Thursday, November 17, 2011

Maghribi - Antara Asy'ariyyah, Salafi, dan Wasatiyyah


Maghribi dan Sistem Negara Islamnya
Morocco atau dikenal juga dengan Maghribi merupakan salah satu dari negara Islam di dunia moden ini yang masih mempertahankan sistem kerajaan (monarchy). Walaupun tidak ditolak bahwa percakaran antara puak Islami dan puak sekularis liberalis tidak dapat dibendung di Morocco, akan tetapi sesuatu mata tambahan yang perlu diberikan adalah di mana sistem beraja negara ini berhasil menyelamatkan Islam sebagai agama rasmi negara dan bahasa Arab sebagai bahasa rasmi pertama negara dengan meletakkan bahasa Perancis sebagai bahasa kedua - walaupun bahasa Perancis memiliki peran yang sangat kuat di kalangan rakyat negara Barat Islam ini.

Islam sudah menjadi agama bagi penduduk Maghribi sejak abad ke 7M (abad pertama lahirnya Islam) lagi yaitu ketika Sahabat Uqbah bin Nafi' menyebar Islam sampai ke hujung Barat Afrika merentasi Tunisia dan Aljazair.Sedangkan akidah Islam aliran Ahli Sunnah Wal Jama’ah persepsi al-Asy’ariyyah sudah masuk di Maghribi sejak dinasti Almoravid (المرابطين) pada kurun ke 10M. Menurut Prof. Dr. Idris bin Ahmad Khalifah – Rektor Kuliyyah Usuluddin, Universiti Qarawiyyin di Tetouan – berpendapat bahwa bukti mazhab Asy’ariyyah telah menjadi mazhab akidah di Maghribi walaupun tidak secara rasmi adalah berdasarkan dari fatwa Ibn Rusyd (w. 520H) – seorang ulama fiqh mazhab Maliki terkenal yang mengarang kitab Bidayah al-Mujtahid – yang menetapkan bahwa Asy’ariyyah adalah mazhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah.[1]

Kitab al-Aqidah al-Asy'ariyyah karangan Prof. Dr. Idris Khalifah
Sejak dari itu, Asy’ariyyah adalah pegangan kuat ulama Maghribi yang tidak terhitung berapa banyak ulama yang lahir dan memperjuangkan mazhab ini. Dari bandar Fes yang merupakan University pertama di dunia, yaitu Jami' Qarawiyyin dalam hal ini melahirkan ulama Asy’ariyyah seperti Ibn Rushayd al-Sabti, Ibn Asyir, Ibn al-'Araby, al-Makudi, Imam Jazuli, Imam al-Tijani, Mohammed Ibn al-Hajj al-Abdari, Abu Imran al-Fasi, Leo Africanus, dan bahkan seorang filosuf Yahudi terkenal Rabbi Moshe ben Maimon, serta banyak lagi ulama yang lainnya.

Dengan melihat sistem pemerintahan Morocco serta perlembagaan negara dan agamanya, maka Morocco pada dasarnya hampir sama dengan Malaysia. Hanya perbezaannya terletak pada mazhab fiqh di mana Malaysia memilih bermazhab Syafi'I sedangkan Morocco bermazhab Maliki serta terdapat sedikit perbezaan dalam sistem politik mereka. Sedangkan di Indonesia pula, ke-Islaman di Morocco memiliki kemiripan yang kuat dengan organisasi Islam terbesar dunia yaitu Nahdlatul Ulama.[2] Di dalam perlembagaan Nahdlatul Ulama ditetapkan bahwa pandangan akidah berpegang pada akidah al-Asy'ariyyah, atau al-Maturidiyyah, sedangkan dalam Fiqh berpegang pada Mazhab empat yaitu salah satu dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali, serta dalam hal Tasawwuf berpegang pada metode Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi.[3]

Akan tetapi, sesuai dengan perubahan zaman serta perkembangan dan kesurutan sebuah pemikiran yang dinamakan makhluk ini, Morocco tidak dapat terelak dari masuknya aliran-aliran lain seperti Syiah, Salafi, dan lain-lain. Walau bagaimanapun, aliran Syiah nampaknya mudah untuk dibendung oleh kerajaan Morocco yaitu dengan menghalau diplomat dan apa pun hubungan dengan Republik Iran kerana mereka terbukti telah menyebarkan ajaran Syiah di Morocco.[4]

Permasalahan yang muncul sekarang di Morocco adalah adanya percakaran antara puak Salafi dengan Asy'ariyyah di mana secara pengalaman sejarah sudah lama percakaran ini berlaku di mana saja ia berada. Tidak mengenal Barat atau Timur, Utara atau Selatan, di negara Islam atau bukan Islam, Salafi dan Asy'ariyyah memang susah untuk disatukan. Pertanyaannya sekarang bagaimana dengan Morocco?

Secara perlembagaan dan sistem politik, Morocco telah mengerakkan jentera Asy’ariyyahnya di bahagian Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman (وزارة الأوقاف والشؤون الإسلامية). Ini dapat dilihat juga di dalam website rasmi kementrian tersebut. Di dalamnya, terdapat ketetapan apa dan mengapa akidah Asy'ariyyah, Fiqh Maliki, dan Tasawwuf al-Junaid di Maghribi.[5] Seperti yang telah masyhur, dendangan syair Imam Ibn Asyir menjadi dasar:

في عقد الأشعري وفقه مالك # وفي طريقة الجنيد السالك
 Dalam akidah al-Asy'ari dan fiqh Maliki dan di dalam jalan al-Junaid jalan mencari (Allah)

Arus Salafi di Maghribi
Walaubagaimanapun, arus Salafi di Morocco sangat kuat terutama dari kalangan mahasiswa-mahasiswa universiti sama ada dari universiti Islam (Qarawiyyin University sendiri) ataupun universiti umum. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang memiliki kesadaran agama ketika sudah dewasa. Arus ini masuk dari buku-buku seperti al-Albani, Ibn Baz, Ibn Utsaimin dan lain-lain. Selain dari itu, TV parabola yang bebas juga sering ditonton seperti ceramah oleh Abu Ishaq al-Huwaini dari Mesir. Secara sekilas, perkara ini sama seperti yang terjadi di Nusantara atau negara lain. Akan tetapi, perbezaan yang ketara, yang membuat Salafi di Maghribi menjadi sangat banyak adalah kerana arus lawan yang sangat lemah.

Sebahagian Salafi bahkan tidak mengetahui apa isi-isi di dalam Mazhab al-Asy'ari dan dengan mudahnya mengklaim bahwa akidah al-Asy'ari adalah akidah falsafah yang sesat.[6] Bahkan ada juga yang sangat menentang Asy'ariyyah sehingga berani melakukan korban pada hari yang berbeza dengan pengumuman rasmi raya oleh Kerajaan Morocco kerana berpegang pada pengumuman raya Kerajaan Saudi Arabia. Banyak kejadian di Universiti Qarawiyyin, pelajar-pelajar Salafi ketika melihat ada orang Asia yang datang belajar di universiti tersebut, mereka akan bertanya mengapa memilih di Qarawiyyin dan mengusulkan untuk pergi belajar ke Saudi Arabia kerana di Qarawiyyin ini dianggap sebagai institusi pendidikan yang mengajarkan ajaran-ajaran yang sesat atau menyimpang dari Ahli Sunnah wal Jama'ah.[7] Mengagungkan ulama Salafi dan meremehkan ulama sufi/Asy'ariyyah lainnya juga ketara.[8] Bahkan ada yang menuduh Yusuf Qardhawi sebagai sesat kerana beliau bertoleransi dengan aliran Asy'ariyyah. Salah satu ciri-ciri mereka adalah ketika mereka menolak sama sekali tasawwuf dan mengatakan bahwa semua jenis sufisme adalah sesat. Mereka menganggap bahwa semua sufi adalah penyembah kubur (quburiyyun), pengamal bid'ah – khurrafat – tahayyul, dan ada yang sampai menanggap mereka sudah keluar dari rambu-rambu Islam. Na'uzubillah min Zalik.

Sifat-sifat berlebihan (غلو) yang terjadi di Morocco adalah sama seperti yang terjadi di Malaysia juga pada dasarnya. Akan tetapi, melihat arus percakaran yang sangat extreme terjadi di Maghribi, membuat penulis tertanya-tanya apakah punca dari sifat berlebihan ini? Padahal, Asy'ariyyah adalah pegangan rasmi Kerajaan Morocco. YA! Salah satu dari jawaban yang penulis dapatkan adalah pendekatan Wasatiyyah dari ulama Asy'ariyyah di Morocco sendiri yang seolah-olah memberi ruang kepada Salafi untuk berkembang dengan pesat dan merasa bagaikan hanya mereka yang benar, sedangkan sayap Asy'ariyyah tidak memiliki hujjah dan mereka hanya puak-puak ta'ashub, taklid, dan jahil.

Oleh itu, renungan terhadap konsep wasatiyyah sangat diperlukan untuk menentukan, bagaimanakah sebenarnya akidah wasatiyyah yang perlu dipegang umat Islam, yaitu akidah yang benar-benar tidak tafrith dan juga tidak ifrath.

Pendekatan Wasatiyyah Asy'ariyyah Morocco
Banyak pendekatan wasatiyyah yang telah ditawarkan kepada penulis. Sama ada dari institusi kerajaan Malaysia, atau dari rakan-rakan seperjuangan. Secara realistiknya, penulis tidak pernah menemukan negara yang dapat benar-benar melaksanakannya secara menyeluruh kecuali di bumi 1000 tembok Maghribi ini. Lihatlah Jordan, sebuah negara yang penuh dengan ilmuan. Percakaran antara Asy'ariyyah dan Salafi sangat kuat. Walaupun pendekatan wasatiyyah subur di sana, tapi pendekatan ini belum tentu diadopsi oleh majority ulama, pensyarah, pegawai agama, bahkan murid-murid sekalipun. Mesir pula menjadi ajang tunjuk kekuatan. Kadang-kadang nama ulama dicaci-maki bagaikan anjing dengan kucing. Hanya al-Azhar yang berusaha menunjukkan sifat wasatiyyah-nya akan tetapi pertentangan tetap ada.[9] Di Saudi Arabia pula terlihat kongkongan pemikiran yang tidak menerima perkembangan dan toleransi pemikiran walaupun ada ulama Salafi di luar Saudi seperti Malaysia yang mengecam ta'ashub pemikiran untuk membela aliran tertentu dan menentang aliran lain dengan senjata tauliah atau institusi agama lainya. Hanya Maghribi menurut hemat penulis bahwa pendekatan wasatiyyah benar-benar dijalankan secara menyeluruh sama ada dari pihak kerajaan, penysarah universiti, para murid, sehingga darwis-darwis sufi lainnya dari kalangan Asy'ariyyah. Akan tetapi, ia masih hanya dari pihak Asy'ariyyah, bukan dari pihak Salafi, walaupun pihak Salafi tidak begitu extreme dengan melakukan demonstrasi. Seperti misal:

(1)    Asy'ariyyah di Morocco menerima kenyataan bahwa kitab al-Ibanah adalah karangan Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Padahal dalam kitab tersebut terdapat pernyataan-pernyataan yang dianggap tasybih atau tajsim oleh kalangan ulama khalaf Asya'iroh. Bahkan ada kitab yang membahas ini secara ilmiah yaitu " نظرة علمية في نسبة کتاب الابانة جميعه إلى أبي الحسن الاشعري ". Kenyataan ini dapat dilihat di dalam website rasmi Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Maghribi.[10] Para ulama Asy'ariyyah juga bersikap yang sama.[11] Walaubagaimanapun, ruang untuk menetapkan isi-isi kitab al-Ibanah – yang tercetak umum yang dapat ditemukan sekarang – sudah ditahrif atau dipesongkan untuk mendukung aliran tajsim juga masih terbuka.
(2)    Pensyarah universiti dan para asatidzah di madrasah-madrasah atiqah bahkan di Jami' Qarawiyyin sekalipun berusaha untuk tidak membahas firqah Salafiyyah walaupun ada dari kalangan murid yang memunculkan isu ini. Dengan halusnya, mereka selalu berkata "itu bukan dalam topik pembahasan".[12] Mereka berusaha untuk tidak memunculkan pertentangan di kalangan umat Islam demi perpaduan Ahli Sunnah wal Jama'ah.
(3)    Para murid di madrasah-madrasah atiqah di Maghribi juga tidak begitu bergairah menentang Salafi. Mereka hanya berkomentar bahwa Salafi sedikit dan tidak membahayakan. Ada juga yang berpendapat kebanyakan Salafi hanya dari kalangan orang awam yang belum habis mengaji kitab-kitab matan dan ketika mereka sudah menghabiskan kitab-kitab tersebut maka mereka akan berfikiran berbeza.
(4)    Para sufi tidak begitu peduli dengan Salafi. Mereka juga tidak begitu sibuk dengan usaha-usaha melawan Salafi. Bahkan hampir setiap ceramah agama atau tausyiah yang diberikan, tidak pernah menyinggung Salafi sama sekali. Mereka asyik mendalami amalan mereka, ketasawwufan mereka, dan makrifat mereka. Ketika ada yang bertanya, mereka hanya berkata bahwa Salafi di Maghribi ini adalah budak-budak muda di universiti yang masih mencari-cari. Mereka masih berjiwa muda. Ketika tiba waktunya maka mereka akan kembali.[13]

Di satu sisi, kenyataan yang tidak dapat ditolak, Maghribi adalah pusat sufisme di dunia. Banyak tarikat yang lahir di Morocco ini. Sebut saja tarikat Tijani, Syadzili, Bursyisyiyyah, dan lain-lain. Salah seorang ulama besar yang mengarang kitab selawat yang diamalkan seluruh dunia adalah Imam al-Jazuli. Beliau adalah seorang Maghribi yang pernah menuntut di Qarawiyyin dan Madrasah al-Safarin. Kitab selawatnya tidak pernah ditolak oleh umat Islam sebelum kedatangan pemikiran Salafi. Seorang wali yang unggul di Fes yaitu Abdul Aziz al-Dabbagh, yang kata-katanya terakam di dalam sebuah kitab bernama al-Ibriz, juga merupakan seorang ulama yang dihormati di Fes, walaupun ada beberapa perkataannya yang dianggap susah untuk diterima akal oleh orang awam. Akan tetapi, dimanakah tindakan pertahanan atau pembelaan Asy'ariyyah dan sufisme di Maghribi?

Kitab counter Salafi karangan Ulama Maghribi
Selama penulis berada di Morocco, satu-satunya buku yang meng-counter Salafi terbitan ulama Maghribi[14] adalah hanya terdapat di kalangan cucu-cicit atau anak-anak murid kepada keluarga al-Muhaddith al-Ghumari.[15] Itupun kitab tersebut dicetak sendiri oleh penulisnya dan hanya tersebar di daerah utara Morocco seperti Tangier dan Tetouan. Apalagi buku itupun masih berbau wasatiyyah dengan meng-counter Salafi yang berlebihan (غلاة السلفيين) sahaja. Sedangkan madrasah yang kuat mempertahankan Asy'ariyyah dan sufisme serta menentang Salafi juga hanya berada di daerah Tangier dan sebahagian kecil di Tetouan. Bahkan bandar Tetouan sendiri sudah menjadi kubu kuat Salafi.

Persepsi wasatiyyah Maghribi memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan di negara lain. Dalam berakidah wasatiyyah asy'ariyyah, kebanyakan ulama Maghribi kontemporer – menurut perspektif penulis – lebih bersikap bahwa Salafi adalah termasuk dari golongan ahli sunnah wal jamaah yang memilih pendekatan Salaf seperti mentafwidlkan ayat-ayat mutasyabihah. Mereka tidak sampai mendakwa Salafi adalah mujassimah.[16] Sedangkan pertentangan Salafi dalam masalah tabdi' disikapi sebagai hanya urusan furu'iyyah yang tidak mengancam akidah. Ulama Maghribi membiarkan Salafi hidup di Maghribi dengan bebas tanpa ada usaha untuk melawan mereka walaupun dari pihak Salafi sangat kuat menentang Asy'ariyyah dan sufisme. Mungkin usaha yang dilakukan adalah seminar-seminar atau konferensi sufi sedunia, tidak lebih. Salah satu ulama Maghribi yang disanjungi kerana pemikiran wasatiyyahnya adalah Dr. Farid Anshori, pengarang kitab Majalis al-Qur'an yang masyhur.[17]

Bagi keseimbangan kepada sufi pula, pemerintah Morocco tidak menutup kubur-kubur yang dianggap keramat atau merupakan kubur-kubur ulama besar Morocco pada waktu silam. Kumpulan sufi dapat bebas berziarah kubur, melakukan ihtifal maulid, berhadrah dalam selawat serta lain-lain amalan. Hanya saja, dari kalangan Salafi yang kuat menentang praktek ini dengan menuduh bahwa sufi di Morocco telah melakukan amalan-amalan yang sesat dan syirik bahkan kufur seperti menyembah kubur Imam Tijani, Ibn al-Arabi, dan lain-lain. Padahal, secara realitas pengalaman penulis ketika berziarah ke maqam-maqam tersebut, tidak ditemukan apa-apa amalan seperti yang didakwa dan dituduhkan. Tidak terlihat ada orang yang melakukan tawaf dikubur, memberi sajian makanan kepada ahli kubur, bersujud di kubur, ataupun perempuan yang meraung-raung dan meminta kepada ahli kubur. Yang ada adalah hanya seperti tawassul, istighasah, membina kubah di kubur, berzikir, atau solat jama'ah fardhu atau sunat kepada Allah yang secara kebetulan di zawiyah tersebut ada kubur pemimpin tarikat tersebut.[18] Sekali lagi, semua perkara ini adalah khilaf furu'iyyah.[19]

Ulama hanya menentang kalau ada amalan-amalan tarikat yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat yang sudah pasti diketahui keharaman tersebut secara ijmak (ما هو معلوم من الدين بالضرورة). Seperti misal, ulama Morocco menolak keras pemikiran penyatuan manusia dengan Tuhan seperti kesalahfahaman sebahagian orang terhadap konsep wahdat al-wujud dan al-ittihad wa al-hulul. Lebih menariknya, banyak tarikat-tarikat dibantu oleh Kementrian Wakaf dan Urusan Agama secara kewangan dan fasilitas. Misalnya tarikat Bursyisyiyyah, Tijaniyyah dan lain-lain.

Renungan Bersama
Berpijak dari pengalaman wasatiyyah di Maghribi ini, timbul pertanyaan kepada penulis dan semoga menjadi renungan kepada pembaca. Apakah dengan pendekatan wasatiyyah yang ingin kita tanamkan di Malaysia justru akan mengancam akidah Asy'ariyyah yang sudah lama menjadi asas bagi umat Islam di Nusantara, sama ada yang awam maupun yang alim? Tidakkah sejarah telah mencatat bahwa puak Salafi-lah yang paling awal mengangkat pedang extreme dengan menuduh syirik kepada pelaku tawassul, tarikat dan sufi lainnya. Bahkan takfir, mengkafirkan juga menjadi senjata. Berangkat dari extreme inilah muncul kelompok extreme lainnya sebagai penyeimbang kepada Salafi.

Kalau memang solusi bagi mencapai persatuan umat Islam (الوحدة الإسلامية)  di Malaysia adalah tetap dengan wasatiyyah, maka makna wasatiyyah itu perlulah diberi definisi yang jelas, terang lagi bersuluh agar ia benar-benar menjadi panduan umat Islam. Seseorang tidak boleh menyesatkan sebuah tarikat tertentu dengan alasan yang masih mubham dan hanya merupakan kesalahan dari satu pengikut yang awam. Apalagi ada isu yang dituduhkan itu adalah masih dalam lingkungan khilafiyyah. Ketika orang yang menyesatkan tersebut dibantai dengan tuduhan sebagai Wahabi kerana menyesatkan tarikat, maka janganlah memperdagangkan slogan wasatiyyah sebagai pegangannya, kerana wasatiyyah tidak mungkin berat sebelah.


[1] Idris bin Ahmad Khalifah, al-‘Aqidah al-‘Asy’ariyyah – Taisir Adillah Tahqiq Mafahim Tausi’ Madlamin (Tetouan: Jami’ah al-Qarawiyyin Kuliyyah ‘Ushul al-Din, 2010), 2-3 dan 312.
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama & http://www.nu.or.id/page/id/static/12/Basis_Pendukung.html
[3] http://www.nu.or.id/page/id/static/10/Paham_Keagamaan.html
[4] http://www.moroccoboard.com/viewpoint/68-hassan-massiki/436-iran-morocco-severance-of-relations-why
[5] http://www.marocislam.com/ar/index.aspx
[6] Seperti contoh: Pengalaman penulis ketika mengaji di Jami' Qarawiyyin, penulis pernah terjumpa dengan seorang kawan Salafi yang belajar di Universiti Qarawiyyin. Ketika bertemu, beliau bertanya: "Kenapa engkau belajar di sini? Ini institusi yang sesat". Demi mengelak perbalahan, penulis menjawab: "Aku mengaji kitab nahwu di sini, sebab Alfiyyah Ibn Malik sangat terkenal ilmunya di Jami' ini". Lalu si Salafi membalas: "Kenapa mengaji Alfiyyah, bukankah al-Ajjurumiyyah sudah cukup?". Penulis menjawab: "Semakin besar kitabnya semakin banyak ilmunya". Si Salafi menambah: "Lebih baik kau memperdalam ilmu akidah, kerana ia lebih penting". Demi mengelakkan perbalahan penulis pun cukup diam dan mengatakan: "Ia benar, akidah memang penting, dan aku juga masih mengaji akidah". Lalu penulis dan yang lain lanjut menuju ke warung kerana penulis dan kawan yang mengaji sama merasa lapar. Dalam perjalanan si Salafi bertanya kepada penulis: "Kitab akidah apa yang kau belajar di Indonesia". Penulis menjawab: "Kitab Akidah al-Awam, Kifayat al-Awam, al-Husun al-Hamidiyyah, dan lain-lain".[6] Kerana si Salafi tidak pernah dengar, ia bertanya lagi: "Engkau pernah mengaji (dirasah) kitab al-Tauhid oleh Muhammad bin Abd al-Wahhab, atau kitab tulisan Ibn Taimiyyah". Maka penulis pun menjawab: "Kalau mengaji tidak, tapi baca sudah. Aku memang suka saj baca kitab-kitab dari semua aliran bahkan aliran Syiah sekalipun untuk menambah wawasan". Mendengar ini ia terus memuji-muji akidah Salafiyyah. Ketika selesai dari warung dengan sedikit perdebatan yang tidak begitu penting, si Salafi dan penulis serta yang lain berangkat ke Masjid untuk menunaikan solat Zuhur. Ketika di dalam si Salafi masih menegur penulis untuk tidak mengaji di Jami' Qarawiyyin. Penulis tetap berhujjah berbagai alasan lain. Akan tetapi, perbincangan ini berubah ketika seorang kawan dari Mali datang bermusafahah dengan penulis. Lalu si Salafi bertanya kepada si Mali kitab apa yang dipelajari sekarang. Ketika itu, demi takut akan si Mali beranggapan buruk terhadap penulis, maka penulis menjawab kepada si Salafi: "Sekarang kitab Jauhar al-Tauhid karangan al-Luqqani". Barulah si Salafi terkejut dan berkata: "Mengapa engkau mengaji kitab Asya'iroh?". Penulis menjawab: "Kerana Aku bermazhab Asy'ari". Si Salafi berkata: "Itu akidah yang bahaya, kau harus menjauhinya". Penulis menjawab: "Apa yang sesat di dalam Asy'ari? Bagi Aku Asy'ari dan Salafi adalah sama, walaupun ada banyak yang berbeza, tapi itu hanya masalah furu'iyyah. Sedangkan masalah akidah tidak jauh berbeza". Lalu si Salafi tanya: "Berikan aku satu masalah yang berbeza!". Penulis menjawab: "Masalah ta'wil dan tafwidl. Kalau kami Ta'wil, kalau Salafi Tafwidl". Salafi menjawab: "Di situlah kesalahan kamu, mana boleh kita menafikan sifat Allah. Yadd adalah sifat bagi Allah. Asya'iroh telah salah dan berdosa. Mereka Mu'athillah". Ketika itu penulis menjelaskan kenapa Asya'roh memilih untuk Ta'wil sesuai dengan kata "طريقة السلف أسلم وطريقة الخلف أعلم وأحكم" (Jalan Salaf adalah lebih selamat dan jalan Khalaf lebih berilmu dan lebih bijak). Penulis bertanya: "Kalau seumpama saya orang muallaf baru masuk Islam, tidak faham bahasa Arab dan saya bertanya pada engkau apa itu makna Yadd dalam ayat tersebut, apa engkau akan menjawab?". Si Salafi lalu berkata "Yadd adalah Yadd". Penulis menambah, "Saya tak tahu apa itu Yadd". Maka si Salafi pun menunjukkan tangannya: "Ya Ini". Na'uzubillah, penulis pun berkata: "Disebabkan ini kami menakwilnya kerana ini sudah tajsim". Sedangkan si Salafipun terpinga-pinga mendengar pernyataan penulis.
[7] Sebagai contoh: Pengalaman penulis ketika datang ke Kuliyyah Usuluddin Qarawiyyin University Tetouan, penulis bertanya kepada salah satu pelajar tempat untuk bertemu dengan salah seorang musyrif di Kuliyyah tersebut. Ketika pelajar itu sedang menunjukkan tempat, pelajar tersebut bertanya mengapa memilih Qarawiyyin. Padahal lebih baik belajar di Saudi Arabia. Penulis tanpa menyadari kenyataan ini, terus menjawab bahwa orang-orang Malaysia berpegangan dengan akidah Asy'ariyyah. Setelah mendengar jawaban penulis, pelajar tersebut seolah-olah setengah hati hendak menolong. Ketika penulis terpaksa menunggu ustaz tersebut, penulis berusaha untuk berkenalan lebih dengan pelajar tersebut. Akan tetapi keengganan dari pelajar tersebut terlihat sehingga ia sendiri berkata kepada penulis: "Sebaiknya kau tunggu di sana".
[8] Contoh: Penulis pernah ketika menziarahi kawan, bertemu di rumah mereka seorang Maghribi. Ketika itu, di TV parabola ada rancangan seorang ulama Mesir yaitu Abu Ishaq al-Huwaini. Dengan bangganya orang Maghribi tersebut berkata, beliau ada Muhaddith zaman ini. Di kota lain pula, penulis bertemu dengan salah seorang  kawan Maghribi yang dahulu terkenal dengan kesalafiannya. Setelah beberapa waktu tinggal bersama penulis, beliau sudah sangat lembut untuk memahami amalan-amalan penulis yang berpegang pada hujjah-hujjah Asy'ariyyah dan Syafi'iyyah. Ketika banyak berdiskusi, penulis sentiasa menunjukkan kepada beliau rujukan dan hujjahnya. Dengan ini beliau sudah banyak berlembut. Akan tetapi pernah pada satu waktu, perdebatan terjadi antara ulama-ulama di Mesir. Beliau sampai mengeluarkan pandangan yang negative terhadap Prof. Dr. Ali Jum'ah dengan istilah mufti diktator Hosni Mubarak, dan lain-lain. Di satu sisi, keta'asuban terhadap Abu Ishaq al-Huwaini juga terlihat padanya.
[9] Lihat nukilan Youtube demonstrasi Salafi terhadap Mufti Ali Jum'ah: http://www.youtube.com/watch?v=TfbAUtQm62o dan lihatlah bagaimana kesederhanaan ulama ASWAJA dalam membela Prof. Dr. Ali Jum'ah: http://www.youtube.com/watch?v=ejn7VC6gDFk&feature=colike . Bagi yang tidak memahami Arab sila baca: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/34532/Warta/Solidaritas_Al_Azhar_Dukung_Mufti_Mesir_atas_Pelecehan_Kelompok_Wahhabi.html
[10] http://www.marocislam.com/ar/detail.aspx?id=1793&z=29
[11] Idris bin Ahmad Khalifah, al-‘Aqidah al-‘Asy’ariyyah, 342.
[12] Walaubagaimanapun, ustaz-ustaz di Jami' Qarawiyyin tidak lupa untuk mengukuhkan hujjah-hujjah Asy'ariyyah seperti menyangkal yang berpendapat semua bid'ah adalah sesat. Bahkan Dr. Marini, seorang pensyarah di University Sidi Muhammad Ben Abdillah, dan juga tenaga pengajar di Masjid Qarawiyyin ketika mengajar pernah menerangkan kesalahpahaman tentang konsep bid'ah. Dr. Muha Ouso'u, yang juga mengajar di University Sidi Muhammad Ben Abdillah, dan Masjid Qarawiyyin, pernah menyatakan bahwa dengan adanya Rasulullah SAW tidak melakukan sesuatu bukan berarti perkara itu haram secara syarak.
[13] Salah satu pernyataan ini, penulis dapatkan dari istri kepada salah satu dari cucu-cicit Imam al-Jazuli, pengarang Dalail al-Khoirat, di kota Fes.
[14] Ini adalah pengecualian buku-buku al-Ghumari sendiri.
[15] Untuk mengenali beliau sila layari: http://akitiano.blogspot.com/2011/10/kenali-ulama-ulama-maghribi.html
[16] Mungkin pemahaman doktrin Salafi yang diserapi oleh ulama Maghribi adalah seperti tafsiran beberapa ulama abad awal ke 20 seperti Abd al-Rahman Hasan Jabnakeh al-Midani. Lihat: Abd al-Rahman Hasan Jabnakeh al-Midani, al-Aqidah al-Islamiyyah wa Ususuha (Damascus: Dar al-Qalam, 2010), 218-219.
[17] Beliau dikenal sebagai ulama yang disukai sama ada dari golongan Asy'ariyyah ataupun puak Salafi di Maghribi ini. Sila baca biografi tentang beliau di wikipedia: http://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%81%D8%B1%D9%8A%D8%AF_%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%86%D8%B5%D8%A7%D8%B1%D9%8A
[18] Semua amalan ini adalah perkara yang masih khilaf bahkan majority ulama berpendapat bahwa ia adalah boleh. Sila baca kitab al-Ajwibah al-Ghaliyyah. Untuk masalah kubur yang berada dalam zawiyah adalah zawiyah Imam tijani di mana, maqam Imam Ahmad Tijani berada di situ. Akan tetapi, kalau ditanya kepada para pengikut tarikat Tijani di situ, mereka tidak pernah bersolat atau menyembah Imam Tijani. Hanya saja zawiyah tersebut memang dijadikan tempat solat fardhu, dan maqam Imam Tijani pun berada di belakang saf Imam dan sebagian makmum. Ini seperti di maqam Rasulullah SAW di Madinah Munawwarah.
[19] Baca kitab seperti Mafahim Yajib an Tushahhah, al-Ajwibah al-Ghaliyyah, al-Durar al-Saniyyah, dan lain-lain.

4 comments:

Blog al-Faqir Ila Rabbih Ta'ala said...

السلام عليكم ورحمة الله

Alfu mabruk ya akhi, satu pencerahan yang sangat baik.. hampir memberi gambaran menyeluruh. Walapun ada sedikit yang mungkin perlu diperhaluskan lagi. Mungkin boleh ditambah juga nanti tentang keluarga Kattani.

Mohon izin untuk dikongsikan..

wassalam..

akitiano said...

Wassalam..

Yang mana perlu diperhalukan lagi kalau ana boleh tahu?

Jazakallah...

Blog al-Faqir Ila Rabbih Ta'ala said...

- Masalah ta'wil dan tafwidl.. kerana kedua-duanya juga adalah mazhab Asya'irah spt disebut dalam matan Jawharah:

و كل نص أوهم التشبيها

أوله أو فوضه ورم تنزيها

Adapun Salafiyyah, ramai orang muda bersemangat yang terpengaruh keliru dengan faham Ibn Taymiyyah. Ada yang sangka, mazhabnya tafwidh, bahkan setengah ulama Hanbali juga menyangka demikian spt. Syeikh Mar'i al-Karami, padahal mazhabnya adalah ithbat mutlak yang agak berlebihan. Inilah hakikat faham Wahhabiyyah. Tokoh-tokoh mereka mencemuh sesiapa yang berfaham tafwidh.

- Kata-kata: طريقة السلف أسلم وطريقة الخلف أعلم وأحكم telah dikritik dengan hebat oleh Ibn Taymiyyah dan diikuti juga oleh Wahhabiyyah. Kata-kata ini sebenarnya punya tafsiran yang makbul, namun dicemuh oleh mereka jika kita berhujah dengannya.

Mohon maaf jika ada kekhilafan. Nanti tulis pula tentang ulama-ulama dari keluarga Kattani :)

Wassalam..

akitiano said...

Untuk yang item pertama: Ana memilih pendapat yg diajarkan oleh Tok Guru ana sendiri yaitu KH Thoifur Purworejo yg merupakan murid kepada Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki. Beliau berpendapat seperti gurunya, bahwa masalah Ibn Taimiyyah kita tidak boleh menghukum sepenuhnya kepada beliau sebab fase pemikiran Ibn Taimiyyah yg memang boleh berubah. Menurut sebuah riwayat bahwa Ibn Taimiyyah tidaak seperti yang dianggap oleh puak2 wahabi yg ghulwu. Perkara ini juga didukung oleh Dr. Wahbah al-Zuhayli dan lain2. Ana memang tidak suka dengan mujassimah, tapi kalau hanya mujarrad Istbat tapi tidak sampai memberi makna ayat2 mustasyabihat tersebut, maka ana masih mengkategorikan sebagai Tafwidl seperti Imam Abu Hanifah.

Item ke 2: Kritikan mereka terhadap perkara ini memang ada yang ghulwu ada yg tidak. Itu masalah mereka yang ghulwu saja. Begitu juga dengan aliran Asy'ariyyah ada yg ghulwu sampai terlalu mudah mengkafirkan orang. Satu ajaran Sayyid Muhammad Alawi, bahwa segala sifat ghulwu perlu dijauhi. Pesan ini juga diajarkan oleh Syeh Afeefuddin kepada Penulis.

Terima kasih atas kritik. untuk masalah keluarga Kattani insya Allah ana akan tulis. Mereka Muhaddits Fes, tapi keluarga mereka sudah tidak banyak di sini.