BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut ilmu Imam al-Syafi’i, kata fiqh secara istilah adalah “العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية” yaitu “sebuah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang sebangsa amalan yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci”.[1]
Dalam definisi yang diberikan Imam al-Syafi’I tersebut, ditegaskan bahwa fiqh itu merupakan sebuah ilmu yang dihasilkan dengan cara ijtihad. Ini dapat dimaklumi dari pernyataan “المكتسب”. Malah `Ibn Hâjib menggunakan redaksi “الإستدلال” yang memberi kefahaman sebuah hasil ijtihad.[2]
Dari sini tegaslah bahwa fiqh itu merupakan hasil ijtihad ulama. Dalam ijtihad, tentunya memerlukan alat-alat tertentu untuk menghasilkannya. Salah satu yang paling utama adalah `ushûl fiqh. Selain dari `ushûl fiqh, ada juga ilmu qawâ’id al-fiqh (kaidah-kaidah fiqh).
Sebagaimana `ushûl fiqh, perbedaan pendapat tetap terjadi di kalangan ulama. Seperti pecahnya ahl al-ra`yi dan ahl al-hadîs.[3] Begitu juga dengan qawâ’id al-fiqh.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan kaidah fiqh dan perbandingannya.
2. Sejarah kaidah fiqh dan kitab-kitabnya dalam empat mazhab.
3. Kaidah-kaidah fiqh yang terdapat khiâf di kalangan mazhab empat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengenalan Kaidah Fiqh dan Perbandingannya
Kata “القاعدة” yang bentuk jamaknya “القواعد” secara bahasa bermakna: asas (الأساس) yaitu pondamen/dasar[4]. Seperti kata “قاعدة كل شيء” bermakna: “kaidah segala sesuatu” itu berarti: “أساسه” yaitu: “dasar segala sesuatu”. Ini juga ditetapkan dengan firman Allah SWT: {وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ} yang berarti: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail”.[5]
Sedangkan “القاعدة” secara istilah menurut ulama itu adalah sebagai berikut:
1. al-Jurjânî: “قضية كلية منطبقة على جميع جزئياتها”[6] (ketentuan yang global yang diperuntukkan terhadap seluruh juz-juznya).
2. al-Tahânawî: “هي في اصطلاح العلماء تطلق على معان ترادف الأصل والقانون والمسألة والضابط والمقصد ؛ وعرفت بأنها أمر كلي منطبق على جميع جزئياته عند تعرف أحكامها منه ... وأنه يظهر لمن تتبع موارد الإستعمالات أن القاعدة هي الكلية التي يسهل تعرف أحوال الجزئيات منها”[7] (Kaidah secara istilah ulama itu dimutlakkan terhadap makna-makna yang sinonim dengan asal, kanun, masalah, dlâbith, dan tempat tujuan. Dan aku mendefinisikanny dengan perkara yang global yang cocok terhadap semua juznya ketika mengetahui hukum-hukumnya juz dari perkara global tersebut…dan perkara tersebut itu jelas bagi orang yang terus-menerus menggunakannya. Sesunggunya kaidah itu yang sejenis global yang mudah mengetahui keadaan-keadaan juz-juz dari kaidah tersebut).
Akan tetapi, pengertian ini hanya melambangkan sebuah istilah secara umum bagi kata “القاعدة”. Istilah seperti ini hanya berlaku secara umum dari berbagai bidang keilmuan. Ini dikarenakan bagi setiap ilmu itu tentunya memiliki kaidah. Seperti kaidah ilmu nahwu, ilmu `ushûl, dan ilmu perundangan.[8]
Sedangkan ulama fiqh mengibaratkan kata “القاعدة” secara langsung dengan berbagai pendapat di kalangan imam mazhab sebagai berikut:
1. al-Hamawî al-Hanafî: “إن القاعدة عند الفقهاء غيرها عند النحاة والأصوليين إذ هي عند الفقهاء حكم أكثري لا كلي ينطبق على أكثر جزئياته لتعرف أحكامها منه”[9] (Sesungguhnya kaidah menurut ulama fiqh itu berbeda dengan pendapat ahli nahwu dan `ushû karena kaidah menurut ulama fiqh itu adalah hukum kebanyakan bukan global yang menjadi cocok terhadap banyak juz-juznya agar dapat mengetahui hukum-hukumnya juz dari hukum awal tadi).
2. al-Maqqarî al-Mâlikî: “ونعني بالقاعدة كل كلي هو أخص من الأصول وسائر المعاني العقلية العامة وأعم من العقود وجملة الضوابط الفقهية الخاصة”[10] (Yang aku maksud dengan kaidah adalah segala perkara yang global yang mana lebih khusus dibandingkan dengan `ushûl dan makna-makna yang lain yang sejenis akal yang umum. Dan ia lebih umum dibandingkan ikatan-ikatan tertentu dan sejumlah batasan-batasan fiqh yang khusus).
3. Tâj al-Dîn al-Subkî al-Syâfi’î: “هي الأمر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم[11] أحكامها منها”[12] (Kaidah adalah perkara yang global yang cocok dengannya juz-juz yang banyak yang mana perkara tersebut dapat memberi kefahaman terhadap hukum-hukumnya juz dari kaidah).
4. Mushthafâ al-Zarqâ: “أصول فقهية كلية في نصوص موجزة دستورية تتضمن أحكاما تشريعية عامة في الحوادث التي تدخل تحت موضوعها”[13] (Kaidah adalah dasar-dasar fiqh yang bersifat global di dalam bentuk nash-nash yang ringkas yang bersifat dasar yang mengandung hukum-hukum syariat yang umum di dalam beberapa perkara yang baru jadi yang mana masuk di bawah ruanglingkupnya).
Definisi yang diberikan al-Hamawî al-Hanafî dan lainnya secara tegas menunjukkan kaidah fiqh adalah sebuah hukum yang menjadi kebanyakan (mayoritas). Ini dikarenakan masih menyisihkan pengecualian bagi kasus-kasus tertentu bagi kaidah tersebut. Oleh karena itu setengah ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa kebanyakan kaidah fiqh itu adalah sebangsa mayoritas “أغلبية”.[14]
Definisi yang diberi oleh al-Maqqarî itu sudah sesuai dengan konteks kaidah fiqh. Ia sudah mengeluarkan kemungkinan dari di masuknya ke dalam istilah ilmu `usûl atau dlâbith. Akan tetapi ia masih terdapat kesamaran yang tidak dapat menunjukkan gambaran yang jelas bagi kaidah fiqh.[15]
Definisi yang secara langsung menyebutkan konteks hukum sudah tepat pada sasaran karena akan berfaedah untuk menghilangkan pemaknaan kepada konteks yang lain dan ia juga pasti menetapkan “المحكوم به والمحكوم عليه”. Akan tetapi ia tidak secara fasih menjelaskan makna yang sempurna bagi kaidah fiqh disebabkan definisi ini tidak mencegah dari pemahaman konteks fan ilmu yang lain yaitu selain fiqh.[16]
Oleh karena itu, definisi yang paling sesuai dan dapat secara tepat memberi kefahaman tentang kaidah fiqh adalah definisi yang Ustaz Mushthafâ `Ahmad al-Zarqâ. Definisi ini dimudahkan oleh Ustaz ‘Alî `Ahmad al-Nadwî dengan ibarat sebagai berikut: “أصل فقهي كلي يتضمن أحكاما تشريعية عامة من أبواب متعددة في القضايا التي تدخل تحت موضوعه” (Dasar fiqhi yang global terkandung di dalamnya hukum-hukum syariat yang umum dari berbagai bab yang berbeda-beda di dalam ketetapan-ketetapan yang masuk di dalam ruanglingkupnya).[17]
Secara umumnya, “القاعدة” dan “الضابط” itu terdapat di bawahnya beberapa cabang-cabang fiqh. Agar dapat membedakan antara “القاعدة” dengan “الضابط”, ini dapat dilihat dari sebuah ibarat yang diberikan `Ibn Nujaim sebagai berikut:
"والفرق بين الضابط والقاعدة : أن القاعدة تجمع فروعا من أبواب شتى , والضابط يجمعها من باب واحد , هذا هو الأصل"[18]
Terjemahan: Adapun perbedaan antara dlâbith dan kaidah adalah sesungguhnya kaidah itu mengumpulkan cabang-cabang dari bab-bab yang berbagai. Sedangkan dlâbith itu mengumpulkan cabang-cabang dari satu bab. Ini adalah asalnya.
Pendapat ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Imam al-Suyûthî di dalam kitab al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir yang menetapkan bahwa kaidah “اليقين لا يزال بالشك” itu masuk di dalam semua bab fiqh.[19] Contoh yang dlâbith pula adalah “مَنْ لَزِمَتْهُ نَفَقَتُهُ لَزِمَتْهُ فِطْرَتُهُ وَمَنْ لَا فَلَا”.[20] Ketentuan ini khusus masuk di dalam bab zakat fitrah tidak untuk lainnya.[21]
Akan tetapi secara lahirnya, perbedaan di antara kedua kaidah dan dlâbith ini tidak dianggap/diterapkan oleh ulama terdahulu. Oleh karena ini, dapat ditemukan banyak dlâbith yang oleh Imam al-Subkî menyebutnya sebagai “القواعد الخاصة”.[22] Definisi yang membedakan antara kedua kaidah dan dlâbith ini hanya muncul di kalangan ulama mutakhir yaitu tepatnya ketika kata dlâbith secara resmi memiliki istilah yang menjadi terkenal di kalangan ahli fiqh dan pembahas-pembahas di dalam fiqh Islam.[23]
B. Sejarah Kaidah Fiqh dan Kitab-Kitabnya dalam Empat Mazhab
Awal mula lahirnya kaidah fiqh bermula di zaman turunya syariat Islam. Ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW ketika bersabda, banyak dari hadis-hadisnya tentang hukum itu bertepatan dengan kaidah-kaidah umum yang terkandung di bawahnya banyak cabang-cabang fiqh yang diterima ulama zaman sekarang. Seperti contoh: “الخراج بالضمان”, “لا ضرر ولا ضرار” dan “البينة على المدعي واليمين على من أنكر”. Hadis-hadis inilah kemudian diasingkan oleh ulama dengan menjadikannya sebuah kaidah yang mandiri yang jalan di tempat berjalannya kaidah fiqh. Walau bagaimanapun, pada fase ini, kaidah fiqh belum terbukukan atau menjadi sebuah fan ilmu tertentu. Ianya masih berupa ucapan.[24]
Sebagaimana hadis yang juga berfungsi sebagaimana kaidah fiqh, juga terdapat `atsâr sahabat yang secara tidak langsung berlaku sebagai kaidah fiqh. Seperti contoh ucapan Khalifah ‘Umar RA: “مقاطع الحقوق عند الشروط” dan ucapan ‘Abd Allah bin ‘Abbâs RA: “كل شيء في القرآن : أو أو فهو مخير وكل شيء فإن لم تجدوا فهو الأول فالأول”. Riwayat Khalifah ‘Umar berada dalam bab syarat, sedangkan riwayatnya ‘Abd Allah bin ‘Abbâs RA berada di dalam bab “كفارات” dan “تخيير”.[25]
Setelah fase Nabi dan sahabatnya, masuklah fase tabiin sebelum wujudnya mazhab fiqh yang terkenal. Ketika ini kaidah fiqh juga belum berbentuk fan ilmu tertentu. Akan tetapi ia sudah wujud berupa pendapat-pendapat tabiin dalam bentuk ijtihad yang dilahirkan dari sumber-sumber hukum Islam. Seperti contoh ucapan al-`Imâm al-Qâdlî Syuraih bin al-Hârits al-Kindî (w. 76H): “من شرط على نفسه طائعا غير مكره فهو عليه”. Masuk di bawah pemahaman kaidah ini adalah apa yang disebut zaman sekarang dengan undang-undang (qanûn) dengan syarat memberi balasan. Sekali lagi, ia masih merupakan ucapan bukan tulisan karangan.[26]
Kemungkinan, kitab yang paling awal membahas banyak dari isinya berkaitan dengan kaidah fiqh adalah kitab “الخراج” oleh Abû Yûsuf (w. 182H) yang bermazhab Hanafi. Walau bagaimanapun, kitab ini tidaklah bermaksud membahas kaidah fiqh, akan tetapi hanya menyinggung banyak hal yang pada dasarnya dapat digolongkan kaidah fiqh. Seperti contoh: “التعزير إلى الإمام على قدر عظم الجرم وصغره”, “كل من مات من المسلمين لا وارث له فماله لبيت المال” dan “تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة”. Inilah kitab yang mengandung kaidah fiqh secara tertulis, akan tetapi ia bukanlah khusus membahas kaidah fiqh.[27]
Sedangkan kaidah fiqh yang dilahirkan di dalam mazhab Syafi’I, maka yang paling awal adalah imam mazhabnya yaitu Muhammad bin `Idrîs al-Syâfi’î (w. 204H).[28]
Ketetapan Imam al-Syâfi’î sebagai pencetus kaidah fiqh dalam mazhabnya dapat dilihat di dalam kitab al-`Umm. Seperti contoh: “لا أدفع اليقين إلا بيقين”.[29] Ini merupakan sebuah kaidah yang menjadi pegangan banyak di kalangan mazhab lain. Kaidah ini menurut redaksi yang paling masyhur di zaman sekarang adalah “اليقين لا يزال بالشك”.[30]
Imam al-Syâfi’î berkata di dalam kitab al-`Umm sebagai berikut:
"(قال الشافعي) رحمه الله تعالى وإذا كان لرجل زوجة وابن منها وكان لزوجته أخ فترافعوا إلى القاضى فتصادقوا على أن الزوجة والابن قد ماتا وتداعيا فقال الاخ مات الابن ثم ماتت الام فلا ميراثها مع زوجها وقال الزوج بل ماتت المرأة فأحرز ابني معي ميراثها ثم مات ابني فلا حق لك في ميراثه ولا بينة بينهما فالقول قول الاخ مع يمينه لانه الآن قائم وأخته ميتة فهو وارث وعلى الذى يدعى أنه محجوب البينة ولا أدفع اليقين إلا بيقين فإن كان ابنها ترك مالا فقال الاخ آخذ حصتي من مال أختى من ميراثها من ابنها كان الاخ في ذلك الموضع هو المدعى من قبل أنه يريد أخذ شئ قد يمكن أن لا يكون كما قال فكما لم أدفع أنه وارث لانه يقين بظن أن الابن حجبه فكذلك لم أورثه من الابن لان الاب يقين وهو ظن وعلى الاب اليمين وعلى الاخ البينة"[31]
Dari sini dapat ditetapkan Imam al-Syâfi’î sendiri sebagai orang yang awal mencetuskan kaidah fiqh dalam mazhab Syafi’i. Menurut Ustaz ‘Abd Wahhâb bin `Ahmad Khalîl, dapat ditemukan sebanyak 26 kaidah di dalam kitab al-`Umm. Kaidah ini ada yang masuk di dalam 5 kaidah kubrâ dan ada yang tidak.[32] Untuk membuktikan ini, Ustaz ‘Abd Wahhâb bin `Ahmad Khalîl telah mengarang sebuah kitab yang berjudul: “القواعد والضوابط الفقهية في كتاب الأم للإمام الشافعي جمعا وترتيبا ودراسة ”. Kitab ini secara ilmiah telah membuktikan bahwa Imam al-Syâfi’î adalah salah satu pencetus banyak dari kaidah-kaidah fiqh.
Menurut Imam al-Suyûthî sebagai sebuah riwayat dari Abî Sa’îd al-Harawî (w. +500H) mengatakan bahwa `Abû Thâhir al-Dabbâs (w. 340H) berupaya merangkum beragam persoalan fiqh mazhab Hanafi ke dalam 17 kaidah. Ke 17 kaidah ini dihafalkan hampir setiap malam di dalam sebuah masjid yang sepi dari pengunjungnya. Kebiasaan `Abû Thâhir al-Dabbâs didengar oleh beberapa ulama Hanafi di kota Harrah (Khurasan). Mereka kemudian mengutus seorang di antara mereka untuk membuktikan kebenaran berita tersebut sekaligus mempelajari koleksi kaidah `Abû Thâhir. Suatu malam, utusan duduk di masjid sampai jamaah meninggalkan masjid hingga sepi. Diam-diam dia duduk di sebelah pinggir tikar yang biasa diduduki `Abû Thâhir. `Abû Thâhir tidak tahu ada orang karena ia memang buta. Seperti biasa, setelah selesai zikir, `Abû Thâhir mengunci pintu dan mulai menghafal kaidah-kaidahnya. `Abû Thâhir al-Dabbâs tidak tahu di sebelahnya ada penguping. Si penguping dengan seksama dan berusaha menghafal setiap kaidah yang disebut `Abû Thâhir. Ketika sampai pada hafalan kaidah yang ke 7, tenggorokan si penguping dihinggapi rasa gatal luar biasa sehingga keluarlah suara batuk. Dikarenakan ini, seketika `Abû Thâhir menghentikan hafalannya dan secara reflek memukul si penguping. Beliau mengusir penguping tadi. Sejak ini beliau tidak pernah melakukan aktivitas hafalan seperti sedia kala. Tapi bagi si penguping, ketujuh kaidah ini adalah sangat berharga dan diajarkan kepada teman-temannya. Koleksi kaidah milik `Abû Thâhir ini pada akhirnya dibukukan oleh salah seorang sahabat karibnya, yaitu `Abû Hasan al-Karakhî (w. 340H).[33]
Dalam buku ini, `Abû Hasan al-Karakhî mengembangkan kaidah tadi menjadi 37 kaidah. Kitab inilah yang dianggap sebagai kitab pertama secara khusus menggumpulkan kaidah-kaidah fiqh.
Adapun senarai perkembangan literatur kaidah fiqh dari berbagai mazhab adalah sebagai berikut:[34]
مصادر القواعد الفقهية في مذهب الحنفي | |||
التاريخ[35] | إسم المؤلف | أسماء الكتب | النمرة |
260-340 هـ | عبيد الله بن الحسن الشهير بأبي الحسن الكرخي | أصول الكرخي | 1 |
430 هـ | عبيد الله بن عمر بن عيسى أبو زيد الدبوسي | تأسيس النظر | 2 |
970 هـ | زين الدين بن إبراهيم بن محمد الشهير بابن نجيم | الأشباه والنظائر | 3 |
1176 هـ | محمد بن محمد بن مصطفى الخادمي | خاتمة مجامع الحقائق | 4 |
1292 هـ | لجنة من علماء الدولة العثمانية | مجلة الأحكام العدلية | 5 |
1305 هـ | محمود بن محمد المعروف بابن حمزة الحسيني | الفرائد البهية في القواعد | 6 |
عدم التاريخ | محمد عميم الإحسان المجددي (بنغلاديش) | قواعد الفقه | 7 |
مصادر القواعد الفقهية في مذهب المالكي | |||
التاريخ | إسم المؤلف | أسماء الكتب | النمرة |
361 هـ | محمد بن حارث بن أسد الخشني | أصول الفتيا | 1 |
684 هـ | أحمد بن أبي العلاء إدريس الشهير بالقرافي | الفروق | 2 |
758 هـ | محمد بن محمد بن أحمد المقري | القواعد | 3 |
914 هـ | أحمد بن يحيى بن محمد التلمساني | إيضاح المسالك | 4 |
معاصر | أبو القاسم بن محمد بن التواني | الإسعاف بالطلب | 5 |
مصادر القواعد في مذهب الشافعي | |||
التاريخ | إسم المؤلف | أسماء الكتب | النمرة |
577 – 660 هـ | عز الدين عبد العزيز بن عبد السلام | قواعد الأحكام في مصالح الأنام | 1 |
716 هـ | محمد بن عمر بن مكي المعروف بابن الوكيل | كتاب الأشباه والنظائر | 2 |
761 هـ | خليل بن كيكلدي العلائي | المجموع المذهب | 3 |
792 هـ | محمد بن سليمان الصرخدي الشافعي | مختصر قواعد العلائي | 4 |
834 هـ | محمود بن أحمد المعروف بابن خطيب الدهشة | مختصر قواعد العلائي | 5 |
771 هـ | تاج الدين عبد الوهاب بن علي السبكي | الأشباه والنظائر | 6 |
794 هـ | محمد بن بهادر بن عبد الله الزركشي | المنثور في ترتيب القواعد الفقهية | 7 |
941 أو 947 هـ | شراج الدين عمر بن عبد الله العبادي | شرح قواعد الزركشي | 8 |
804 هـ | عمر بن علي بن أحمد المعروف بابن الملقن | الأشباه والنظائر | 9 |
829 هـ | أبو بكر بن محمد الحصني | القواعد | 10 |
911 هـ | جلال الدين عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي | الأشباه والنظائر | 11 |
عدم التاريخ | محمد بن أبي بكر بن سليمان البكري الشافعي | الإستغناء في الفرق والإستثناء | 12 |
مصادر القواعد الفقهية في المذهب الحنبلي | |||
التاريخ | إسم المؤلف | أسماء الكتب | النمرة |
661 – 728 هـ | تقي الدين أحمد بن عبد الحليم بن تيمية الحراني | القواعد النورانية الفقهية | 1 |
771 هـ | أحمد بن الحسن الشهير بابن قاضي الجبل | القواعد الفقهية | 2 |
795 هـ | عبد الرحمن بن شهاب الشهير بابن رجب الحنبلي | تقرير القواعد وتحرير الفوائد[36] | 3 |
909 هـ | يوسف بن عبد الهادي الشهير بابن المبرد الصالحي | القواعد الكلية والضوابط الفقهية | 4 |
1309 – 1359 هـ | أحمد بن عبد الله بن الشيخ محمد بشير القاري | مجلة الأحكام على مذهب أحمد بن حنبل | 5 |
C. Kaidah Fiqh yang Terdapat Khilâf Mazhab
Sesuai dengan latar belakang munculnya kaidah fiqh, dapat disepakati bahwa ada kaedah yang muncul langsung dari nash seperti “لا ضرر ولا ضرار” dan ada yang muncul dari pecahan permasalahan furû’ fiqh seperti yang diriwayatkan Abî Sa’îd al-Harawî.
Dari sini tidak dapat dipungkiri, bahwa kaidah fiqh merupakan hasil ijtihad ulama. Oleh karena itu, tentunya ada yang disepakati adanya dan ada yang masih terjadi khilâf akan kelegalannya. Sesuai dengan tema pembahasan, sudah seharusnya penulis memfokuskan pembahasan tentang kaidah-kaidah yang masih khilâf di dalam mazhab-mazhab fiqh sebagai konsistensi dalam membahas perbandingan mazhab. Karena melihat kaidah yang terjadi khilâf akan adanya itu sanggat banyak, maka penulis hanya akan memberikan beberapa kaidah yang sangat penting dan perlu untuk dibahas.
Salah satu dari cabang kaidah “اليقين لا يزال بالشك” adalah kaidah “الأصل في الأشياء الإباحة”[37] (asal sesuatu itu adalah diperkenan/boleh).[38] Kaidah ini pada dasarnya terjadi khilâf di kalangan ulama mazhab. Kaidah yang ini adalah merupakan pendapat Imam al-Syâfi’î (الحلال عند الشافعي ما لم يدل الدليل على تحريمه). Sedangkan menurut Imam Abû Hanîfah adalah “الحلال ما دل الدليل على حله”. Titik perbedaan antara dua mazhab ini adalah berada pada perkara-perkara yang masih tidak ada dalil (المسكوت عنه), maka pendapat Imam al-Syâfi’î itu adalah halal sedangkan pendapat Imam Abû Hanîfah adalah haram.[39]
Imam al-Syâfi’î berhujjah dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “ما أحل الله فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئا”, “إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلا تُضَيِّعُوهَا، وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلا تَنْتَهِكُوهَا[40]، وَحَدَّ حُدُودًا فَلا تَعْتَدُوهَا، وَغَفَلَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلا تَبْحَثُوا عَنْهَا”, dan “الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ”.[41]
Selain dari ini, dalil yang mendukung adalah firman Allah: “هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا”[42], “قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ”[43], “قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ”[44] dan “قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ”[45].[46]
Sedangkan menurut pendapat Imam Abû Hanîfah ini berdasarkan pada firman Allah SWT: “وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ”[47] dan dari hadis Nabi Muhammad SAW: “الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَةٌ والمؤمنون وقافون عند الشبهات[48]”.[49]
Perlu diketahui, bahwa ketetapan khilâf ini ternyata ditentang oleh al-Lahjî dalam kitabnya yaitu `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah. Beliau mengatakan bahwa ternyata di dalam kitab al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir karangan `Ibn Nujaim yang bermazhab Hanafi menisbatkan kaidah “الأصل في الأشياء الإباحة” ini kepada Imam Abû Hanîfah.[50]
Akan tetapi, ternyata memang masih terwujud perbedaan pendapat di dalam mazhab Hanafi sendiri. Termasuk yang berpendapat sama dengan pendapat Imam al-Syâfi’î adalah al-Karkhi.[51]
Selain dari kaidah ini, ada sebuah kaidah yang terkenal di kalangan mazhab Syafi’I, yaitu kaidah “الرخص لا تناط بالمعاصي”. Makna dari kaidah ini adalah dalam melakukan keringanan, tidak boleh disertai dengan maksiat. Seperti contoh, ketika melakukan perjalanan jauh (سفر), sedangkan ia adalah orang yang melakukan maksiat; maka ia tidak boleh menerima keringanan dalam syariat seperti melakukan jamak solat, qashr, buka puasa atau lain-lain.[52]
Yang dimaksud dengan safar yang maksiat adalah ketika orang tersebut melakukan perjalanan yang memang tujuan maksiat, seperti larinya hamba dari tuannya, melakukan perjalanan ke pusat-pusat maksiat seperti pelacuran dan lain-lain. Akan tetapi, kalau perjalanannya itu adalah bertujuan bukan maksiat, seperti ingin menuntut ilmu, mudik ke rumah orang tua dan lain-lain, hanya saja dalam perjalanan tersebut terjadi maksiat seperti meminum khamr, maka ia tidak termasuk dalam kaidah ini. Dengan kata lain, dalam kasus terakhir ini tetap diperkenan mengambil keringanan dalam syariat seperti jamak dan qashr.[53]
Kaidah “الرخص لا تناط بالمعاصي” ini berbeda dengan mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa melakukan perjalanan yang maksiat itu tidak menyebabkan tercegahnya mengambil keringanan.[54]
Salah satu khilâf dalam cabangnya yang terjadi terhadap kaidah yang terpenting yaitu kaidah “اليقين لا يزول بالشك” adalah masalah ketika ada orang setelah berhadas, lalu dia ragu-ragu apakah dia hadas atau tidak[55]. Dalam hal ini, mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’I, Hanbali, Dzâhirî) memilih bahwa orang tersebut suci dan keraguannya dianggap tiada guna, dan sucilah yang diyakini. Orang tersebut diperkenankan solat dengan wudlû` tersebut.[56]
Berikut adalah teks-teks dari berbagai mazhab tetang masalah ini:
1. `Ibn Nujaim (Hanafi) berkata di dalam al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir: “من تيقن الطهارة وشك في الحدث فهو متطهر ومن تيقن الحدث وشك في الطهارة فهو محدث”.[57]
2. Muhammad Nûr al-Dîn Marbû (Syafi’i) berkata di dalam al-Durarr al-Bahiyyah: “من تيقن الطهارة وشك في الحدث فهو متطهر أو تيقن في الحدث وشك في الطهارة فهو محدث”.[58]
3. Manshûr bin Yûnus al-Bahûtî (Hanbali) berkata di dalam Kasyâf al-Qinâ’: “وَمَنْ تَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ وَشَكَّ فِي الْحَدَثِ أَوْ تَيَقَّنَ الْحَدَثَ وَشَكَّ فِي الطَّهَارَةِ بَنَى عَلَى الْيَقِينِ وَهُوَ الطَّهَارَةُ فِي الْأُولَى وَالْحَدَثُ فِي الثَّانِيَةِ ، لِحَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ { شُكِيَ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ : لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِمُسْلِمٍ مَعْنَاهُ مَرْفُوعًا مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ وَلِأَنَّهُ إذَا شَكَّ تَعَارَضَ عِنْدَهُ الْأَمْرَانِ ، فَيَجِبُ سُقُوطُهُمَا كَالْبَيِّنَتَيْنِ إذَا تَعَارَضَتَا ، وَيُرْجَعُ إلَى الْيَقِينِ”.[59]
4. `Ibn Hazm (al-Dzâhirî) berkata di dalam al-Muhallâ: “مَسْأَلَةٌ: وَمَنْ أَيْقَنَ بِالْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ ثُمَّ شَكَّ هَلْ أَحْدَثَ أَوْ كَانَ مِنْهُ مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ أَمْ لا فَهُوَ عَلَى طَهَارَتِهِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يُجَدِّدَ غُسْلا وَلا وُضُوءً”.[60]
Adapun mazhab Maliki, mereka mengambil jalan yang lain. Mazhab Maliki melarang melakukan solat ketika ragu-ragu apakah masih suci. Ini dengan alasan bahwa solat itu secara urut-urutannya memiliki tanggungan (الذمة) yaitu sebagai hukum asal yang awal. Ini tidak mungkin keluar dari tanggung jawab atau tanggungan kecuali dengan sebuah sucian yang diyakini. Berikut adalah ibarat yang jelas tentang ini dari mazhab Maliki:
1. Imam Abû al-‘Abbâs al-Qarâfî: “شغل الذمة بالصلاة متيقن يحتاج إلى سبب مبرئ والشك في الشرط يوجب الشك في المشروط فيقع الشك في الصلاة الواقعة بالطهارة المشكوك فيها وهي السبب المبرئ والمشكوك فيه ملغى فيستحب شغل الذمة”.[61]
Malah, sebagian dari kalangan mazhab Maliki yang menolak pendapat ini dan sampai berani menetapkan bahwa keraguan saja sudah menyebabkan batalnya wudlû`.[62]
Perincian lengkap tentang masalah ini telah dikeluarkan oleh Imam Abû al-Barakât al-Dardîrî sebagai berikut:
وَأَمَّا الشَّكُّ فَهُوَ نَاقِضٌ ؛ لِأَنَّ الذِّمَّةَ لَا تَبْرَأُ مِمَّا طُلِبَ مِنْهَا إلَّا بِيَقِينٍ ، وَلَا تَعَيُّنَ عِنْدَ الشَّاكِّ . وَالْمُرَادُ بِالْيَقِينِ : مَا يَشْمَلُ الظَّنَّ . وَالشَّكُّ الْمُوجِبُ لِلْوُضُوءِ ثَلَاثُ صُوَرٍ : الْأُولَى : أَنْ يَشُكَّ بَعْدَ عِلْمِهِ بِتَقَدُّمِ طُهْرِهِ ، هَلْ حَصَلَ مِنْهُ نَاقِضٌ - مِنْ - حَدَثٍ أَوْ سَبَبٍ - أَمْ لَا . الثَّانِيَةُ : عَكْسُهَا ، وَهُوَ أَنْ يَشُكَّ بَعْدَ عِلْمِ حَدَثِهِ ، هَلْ حَصَلَ مِنْهُ وُضُوءٌ أَمْ لَا . الثَّالِثَةُ : عَلِمَ كُلًّا مِنْ الطُّهْرِ وَالْحَدَثِ وَشَكَّ فِي السَّابِقِ مِنْهُمَا .[63]
Kesimpulannya dalam masalah ini, perbedaan pendapat terjadi seputar dua konsep asal yaitu “الأصل الطهارة” dan “الأصل براءة الذمة”. Maka mayoritas ulama berpegangan kepada “الأصل الطهارة”. Sedangkan mazhab Maliki berpegang kepada “الأصل براءة الذمة”.[64]
BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Definisi kaidah fiqh memiliki beberapa perbedaan pendapat di antara ulama. Akan tetapi apa yang jelas adalah definisi yang diberikan Ahmad al-Nadwî: Dasar fiqhi yang global terkandung di dalamnya hukum-hukum syariat yang umum dari berbagai bab yang berbeda-beda di dalam ketetapan-ketetapan yang masuk di dalam ruanglingkupnya. Sedangkan perbedaan antara kaidah dan dlâbith: Kaidah terkandung di bawahnya banyak sekali cabang fiqh dari berbagai bab, sedangkan dlâbith cabang yang berada di bawahnya dikhususkan ke dalam satu bab tertentu.
2. Kaidah fiqh sudah wujud sejak wahyu turun. Ia berupa kata-kata yang dikeluarkan Nabi Muhammad SAW, seperti “لا ضرر ولا ضرار”. Selanjutnya kaidah yang merupakan pendapat (ijtihad) sahabat dan tabiin. Sebelum kaidah fiqh dikodefikasi, ia terlebih dahulu tertulis di dalam kitab-kitab Imam mazhab seperti “الخراج” karangan Abû Yûsuf dan “الأم” karangan Imam al-Syâfi’î. Yang paling awal mengumpulkan kaidah fiqh adalah `Abû Thâhir al-Dabbâs (Hanafi). Sedangkan yang paling awal mengkodefikasi kaidah fiqh adalah `Abû Hasan al-Karakhî. Selanjutnya kaidah fiqh berkembang sampai kepada beberapa mazhab.
3. Kaidah fiqh merupakan hasil ijtihad ulama. Oleh karena itu, tentunya ada yang disepakati adanya dan ada yang masih terjadi khilâf akan kelegalannya. Khilâf ini terjadi sesuai dengan konsep mazhab masing-masing.
DAFTAR PUSAKA
‘Alî, Muhammad `A’lâ bin. Kasyâf `Ishthilâhât al-Funûn. Editor: Luthfî ‘Abd al-Badî’. Beirut: Syarikat Khiyâth li al-Kutub wa al-Nasyr, 1963.
al-`Anshârî, Muhammad bin Nidhâm al-Dîn. Fawâtih al-Rahmût bi Syarh Musallam al-Tsubût. Bulâq: al-Mathba’ah al-`Amîriyyah, 1322 H.
al-Bahûtî, Manshûr bin Yûnus. Kasyâf al-Qinâ’. Riyâdl: Maktabah al-Nadlr al-Hadîtsah, t.t..
al-Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad. al-Wajîz fî `Îdlâh Qawâ`id al-Fiqh al-Kulliyah. Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1983.
al-Dardîrî, Abû al-Barakât `Ahmad bin Muhammad. al-Syarh al-Shaghîr. Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1973.
al-Fâdânî, Muhammad Yâsîn bin ‘Îsâ. al-Fawâ`id al-Janiyyah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1997.
al-Fayûmî, Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî. Al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t..
al-Hamawi, `Ahmad bin Muhammad al-Hasanî. Ghamzu ‘Uyûn al-Bashâ`ir. Cairo: Dâr al-Thabâ’ah al-‘Âmirah, 1357 H.
al-Hamîd, ‘Abd al-Wahhâb bin `Ahmad Khalîl bin ‘Abd. al-Qawâ’id wa al-Dlawâbith al-Fiqhiyyah fî Kitâb al-`Umm li al-`Imâm al-Syâfi’î. Riyâdl: Dâr al-Tadmuriyyah, 2008.
Hazm, Muhammad ‘Alî bin `Ahmad bin Sa’îd `Ibn. al-Muhallâ. Beirut: Mansyûrât al-Maktab al-Tijârî, t.t..
al-Jurjânî, ‘Alî bin Muhammad al-Syarîf. Kitâb al-Ta’rîfât. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983.
al-Lahjî, ‘Abd Allah bin Sa’îd Muhammad ‘Abbâdî. `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah. Surabaya: al-Hidâyah, 1410 H.
al-Makkî, Muhammad Nûr al-Dîn Marbû Banjar. al-Durarr al-Bahiyyah fî `Îdlâhi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah. Alor Setar: Pustaka Darussalam, 2002.
al-Maqqarî, ‘Abd `Allah bin Muhammad. al-Qawâ’id. Mekkah: Jâmi’ah `Umm al-Qurâ, t.t..
al-Mishrî, `Ibn Nujaim. al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir. Editor: Muhammad Muthî’ al-Hâfiz. Dimasyq: Dâr al-Fikr, 1983.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir – Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
al-Nadwî, ‘Alî `Ahmad. al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah. Damascus: Dâr al-Qalam, 2007.
al-Nidhâmiyyah, Madrasah. Taqrîrât Nazham al-Farâ`id al-Bahiyyah. Kediri: Madrasah al-Nidhâmiyyah, t.t..
Pribeneze, A. Haque DKK. Formulasi Nalar Fiqh. Kediri: MHM Lirboyo, 2005.
al-Qarâfî, `Ahmad bin `Idrîs. al-Dzakhîrah. Cairo: Mathba’ah Kulliyyah al-Syarî’ah, t.t..
al-Subkî, Tâj al-Dîn bin ‘Abd al-Wahhâb. al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir. Editor: ‘Âdil `Ahmad ‘Abd al-Maujûd & ‘Alî Muhammad ‘Iwadl. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H.
al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman. al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir. Semarang: Thahâ Putra, t.t..
al-Syâfi’î, Muhammad bin `Idrîs. al-`Umm. Editor: Mahmûd Mathrajî. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994.
Zaidân, ‘Abd al-Karîm. al-Madkhal li Dirâsah al-Syarî’ah al-`Islâmiyyah. Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2003.
al-Zarqâ, Mushthafâ `Ahmad. al-Madkhal al-Fiqhî al-‘Âmi. Damascus: Mathba’ah Jâmi’ah Dimasyq, 1983.
[1] Wahbah al-Zuhaylî, `Ushul al-Fiqh al-`Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), vol. 1, 19.
[2] Ibid., vol. 1, 22.
[3] ‘Abd al-Karîm Zaidân, al-Madkhal li Dirâsah al-Syarî’ah al-`Islâmiyyah (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2003), 114.
[4] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir – Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), 24.
[5] Muhammad Nûr al-Dîn Marbû Banjar al-Makkî, al-Durarr al-Bahiyyah fî `Îdlâhi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Alor Setar: Pustaka Darussalam, 2002), 9.
[6] ‘Alî bin Muhammad al-Syarîf al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 171.
[7] Muhammad `A’lâ bin ‘Alî, Kasyâf `Ishthilâhât al-Funûn, ed. Luthfî ‘Abd al-Badî’ (Beirut: Syarikat Khiyâth li al-Kutub wa al-Nasyr, 1963), vol. 5, 1176-7.
[8] ‘Alî `Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Damascus: Dâr al-Qalam, 2007), 41.
[9] `Ahmad bin Muhammad al-Hasanî al-Hamawi, Ghamzu ‘Uyûn al-Bashâ`ir (Cairo: Dâr al-Thabâ’ah al-‘Âmirah, 1357 H), vol. 1, 22.
[10] ‘Abd `Allah bin Muhammad al-Maqqarî, al-Qawâ’id (Mekkah: Jâmi’ah `Umm al-Qurâ, t.t.), 212.
[11] Redaksi lain “تفهم”, Lihat: al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 41.
[12] Tâj al-Dîn bin ‘Abd al-Wahhâb al-Subkî, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir, ed. ‘Âdil `Ahmad ‘Abd al-Maujûd & ‘Alî Muhammad ‘Iwadl (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H), vol. 1, 11.
[13] Mushthafâ `Ahmad al-Zarqâ, al-Madkhal al-Fiqhî al-‘Âmi (Damascus: Mathba’ah Jâmi’ah Dimasyq, 1983), vol. 2, 941.
[14] al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 43.
[15] Ibid., 42.
[16] Ibid.
[17] Ibid., 45.
[18] `Ibn Nujaim al-Mishrî, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir, ed. Muhammad Muthî’ al-Hâfiz (Dimasyq: Dâr al-Fikr, 1983), 192.
[19] Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman al-Suyûthî, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir (Semarang: Thahâ Putra, t.t.), 37.
[20] Ibid., 251.
[21] ‘Abd al-Wahhâb bin `Ahmad Khalîl bin ‘Abd al-Hamîd, al-Qawâ’id wa al-Dlawâbith al-Fiqhiyyah fî Kitâb al-`Umm li al-`Imâm al-Syâfi’î (Riyâdl: Dâr al-Tadmuriyyah, 2008), 53.
[22] al-Subkî, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir, vol. 1, 200.
[23] ‘Abd al-Wahhâb, al-Qawâ’id wa al-Dlawâbith al-Fiqhiyyah, 53.
[24] al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 90.
[25] Ibid., 92.
[26] Ibid., 93.
[27] Ibid., 94.
[28] Ibid., 99.
[29] Menurut penulis, Imam al-Syâfi’î adalah orang yang paling awal merumuskan kaidah yang terkenal yaitu “اليقين لا يزال بالشك ”. Kaidah ini bersumber dari hadis: “لا ينفتل – أو لا ينصرف – حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا”.
[30] ‘Abd al-Wahhâb, al-Qawâ’id wa al-Dlawâbith al-Fiqhiyyah, 74-81.
[31] Muhammad bin `Idrîs al-Syâfi’î, al-`Umm, ed. Mahmûd Mathrajî (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), vol. 6, 341.
[32] ‘Abd al-Wahhâb, al-Qawâ’id wa al-Dlawâbith al-Fiqhiyyah, 592.
[33] ‘Abd Allah bin Sa’îd Muhammad ‘Abbâdî al-Lahjî, `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Surabaya: al-Hidâyah, 1410 H), 7; Nûr al-Dîn Marbû, al-Durarr al-Bahiyyah, 15; A. Haque Pribeneze DKK, Formulasi Nalar Fiqh (Kediri: MHM Lirboyo, 2005), 29.
[34] al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 162-265.
[35] Yang dimaksud dari tanggal di sini adalah sama ada tanggal wafat penulis kitab tersebut atau tanggal dikeluarkan kitab tersebut.
[36] Masyhurnya disebut dengan “القواعد”.
[37] Redaksi secara lengkap: الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمه عندنا وعند أبي حنيفة الأصل فيها التحريم حتى يدل الدليل على الإباحة (Asal sesuatu adalah diperkenan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya). Lihat: ‘Abbâdî al-Lahjî, `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 31.
[38] Madrasah al-Nidhâmiyyah, Taqrîrât Nazham al-Farâ`id al-Bahiyyah (Kediri: Madrasah al-Nidhâmiyyah, t.t.), 12; Muhammad Yâsîn bin ‘Îsâ al-Fâdânî, al-Fawâ`id al-Janiyyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), vol. 1, 191.
[39] ‘Abbâdî al-Lahjî, `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 30.
[40] أى تفعلوها
[41] ‘Abbâdî al-Lahjî, `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 31.
[42] al-Qur’an, 2:29.
[43] al-Qur’an, 7:32.
[44] al-Qur’an, 6:145.
[45] al-Qur’an, 7:33.
[46] Haque Pribeneze, Formulasi Nalar Fiqh, 151.
[47] al-Qur’an, 16:116.
[48] Kata “والمؤمنون وقافون عند الشبهات” adalah redaksi dari buku Formulasi Nalar Fiqh. Sedangkan kata “الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَةٌ” adalah mutawâtir di dalam kitab-kitab hadis.
[49] Haque Pribeneze, Formulasi Nalar Fiqh, 155.
[50] ‘Abbâdî al-Lahjî, `Îdlâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 31.
[51] Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajîz fî `Îdlâh Qawâ`id al-Fiqh al-Kulliyah (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1983), 112.
[52] Nûr al-Dîn Marbû, al-Durarr al-Bahiyyah, 155.
[53] Ibid., 157.
[54] Muhammad bin Nidhâm al-Dîn al-`Anshârî, Fawâtih al-Rahmût bi Syarh Musallam al-Tsubût (Bulâq: al-Mathba’ah al-`Amîriyyah, 1322 H), vol. 164.
[55] Seperti ketika secara yakin ada orang sudah wudlû`, lalu ragu-ragu dia batal atau tidak.
[56] al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 162-265.
[57] `Ibn Nujaim, al-`Asybâh wa al-Nazhâ`ir, , 62.
[58] Nûr al-Dîn Marbû, al-Durarr al-Bahiyyah, 60.
[59] Manshûr bin Yûnus al-Bahûtî, Kasyâf al-Qinâ’ (Riyâdl: Maktabah al-Nadlr al-Hadîtsah, t.t.), vol. 1, 132.
[60] Muhammad ‘Alî bin `Ahmad bin Sa’îd `Ibn Hazm, al-Muhallâ (Beirut: Mansyûrât al-Maktab al-Tijârî, t.t.), vol. 2, 79.
[61] `Ahmad bin `Idrîs al-Qarâfî, al-Dzakhîrah (Cairo: Mathba’ah Kulliyyah al-Syarî’ah, t.t.), vol. 1, 212-3.
[62] al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 367.
[63] Abû al-Barakât `Ahmad bin Muhammad al-Dardîrî, al-Syarh al-Shaghîr (Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1973), vol. 1, 147-8.
[64] al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 367
No comments:
Post a Comment