliki uang. Itu pun bukan sebuah kewajiban baginya, akan tetapi hanya sebuah sifat sayang dan peduli terhadap suaminya I'ânat al-Tholibǐn (4:44).
Timbulnya masalah larangan bekerja bagi perempuan ini terjadi akibat dari pekerjaan yang menuntut perempuan untuk melakukan perkara yang dilarang dalam Islam seperti membuka aurat di saat bekerja dan keluar yang dapat membawa fitnah (ada indikasi fitnah/dzan fitnah). Contohnya pekerjaan menjadi SPG di toko pakaian di kota-kota metropolis yang mana kalau pelamar lowongan kerja tersebut memakai kerudung, pasti tidak akan diberi kesempatan bekerja. Lihat saja di toko-toko Plaza Tunjungan, karena perempuan adalah daya tarik konsumen. Tidak terdapat sama sekali wanita berkerudung yang menjadi SPG ditempat itu, dan ini adalah sebuah pengakuan dari salah satu wanita yang sedang melamar pekerjaan. Pada saat ini terjadi, malah aktifis seperti Ibu Shinta memperjuangkan hak perempuan untuk bebas bekerja, bukan hak wanita untuk boleh bekerja dengan memakai kerudung dan bebas fitnah? Kalau saja pekerjaan yang dilakukan oleh wanita tersebut adalah pekerjaan yang masih menjaga kewajibannya sebagai muslimah, pasti tidak ada satupun dari ulama' sunni yang melarang! Seperti menjahit, memasak maupun menjadi seorang guru. Kesimpulannya, kalau sebuah pekerjaan tersebut dilarang dalam Islam karena ada unsur maksiat, maka lelaki pun haram melakukannya seperti menjadi model CD yang pasti membuka aurat walaupun bagi lelaki.
Sedangkan permasalah larangan keluar malam juga hampir sama masalahnya. Islam tidak melarang keluar selagi bebas dari munkarat dan fitnah. Ini diungkapkan oleh Ibn Hajar al-Haytami dalam fatwanya yaitu Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyah (1:199), dan di Is'âd al-Rafǐq (2:3). Melihat kenyataan banyaknya kecelaan yang terjadi di malam hari, maka sudah menjadi lumrah bagi orang kita melarang anak perempuannya keluar malam, dan ini adalah sebuah anugrah yang harus kita terima. Seumpama keluarnya wanita tersebut bersama muhrim atau suami yang akan menjaganya, dalam Islam jelas memperbolehkannya! Hikmah dari keharaman keluar kalau terdapat fitnah, adalah sebuah ketegasan yang bermanfaat bagi kaum Hawa. Mereka seharusnya bersyukur, karena adanya larangan tersebut itu menaikkan harga diri perempuan, agar tidak dilakukan seenaknya saja oleh lelaki hidung belang. Bayangkan ada seorang perempuan yang sangat cantik, tidak pernah menampakan dirinya, serta menjaga keperawanan dan harga dirinya; pasti banyak laki-laki yang mengejar dan sangup menjadi suami dengan mahar yang sangat tinggi pun! Serta pasti suami tersebut menjaganya dengan baik dan tidak ingin melepaskan begitu saja. Cerita ini telah pun diungkap di dalam syair uqud al-jumân " بكر منيع سترها لمن دنا * و من أتاها خاضعا نال المنى - زففتها لمن نهاه راجح * و مهرها منه الدعآء الصالح". Kalau pun golongan aktifis tetap bersikeras dan memberi hujjah bahwa zaman sekrang sudah modern, dan bisa dicarikan alternatif untuk menghindari kecelaan, maka jawaban relevan yang bisa diberi adalah lihatlah kenyataan! Kejahatan yang terjadi rata-rata adalah akibat dari ketidak patuhan wanita terhadap agama! Mengapa seorang wanita dikejar-kejar dan diperkosa lelaki hidung belang, adalah disebabkan wanita tersebut menunjukan keseksiannya dan menaikan gairah orang lain lebih-lebih lagi wanita bekerja sebagai bar tender.
Kesetaraan dalam keluarga yang dituntut adalah hak kepimpinan seorang suami. Bahan ini adalah amunisi yang paling kuat bagi aktifis gender dalam mencari simpati dan dukungan, serta keberhasilan mereka adalah karena mereka sering memberi contoh dampak dari kepimpinan lelaki dalam rumah tangga yaitu terjadinya penganiyaan terhadap istri (physical/emotional abuse). Perlu diketahui, dalam Islam memang ada perbedaan di antara lelaki dan perempuan. Ini adalah sebuah kurnia yang diberikan Allah pada kaum Hawa. Mengapa? Melihat dari segi psikologis laki-laki (masculine) memiliki sifat yang lebih kepada ketahanan fisik dan aqal daripada perempuan (feminine). Sedangkan wanita lebih kepada kekuatan batin seperti kasih sayang. Ini sudah dibuktikan secara medis (lihat makalah Ghazali Sa'id, Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam dan juga jurnal lainnya). Ditambah lagi ayat "
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ" yang mana semua ahl tafsir sepakat akan makna dari ayat ini menunjukan bahwa lelaki lebih unggul dari wanita, cuma yang masih diperselisihkan oleh ahli tafsir adalah "dalam bidang apa?" Selanjutnya, penalaran ayat ini juga menunjukan kratiria mayoritas, sehingga masih dimungkinkan bagi golongan wanita ada yang melebihi lelaki. Itu pun hanya terbatas pada sektor ketakwaan dan aktifitas ritualitas seperti Siti Aisyah dan Maryam binti Imran (Hasyiah al-Shâwi 1:218, Mizan al-Kubrâ 2:189). Keunggulan lelaki seperti yang diterangkan al-Shâwi ada pada dua perkara, yaitu keunggulan yang gifted dan keunggulan yang diusahakan (kasbiyah). Dari keterangan ringkas – yang mana kalau ingin lebih mendalam dan lengkap dapat dilihat dari refrensi kami di perpus pribadi- secara bukti scientific mahupun theological.
Bukti ayat tersebut dalam Islam menunjukan ketegasan bahwa lelaki mendapat mandat untuk menjaga para wanita. Seorang suami harus menafakahi istri dan anaknya. Apabila seorang lelaki tidak sangup melakukannya, maka dia tidak lagi bisa diberi status seorang pemimpin, maka konsekwensinya seorang istri bisa meminta untuk dithalak. Berbeda dengan apa yang diperjuangkan para aktifis ini. Mereka mengatakan bahwa pada saat lelaki sudah tidak mampu untuk menafakahi keluarganya, sedangkan perempuan yang menafakahi, maka pucuk kekuasaan bukan lagi dimiliki oleh suami, akan tetapi ada pada sang istri. Penilaian mereka sangatlah cetek dan tidak berdasar. Apakah kekuasaan itu diberi karena hanya karena mampu memberi? Tidakkah terdapat unsur lain, seperti kemampuan untuk melindunggi dan lain-lain? Adanya sebuah perintah Allah pasti ada hikmah di sebaliknya. Buktinya, sehebat apapun perempuan yang wujud sekarang ini, belum pernah dibuktikan bahwa mereka mendominasi lelaki dari segala bidang! Kehebatan yang sudah dibuktikan hanya dari sisi ibadah dan ketakwaan, bukan kepimpinan. Adanya presiden atau pemimpin perempuan yang wujud sekarang juga belum membuktikan mereka bisa mengalahkan lelaki dalam memerintah. Lebih-lebih lagi pada saat mereka mengalami menstruasi, di mana mereka mengalami gangguan emotional yang tinggi, dan ini bukan sebuah rahsia!
Untuk masalah penindasan, perlu diketahui, dalam Islam tidak menerima segala bentuk penindasan. Kalau ada suami yang menindas Istri (seperti kasus Siti Nur Jazilah), maka sang suami harus diadili di mahkamah, bukan dengan cara merubah norma yang sudah ditetapkan dalam Islam. Seperti halnya pisau, kalau digunakan untuk membunuh, apakah pembunuh itu yang harus diadili, atau mungkin menghapus pembuatan pisau? Jelas jawabannya pembunuh yang harus diadili, agar menjadi contoh pada orang lain untuk tidak berbuat sedemikian. Seumpama ada suami yang memerintah istrinya untuk tidak boleh keluar rumah, sedangkan suami tersebut masih tetap melaksanakan kewajibannya sebagai pemimpin, lalu perkara ini digolongkan sebagai penindasan pada kaum Hawa seperti apa yang diklaim para aktifis tersebut, maka jelas terdapat kecemburuan sosial di sini, bukan masalah theological. Karena segala kebutuhannya sudah dipenuhi tanpa perlu bersusah payah untuk mencari. Lebih-lebih lagi dengan patuh saja sudah mendapat pahala. Sehingga semua harta yang dimiliki sang istri tidak perlu dikeluarkan sepeser pun untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka bagaikan pemaisuri di Istana Kahyangan. Cukup dengan tidur, mandi, masak, mendidik anak dan menyenangkan sang kekasih (suami) sudah mendapat jaminan syurga "أيما امرأة ماتت وزوجها راض عنها دخلت الجنة". Kalau ini disebut sebagai penindasan, maka mereka yang harus dipertanyakan kerasionalannya? Apakah kebebasan mutlak itu harus? Bukankah wujudnya syariat itu agar manusia diatur?
Selanjutnya adalah masalah polygyny. Polygyny adalah seorang lelaki yang mengawini wanita lebih dari satu. Perkara ini adalah ketetapan syari'at yang jelas dan ittifaq. Sedangkan mereka tetap ingin memperjuangkan hak kesetaraan dengan menganggap bahwa polygyny adalah sebuah penindasan. Hikmah diturunkannya ayat " فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ" yang dapat dilihat bersama sekarang adalah adanya jumlah perempuan lebih banyak dari lelaki! Jumlah populasi dunia mencapai 2/3 wanita dan lelaki 1/3 Bagaimana kalau nanti lelaki hanya diperuntukkan satu wanita saja. Maka 1/3 wanita yang lain mau diapakan? Islam sudah mengantisipasi itu, karena perkara inilah yang membuat maraknya praktek prostitusi dan selingkuh. Hanya dengan polygyny-lah 1/3 dari perempuan tadi dapat diselamatkan.
Sebenarnya masih banyak perkara yang perlu disinggung. Akan tetapi karena keterbatasan waktu dan ruang, maka pembahasan gender harus diberhentikan di sini. Sebelumnya, perlu diketahui, semua materi yang diberi di sini berdasarkan dalil/refrensi. Kalau Anda ingin melihatnya bisa datang langsung di perpus pribadi penulis. Sekian, hidup Syari'at Islam! Perjuangkan karya ulama'! Say no to liberal thinking!
Kesetaraan yang dituntut dalam masalah ekonomi adalah seperti kebebasan para wanita untuk keluar bekerja, sama ada waktu malam mahupun siang, serta kebebasan memilih pekerjaan apapun selagi mampu. Mereka mengklaim bahwa orang Islam sangat sengit melarang wanita untuk keluar bekerja, dan ini adalah sebuah penindasan menurut mereka. Juga tentang pelarangan wanita keluar malam yang berlaku di Nusantara khususnya. Apakah Islam sesempit itu? Perlu diketahui, dalam Islam tidak pernah terlintas atau terdapat pelarangan bagi perempuan untuk bekerja maupun mempunyai hak memiliki harta. Seperti hak mendapat waris, hak uang mahar mahupun usaha mereka sendiri, dan yang lebih menarik mereka tidak wajib mengeluarkan uang untuk kebutuhan orang lain sama ada sebelum maupun setelah kawin. Hanya saja di dalam kasus tertentu, wanita diperkenan mengeluarkan uangnya untuk membiayai orang lain seperti suaminya yang sakit dan tidak memiliki uang. Itu pun bukan sebuah kewajiban baginya, akan tetapi hanya sebuah sifat sayang dan peduli terhadap suaminya I'ânat al-Tholibǐn (4:44).
Timbulnya masalah larangan bekerja bagi perempuan ini terjadi akibat dari pekerjaan yang menuntut perempuan untuk melakukan perkara yang dilarang dalam Islam seperti membuka aurat di saat bekerja dan keluar yang dapat membawa fitnah (ada indikasi fitnah/dzan fitnah). Contohnya pekerjaan menjadi SPG di toko pakaian di kota-kota metropolis yang mana kalau pelamar lowongan kerja tersebut memakai kerudung, pasti tidak akan diberi kesempatan bekerja. Lihat saja di toko-toko Plaza Tunjungan, karena perempuan adalah daya tarik konsumen. Tidak terdapat sama sekali wanita berkerudung yang menjadi SPG ditempat itu, dan ini adalah sebuah pengakuan dari salah satu wanita yang sedang melamar pekerjaan. Pada saat ini terjadi, malah aktifis seperti Ibu Shinta memperjuangkan hak perempuan untuk bebas bekerja, bukan hak wanita untuk boleh bekerja dengan memakai kerudung dan bebas fitnah? Kalau saja pekerjaan yang dilakukan oleh wanita tersebut adalah pekerjaan yang masih menjaga kewajibannya sebagai muslimah, pasti tidak ada satupun dari ulama' sunni yang melarang! Seperti menjahit, memasak maupun menjadi seorang guru. Kesimpulannya, kalau sebuah pekerjaan tersebut dilarang dalam Islam karena ada unsur maksiat, maka lelaki pun haram melakukannya seperti menjadi model CD yang pasti membuka aurat walaupun bagi lelaki.
Sedangkan permasalah larangan keluar malam juga hampir sama masalahnya. Islam tidak melarang keluar selagi bebas dari munkarat dan fitnah. Ini diungkapkan oleh Ibn Hajar al-Haytami dalam fatwanya yaitu Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyah (1:199), dan di Is'âd al-Rafǐq (2:3). Melihat kenyataan banyaknya kecelaan yang terjadi di malam hari, maka sudah menjadi lumrah bagi orang kita melarang anak perempuannya keluar malam, dan ini adalah sebuah anugrah yang harus kita terima. Seumpama keluarnya wanita tersebut bersama muhrim atau suami yang akan menjaganya, dalam Islam jelas memperbolehkannya! Hikmah dari keharaman keluar kalau terdapat fitnah, adalah sebuah ketegasan yang bermanfaat bagi kaum Hawa. Mereka seharusnya bersyukur, karena adanya larangan tersebut itu menaikkan harga diri perempuan, agar tidak dilakukan seenaknya saja oleh lelaki hidung belang. Bayangkan ada seorang perempuan yang sangat cantik, tidak pernah menampakan dirinya, serta menjaga keperawanan dan harga dirinya; pasti banyak laki-laki yang mengejar dan sangup menjadi suami dengan mahar yang sangat tinggi pun! Serta pasti suami tersebut menjaganya dengan baik dan tidak ingin melepaskan begitu saja. Cerita ini telah pun diungkap di dalam syair uqud al-jumân " بكر منيع سترها لمن دنا * و من أتاها خاضعا نال المنى - زففتها لمن نهاه راجح * و مهرها منه الدعآء الصالح". Kalau pun golongan aktifis tetap bersikeras dan memberi hujjah bahwa zaman sekrang sudah modern, dan bisa dicarikan alternatif untuk menghindari kecelaan, maka jawaban relevan yang bisa diberi adalah lihatlah kenyataan! Kejahatan yang terjadi rata-rata adalah akibat dari ketidak patuhan wanita terhadap agama! Mengapa seorang wanita dikejar-kejar dan diperkosa lelaki hidung belang, adalah disebabkan wanita tersebut menunjukan keseksiannya dan menaikan gairah orang lain lebih-lebih lagi wanita bekerja sebagai bar tender.
Kesetaraan dalam keluarga yang dituntut adalah hak kepimpinan seorang suami. Bahan ini adalah amunisi yang paling kuat bagi aktifis gender dalam mencari simpati dan dukungan, serta keberhasilan mereka adalah karena mereka sering memberi contoh dampak dari kepimpinan lelaki dalam rumah tangga yaitu terjadinya penganiyaan terhadap istri (physical/emotional abuse). Perlu diketahui, dalam Islam memang ada perbedaan di antara lelaki dan perempuan. Ini adalah sebuah kurnia yang diberikan Allah pada kaum Hawa. Mengapa? Melihat dari segi psikologis laki-laki (masculine) memiliki sifat yang lebih kepada ketahanan fisik dan aqal daripada perempuan (feminine). Sedangkan wanita lebih kepada kekuatan batin seperti kasih sayang. Ini sudah dibuktikan secara medis (lihat makalah Ghazali Sa'id, Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam dan juga jurnal lainnya). Ditambah lagi ayat "
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ" yang mana semua ahl tafsir sepakat akan makna dari ayat ini menunjukan bahwa lelaki lebih unggul dari wanita, cuma yang masih diperselisihkan oleh ahli tafsir adalah "dalam bidang apa?" Selanjutnya, penalaran ayat ini juga menunjukan kratiria mayoritas, sehingga masih dimungkinkan bagi golongan wanita ada yang melebihi lelaki. Itu pun hanya terbatas pada sektor ketakwaan dan aktifitas ritualitas seperti Siti Aisyah dan Maryam binti Imran (Hasyiah al-Shâwi 1:218, Mizan al-Kubrâ 2:189). Keunggulan lelaki seperti yang diterangkan al-Shâwi ada pada dua perkara, yaitu keunggulan yang gifted dan keunggulan yang diusahakan (kasbiyah). Dari keterangan ringkas – yang mana kalau ingin lebih mendalam dan lengkap dapat dilihat dari refrensi kami di perpus pribadi- secara bukti scientific mahupun theological.
Bukti ayat tersebut dalam Islam menunjukan ketegasan bahwa lelaki mendapat mandat untuk menjaga para wanita. Seorang suami harus menafakahi istri dan anaknya. Apabila seorang lelaki tidak sangup melakukannya, maka dia tidak lagi bisa diberi status seorang pemimpin, maka konsekwensinya seorang istri bisa meminta untuk dithalak. Berbeda dengan apa yang diperjuangkan para aktifis ini. Mereka mengatakan bahwa pada saat lelaki sudah tidak mampu untuk menafakahi keluarganya, sedangkan perempuan yang menafakahi, maka pucuk kekuasaan bukan lagi dimiliki oleh suami, akan tetapi ada pada sang istri. Penilaian mereka sangatlah cetek dan tidak berdasar. Apakah kekuasaan itu diberi karena hanya karena mampu memberi? Tidakkah terdapat unsur lain, seperti kemampuan untuk melindunggi dan lain-lain? Adanya sebuah perintah Allah pasti ada hikmah di sebaliknya. Buktinya, sehebat apapun perempuan yang wujud sekarang ini, belum pernah dibuktikan bahwa mereka mendominasi lelaki dari segala bidang! Kehebatan yang sudah dibuktikan hanya dari sisi ibadah dan ketakwaan, bukan kepimpinan. Adanya presiden atau pemimpin perempuan yang wujud sekarang juga belum membuktikan mereka bisa mengalahkan lelaki dalam memerintah. Lebih-lebih lagi pada saat mereka mengalami menstruasi, di mana mereka mengalami gangguan emotional yang tinggi, dan ini bukan sebuah rahsia!
Untuk masalah penindasan, perlu diketahui, dalam Islam tidak menerima segala bentuk penindasan. Kalau ada suami yang menindas Istri (seperti kasus Siti Nur Jazilah), maka sang suami harus diadili di mahkamah, bukan dengan cara merubah norma yang sudah ditetapkan dalam Islam. Seperti halnya pisau, kalau digunakan untuk membunuh, apakah pembunuh itu yang harus diadili, atau mungkin menghapus pembuatan pisau? Jelas jawabannya pembunuh yang harus diadili, agar menjadi contoh pada orang lain untuk tidak berbuat sedemikian. Seumpama ada suami yang memerintah istrinya untuk tidak boleh keluar rumah, sedangkan suami tersebut masih tetap melaksanakan kewajibannya sebagai pemimpin, lalu perkara ini digolongkan sebagai penindasan pada kaum Hawa seperti apa yang diklaim para aktifis tersebut, maka jelas terdapat kecemburuan sosial di sini, bukan masalah theological. Karena segala kebutuhannya sudah dipenuhi tanpa perlu bersusah payah untuk mencari. Lebih-lebih lagi dengan patuh saja sudah mendapat pahala. Sehingga semua harta yang dimiliki sang istri tidak perlu dikeluarkan sepeser pun untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka bagaikan pemaisuri di Istana Kahyangan. Cukup dengan tidur, mandi, masak, mendidik anak dan menyenangkan sang kekasih (suami) sudah mendapat jaminan syurga "أيما امرأة ماتت وزوجها راض عنها دخلت الجنة". Kalau ini disebut sebagai penindasan, maka mereka yang harus dipertanyakan kerasionalannya? Apakah kebebasan mutlak itu harus? Bukankah wujudnya syariat itu agar manusia diatur?
Selanjutnya adalah masalah polygyny. Polygyny adalah seorang lelaki yang mengawini wanita lebih dari satu. Perkara ini adalah ketetapan syari'at yang jelas dan ittifaq. Sedangkan mereka tetap ingin memperjuangkan hak kesetaraan dengan menganggap bahwa polygyny adalah sebuah penindasan. Hikmah diturunkannya ayat " فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ" yang dapat dilihat bersama sekarang adalah adanya jumlah perempuan lebih banyak dari lelaki! Jumlah populasi dunia mencapai 2/3 wanita dan lelaki 1/3 Bagaimana kalau nanti lelaki hanya diperuntukkan satu wanita saja. Maka 1/3 wanita yang lain mau diapakan? Islam sudah mengantisipasi itu, karena perkara inilah yang membuat maraknya praktek prostitusi dan selingkuh. Hanya dengan polygyny-lah 1/3 dari perempuan tadi dapat diselamatkan.
Sebenarnya masih banyak perkara yang perlu disinggung. Akan tetapi karena keterbatasan waktu dan ruang, maka pembahasan gender harus diberhentikan di sini. Sebelumnya, perlu diketahui, semua materi yang diberi di sini berdasarkan dalil/refrensi. Kalau Anda ingin melihatnya bisa datang langsung di perpus pribadi penulis. Sekian, hidup Syari'at Islam! Perjuangkan karya ulama'! Say no to liberal thinking!
No comments:
Post a Comment