Monday, December 7, 2009

Tata Cara Wakaf dan Pendaftaran Wakaf

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Republik Indonesia; Soeharto telah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia dengan Nomor 1 Tahun 1991 yang inti dari isi INPRES tersebut adalah menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga (3) buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.[1]

Selanjutnya KHI ini dijadikan sebagai pedoman di dalam menetapkan perkara-perkara yang berhubungan dengan tiga masalah yang terkandung di dalam KHI tersebut yang dialami oleh orang Islam. Ini telah ditetapkan oleh Menteri Agama di dalam keputusannya tentang pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tersebut.[2]

Oleh karena itu, KHI menjadi bagian penting di dalam kehidupan maysarakat muslim di Indonesia. Ia dapat diibaratkan sebagai kitab fiqh produk rakyat Indonesia.

Sebagaimana yang telah diterangkan, KHI mengandung tiga (3) pembahasan. Salah satu yang paling banyak menimbulkan salah faham adalah masalah wakaf.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Kajian KHI Pasal 223 tentang tata cara perwakafan dan perbandingan fiqh.

2. Perkembangan tata cara melakukan wakaf secara praktek.

3. Kajian KHI Pasal 224 tentang pendaftaran wakaf dan perbandingan fiqh.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian KHI Pasal 223 Tentang Tata Cara Perwakafan dan Fiqh

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 menjalaskan tentang tata cara perwakafan. Pasal 223 angka (1) tertulis sebagai berikut:

Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.

Pada dasarnya, ketika rukun-rukun wakaf telah tercukupi, maka jadilah wakaf. Ini adalah menurut fiqh klasik.[3] Sedangkan rukun-rukun wakaf menurut mayoritas ulama selain Hanafi adalah orang yang mewakafkan (واقف), tujuan diwakafkan (موقوف عليه), barang wakafan (موقوف), dan sîghat.[4]

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu shîghat. Shîghat di sini adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf. Seperti contoh kata seseorang “tanahku ini diwakafkan selamanya terhadap orang-orang miskin”.[5]

Akan tetapi, KHI dalam hal ini menetapkan beda. Dalam hal ini, dasar yang dijadikan KHI dapat diambil dari pernyataan Syaikh Wahbah al-Zuhailî di dalam kitab al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh. Beliau berkata:

المقرر شرعا أن الشهادة إحدى طرق إثبات الوقفية، ويشترط في ادعاء الوقف: بيان الوقف ولو كان قديما، ويقبل في إثباته الشهادة على الشهادة، وشهادة النساء مع الرجال، والشهادة بالشهرة والتسامع بأن يقول الشاهد: أشهد بالتسامع وتقبل شهادة التسامع لبيان المصرف، كقولهم على مسجد كذا، ولبيان مستحقين، ولا تقبل لإثبات شرائطه في الأصح. أما صك الكتابة فلا يصلح حجة؛ لأن الخط يشبه الخط. واشتراط تحديد العقار الموقوف لا يطلب لصحة الوقف لأن الشرط كونه معلوما وإنما هو شرط لقبول الشهادة الوقفية .[6]

Terjemahan: Ketetapan secara syariat, persaksian adalah salah satu dari cara-cara menetapkan wakaf. Disyaratkan di dalam pengakuan wakaf; adalah menjelaskan wakaf walaupun telah lewat. Wakaf diterima ketetapannya dengan cara persaksian terhadap persaksian; dan persaksian perempuan berserta lelaki, persaksian dengan cara kemasyhuran dan perbicaraan orang banyak dengan perkataan orang yang bersaksi: “Aku bersaksi dengan perbicaraan orang banyak”. Persaksian dengan perbicaraan orang banyak itu diterima untuk menjelaskan tempat tasarrufnya; seperti ucapan mereka terhadap masjid yang ini. Dan juga diterima untuk menjelaskan orang-orang yang berhak. Persaksian tidak diterima untuk menetapkan syarat-syarat wakaf menurut pendapat yang lebih sah. Adapun akte tulisan (akte notaris) itu tidak patut menjadi hujjah, karena tulisan itu menyamai tulisan. Dan pensyaratan membatasi perkarangan wakaf tidak menjadi syarat untuk sahnya wakaf, karena syarat adanya wakaf itu haruslah diketahui. Hanya saja pembatasan itu adalah syarat untuk diterimanya persaksian wakaf.[7]

Oleh karena ini, Mahkamah Syariah Mesir dan Syiria menetapkan secara hukum positif (قانون) agar mensyaratkan sahnya wakaf dengan bersaksi secara resmi dari orang yang akan mewakafkan di depan salah satu dari mahkamah-mahkamah syariah yang bertempat di daerah barang wakafan tersebut kesemuanya atau kebanyakannya. Ini bertujuan menutup kemungkinan adanya pendakwaan yang batil untuk menetapkan kewakafan dengan persaksian yang palsu (شهادة الزور). Ketetapan ini sesuai dengan hukum positif yang mana mensyaratkan adanya pendaftaran resmi dalam hal sertifikat tanah bagi segala tasarruf yang dilakukan terhadap tanah, di manapun ia berada, dan kapanpun tasarruf itu terjadi.[8]

Lalu Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (2) tertulis sebagai berikut:

Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.

Seperti yang telah diterangkan di atas tadi, bahwa wakaf itu bisa jadi ketika telah menetapi rukun-rukunnya. Salah satu yang disepakati oleh semua ulama, adalah adanya shîghat.

Syarat-syarat shîghat di dalam fiqh serta beberapa perbedaan pendapat di dalamnya itu ada empat:

1. Sifat Ta`bîd (selamanya): menurut mayoritas ulama kecuali mazhab Maliki, itu mensyaratkan adanya sifat selamanya, bukan terbatas waktu. Hanya saja ia tidak perlu dilafazkan. Akan tetapi, sifat ini akan tercacati ketika shîghatnya mengandung isi sifat terbatas waktu (ta`qît). Seperti contoh “aku mewakafkan tanah ini sebulan”. Maka menurut mayoritas ulama dalam hal ini, wakaf tidak sah.[9]

2. Sifat Tanjîz: yaitu tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain, dan ia jadi secara langsung, dan tidak menanti sebuah syarat untuk berlaku. Contoh shîghat yang tidak Tanjîz adalah “Ketika Zaid datang, maka aku mewakafkannya”. Ini adalah syarat menurut mayoritas ulama kecuali Maliki.[10]

3. Sifat al-`Ilzâm: yaitu sebuah sifat yang tidak terdapat di dalamnya sebuah ketentuan untuk khiyâr seperi contoh: “aku mewakafkan tanah ini dengan syarat aku dapat menariknya kembali atau si fulan dapat menariknya kembali kapanpun ia mau”. Ini juga adalah syarat menurut mayoritas ulama kecuali Maliki.[11]

4. Sifat menjelaskan tempat pegunaannya: yaitu sebuah sifat di mana ia menunjukkan tujuan penggunaan dari barang wakafan tersebut. Seperti contoh: “aku mewakafkan tanah ini untuk dibangun masjid”. Ketika tidak ada sifat ini semisal “sku mewakafkan tanah ini (secara mutlak)”, maka menrut pendapat yang `azhar di dalam mazhab Syafi’I tidak sah. Syarat ini hanya diletakkan oleh mazhab Syafi’I melalui pendapatnya yang `azhar.[12]

Melihat kanyataan ini, shîghat wakaf terjadi khilâf di kalangan ulama. Oleh karena ini, sesuai kaidah “حكم الحاكم يرفع الخلاف”; maka pemerintah dapat menetapkan ketentuan ikrar melalui Menteri Agama.[13]

Perlu juga diketahui, pada dasarnya pemerintah tidak sepenuhnya menafikan sebuah wakaf yang sudah memenuhi syarat. Oleh karena itu, redaksi di dalam KHI adalah ikrar wakaf, bukan shîghat wakaf. Ini dikarenakan tidak menutup kemungkinan sudah terjadi wakaf di luar prosedur yang secara syariat sudah sah, akan tetapi ditetapkan wakaf tersebut secara resmi melalui proses ikrar ini. Hujjah ini hampir senada dengan pernyataan Wahbah al-Zuhailî seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.[14]

Ketentuan lain dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (3) tertulis sebagai berikut:

Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Ketentuan yang ditetapkan oleh KHI bagi pasal ini adalah agar ikrar perwakafan ini dikuatkan dengan pembuktian yang berupa persaksian (الشهادة). Secara fiqh, persaksian ini dapat menguatkan sebuah hukum. Dalam ketentuan mazhab Syafi’i, persaksian untuk hal-hal yang berkaitan dengan harta itu memerlukan minimal satu orang saksi dengan disumpah. Ia juga bisa dengan satu lelaki dan dua orang perempuan.[15]

Menurut penulis, faedah diwajibkannya persaksian ini oleh KHI adalah agar menolak kemungkinan terjadi claim dari orang lain akan harta wakafan tersebut. Juga dapat menghilangkan keraguan atau pertentangan seumpama ada yang meragukan terjadi pemalsuan akte perwakafan. Hal ini bisa termasuk di dalam koridor ­al-mashlahah al-mursalah[16] yang disepakati oleh beberapa ulama seperti Mâlikiyyah dan Imam al-Ghazâlî.[17]

Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (4) tertulis sebagai berikut:

Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:

a. tanda bukti pemilikan harta benda;

b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;

c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.

Tujuan dari penyerahan tanda bukti pemilikan harta adalah karena KHI mengadopsi pendapat mazhab Syafi’I yang berpegangan bahwa wakaf menyebabkan si pewakaf akan kehilangan haknya terhadap harta wakafan tersebut.[18] Jadi secara logikanya, tanda kepemilikan harta (seperti sertifikat tanah) tersebut harus juga diserahkan kepada Pejabat yang berwenang.[19]

Sedangkan untuk angka (b) dan (c) adalah bagian dari antisipasi seperti yang telah diterangkan oleh penulis. Secara metodelogis Islam ia adalah bagian dari penerapan ­al-mashlahah al-mursalah yang juga sesuai dengan ruh-ruh syariat Islam.

B. Tata Cara Formal Perwakafan di Indonesia

Menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH. MH.; secara penerapan, maka tata cara perwakafan adalah sebagai berikut:

1. Perorangan atau badan hukum yang akan mewakafkan tanah miliknya (sebagai calon wakif) datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar wakaf. Bila calon wakif tidak dapat datang ke hadapan PPAIW karena suatu sebab, seperti sakit, sudah sangat tua dan lain-lain dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten letak tanah yang bersangkutan di hadapan dua orang saksi. Ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir di hadapan PPAIW.[20]

2. Pada waktu menghadap PPAIW tersebut, wakif harus membawa surat-surat sebagai berikut:[21]

a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya seperti surat IPEDA (girik, petok, ketitir dan sebagainya).

b. Surat Keterangan Kepada Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak termasuk sengketa.

c. Surat keterangan pendaftaran tanah.

d. Izin dari Bupati/Kotamadya Kepada Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria Setempat.

3. PPAIW kemudian meneliti surat-surat dan syarat-syarat tersebut, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir.[22]

4. Menurut Dr. Abdul Ghofur, wakif mengikrarkan kehendak wakif itu kepada nazir yang telah disahkan. Ikrar tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Bagi wakif yang tidak dapat mengucapkan ikrarnya, karena bisu misalnya, ia dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat, kemudian mengisi formulir ikrar wakaf. Kemudian semua yang hadir menandatangani blanko ikrar wakaf. Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah ditentukan di dalam peraturan Direktoral Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78.[23]

5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai dan Salinan Akta Ikrar wakaf rangkap empat. Akta Ikrar Wakaf tersebut paling sedikit memuat: nama dan identitas wakif, nama dan identitas nadzhir, data dan keterangan harta benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Selanjutnya selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat akta, PPAIW membukukan semua itu dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf dan menyimpannya dengan baik bersama aktanya.[24]

C. Kajian KHI Pasal 224 Tentang Pendaftaran Benda Wakaf

Kompilasi Hukum Islam Pasal 224 telah mengatur tata cara pendaftaran benda wakaf, sebagai berikut:

Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian

Yang dimaksud dalam pasal ini, menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH. MH.; dilakukan pendaftaran tanah wakaf di Agraria. PPAIW atas nama nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.[25]

Dalam pendaftaran tersebut, PPAIW haruslah melampirkan sertifikat yang bersangkutan atau bila tidak ada boleh menggunakan surat-surat bukti kepemilikan tanah yang ada, salinan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat PPAIW dan surat pengesahan nazhir.[26]

Jika nazhir terdiri dari kelompok orang, maka yang ditulis dalam buku tanah dan sertifikatnya adalah nama orang-orang dari kelompok tersebut disertai kedudukannya di dalam kepengurusan. Bila kelak ada nazhir yang meninggal dunia, mengundurkan diri atau diganti, maka diadakan penyesuaian seperlunya, berdasarkan pengesahan susunan nazhir yang dilakukan PPAIW. Jika nazhir itu adalah badan hukum, maka yang ditulis dalam buku tanah dan sertifikatnya adalah nama badan hukum tersebut.[27]


BAB III

KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

1. Kajian Pasal 223 Kompilasi Hukum Islam menghasilkan kesimpulan bahwa pada dasarnya selagi syarat dan rukun wakaf itu telah terpenuhi, maka secara fiqh wakaf itu sudah berlaku. Akan tetapi, dikarenakan melihat kenyataan zaman yang jelas sudah berubah, maka beberapa konsep pengesahan wakaf tersebut diatur beda dalam KHI demi menjaga maslahat yang lebih sesuai dengan ruh-ruh syariah Islam.

2. Dalam tata cara formal untuk melakukan wakaf memiliki lima (5) tahap yang harus dilakukan. 1) Waqif datang ke PPAIW untuk ikrar wakaf; 2) Ketika si waqif datang tersebut ia harus sudah melengkapi dokumen-dokumennya; 3) PPAIW harus meneliti semua dokumen dan juga saksi-saksi; 4) Waqif harus melakukan ikrar di depan 2 saksi dengan ikrar yang jelas; 5) PPAIW mengeluarkan Akta Ikrar Wakaf resmi.

3. Setelah diterbitkan Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.


DAFTAR PUSAKA

Anshori, Abdul Ghofur. Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia. Yogyakarta: Pilar Media, 2006.

al-Bantanî, Muhammad bin ‘Umar bin ‘Alî Nawawî. Nihâyah al-Zain. Surabaya: al-Hidâyah, t.t..

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

al-Jamal, Sulaimân. Hâsyiah al-‘Alâmah al-Syaikh Sulaimân al-Jamal ‘alâ Syarh al-Minhâj. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara, 2007.

al-Syâthirî, Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar. Syarh al-Yâqût al-Nafîs. Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007.

al-Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004.

---------. al-Wajîz fî `Ushûl al-Fiqh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003.

---------. al-Washâyâ wa al-Waqf fî al-Fiqh al-`Islâmî. Damascus: Dâr al-Fikr, 1993.


[1] Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

[2] Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

[3] Wahbah al-Zuhaylî, al-Washâyâ wa al-Waqf fî al-Fiqh al-`Islâmî (Damascus: Dâr al-Fikr, 1993), 200.

[4] Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar al-Syâthirî, Syarh al-Yâqût al-Nafîs (Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007), 484.

[5] al-Zuhaylî, al-Washâyâ wa al-Waqf, 159.

[6] Ibid., al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 10, 7667.

[7] Pernyataan Wahbah ini menunjukkan bahwa luasnya kemungkinan terjadi persaksian-persaksian dari siapa saja yang dapat dianggap sah secara syariat. Adanya kenyataan ini dapat menimbulkan claim-claim yang nantinya disebut oleh beliau sebagai persaksian palsu.

[8] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 10, 7667.

[9] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 10, 7656.

[10] Ibid., 7658.

[11] Ibid., 7660.

[12] Ibid., 7662.

[13] Seperti contoh: Seorang suami menjatuhkan talak 3, lalu ia ingin kembali kepada istrinya, tanpa perlu melakukan nikâh muhallil. Dengan ini, ia mengaku bahwa nikah yang pertama adalah fâsid. Maka bagi hakim boleh merestui pernikahan kedua tanpa perlu melakukan nikâh muhallil apabila berita acaranya didukung oleh pernyataan si istri. Akan tetapi, seumpama alasan rusaknya nikah awal adalah disebabkan fasiknya wali/saksi, sedangkan nikah yang pertama itu telah dihukumi sah oleh hakim berdasarkan pendapat yang memperbolehkan orang fasik menjadi wali/saksi (di mana dalam hal ini Syafi’iyyah menganggap tidak boleh/sah), maka tidak boleh baginya (suami) melakukan apa yang berbeda dengan ketetapan hakim yang awal, walaupun dia menganggap tidak sah berdasarkan Mazhab Syafi’i. Ini dikarenakan ketetapan hakim itu adalah menghilangkan khilâf. Lihat: Sulaimân al-Jamal, Hâsyiah al-‘Alâmah al-Syaikh Sulaimân al-Jamal ‘alâ Syarh al-Minhâj (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 4, 142.

[14] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 10, 7667.

[15] al-Syâthirî, Syarh al-Yâqût al-Nafîs, 900.

[16] Syarat sebuah pandangan dapat dimasukkan sebagai al-mashlahat al-mursalah ada 3: 1. Adanya kemaslahatan tersebut itu sesuai dengan tujuan-tujuan syariat: yaitu tidak terjadi pertentangan dengan dasar-dasar syariat, tidak bertentangan dengan nash atau dalil-dalil yang qath’î, harus sesuai dengan kemaslahatan yang menjadi tujuan dari syariat. Contoh kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah fatwa yang menyuruh orang kaya kafârah menjimak istri di siang Ramadhan adalah puasa dua bulan berturut-turut, bukan memerdekakan budak, padahal ada ayat yang menetapkan sebagai berikut; 2. Adanya kemaslahatan tersebut itu dapat dinalar akal secara hakiki, bukan persangkaan saja. Dengan gambaran kalau hukum itu ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tersebut, maka secara hakiki akan menarik sebuah kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Contohnya ketetapan mewajibkan pendaftaran tanah akan mengurangi secara pasti terhadap syahâdah al-zûr; 3. Adanya kemaslahatan itu bersifat umum bagi seluruh manusia bukan khusus bagi orang tertentu saja seperti presiden, dan lain-lain. Contohnya tidak dipebolehkan mengeluarkan fatwa untuk membunuh seorang muslim yang dijadikan alat perlindungan (tameng) oleh musuh selagi masih mungkin menghitung jumlah musuh tersebut, dan tidak ditakutkan akan berhasil menguasai negara Islam. Maka, mewajibkan adanya 2 saksi adalah dapat ditetapkan sebagai salah satu dari ketentuan syariat menurut metode al-mashlahah al-mursalah, karena ia telah memenuhi 3 krateria ini. Lihat: Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî `Ushûl al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), 96.

[17] Ibid., 93.

[18] وهو أى الوقف حبس شيء ينتظر الإنتفاع به مع بقاء عينه بمنع التصرف في عينه على مصرف مباح وجهه

[19] Muhammad bin ‘Umar bin ‘Alî Nawawî al-Bantanî, Nihâyah al-Zain (Surabaya: al-Hidâyah, t.t.), 269.

[20] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), 83.

[21] Ibid.

[22] Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan, 83.

[23] Ibid.

[24] Ibid., 84.

[25] Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan, 85.

[26] Ibid.

[27] Ibid., 86.

No comments: