Pada hari ini, 5 April 2010, STAIN Kediri telah didatangi oleh dua orang dosen tamu untuk mengisi kuliah tamu dengan topik yang sedang paling hangat dibahas di dalam kelas-kelas kuliah Jurusan Syariah Prodi al-Akhwal al-Syakhsiyyah. Kedua dosen tersebut adalah Prof. Dr. Hons. KH Ahmad Yasin Asmuni, Pondok Petok Kediri, dan H. Ahmad Rifa'i, Hakim Pengadilan Tinggi Agama di Surabaya.
Sangat menarik mendengar kuliah yang diisi oleh kedua dosen tamu ini, karena Kyai Yasin memberi materi yang sangat berani mengkritis hukum Materiil Peradilan Islam di Indonesia seperti Kompilasi Hukum Islam. Dengan tegas beliau mengungkapkan kesesatan-kesesatan atau bahasa halusnya ketidak sesuaiannya dengan fiqh itu sendiri. Sedangkan Ahmad Rifa'i pula lebih kepada sistem peradilan di Indonesia yang nantinya tidak banyak menyinggung masalah kontradiksi hukum materiil. Hanya saja Ahmad Rifa'i lebih kritis tentang diharuskannya menilai sesuatu dengan yang paling maslahat. Sedangkan Kyai Yasin sudah menetapkan bahwa maslahat ammah yang dipakai oleh hukum Islam Indonesia adalah tidak legal menurut fiqh.
Apa yang menarik, beliau menjelaskan bahwa kebijakan dengan landasan maslahat ammah adalah hanya merubah dari perkara sunnah atau mubah menjadi kepada yang wajib. Dan dari perkara yang makruh atau mubah menjadi haram. Tidak boleh dari perkara yang sunnah menjadi haram begitu juga dari perkara yang makruh menjadi wajib.
Saya pribadi sangat setuju dengan pendapat Kyai Yasin Asmuni apalagi beliau adalah senior saya di Forum Bahtsul Masail juga sebagai Mushohih. Hanya saja, ada di dalam makalah beliau yang kurang saya setuju ketika dalam memberi contoh kepada konsep maslahat di atas, beliau memberi contoh syarat poligami. Menurut beliau tidak boleh memberi syarat dalam poligami dengan (1) mendapat izin dari istri (2) istri tidak dapat menjalankan kewajiban (3) istri cacat badan atau tidak dapat melahirkan keturunan. Bahkan beliau memberi statement "Padahal hukum asal poligami sunnah dengan syarat mampu membiayai hidup seluruh keluarga dan bisa berbuat adil". Selama saya menkaji fiqh, jujur saja saya belum pernah menemukan satu pun ibarat tentang adanya poligami adalah "SUNNAH" dengan maksud "ما يثاب بفعله ولا يعاقب بتركه" bukan dengan maksud tradisi nabi seperti dalam hadis "فمن رغب عن سنتي فهو ليس مني". Dan ada beberapa perkara yang saya kurang setuju yang tidak perlu saya ungkapkan di sini.
Sedangkan pendapat Ahmad Rifa'i - yang notabene - beliau juga sangat ahli dalam membaca kitab, berpendapat kalau betul-betul diperlukan mengapa tidak dan harus berani. Beliau memberi contoh kasus tentang ada seorang istri yang tertalak meminta hak asuh anak (hadlanah) yang kebetulan anak tersebut diasuh sejak lama oleh keluarga si suami. Sedangkan si suami jarang di rumah karena tugas luar daerah dan keluarganya mayoritas non muslim @ kristen. Saya kurang tau apakah umur anak tersebut karena Ahmad Rifa'i tidak menceritakannya. Tapi apa yang jelas beliau mengatakan terjadi pertentangan antara hakim satu dgn yang lain. menurut 2 hakim yang lain mengatakan bahwa ia harus ditanya kepada anak itu sesuai dengan hadis yang ada di fiqh sunnah. sedangakan hakim yang satu bersitegas bahwa jangan ditanya karena pasti anak tersebut akan memilih keluarga suami @ bapak karena sudah lama di situ. Maka langsung saja ditarik demi menjaga agamanya. Menurut saya ini bukan maslahah mursalah tapi sudah maslahah mu'tabarah yang tentunya tanpa harus terjadi kontradiksi dgn KHI pun, secara fiqh sudah menetapkan seperti itu, karena hak asuh dipegang oleh ibu dahulu, sedangkan bapak kedua baru keluarga ibu dan lalu keluarga bapak. untuk lebih terperinci ada dalam bab hadlanah apalagi keluarga si bapak sudah hilang hak asuh sebab beda agama.
Sangat menarik mendengar kuliah yang diisi oleh kedua dosen tamu ini, karena Kyai Yasin memberi materi yang sangat berani mengkritis hukum Materiil Peradilan Islam di Indonesia seperti Kompilasi Hukum Islam. Dengan tegas beliau mengungkapkan kesesatan-kesesatan atau bahasa halusnya ketidak sesuaiannya dengan fiqh itu sendiri. Sedangkan Ahmad Rifa'i pula lebih kepada sistem peradilan di Indonesia yang nantinya tidak banyak menyinggung masalah kontradiksi hukum materiil. Hanya saja Ahmad Rifa'i lebih kritis tentang diharuskannya menilai sesuatu dengan yang paling maslahat. Sedangkan Kyai Yasin sudah menetapkan bahwa maslahat ammah yang dipakai oleh hukum Islam Indonesia adalah tidak legal menurut fiqh.
Apa yang menarik, beliau menjelaskan bahwa kebijakan dengan landasan maslahat ammah adalah hanya merubah dari perkara sunnah atau mubah menjadi kepada yang wajib. Dan dari perkara yang makruh atau mubah menjadi haram. Tidak boleh dari perkara yang sunnah menjadi haram begitu juga dari perkara yang makruh menjadi wajib.
Saya pribadi sangat setuju dengan pendapat Kyai Yasin Asmuni apalagi beliau adalah senior saya di Forum Bahtsul Masail juga sebagai Mushohih. Hanya saja, ada di dalam makalah beliau yang kurang saya setuju ketika dalam memberi contoh kepada konsep maslahat di atas, beliau memberi contoh syarat poligami. Menurut beliau tidak boleh memberi syarat dalam poligami dengan (1) mendapat izin dari istri (2) istri tidak dapat menjalankan kewajiban (3) istri cacat badan atau tidak dapat melahirkan keturunan. Bahkan beliau memberi statement "Padahal hukum asal poligami sunnah dengan syarat mampu membiayai hidup seluruh keluarga dan bisa berbuat adil". Selama saya menkaji fiqh, jujur saja saya belum pernah menemukan satu pun ibarat tentang adanya poligami adalah "SUNNAH" dengan maksud "ما يثاب بفعله ولا يعاقب بتركه" bukan dengan maksud tradisi nabi seperti dalam hadis "فمن رغب عن سنتي فهو ليس مني". Dan ada beberapa perkara yang saya kurang setuju yang tidak perlu saya ungkapkan di sini.
Sedangkan pendapat Ahmad Rifa'i - yang notabene - beliau juga sangat ahli dalam membaca kitab, berpendapat kalau betul-betul diperlukan mengapa tidak dan harus berani. Beliau memberi contoh kasus tentang ada seorang istri yang tertalak meminta hak asuh anak (hadlanah) yang kebetulan anak tersebut diasuh sejak lama oleh keluarga si suami. Sedangkan si suami jarang di rumah karena tugas luar daerah dan keluarganya mayoritas non muslim @ kristen. Saya kurang tau apakah umur anak tersebut karena Ahmad Rifa'i tidak menceritakannya. Tapi apa yang jelas beliau mengatakan terjadi pertentangan antara hakim satu dgn yang lain. menurut 2 hakim yang lain mengatakan bahwa ia harus ditanya kepada anak itu sesuai dengan hadis yang ada di fiqh sunnah. sedangakan hakim yang satu bersitegas bahwa jangan ditanya karena pasti anak tersebut akan memilih keluarga suami @ bapak karena sudah lama di situ. Maka langsung saja ditarik demi menjaga agamanya. Menurut saya ini bukan maslahah mursalah tapi sudah maslahah mu'tabarah yang tentunya tanpa harus terjadi kontradiksi dgn KHI pun, secara fiqh sudah menetapkan seperti itu, karena hak asuh dipegang oleh ibu dahulu, sedangkan bapak kedua baru keluarga ibu dan lalu keluarga bapak. untuk lebih terperinci ada dalam bab hadlanah apalagi keluarga si bapak sudah hilang hak asuh sebab beda agama.
No comments:
Post a Comment