BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 11 September 2001, dunia telah dikejutkan dengan sebuah kejadian yang mengkagetkan masyarakat internasional. Gedung fenomenal New York yaitu World Trade Center (WTC) telah diserang oleh puak fundementalis yang diklaim sebagai teroris. Sejak inilah, dunia internasional mengambil berat tentang isu terorisme.[1]
Pada dasarnya, terorisme tidak bermula dari kejadian WTC ini yang dikenal dengan nama The 9/11. Buktinya tindakan teror sudah pernah berlaku pada 22 Juli 1946, di mana King David Hotel telah dibom oleh kelompok ektremis Zionis Yahudi yang bernama Irgun. Kelompok Irgun ini nantinya berubah menjadi sebuah parti politik di Israel dan sekarang memegang pucuk kekuasaan Israel dengan pimpinan Perdana Menteri Netanyahu.[2]
Sedangkan dipandang dari konteks Indonesia pula, maka termasuk yang paling mengemparkan bangsa Indonesia adalah kejadian Bom Bali 1 yang berlaku pada 12 Oktober 2002. Kejadian yang didalangi oleh Trio Bom Bali yaitu Imam Samudra, Amrozi Nurhasyim, dan Mukhlas Ghufron telah mengakibatkan 202 orang meninggal, dan 240 cedera. Kebanyakan korban adalah WNA.[3]
Akibat dari kejadian ini, Islam selalu menjadi tempat tudingan dan dipersalahkan. Padahal kalau dilihat mengikut sejarah, terorisme tidaklah murni sebuah ideologi yang berasal dari Islam. Buktinya, terorisme juga muncul dari kelompok Zionis atau barat sekalipun.
Kerugian di dalam kejahatan terorisme sangat kelihatan. Ini terlihat ketika terjadinya pengeboman, maka ekonomi bagi negara tersebut pasti jatuh. Belum lagi kestabilan sosial telah terancam. Ini disebabkan oleh banyaknya tudingan antara satu kelompok kepada kelompok yang lain.
Akibat dari kerugian yang banyak ini, maka masyarakat internasional telah mendesak untuk segera memerangi kejahatan terorisme. Di Amerika Syarikat telah diterbitkannya sebuah akta patriotisme yang disebut dengan “USA PATRIOT Act”.[4]
Bagi Indonesia, undang-undang yang paling awal dikeluarkan untuk memberantas kejahatan terorisme adalah “Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” pada 18 Oktober 2002. Selanjutnya, Perpu ini dijadikan Undang-Undang (UU) dengan nama “Penetapan Perpu 1-2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU” pada 4 April 2003.[5]
Di sisi lain, kejahatan terorisme masih saja tetap terjadi yang juga ada yang mengatasnamakan Islam. Seperti contoh kejadian JW. Mariot dan Ritz Hotel pada tahun 2009. Oleh karena itu, penelitian tentang kejahatan terorisme ini perlulah untuk dikaji dari kedua sisi, yaitu dari sisi hukum positif dan sisi hukum Islamnya.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Definisi terorisme.
2. Kejahatan terorisme menurut hukum Islam.
3. Kejahatan terorisme menurut hukum positif Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Terorisme
Kata “terorisme” berasal dari bahasa Inggris “terrorism”. Ia diapopsi dari bahasa Latin “terrere” yang berarti “menyebabkan ketakutan”. Jadi kata “teror” itu berarti menakut-nakuti.[6]
Secara umumnya, istilah terrorism ini memiliki arti seperti berikut:
Coercive and violent behaviour undertaken to achive or promote a particular political objective or cause, often involving the overthrow of established order. Terorrist activity is desinged to induce fear through its indiscriminate, arbitrary, dan unpredictable acts of violence, often againts members of the population at large.[7]
Istilah yang diberikan ini, secara garis besar dapat ditarik bahwa terorisme pasti memiliki unsur-unsur: 1. Ancaman atau tindakan ganas, 2. Tujuan tertentu, 3. Biasanya mengancam ketentraman sosial setempat, 4. Menimbulkan ketakutan, 5. Melibatkan masyarakat luas.
Oleh karena ini, Kerajaan Inggris telah mengeluarkan Akta Terorisme (Terrorism Act) yang mana terorisme didefinisikan sebagai berikut:
1 Terrorism: interpretation
(1) In this Act “terrorism” means the use or threat of action where—
(a) the action falls within subsection (2), (b) the use or threat is designed to influence the government or to intimidate the public or a section of the public, and (c) the use or threat is made for the purpose of advancing a political, religious or ideological cause.
(2) Action falls within this subsection if it—
(a) involves serious violence against a person, (b) involves serious damage to property, (c) endangers a person’s life, other than that of the person committing the action, (d) creates a serious risk to the health or safety of the public or a section of the public, or (e) is designed seriously to interfere with or seriously to disrupt an electronic system.
(3) The use or threat of action falling within subsection (2) which involves the use of firearms or explosives is terrorism whether or not subsection (1)(b) is satisfied.[8]
Kesimpulan dari akta terorisme Inggris ini, mengisyaratkan bahwa terorisme adalah sebuah ancaman atau tindakan keganasan yang ditujukan kepada perorangan dan/atau organisasi pemerintahan atau non pemerintahan dengan tujuan politik, keagamaan maupun alasan ideologi. Termasuk dari tindakan ini adalah seperti melakukan tindak kejahatan terhadap orang tertentu dan merusak tatanan publik.
Sedangkan Indonesia pula, secara langsung mengartikan terorisme sebagai tindakan pidana. Ini terbukti dari Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6 jo 7:
Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 7
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Merujuk pada dua pasal tersebut, sudah jelas sekali definisi terorisme sebagai sebuah tindak pidana yang secara substansinya dapat menimbulkan rasa takut kepada publik atau berpotensi untuk menimbulkan rasa takut tersebut. Butir “dapat menimbulkan rasa takut kepada publik atau berpotensi untuk menimbulkan rasa takut” inilah yang membedakan antara UU Tindak Pidana Terorisme dengan Akta Terorisme Inggris. Bagi Akta Terorisme itu hanya menetapkan sebuah perasaan risau atau riskan (creates a serious risk to the health or safety of the public).
Sedangkan bentuk kejahatan yang ditetapkan di dalam UU Tindak Pidana Terorisme itu ditentukan kepada kejahatan yang bersifat massal, bukan perorangan. Kalau perorangan maka ia masuk dalam ketentuan KUHP. Sedangkan Akta Terorisme Inggris menetapkan bahwa tindak kejahatan kepada perorangan juga dapat menjadi bagian dari tindakan terorisme (involves serious violence against a person).
Dari sisi Islam pula, terorisme tidak dibahas secara khusus dengan istilah yang khusus pula. Ini dikarenakan – dalam Islam – apa saja kegiatan yang memiliki unsur jinâyah sudah ditentukan sebagai tindakan jarîmah (kejahatan) yang bisa dihukum jinâyah. Seperti dengan membunuh saja, ia sudah digolongkan sebagai tindakan jarîmah yang berhak untuk diqishâsh. Walau bagaimanapun, ada beberapa kejahatan yang tidak secara spesifik menggunakan istilah terorisme, tapi secara substansinya terdapat unsur-unsur tindakan terorisme yang di definisikan secara modern.
Contohnya; dalam Islam terdapat kejahatan “الصيال” dan “قاطع الطريق” yang keduanya ini mengandung arti membahayakan nyawa atau harta orang lain serta bisa juga berupa pembajakan.[9]
B. Kejahatan Terorisme Menurut Hukum Islam
Seperti yang telah diterangkan di pembahasan sebelumnya, bahwa dalam Islam kata terorisme tidak dibahas secara khusus sebagai “terorisme”. Akan tetapi ia mengukuti bab jinâyah. Di sisi lain, karena melihat bentuk kejahatan terorisme itu banyak (seperti pembajakan, penculikan, pengeboman, dan lain-lain), maka perlulah dibahas dari beberapa sisi.
Tokoh terorisme yang terkenal di dunia dan dianggap sebagai teroris yang paling dicari oleh Amerika dan koalisi-koalisinya adalah Usamah bin Ladin. Aksi yang dilakukan termasuk mengebom dan aksi teror terhadap militer maupun sipil dari orang Amerika dan sekutunya. Ini terbukti di dalam fatwa Usama bin Ladin yang menurut perspektifnya adalah jihad[10]:
Bahwa hukum membunuh orang-orang Amerika dan sekutunya – baik sipil maupun militer – adalah wajib individual (fardl al-‘ain) bagi setiap muslim yang mampu melakukannya di setiap negara di mana mungkin untuk melaksanakannya, sampai al-Masjid al-Aqsha dan al-Masjid al-Haram berhasil dibebaskan dari cengkeraman mereka, sampai tentera mereka keluar dari seluruh tanah Islam, tunduk dan tidak mampu lagi mengancam setiap muslim.[11]
Dalam fatwa yang diberikan Usamah di sini, dapat difahami bahwa target kejahatan yang akan dilancarkan adalah orang-orang Amerika dan sekutunya (seperti Inggris, Australia dan lain-lain) baik sipil maupun militer.
Kenyataan ini menurut Islam pada dasarnya adalah salah. Menurut fiqh Islam, orang yang akan diperangi haruslah bebas dari 2 krateria: 1) Kafir yang diamankan (musta`manîn), yang memiliki perjanjian dengan Islam, atau kafir dzimmî; 2) Tidak membatas-batasi dakwah Islam, dan pemahaman tentang Islam.[12] Maka, ketika orang tersebut bukan kafir dzimmî atau musta`manîn (yaitu ia adalah kafir harbî) dan menghalang-halangi dakwah Islam dan menentangnya, maka barulah ia boleh diperangi yang dalam hal ini disebut dengan jihad.
Walau bagaimanapun kafir harbî masih harus dipilah-pilah. Seumpama kafir harbî itu adalah militer, maka ia boleh diperangi. Jikalau kafir harbî itu adalah warga sipil, maka tidak diperkenankan untuk membunuh perempuan, anak kecil, orang gila, orang tua uzur, orang cacat, orang buta, bisu, yang tidak mampu berperang, agamawan (seperti rahib), atau petani; selagi mereka tidak ikut memerangi orang Islam. Ketika mereka memerangi orang Islam, maka barulah diperkenan membunuh mereka. Ini berdasarkan sebuah hadis “أن رسول الله صلعم نهى عن قتل النساء والصبيان”.[13]
Menurut ulama kontemporer, Syaikh Muhammad Afifi al-Akiti; bahwa dapat difahami (mafhûm muwâfaqah) seorang lelaki dewasa pun, selagi ia bukan militer (atau yang menyamainya) termasuk dari pelarangan untuk membunuh di sini. Ini disesuaikan dengan ruh-ruh syariat, bahwa warga sipil yang tidak ikut-ikut di dalam sebuah peperangan adalah dilarang untuk dibunuh.[14]
Sehingga, dalam hal ini, “مؤتمر القمة الإسلامي” pada tahun 1980 M/1401 H di Damascus telah menetapkan Pasal 23 sebagai berikut:
في حالة الحرب لا يجوز قتل الأطفال والنساء والشيوخ والمنقطعين للعبادة وغيرهم ممن لا مشاركة لهم في القتال، ولا يقطع الشجر ولا تُنْهب الأموال ولا تُخرب المنشآت المدنية ولا يُمثّل بالقتيل. وللجريح الحق في أن يداوى وللأسير أن يُطعم ويؤوى.[15]
Terjemahan: Ketika di dalam perang, tidak diperkenankan membunuh kanak-kanak, perempuan, orang tua, agamawan dan selainnya dari orang-orang yang tidak ikut di dalam peperangan. Dan tidak (diperkenankan) memotong pohon, menjarah harta, dan tidak (diperkenankan) merobohkan pembangunan tamadun, dan tidak boleh disamakan dengan orang yang diperangi. Bagi yang cedera berhak untuk mendapatkan obat, dan bagi tawanan harus diberi makan dan dilindungi.
Lebih-lebih lagi, persepsi jihad ini bertentangan dengan dasar paling awal di dalam Islam. Dalam Islam, jihad merupakan hak abosulut pemimpin bagi negara itu. Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi mana-mana bagian dari rakyatnya untuk melakukan jihad tanpa ada perintah dari pemimpin negara tersebut.[16] Ini dinyatakan oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaylî dan dinukil juga oleh Syaikh Muhammad Afifi al-Akiti:
أمر الجهاد موكول إلى الإمام واجتهاده ويلزم الرعية طاعته فيما يراه من ذلك.[17]
Terjemahan: Perintah jihad diwakilkan kepada pemimpin/presiden dan ijtihadnya. Wajib bagi rakyat untuk mentaati perintah imam tentang apa yang menjadi pemikirannya untuk masalah tersebut.
Sedangkan kenyataan yang berlaku, para martir itu melakukan apa yang mereka klaim dengan jihad pada warga negara (sipil) yang tidak dalam keadaan perang bersama negara asal mereka. Ini adalah kesalahan besar mereka sehingga dapat dikategorikan sebagai teroris.
Di sisi lain, teknik yang digunakan oleh para martir tersebut kebanyakannya salah di sisi Islam. Salah satu yang selalu dipakai oleh martir adalah praktek misi bunuh diri (martydom). Kalau dahulu, ketika masih dalam perang dunia kedua, tentera Jepang yang setia dengan Kaisar Jepang melakukan praktek kamikaze yaitu dengan menaiki pesawat terbang yang membawa bom besar, lalu pesawat tersebut dijatuhkan ke kapal perang Amerika beserta dengan pilotnya sekalian. Kematian ini membawa bangga tersendiri bagi para martir Jepang tersebut. Sedangkan di dunia modern ini, misi bunuh diri adalah dengan cara membajak pesawat, bom bunuh diri, dan lain-lain.[18]
Praktek seperti ini adalah salah besar. Dalam Islam, segala jenis bunuh diri diharamkan dan ia termasuk dosa besar.[19] Ini berdasarkan surah al-Nisâ` ayat 29 dan 30:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا $ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
Terjemahan: Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Syaikh Muhammad Afifi al-Akiti telah menulis perincian metode-metode penyerangan bunuh diri yang diharamkan. Secara ringkasnya, semua metode yang dipakai oleh para martir di zaman sekarang adalah termasuk praktek bunuh diri yang diharamkan. Ini mengecualikan sebuah misi yang dapat berakibat mati karena dibunuh musuh, yang mana secara dasarnya bukan dengan sengaja membunuh diri sendiri. Seperti contoh, seorang mujahid yang masuk di barisan perang musuh dengan membunuh general musuh, lalu dia dibunuh oleh pasukan yang lain. Secara mendasar, walaupun ini seperti praktek membunuh diri, akan tetapi ini tidak termasuk dalam kategori membunuh diri yang diharamkan karena secara realnya ia tetap saja dibunuh oleh orang lain dan dalam aksinya masih memungkinkan ia tidak sampai dibunuh musuh dan hanya ditangkap.[20]
C. Kejahatan Terorisme Menurut Hukum Positif Indonesia
Seperti yang telah diterangkan, definisi tindakan terorisme di Indonesia itu memiliki unsur membuat rasa takut kepada orang lain, dan rasa takut itu juga harus ditujukan kepada orang yang banyak atau massal. Seumpama tidak termasuk dari unsur ini, maka kejahatan tersebut hanya masuk di dalam ketentuan pidana biasa.
Dalam hal ini, termasuk dari tindakan terorisme adalah kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan transportasi penerbangan atau pesawat. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 UU Tindak Pidana Terorisme. Pasal 8 ini adalah merupakan usaha pencegahan berlakunya kejadian serupa dengan 9/11 di New York.
Selanjutnya di Pasal 9 UU Tindak Pidana Terorisme, terdapat ketentuan pidana terorisme yaitu bagi orang yang membantu seorang teroris untuk mendapatkan bahan peledak, amunisi dan yang menyamainya. Hanya saja, seumpama orang melakukan tindakan yang sesuai dengan Pasal 6, maka ia akan dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sedangkan Pasal 9 menentukan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Jadi bedanya hanya pidana penjara paling singkat yaitu antara 4 dan 3 tahun.
Perlu diketahui, Pasal 6 dan 9 ini kejahatan tindakan pidana terorisme. Akan tetapi UU ini tidak berhenti hanya pada tindakan terorisme yang berhasil. Ia juga memberi ketentuan bagi tindakan yang memiliki niat untuk tindak pidana terorisme, tapi tidak berhasil. Ini terdapat di Pasal 7 dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Ada juga tindak pidana lain dari tindak pidana terorisme, akan tetapi ia berkaitan dengan terorisme. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 20-24. Contoh dari tindak pidanan ini adalah seperti usaha mengintimidasi penyidik dalam penyidikan kasus teroris. Hanya saja, tindakan ini tidak dihukum seberat dengan tindakan kejahatan terorisme murni.
Bab VI UU Tindak Pidana Terorisme pula mengatur tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. UU ini memberikan pengaturan tentang perlindungan korban dan ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme.[21]
Kompensasi pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan restitusi merupakan gati kerugiannya diberikan oleh pelaku kepada ahli warisnya.[22]
Turut campurnya pemerintah dalam memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya merupakan salah satu perwujudan dari welfare state. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Apabila negara tidak mampu untuk memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya (dalam hal ini melindungi warga negaranya dari aksi-aksi terorisme) pemerintah harus bertanggung jawab untuk memulihkannya.[23]
Salah satu keistimewaan UU Tindak Pidana Terorisme adalah ia memiliki ketentuan kerjasama internasional. Kerjasama internasional ini diatur di dalam Pasal 43 UU Tindak Pidana Terorisme.[24] Wujudnya Pasal 43 ini mencerminkan bahwa kejahatan terorisme adalah sebuah kejahatan internasional dan seluruh rakyat internasional ingin melawannya.
Suatu ketika dahulu, pernah terdengar desas-desus bahwa Malaysia sebagai negara yang mengekspor teroris. Akusasi ni dilontarkan akibat terjadi bom di beberapa tempat di Indonesia yang mana perakitnya adalah orang yang berwarga negara Malaysia. Menurut Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Tun Razak menyatakan bahwa akusasi tersebut adalah salah, karena terorisme adalah masalah global, bukan sebagian negara saja. Berikut adalah kenyataan PM Malaysia tersebut:
“Keganasan adalah masalah wilayah dan global yang tidak mengira batas sempadan negara. Sebenarnya Noordin telah dipengaruhi oleh Abu Bakar al-Bashir, seorang warganegara Indonesia yang membuka sebuah sekolah agama di Ulu Tiram, Johor. Jadi, hendak mengatakan kita mengeksport pengganas tidak boleh sebab dia dipengaruhi oleh Abu Bakar, apa-apa pun kita mesti bekerjasama melibatkan kedua-dua negara malah di peringkat antarabangsa kalau hendak membanteras ancaman ini”.[25]
Apalagi kalau dilihat di sisi UU Tindak Pidana Terorisme, pernyataan-pernyataan yang diskriminatif sama ada antar agama maupun golongan yang dalam hal ini termasuk juga trans negara, adalah salah berdasarkan Pasal 2.[26]
BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Definisi terorisme yang legitimate di Indonesia adalah segala tindakan pidana yang menyebabkan/dapat rasa takut terhadap masyarakat secara massal, sama ada yang dituju adalah nyawa maupun harta benda. Sedangkan dalam Islam memang tidak memiliki istilah yang khusus tentang terorisme, akan tetapi tindakan teror ini wujud di dalam bab-bab jinâyah dalam ilmu fiqh.
2. Terorisme atau kejahatan terorisme dilarang keras di dalam hukum Islam melalui tiga sisi: 1) Target sasaran tindakan terorisme yang kebanyakan merupakan warga sipil – muslim maupun non muslim – atau militer yang tidak dalam keadaan perang (musta`manîn). Dalam Islam kafir musta`manîn dan dzimmî dilarang untuk dibunuh; 2) Adanya terorisme yang dianggap sebagai jihad ini salah karena bukan merupkan perintah jihad di dalam Islam; 3) Kebanyakan tindakan terorisme merupakan praktek bunuh diri yang jelas-jelas diharamkan di dalam Islam.
3. Secara hukum positif yang berlaku di Indonesia pula, terorisme dikecam dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Di dalam UU tersebut telah mengatur mulai dari definisi, jenis-jenis tindakan terorisme, hukumannya, serta asasnya. Terlihat sekali UU ini mengacu pada kejadian-kejadian yang diklaim sebagai aksi teroris sama ada skala nasional maupun internasional. Walau bagaimanapun, UU ini memiliki asas menolak diskriminatif terhadap mana-mana golongan seperti anggapan banyak orang dan murni bertujuan menolak kejahatan terorisme tanpa ada kepentingan politis atau keagamaan.
DAFTAR PUSAKA
“2002 Bali Bombings”. Wikipedia, (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/2002_Bali_bombings, diakses tanggal 8 November 2009).
al-Akiti, Muhammad Afifi. Defending The Transgressed by Censuring The Reckless Against The Killing of Civilians. Germany: Warda Publication, 2005.
Bâ’alwî, ‘Abd Allah bin Husain. `Is’âd al-Rafîq wa Bughyah al-Shâdîq. Indonesia: Dâr `Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t..
Hajar, `Ahmad bin Muhammad `Ibn. al-Zawâjir. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t..
“Jangan Cepat Menuding”. Utusan Online, (Online), (http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=0919&pub=utusan_malaysia&sec=Muka_Hadapan&pg=mh_01.htm&arc=hive, diakses tanggal 15 November 2009).
Juergensmeyer, Mark. Teror atas Nama Tuhan. Jakarta Selatan: Nizam Press, 2002.
Ladin, Usamah bin. Karya Asli Fatwa dan Wawancara Usamah bin Ladin. Jakarta: Ababil Press, 2001.
Laher, Suheil. “Indiscriminate Killing”. The State We Are In – Identity, Terror and The Law of Jihad. ed. Aftab Ahmad Malik. Bristol: Amal Press, 2006.
“Likud”. Wikipedia, (Online). (http://en.wikipedia.org/wiki/Likud, diakses tanggal 8 November 2009).
Mansur, Dikdik M. Arief. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007.
“September 11 attacks”. Wikipedia, (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/9/11_attacks, diakses tanggal 8 November 2009).
“Suicide Attack”. Wikipedia, (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide_attack, diakses tanggal 14 November 2009).
“Terrorism”. The Penguin Encyclopedia. ed. David Crystal. London: Penguin, 2004.
“Terrorism Act 2000”. OPSI, (Online), (http://www.opsi.gov.uk/acts/acts2000/ukpga_20000011_en_2#pt1-l1g, diakses tanggal 9 November 2009).
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“USA PATRIOT Act”. Wikipedia, (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/USA_PATRIOT_Act, diakses tanggal 8 November 2009).
[1] “September 11 attacks”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/9/11_attacks, diakses tanggal 8 November 2009.
[2] “Likud”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Likud, diakses tanggal 8 November 2009.
[3] “2002 Bali Bombings”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/2002_Bali_bombings, diakses tanggal 8 November 2009.
[4] “USA PATRIOT Act”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/USA_PATRIOT_Act, diakses tanggal 8 November 2009.
[5] Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), 130.
[6] Mark Juergensmeyer, Teror atas Nama Tuhan (Jakarta Selatan: Nizam Press, 2002), 5.
[7] “Terrorism”, The Penguin Encyclopedia, ed. David Crystal (London: Penguin, 2004), 1517.
[8] “Terrorism Act 2000”, OPSI, http://www.opsi.gov.uk/acts/acts2000/ukpga_20000011_en_2#pt1-l1g, diakses tanggal 9 November 2009.
[9] ‘Abd Allah bin Husain Bâ’alwî, `Is’âd al-Rafîq wa Bughyah al-Shâdîq (Indonesia: Dâr `Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), 138-139.
[10] Secara real, banyak orang yang melakukan aksi terorisme di dunia modern sekarang ini mengklaim bahwa aksinya adalah bagian dari jihad yang terdapat dalam hukum Islam. Sayangnya, pemahaman mereka masih tidak benar.
[11] Usamah bin Ladin, Karya Asli Fatwa dan Wawancara Usamah bin Ladin (Jakarta: Ababil Press, 2001), 63.
[12] Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 8, 5855.
[13] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî, vol. 8, 5855-6.
[14] Muhammad Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed by Censuring The Reckless Against The Killing of Civilians (Germany: Warda Publication, 2005), 20.
[15] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî, vol. 8, 6454-5.
[16] Suheil Laher, “Indiscriminate Killing”, dalam The State We Are In – Identity, Terror and The Law of Jihad, ed. Aftab Ahmad Malik (Bristol: Amal Press, 2006), 53.
[17] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî, vol. 8, 5852; Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed, 21.
[18] “Suicide Attack”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide_attack, diakses tanggal 14 November 2009.
[19] `Ahmad bin Muhammad `Ibn Hajar, al-Zawâjir (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t.), vol. 2, 95
[20] Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed, 24.
[21] Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 36-42.
[22] Dikdik, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, 131.
[23] Ibid.
[24] Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 43: Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[25] “Jangan Cepat Menuding”, Utusan Online, http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=0919&pub=utusan_malaysia&sec=Muka_Hadapan&pg=mh_01.htm&arc=hive, diakses tanggal 15 November 2009.
[26] Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 2: Pemberantasan tindak pidana terorisme dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan.
No comments:
Post a Comment