BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut teori yang dikemukakan J.J. Rousseau
(1712-1778 M), bahwa secara natural law, setiap
individu-individu melalui perjanjian bersama antara mereka membentuk sebuah
masyarakat (social contract). Dengan terbentuknya sebuah
masyarakat ini, maka secara otomatis pula, terbentuklah sebuah pemerintahan
yang dapat mengatur dan memimpin masyarakat tersebut.[1]
Dikatakan pula, bahwa hukum Islam itu adalah sebuah hukum yang sangat
menyeluruh, dalam arti hukum Islam dapat mencakup segala aspek kehidupan
manusia. Padahal, di satu sisi, hukum Islam terlihat secara lahirnya hanya
dikaitkan dengan hukum dogmanitas yang seolah-olah bersifat vertikal, bukan
horizontal. Ternyata pandangan ini salah. Karena terbukti hukum Islam secara
langsung mengatur urusan duniawi manusia, sama ada yang muslim maupun yang
bukan muslim.[2]
Maka dari sinilah perlunya sebuah disiplin ilmu di dalam hukum Islam
yang dapat mengatur konsep pemerintahan. Karena pemerintahan sangat diperlukan
di dalam mengatur kehidupan manusia. Disiplin ilmu tersebut adalah fiqh siyâsah.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Pengertian fiqh
siyâsah.
2. Ruang lingkup fiqh
siyâsah.
3. Kedudukan fiqh
siyâsah di dalam hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh Siyâsah
Kata “fiqh
siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalah “الفقه
السياسي” berasal dari dua kata yaitu kata fiqh
(الفقه)
dan yang kedua adalah al-siyâsî (السياسي).
Kata fiqh secara
bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran {قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول}[3],
yang artinya “kaum berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa
yang kamu bicarakan”.[4]
Secara istilah,
menurut ulama usul, kata fiqh berarti: {العلم
بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية}
yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari
dalil-dalilnya secara terperinci”.[5]
Sedangkan al-siyâsî
pula, secara bahasa berasal dari “ساس
– يسوس – سياسة” yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam hadis: “كان بنو إسرائيل يسوسهم أنبياؤهم أي تتولى أمورهم كما يفعل
الأمراء والولاة بالرعية”, yang berarti: “Adanya Bani Israil itu
diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka
seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya”. Bisa juga seperti
kata-kata “ساس زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي
دبره وقام بأمره” yang artinya: “Zaid mengatur sebuah
perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya
yaitu siyâsah itu secara bahasa bermakna: “القيام
على الشيء بما يصلحه” yang artinya “bertindak pada sesuatu
dengan apa yang patut untuknya”.[6]
Apabila
digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh siyâsah
yang juga dikenal dengan nama siyâsah syar’iyyah secara istilah memiliki
berbagai arti:
1. Menurut Imam al-Bujairimî: “Memperbagus
permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah mereka untuk
mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan”.[7]
2. Menurut Wuzârat al-Awqâf
wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait:
“Memperbagus kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang
dapat menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur
permsalahan mereka”.[8]
3. Menurut Imam Ibn ‘Âbidîn: “Kemaslahatan
untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di
dunia maupun di akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik secara khusus
maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyâsah
berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyâsah
berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan”.[9]
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh Siyâsah
yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur; 2.
Pihak yang diatur. Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh
Siyâsah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono
Prodjodikoro bahwa:[10]
Dua
unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat
eksklusif dan unsur masyarakat.[11]
Akan tetapi,
jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyâsah berbeda dengan
politik. Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh
siyâsah (siyâsah syar’iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi
pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi
pengarahan (`ishlâh). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni hanya
menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan.[12]
Ini juga dibuktikan dengan definisi politik di dalam Penguin Encyclopedia:
“Political
Science: The academic discipline which describes and analyses the operations of
government, the state, and other political organizations, and any other factors
which influence their behaviour, such as economics. A major concern is to
establish how power is exercised, and by whom, in resolving conflict within
society.”[13]
Ternyata, memang di dalam definisi
ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang kemaslahatan untuk
rakyat atau masyarakat secara umum.
Perbedaan
tersebut tampak apabila disadari bahwa dalam menjalani politik di dalam hukum
Islam haruslah terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan syariat
Islam, atau sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syariah yang kullî.
Dengan demikian, rambu-rambu fiqh siyâsah adalah: 1. Dalil-dalil kullî,
baik yang tertuang di dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW; 2. Maqâshid
al-syarî’ah; 3. Kaidah-kaidah usul fiqh serta cabang-cabangnya. [14]
Oleh karena
itu, politik yang didasari adat istiadat atau doktrin selain Islam, yang
dikenal dengan siyâsah wadl’iyyah itu bukanlah fiqh siyâsah,
hanya saja selagi siyâsah wadl’iyyah itu tidak bertentangan dengan prinsip
Islam, maka ia tetap dapat diterima.[15]
B.
Ruang Lingkup Fiqh Siyâsah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang
lingkup kajian fiqh
siyâsah. Ada yang membagi menjadi lima bidang. Ada yang membagi menjadi
empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini tidaklah terlalu prinsipil.
Menurut Imam
al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh siyâsah-nya
yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang
lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:[16]
1. Siyâsah Dustûriyyah;
2. Siyâsah Mâliyyah;
3. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
4. Siyâsah Harbiyyah;
5. Siyâsah `Idâriyyah.
Sedangakan
menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-Siyâsah
al-Syar’iyyah, ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:[17]
1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah `Idâriyyah;
3. Siyâsah Mâliyyah;
4. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah.
Sementara Abd
al-Wahhâb Khalâf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja, yaitu:[18]
1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah Dauliyyah;
3. Siyâsah Mâliyyah;
Salah satu dari
ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siyâsah
menjadi delapan bidang berserta penerangannya, yaitu:[19]
1. Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah
(kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan);
2. Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan
tetang penetapan hukum);
3. Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan
peradilan);
4. Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah
(kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5. Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan
administrasi negara);
6. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah
Syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar
negeri atau internasional);
7. Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah
(politik pelaksanaan undang-undang);
8. Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah
(politik peperangan).
Dari sekian
uraian tentang, ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian pokok. Pertama (1): politik perundang-undangan (Siyâsah
Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyrî’iyyah)
oleh lembaga legislatif, peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif,
dan administrasi pemerintahan (`Idâriyyah) oleh birokrasi atau
eksekutif.[20]
Kedua
(2): politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah). Bagian
ini mencakup hubungan keperdataan antara warganegara yang muslim dengan yang
bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah
peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar
diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.[21]
Ketiga
(3): politik keuangan dan moneter (Siyâsah Mâliyyah), yang antara lain
membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara,
perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan.[22]
C. Kedudukan Fiqh Siyâsah di dalam
Sistematika Hukum Islam
Pra pembahasan
kedudukan fiqh siyâsah di dalam hukum Islam, perlulah untuk diketahui
dulu sistematika hukum Islam secara umum. Dengan diketahui sistematika hukum
Islam, maka dapatlah difahami kedudukan fiqh siyâsah di dalam
sistematika hukum Islam.
Menurut Dr.
Wahbah al-Zuhaylî, salah satu dari keistimewaan hukum Islam dibandingkan dengan
hukum-hukum lainnya, adalah bahwa hukum Islam ini selalu
diperkaitkan/dihubungkan dengan tiga perkara penting bagi manusia. 1. Hubungan
manusia dengan Tuhannya; 2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri; 3. Hubungan
manusia dengan masyarakat sosialnya.[23]
Ini dikarenakan
hukum Islam diperuntukkan untuk dunia dan akhirat, agama dan negara. Ia juga
berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak ada kadarluarsa
sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk Islam, semuanya berkaitan
dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat melaksanakan sesuatu yang
wajib/harus dilakukan, serta tidak melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada
Allah; juga untuk menghormati hak-hak insani untuk memiliki, merasa aman,
bahagia, hidup berkelanjutan bagi seluruh jagat alam raya.[24]
Agar dapat
memenuhi peruntukan tersebut, maka hukum Islam atau yang juga disebut fiqh
yang mana dalam hal ini berhubungan dengan apa yang keluar dari seorang mukalaf,
dari segi ucapan, pekerjaan, itu meliputi dua perkara pokok:[25]
1. Fiqh ‘Ibâdah
(Hukum Ibadat): hukum-hukum yang mengatur segala persoalan yang berpautan
dengan urusan akhirat.[26]
Bagian dari Fiqh ‘Ibâdah adalah bersuci, solat, puasa, haji, zakat,
nazar, sumpah, dan sebagainya dari perkara-perkara yang bertujuan mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Malah Alquran membicarakan masalah ini
melebihi 140 ayat.
2. Fiqh Mu’âmalât
(Hukum Muamalah): hukum-hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia
dalam masalah-masalah keduniaan secara umum.[27]
Bagian dari ini adalah segala jenis akad, akibat, jinayah, ganti-rugi, dan
lain-lain yang berhubungan antara manusia dengan manusia yang lain, sama ada
secara privat maupun publik.
Dari pembagian
ini, maka Dr. Wahbah al-Zuhaylî pula membagi hukum muamalah kepada beberapa
hukum yang sifatnya berbeda. Ini dikarenakan fiqh mu’âmalât ini sangat
luas. Pembagian tersebut adalah:[28]
a. Hukum yang berhubungan dengan keadaan
manusia: seperti pernikahan, nafkah, warisan, dan lain-lain yang berhubungan
antara manusia dan keluarganya secara privat.
b. Hukum kebendaan: seperti segala jenis
akad jual-beli, persewaan, perikatan, dan lain-lain yang berhubungan dengan
kepentingan hak kebendaan seseorang.
c. Hukum jinayah (pidana): seperti
kriminal serta akibat darinya, dan lain-lain yang bertujuan menjaga kedamaian
manusia serta harta mereka.
d. Hukum acara perdata atau pidana: hukum
yang bertujuan mengatur proses peradilan dalam meletakkan sabit kesalahan yang
sifatnya pidana maupun perdata dengan tujuan menegakkan keadilan di kalangan
manusia.
e. Hukum dustûriyyah: segala hukum
yang mengatur konsep penetapan hukum dan dasar-dasarnya. Dalam hukum ini, fiqh
membahas bagaimana membatasi sebuah hukum dengan subyek hukum.
f. Hukum pemerintahan (dauliyyah):
hukum yang mengatur hubungan antara pemerintahan Islam dengan lainnya di dalam
kebijakan perdamaian, peperangan, international affairs, dan lain-lain
yang mengatur kebijakan pemerintah Islam dalam pemerintahannya.
g. Hukum perekonomian dan keungan: hukum
yang mengatur hak-hak warganegara dan pemerintah dalam hal kebendaan, seperti
pengaturan pajak negara, harta rampasan perang, mata uang, pengaturan dana
sosial perzakatan, sedekah, dan lain-lain yang berkaitan dengan kebendaan
antara warganegara dan pemerintah.
h. Akhlak dan adab: sebuah konsep dalam fiqh
yang mengajarkan konsep tata pergaulan yang baik. Ini dikarenakan fiqh
adalah produk wahyu Tuhan, sehingga nilai-nilai moral sangat diutamakan.
Secara
kedudukan, fiqh siyâsah berada di dalam fiqh mu’âmalât. Ini
apabila fiqh mu’âmalât diartikan dengan arti luas. Akan tetapi, apabila fiqh
mu’âmalât diartikan secara sempit; maka fiqh siyâsah bukanlah fiqh
mu’âmalât. Ini dikarenakan fiqh mu’âmalât adalah fiqh yang
mengatur hubungan manusia dengan kebendaan yang sifatnya privat, bukan publik,
walaupun kemungkinan ada campur tangan pemerintah. Hanya saja pencampuran
tersebut bukanlah secara esensial. Ini seperti apa yang diartikan secara
sempit, menurut Khudlarî Beik:
“Muamalah
adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.”[29]
Maka dari itu, kalau
dibandingkan antara definisi yang dimiliki fiqh siyâsah seperti yang
dijelaskan di bab sebelum ini, maka dapatlah dimasukkan fiqh siyâsah di
dalam fiqh mu’âmalât secara arti luas, bukan sempit.
Dari
sistematika hukum Islam seluruhnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa fiqh
siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini dikarenakan, fiqh
siyâsah-lah sebuah disiplin ilmu yang akan mengatur pemerintah dalam
menjalankan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa keberadaan
pemerintah yang Islami (dalam hal ini pemerintah yang menjalankan konsep fiqh
siyâsah), maka sangat sulit terjamin keberlakuan hukum Islam itu sendiri
bagi masyarakat muslimnya.[30]
Imam al-Ghazâlî juga secara tegas menjelaskan ini di dalam kitabnya yang
berjudul al-`Iqtishâd fî al-`I’tiqâd.[31]
Buktinya, tanpa
pemerintah yang minimal peduli dengan fiqh siyâsah, tidak mungkin akan
mengeluarkan salah satu produk hukum Islam sebagai hukum positif untuk
rakyatnya yang muslim. Indonesia misalnya, pada tahun 1974 telah berhasil melahirkan
undang-undang No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa
semua penduduk asli Indonesia yang beragama Islam untuk mematuhi peraturan
pernikahan tersebut yang terbentuk dari dasar-dasar Islami. Tanpa ini, tentu
konsep fiqh munâkahah tidak dapat diaplikasikan secara positif di
Indonesia.[32]
Contoh lain
sebagai bukti pentingnya fiqh siyâsah di dalam pemerintahan, adalah
adanya fiqh siyâsah itu lebih mementingkan kemaslahatan untuk rakyat
umum, serta berusaha menolak segala jenis kerusakan.[33]
Ini juga didasari oleh salah satu akar fiqh siyâsah, yaitu kaidah fiqhiyyah.
Kaidah yang terkenal adalah “دفع المفاسد وجلب
المصالح”. Selanjutnya, batasan kemaslahatan
tentunya dibatasi dengan kaidah “المصلحة
العامة مقدمة على المصلحة الخاصة”, yang dapat membatasi pemerintah daripada
hanya mementingkan kursi kekuasaan. Walau bagaimanapun, kebijakan pemerintah
yang jelas-jelas untuk kemaslahatan rakyat, harus ditaati. Maka dari itu
terdapat kaedah “تصرف الإمام على الرعية
منوط بالمصلحة”. Secara aplikasinya, kalau pengadilan
tidak dapat menemukan wali bagi orang yang dibunuh (والي
القاتل), maka pemerintah (jaksa) dapat menjadi
wakil bagi mangsa sebagai penuntut. Malah bagi jaksa boleh menuntut untuk diqishâsh
kalau perlu, atau mengambil diyyat kalau dianggap lebih maslahat. Akan
tetapi, jaksa tidak boleh memberi ampunan dari pemberlakuan qishâsh
seperti yang dimiliki wali yang asli.[34]
Dengan
demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah mempunyai kedudukan
penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam memikirkan,
merumuskan, dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna
bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya,
pemerintah jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik
pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang
mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari hal-hal
yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar
sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga
menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam.[35]
BAB III
KESIMPULAN
Setelah
membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai
berikut:
1. Fiqh siyâsah
adalah sebuah disiplin ilmu yang isinya adalah membahas hukum-hukum
pemerintahan dan konsep menjalankan pemerintahan yang berlandaskan syariat
Islam dengan tujuan memberi kemaslahatan bagi rakyatnya.
2.
Ruang
lingkup fiqh siyâsah secara keseluruhan dan secara umum, dapat
dikelompokan kepada tiga (3) kelompok: 1. Siyâsah dustûriyyah; 2. Siyâsah
khârijiyyah; 3. Siyâsah mâliyyah.
3.
Kedudukan
fiqh siyâsah di dalam sistematika hukum Islam adalah berada di bawah fiqh
mu’âmalat yang diartikan secara luas, sedangkan peranannya jelasnya adalah
sangat penting bagi masyarakat muslim, karena ia adalah kunci dapat
dijalankannya hukum Islam di dalam sebuah negara yang mayoritas rakyatnya
adalah beragama muslim, selain di satu sisi fiqh siyâsah sendiri sangat
mementingkan kemaslahatan untuk rakyat dan berusaha menghilangkan kemudaratan.
Dengan terselesainya
makalah ini, penulis memiliki beberapa saran sebagai sumbangan pemikiran yang
nantinya dapat dijadikan pertimbangan:
1. Melihat definisi serta luasnya
pembahasan ruang lingkup fiqh siyâsah, maka penulis berharap kajian fiqh
siyâsah ini benar-benar didalami secara mendalam di dalam kelas fiqh
siyâsah ini walaupun hanya ditawarkan sebanyak 2 SKS. Ini dikarenakan
pentingnya fiqh siyâsah bagi kemajuan pemikiran mahasiswa.
2. Pembelajaran fiqh siyâsah tidak
hanya mengacu pada teks-teks fiqh siyâsah, akan tetapi ia juga dapat
dirujuk pada kitab-kitab furû’ lainnya, karena selama penulis menulis
makalah ini, penulis menemukan secara teori memang banyak ada di kitab-kitab fiqh
siyâsah, akan tetapi, bentuk hukum yang ditunjukkan ulama berada di
kitab-kitab furû’.
3. Kajian fiqh siyâsah tidak hanya
membahas sekilas isi produk fiqh siyâsah, akan tetapi, sebaiknya dikaji
juga metodelogi penelitian fiqh siyâsah, yaitu ilmu `ushûlî-nya,
agar dapat menemukan titik-temu perkhilafan yang terjadi di kalangan ulama
Islam.
4. Perlunya diperbanyak penterjemahan
terhadap karya-karya ulama terdahulu dalam bidang fiqh siyâsah, karena
banyak darinya berbahasa Arab, yang mana kebanyakan penduduk Indonesia tidak
dapat memahaminya. Ini juga yang membuat fiqh siyâsah kurang mewarnai di
kalangan masyarakat umum Indonesia.
5. Perlunya diperbanyak karya tulis dalam
bidang fiqh siyâsah secara khusus, karena menurut pengamatan penulis,
sangat sedikit karya tulis yang dapat ditemukan, lebih-lebih lagi di
Perpustakaan STAIN Kediri.
6. Penulis menyarankan pemerintah
Indonesia khusunya, seluruh dunia umumnya, agar memasukkan produk fiqh
siyâsah di dalam Hukum Tata Negara (HTN), karena melihat bagusnya serta
banyaknya manfaat fiqh siyâsah dalam membangun negara.
7. Penulis secara tegas dan tulus
mensarankan sekaligus berharap segala LSM, organisasi gerakan mahasiswa, study
group, dan dosen-dosen agar mulai mewarnai sistem pemikiran politiknya
berlandaskan fiqh siyâsah, karena selama ini, ideologi yang dipakai
hanya bersifat nasionalisme semata, tanpa ada semangat Islami.
DAFTAR
PUSAKA
‘Âbidîn, Ibn. Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr. Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987.
al-Bujairimî, Sulaimân bin Muhammad. Hâsyiah al-Bujairimî ‘alâ al-Manhaj. Bulaq: Mushthafâ al-Babî al-Halâbî,
t.t..
Crystal, David. Penguin Encyclopedia.
London: Penguin Books, 2004.
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2006.
Djazuli, H. A.. Fiqh Siyâsah. Jakarta: Kencana, 2007.
al-Fayyûmî, Ahmad bin Muhammad. al-Mishbah
al-Munîr. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah,
t.t..
al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad.
al-`Iqtishâd fî al-`I’tiqâd.
Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2008.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007.
Manzhûr, Muhammad bin Mukram Ibn. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr Shâdir, t.t..
al-Mâwardî, ‘Alî bin Muhammad. al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah,
2006.
al-Nadwî, ‘Alî `Ahmad. al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah. Damascus: Dâr al-Qalam, 2007.
Prodjodikoro,Wirjono. Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik. Bandung:
Eresco, 1971.
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. Pengantar Hukum Islam. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997.
Soehino. Ilmu Negara.
Yogyakarta: Liberty, 2000.
Syafe’I, Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi
al-Kuwait. Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah. Kuwait: Wuzârat al-Awqâf
al-Kuwaitiyyah, t.t.
al-Zuhaylî,
Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004.
al-Zuhaylî, Wahbah. Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî. Damaskus: Dâr al-Fikr,
2001.
[2]
Lihat keterangan panjang lebarnya di bab pembahasan, bagian C.
[3]
Alquran, 11:91.
[5]
Ibid., 19.
[6]
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shâdir, t.t.), vol. 6, 108; Ahmad bin Muhammad al-Fayyûmî, al-Mishbah al-Munîr (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), 295.
[7]
Sulaimân bin Muhammad al-Bujairimî, Hâsyiah al-Bujairimî ‘alâ
al-Manhaj (Bulaq: Mushthafâ al-Babî al-Halâbî,
t.t.), vol. 2, 178.
[8] Wuzârat
al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah
(Kuwait:
Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.) vol.
25, 295.
[9]
Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr
(Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987), vol. 3, 147.
[11]
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik (Bandung:
Eresco, 1971), 6.
[14]
Ibid., 28-9.
[15]
Ibid., 28.
[16]
‘Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2006), 4; Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),
13.
[17]
Ibid., 13.
[18]
Ibid.
[21]
Ibid., 14.
[22]
Ibid.
[24]
Ibid.
[25]
Ibid.
[26]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997), 30.
[29]
Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 15.
[31]
Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, al-`Iqtishâd fî al-`I’tiqâd (Jeddah: Dâr
al-Minhâj, 2008), 291.
[32]
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 85;
Iqbal, Fiqh Siyasah,
12.
[34]
Djazuli, Fiqh Siyâsah,
36-8; ‘Alî `Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah (Damascus: Dâr al-Qalam, 2007), 403;
[35]
Ibid., 12-3.
1 comment:
mustinya kajian fikih-fikih di masjid dan surau-surau juga membahas fikih secara luas dan berurutan, mungkin para ustadz yang berkompeten mendapat tantangan.
uraian ini sangai indah dan bagus. maturnuwun
Post a Comment