Kerana banyak yang mengklaim party Islam wajib kita ikut sebab itu adalah Islam and what so ever...so ana rasa perlulah ana beri pandangan ana tentang perlembagaan dalam ilmu siyasah syar'iyyah...Ini juga menegaskan bahwa segala tuduhan bahwa ana tak suka membaca buku modern adalah salah...ana baca dua-dua yaitu modern or lama walaupun datang dari non muslim...yang penting berilmiah....
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama yang mengatur segala aspek dari makhluk, baik manusia, jin, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam memahami Alquran dan sunnah, ulama Islam telah menemukan banyak sekali hukum-hukum yang diatur sedemikian rupa demi tujuan syariat yang utama, yaiut demi kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak. Dalam menuju cita-cita ini, fiqh sebagai produk dari ijtihad ulama Islam telah terbentuk menjadi berbagai pembahasan dan ruang lingkup. Salah satu pembahasan yang terpenting dan aktual adalah fiqh siyâsah.
Fiqh siyâsah sendiri terbagi ke beberapa bagian. Salah satu dari bagian yang terpenting adalah al-siyâsah al-dustûriyyah. Bagian ini terpenting adalah dikarenakan ia membahas tentang hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak yang lain, serta lembaga-lembaga yang berada di antaranya.[1]
Fiqh siyâsah dustûriyyah biasanya dibatasi hanya membahas pengaturan dan undang-undang yang dituntut oleh hal ihwal kenegaran dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.
Oleh karena itu, perlulah untuk dibahas perkara yang sangat penting di dalam siyâsah dustûriyyah, agar dapat difahami lebih dalam konsep bagaimana fiqh siyâsah mengatur hubungan negara dengan rakyat.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Konstitusi.
2. Legislasi.
3. Umat dan posisinya.
4. Konsep syûrâ di dalam fiqh Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konstitusi
Dalam fiqh siyâsah, konstitusi disebut juga dengan dustûrî. Kata ini dalam bahasa Persia yang semula artinya adalah seseorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik ataupun agama. Setelah mngalami penyerapan kedalam bahasa arab, kata dustûr berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar, atau pembinaan. Menurut istilah, dustûr berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah Negara, baik yang tidak tertulis (konvensi), maupun yang tertulis (konstitusi).[2]
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, prinsip-prinsip yang diletakkan Islam dalam perumusan undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama.[3]
Pembahasan tentang konstitusi ini juga berkaitan dengan sumber-sumber dan kaedah perundang-undangan di suatu negara, baik sumber material, sumber sejarah, sumber pengundangan maupun sumber penafsirannya. Sumber material adalah hal-hal yang berkenaan dengan materi pokok undang-undang dasar. Inti persoalan dalam sumber konstitusi ini adalah peraturan tentang hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diperintah. Perumusan konstitusi tersebut tidak dapat terlepas dari latar belakang sejarah negara yang bersangkutan, baik masyarakat, politik, maupun kebudayaannya. Dengan demikian, materi dalam konstitusi tersebut sejalan dengan aspirasi dan jiwa masyarakat dalam negara tersebut. Agar mempunyai kekuatan hukum, sebuah undang-undang dasar yang akan dirumuskan harus mempunyai landasan atau dasar pengundangannya. Dengan landasan yang kuat undang-undang tersebut akan memiliki kekuatan pula untuk mengikat dan mengatur masyarakat dalam negara yang bersangkutan.[4]
Menurut ulama fiqh siyâsah, pada awalnya pola hubugan antara pemerintah dan rakyat ditentukan oleh adat istiadat. Akan tetapi, karena adat istiadat tidak tertulis, maka dalam hubungan tersebut tidak terdapat batasan-batasan yang tegas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Akibatnya, karena pemerintah memegang kekuasaan, tidak jarang pemerintah bersikap absolut dan otoriter terhadap rakyatnya. Sebagai reaksi, rakyat pun melakukan pemberontakan, perlawanan, bahkan revolusi untuk menjatuhkan pemeritahan yang berkuasa secara absolute tersebut. Seperti contoh; revolusi Prancis 1789 yang melawan kesewenang-wenang Raja Louis XVI. Contoh bagi negara Islam pula adalah revolusi Iran 1979, di mana Ayatullah Khomeini berhasil memimpin gerakan rakyat untuk menjatuhkan Reza Pahlevi dan mengusirnya dari tanah Iran. Dari revolusi ini kemudian lahirlah pemikiran untuk menciptakan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai pedoman dan “aturan main”. Namun, tidak selamanya konstitusi dibentuk berdasarkan revolusi. Ada juga pembuatan konstitusi didasarkan karena lahirnya sebuah negara baru. Dalam hal ini, pendiri negara yang bersangkutanlah yang terlibat aktif dalam merumuskan undang-undang dasar bagi negara mereka.[5]
Sumber tertulis utama pembentukan undang-undang dasar dalam Islam adalah Alquran dan sunnah. Akan tetapi, karena memang bukan buku undang-undang, Alquran tidak merinci lebih jauh tentang hubungan antara pemerintah dan rakyatnya serta hak dan kewajiban mereka masing-masing. Namun demikian, penerapannya pun bukanlah sebuah “harga mati”. Alquran dan sunnah menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam untuk membentuk dan mengatur pemerintahan serta menyusun konstitusi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial masyarakatnya. Dalam hal ini, dasar-dasar hukum Islam lainnya, ijmâ’, qiyâs, istihsân, maslahah mursalah, dan ‘urf memegang peranan penting dalam perumusan konstitusi.[6]
Konsep ini juga ditegaskan oleh Abul A’la al-Maududi. Ia menegaskan bahwa, pada dasarnya ada 4 sumber pembentukan konstitusi di dalam Islam; yaitu 1. Alquran, 2. Sunnah, 3. Konvensi-konvensi Khulafâ’ al-Râsyidîn, 4. Ketentuan para ahli hukum (fuqahâ`) ternama.[7]
Setelah nabi wafat, tidak ada konstitusi tertulis yang mengatur negara Islam. Umat Islam dari zaman ke zaman, dalam menjalankan kepemerintahan berpedoman pada prinsip-prinsip Alquran dan sunnah nabi. Pada masa Khulafâ’ al-Râsyidîn, sunah nabi masih dapat diterapkan dalam mengatur masyarakat Islam yang semakin berkembang. Dalam masa ini, pola peralihan kepemimpinan umat didasarkan pada kecakapan dan kemampuan, tidak berdasarkan keturunan. Namun, paska Khulafâ’ al-Râsyidîn pola pemerintahan sudah berubah ke bentuk kerajaan yang menentukan suksesi berdasarkan garis keturunan.[8]
Negara Islam yang pertama kali mengadakan konstitusi adalah Kerajaan Utsmani pada tahun 1876. Konstitusi yang ditandatangani oleh Sultan Abdul Hamid terdiri dari 12 bab dan 119 pasal. Dalam konstitusi ini Sultan Utsmani adalah pemegang kekuasaan kekhalifahan Islam yang menjadi pelindung agama Islam. Namun, dalam konstitusi ini tadak dipisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.[9]
Harun Nasution menyebutkan sifat konstitusi sebagai semi-otomatis, karena hak-hak dan kekuasaan sultan yang diatur dalam konstitusi ini begitu besar.[10] Dalam pasal 3 konstitusi ini disebutkan bahwa kedaulatan terletak di tangan sultan, bukan di tangan rakyat sebagaimana dipahami dalam wacana demokrasi modern. Besarnya kekuasaan sultan terlihat dari kedudukannya sebagai sultan dan khalifah. Sultan Utsmani mempuanyai kekuasaan duniawi dan agama. Namun dalam prakteknya kekuasaan legislatif sultan dialihkan pada parlemen (Majlis al-Umumi) yang terdiri dari Majlis Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Nasional. Namun demikian, sultan berkuasa atas parlemen, karena sultan mempunyai hak veto untu membatalkan rencana undang-undang yang akan dibuat oleh parlemen.[11] Dari kenyataan ini terlihat bahwa parlemen bukanlah lembaga legislatif dalam pengertian yang sebenarnya, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai dewan pertimbangan sultan.[12]
Ternyata konstitusi 1876 tidak berjalan efektif, maka dari itu pemikir modern Turki membentuk kumpulan The Young Turks mencoba untuk membatasi kekuasaan sultan. Puncak dari komplotan ini, adalah dengan jatuhnya Khilafah Utsmani pada 1924 yang sekaligus menjatuhkan Khilafah Islam. Ini juga membentuk sebuah negara Republik sekular yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturk.[13] Dalam UUD 1924 yang baru ini, ditegaskan bahwa Turki adalah negara Republik, nasionalis, kerakyatan, kenegaraan, sekularis, dan revolusioner. UUD ini juga menegaskan bahwa kedaulatan tanpa syarat berada di tangan bangsa.[14]
Di negara muslim lainnya, terdapat praktik yang berbeda-beda dalam perumusan undang-undang dasar mereka. Bagi kerajaan Arab Saudi misalnya, Alquran merupakan UUD negara dan syariat Islam sebagai hukum dasar yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syariah. Ulama memegang peranan sebagai hakim dan penasihat hukum dari kalangan keluarga besar Saudi. Arab Saudi tidak mengenal partai politik. Konskuensinya, Arab Saudi juga tidak mengenal Dewan Perwakilan Rakyat yang anggotanya dipilih melalui pemilu. Yang ada hanyalah Majlis Syûrâ yang anggotanya diangkat oleh raja. Meskipun demikian, tidak berarti raja berkuasa mutlak. Ia juga harus tunduk pada ketentuan syariat.[15]
Dari contoh beberapa negara muslim di atas, dapat dibedakan 3 tipe konstitusi. Pertama, negara yang tidak mengadakan pembaharuan dan memberlakukan hukum fiqh secara apa adanya. Contoh tipe negara ini adalah Arab Saudi. Kedua, negara yang telah menanggalkan sama sekali Islam dari dasar negaranya (sekuler) dan mengadopsi sistem hukum negara-negara barat dalam konstitusinya, seperti yang dilakukan Republik Turki pasca-Khilafah Utsmani oleh Mustafa Kemal Ataturk. Ketiga, negara yang mencoba menggabungkan Islam dan sistem hukum lainnya (seperti dari barat) dalam konstitusinya. Contohnya Mesir, Tunisia, Indonesia dan Aljazair.[16]
B. Legislasi
Dalam kajian fiqh siyâsah, legislagi atau kekuasaan legislatif disebut juga dengan al-sulthah al-tasyrî’iyah, yaitu kekuasaan pemerintahan Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Dalam wacana fiqh siyâsah, istilah ini digunakan untuk menunjukkan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, disamping kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfîdziyah) dan kekuasaan yudikatif (al-sulthah al-qadla’iyah). Dalam konteks ini kekuasaan legislatif (al-sulthah al-tasrî’iyah) berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintahan Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan pada apa yang diturunkan Allah SWT dalam syariat Islam. Dengan demikian, unsur-unsur legislasi dalam Islam meliputi:[17]
Ø Pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam
Ø Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya
Ø Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai dasar syari’at Islam.
Jadi, dengan kata lain, dalam al-sulthah al-tasrî’iyah pemerintahan melakukan tugas politik syariatnya untuk membentuk suatu hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan umat Islam.[18] Maka ini sesuai dengan kaidah “تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة”. Dalam kaidah ini, seorang pemimpin wajib menentukan kebijakan bagi rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan rakyat tersebut. Ketentuan menentukan kebijakan bagi rakyat ini berada dalam koridor kewenangan bebas dan tentunya dibatasi dengan syarat kebijakan tersebut tidak membawa kepada kerusakan, dan tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam yang mujma’ ‘alaih seperti kewajiban solat lima waktu.[19]
Dikarenakan kekuasaan legislatif adalah sebuah kekuasaan yang sangat penting dalam Islam, maka orang yang dapat duduk di dalam legislatif tentulah terdapat persyaratan-persyaratan khusus. Orang-orang yang duduk di dalam kursi legislatif ini secara fiqh klasik disebut dengan nama ahl al-hall wa al-’aqd.[20] Syarat-syarat ahl al-hall wa al-’aqd menurut kajian ulama-ulama fiqh kontemporer yang berbasis di Kuwait ada 5:[21]
1. Memiliki sifat adil di dalam syahâdah (Islam, berakal, baligh, tidak fasik, dan sempurna sifat muru`ahnya);
2. Memiliki pengetahuan yang cukup untuk perkara yang menjadi wewenang dan tugasnya;
3. Memiliki pemikiran dan pandangan yang filosofis yang dapat menentukan sesuatu yang terbaik;
4. Memiliki sifat syaukah yang membuat ada masyarakat atau masa mengikutinya, sehingga apa yang keluar darinya akan diikuti oleh rakyat;
5. Ikhlas serta selalu menginginkan kebaikan untuk orang muslim.
Terdapat dua fungsi lembaga legislatif: Pertama, dalam hal-hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nash Alquran dan Sunnah, maka undang-undang yang akan dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasrî’iyah haruslah undang-undang `Ilahiyah yang disyariatkan-Nya dalam Alquran dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Fungsi kedua, adalah penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan-permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Di sinilah diperlukannya al-sulthah al-tasrî’iyah tersebut diisi oleh para mujtahid dan ahli fatwa agar dapat melakukan ijtihad untuk menetapkan sebuah hukum dengan jalan qiyâs atau konsep tasyrî’ lainnya. Dalam lembaga legislatif ini, para anggotanya akan berdebat dan bertukar pikiran untuk menentukan undang-undang. Setelah adanya kesepakatan, dikeluarkanlah undang-undang untuk diberlakukan bagi masyarakat. Undang-undang ini pun baru bisa berlaku efektif apabila didaftarkan dalam lembaran negara sekretariat negara dan disebarluaskan kepada masyarakat.[22]
Dalam bidang keuangan negara, lembaga legislatif berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan perbendaharaan negara; sumber devisa dan anggaran pendapatan dan belanja yang dikeluarkan negara kepada kepala negara selaku kepala pemerintahan (al-sulthah al-tanfîdziyah). Sedangkan dalam bidang politik, lembaga legislatif berhak melakukan kontrol atas lembaga eksekutif tentang suatu hal, mengemukakan pandangan untuk didiskusikan dan memeriksa birokrasi.[23]
Sejalan dengan masuknya penjajahan barat ke dunia Islam sejak abad ke-19, ide-ide politik dan kenegaraan barat pun mulai mengembangkan pengaruhnya terhadap umat Islam. Di antaranya adalah ide tentang legislasi hukum yang secara praktis terlihat dalam keberadaan dewan legislatif atau parlemen. Masuknya ide-ide ini mendapat respon dari beberapa pemikir Islam kontemporer, di antaranya adalah Muhamad Iqbal.
Menurut Iqbal, negara Islam bersifat teokratis. Teokratis di sini adalah pemerintahan yang berdasarkan tauhid dan menerapkan nilai-nilai persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasan yang terkandung dalam tauhid. Negara adalah alat untuk mentransfer prinsip-prinsip tersebut ke dalam ruang dan waktu. Negara inilah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sebagaimana dimaksudkan Allah yang menciptakan manusia untuk menjadi wakil-Nya (khalifah) di dunia.[24] Iqbal memandang bahwa satu-satunya upaya untuk membuang kekakuan hukum Islam yang dihasilkan pada periode kemunduran Islam adalah dengan menggalakkan kembali ijtihad-ijmak dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman modern sekarang. Beliau menggambarkan kreatif ijtihad-ijmak di sini dengan mengaju pada fiqh yang dicetus Khalîfah ’Umar `ibn al-Khatthâb. Namun rumusan ini harus tetap mengacu pada kepentingan masyarakat dan kemajuan umum, bukan berdasarkan pemikiran spekulatif yang bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.[25]
Selanjutnya menurut Iqbal, bahwa lembaga legislatif tidak hanya diduduki oleh ulama yang dianggap memiliki otoritas dalam penafsiran ajaran Islam. Lembaga ini juga harus diisi oleh orang yang awam tentang hukum Islam tetapi mempunyai pandangan yang tajam terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan. Itulah sebabnya ia tidak memutlakkan syarat keulamaan bagi orang yang duduk dalam lembaga ini. Hukum Islam tidak hanya mengatur masalah umat Islam, tetapi kompleks seluruh aspek kehidupan manusia.[26]
Iqbal berpendapat bahwa keberlakuan hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif bersifat regional. Jadi, bisa saja hukum yang akan diterapkan untuk suatu wilayah Islam berbeda dengan wilayah yang lainnya sesuai dengan perbedaan lingkungan, kondisi sosial budaya, dan ekonomi masing-masing. Namun, untuk menciptakan persatuan dan kesatuan di seluruh umat Islam, ia menegaskan perlunya membentuk “lembaga internasional” negara-negara muslim yang mengatur dan membicarakan permasalahan dan kebutuhan umat Islam di seluruh negara muslim. Karena pada dasarnya, Islam bersifat universal namun dibatasi oleh wilayah-wilayah kekuasaan dan negara.[27]
Iqbal juga menyebutkan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya cara untuk mengekspresikan kehendak umat. Namun Iqbal tidak mengelaborasi secara tuntas bagaimana bentuk dan caranya serta kontrol masyarakat terhadap lembaga ini.[28]
C. Umat dan Kedudukannya
Kata umat (الأمة) yang berasal dari rangkaian “ألف – ميم – ميم” (أ م م) secara istilah memiliki beberapa makna. Sesuai dengan konteks fiqh siyâsah, maka terdapat beberapa pengertian:
1. Allah SWT berfirman di dalam surah al-`An’âm 6:38; {وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ} (dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumu dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat
2. Allah SWT berfirman di dalam surah al-Baqarah 2:213; {كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ} (Manusia itu adalah umat yang satu.
3. Menurut al-`Akhfasy; bagi firman Allah SWT {كنتم خيرَ أمة}[29] memiliki arti “adanya kamu semua adalah sebaik-baik umat”. Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa kata umat ini memiliki arti sebaik-baik ahli agama.[30]
4. Menurut al-Laits; semua kaum yang dinisbatkan pada nabi, maka orang yang disandarkan pada nabi tersebut adalah umatnya nabi tersebut. Disebutkan juga, umat Muhammad SAW adalah semua orang yang mendapat utusan Muhammad SAW, baik ia beriman pada Muhammad SAW atau kufur terhadapnya. Maka dari sini, dapat disimpulkan, bahwa umat para nabi adalah semua orang yang mendapat utusan dari nabi tersebut, baik ia beriman ataupun tidak.[31]
5. Menurut Imam `Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Fayûmî; kata umat memiliki arti “pengikut-pengikut Nabi”.[32]
Dari semua pendapat ini, kata umat terdapat tiga (3) lapisan bagi umat: 1. Makhluk Tuhan secara keseluruhan (termasuk binatang yang tidak berakal); 2. Manusia secara keseluruhan (muslim atau kafir); 3. Komunitas manusia yang tertentu. Dalam bagian ketiga ini baru dibedakan antara umat muslim dan non muslim.[33]
Menurut penulis, dalam menentukan kapasitan ruang lingkup umat, ia haruslah disesuaikan dengan konteks perkataan yang disandarkan tersebut. Kalau yang dinisbatkan Islam, maka yang dimaksud umat Islam yaitu orang-orang yang menganut agama Islam. Kalau yang dinisbatkan adalah manusia (umat manusia), maka tentunya semua manusia tanpa terkecuali.
Kata umat terselip makna-makna yang dalam. Ia mengandung arti gerak dinamis, wkatu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup untuk maju ke satu arah harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu serta membutuhkan waktu untuk mencapainya.[34]
Akan tetapi, sebuah tesis yang perlu untuk dipegang adalah bahwasanya kata umat secara pasti memiliki sebuah asas yang universal, tidak dibatasi oleh makna dalam kata itu sendiri, akan tetapi hanya dapat dibedakan apabila ia disandarkan pada kalimat lain. Ini berbeda dengan kata nasionalisme, karena kata tersebut memiliki asas sempit yaitu membatasi tanah, wilayah, ras, darah, dan lain-lain.[35] Untuk lebih gamblang makna dari umat, perlulah untuk dibandingkan dengan kata nasionalisme, seperti yang diutarakan oleh Abdur Rasyid Moten:[36]
1. Nasionalisme menekankan kesetiaan pada negara, sedangkan umat menekankan kesetiaan manusia pada kemanusiaan itu sendiri;
2. Sumber kekuasaan dan legitimasi dalam nasionalisme adalah negara dan institusi-institusinya, sedangkan sumber kekuasaan dan legitimasi dalam umat adalah syariat;
3. Nasionalisme memiliki basis pada etnik, bahasa, ras, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya, sedangkan basis umat diikat oleh tauhid kepada Allah;
4. Nasionalisme membatasi manusia berdasarkan teritorial, sedangkan umat tidak terbatasi oleh wilayah-wilayah. Umat bersifat universal;
5. Nasionalisme menolak kesatuan kemanusiaan, sedangkan umat mendukung persaudaraan kemanusiaan yang universal;
6. Nasionalisme memisah-misahkan manusia pada bentuk negara-negara kebangsaan, sedangkan umat menyatukan seluruh dunia Islam.
Sesuai dengan konteks pembahasan siyâsah dustûriyyah, maka umat di sini berlaku sebagai warga negara terkait yang lebih dikenal dengan rakyat, sama ada muslim atau tidak. seperti contoh, kalau yang dinisbatkan adalah negara Turki misalnya, maka kata-kata umat Turki, ia bermakna rakyat Turki. Bagi rakyat yang statusnya nonmuslim, secara fiqh dikenal dengan nama kafir dzimmî atau musta`min.[37]
Apabila dibahas mengenai hak-hak rakyat, maka menurut Abu A’la al-Maududi, seperti yang dikutip H. A. Djazuli adalah sebagai berikut:[38]
1. Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya, dan kehormatannya;
2. Perlindungan terhadap kebebasan pribadi;
3. Kebebasan menyatakan pendapat dan berkeyakinan;
4. Terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaan.
Sedangkan menurut Abd al-Qâdir ‘Audah, bahwa Islam telah menetapkan hak-hak perorangan sebagai berikut:[39]
1. Hak persamaan: Islam mengakui hak persamaan antara semua orang, baik golongan, jenis, etnis, tuan-hamba, hakim-yang dihukumi, dan lain-lain. Ini berdasarkan pada ayat { يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ }.[40] Contohnya: Islam tidak pernah membedakan antara warga yang berkulit putih atau hitam seperti yang berlaku di Amerika. Akan tetapi, persamaan ini perlulah untuk difahami secara konteks dan posisinya. Contohnya: lelaki dan perempuan tidak dibedakan dari segi sisi kemanusiaannya. Kalau lelaki membunuh perempuan, maka ia akan diqishâsh, begitu juga sebaliknya. Tapi, lelaki dan perempuan tersebut memiliki kewajiban dan hak yang berbeda, sesuai dengan konteks dan posisinya. Misalnya, perempuan hanya mendapat ½ dari harta waris dibanding lelaki karena lelaki berkewajiban mencari nafkah untuk perempuan. Begitu juga dengan status muslim dan dzimmî. Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan sama sekali, hanya saja terdapat perbedaan pada perkara yang berhubungan dengan akidah. Karena makna persamaan di sini adalah meletakkan orang muslim pada apa yang disama akidahnya, sedangkan dzimmî pada apa yang berbeda akidahnya. Kaidahnya di sini bahwa Islam memposisikan bahwa apa yang mereka yakini adalah hak mereka, sedangkan apa yang Islam yakini adalah milik Islam, serta memberi kebebasan pada mereka untuk menjalani apa yang diyakini mereka dengan tanpa paksaan berdasarkan ayat {لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ}[41].
2. Hak Kebebasan: kebebasan di sini terbagi kepada beberapa kebebasan yaitu: kebebasan berfikir, berkepercayaan, berbicara, berpendidikan, dan memiliki.
D. Syûrâ
Kata “Syûrâ” berasal dari “شور” yang secara bahasa memiliki arti mengeluarkan madu dari sarang lebah.[42] Seperti juga dari pengertian ini, dalam bahasa Indonesia menjadi ‘musyawarah’ mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Ini semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia.[43] Kesimpulannya, keputusan yang diambil berdasarkan syûrâ merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kepentingan kehidupan manusia.[44]
Salah satu dari ayat Alquran tentang syûrâ adalah ayat:
{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ}
Terjemahan: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Hukum melakukan syûrâ terdapat dua pendapat dari kalangan ulama fiqh: Pertama, adalah pendapat Imam Nawawî, `Ibn ‘Athiyyah, `Ibn Khuwaiz Mandâdin, dan al-Râzî; berpendapat bahwa melakukan syûrâ adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan pada ayat {وشاورهم} yang menuntut hukum wajib karena ia adalah fi’il `amr. Pendapat Kedua, adalah pendapat Qatâdah, `Ibn `Ishâq, Imam al-Syafi’i, dan al-Rabî’, bahwa melakukan syûrâ adalah sunnah. Ini dikarenakan fi’il `amr bagi ayat tersebut bermakna sunnah, seperti halnya sabda Nabi Muhammad SAW “البكر تستأمر” yang mana, kalau si bapa memaksa anaknya untuk menikah tidak mengapa. Akan tetapi, sebaiknya bermusyawarah dulu dan meminta izin anak perempuan tersebut untuk kebaikan dirinya.[45]
Sedangkan konsep di dalam musyawarah, pada dasarnya Islam tidak mengaturnya secara pasti dan baku. Cara melakukan musyawarah sepenuhnya diserahkan kepada manusia untuk menjalankannya sesuai dengan situasi dan kondisi bagi sebuah negara atau organisasi kemasyarakatan asalkan tidak bertentangan dengan prinsip umum syariat Islam.[46] Bentuk dari musyawatah boleh berbentuk parlimen, boleh juga lainnya seperti dewan pertimbangan kesultanan atau dewan penasihat raja. Ini dikarenakan Islam memahami konteks musyawarah dalam artian yang lebih umum dan dalam ruang waktu yang lama sehingga tetap relevan kapan pun.[47]
Walau bagaimanapun, ada beberapa prinsip di dalam bermusyawarah yang tidak bisa ditinggal dalam syariat Islam:[48]
1. Musyawarah menjadi hak bagi yang menghukumi dan yang dihukumi: musyawarah yang diselenggarakan itu berada dalam status sama antara panitia majlis maupun anggotanya. Masing-masing bisa memberi pendapat dan dapat dipertimbangkan dalam membentuk sebuah keputusan;
2. Segala sesuatu yang akan dibicarakan di dalam sebuah musyawarah itu haruslah diumumkan kepada umat. Apabila tidak diumumkan, maka tidak wajiblah bagi umat untuk mematuhinya. Umat juga harus menggunakan haknya bagi musyawarah dengan memberi pandangan pada suatu masalah agar diketahui apa yang sesuai dan patut baginya;
3. Dalam menjalankan musyawarah haruslah didasari dengan niat yang ikhlas karena Allah, bukan demi kepentingan peribadi atau satu kelompok saja. Ini berdasarkan pada ayat {ألا لله الدين الخالص}[49]. Tidak boleh melaksanakan musyawarah berdasarkan penipuan, paksaan, suap, dan lain-lain yang diharamkan Allah SWT.
4. Secara pasti, tidak mungkin terdapat satu saja pendapat yang dikeluarkan oleh ahli nalar. Hanya saja, apabila ada perbedaan, maka pendapat yang mayoritaslah yang dipegang, setelah menjalani pembahasan dan perdebatan yang panjang untuk menguraikan berbagai konsekwensi dari berbagai sudut pandang. Ini berdasarkan pada hadis Hudzaifah yang masyhur: Hudzaifah berkata “قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا”[50]. Kata jamâ’ah di dalam hadis ini bukanlah semua muslim, akan tetapi mayoritas muslim.
5. Haruslah orang yang suaranya sedikit – yang tidak diambil pendapatnya – menjadi orang yang pertama menjalankan pendapat mayoritas. Dalam menjalankan itu, haruslah disertai rasa ikhlas sebagai pendapat yang wajib untuk diikuti. Bukan malah mencacat-cacat pendapat yang wajib diikuti itu.
Secara teoritik, konsep syûrâ ini hampir sama dengan sistem demokrasi yang dikenal di zaman modern ini. Akan tetapi, para ilmuan Islam banyak yang menentang sistem demokrasi ini. Ini dikarenakan demokrasi diartikan sebagai sebuah sistem yang dipelopori oleh orang Barat yang kafir. Maka demokrasi adalah sistem kafir.[51]
Pada dasarnya, menurut penulis; demokrasi dapat diadopsi bagi sistem perpolitikan Islam, dengan melakukan beberapa pembenahan. Ini dikarenakan tidak semua isi dari demokrasi itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Buktinya, demokrasi sangat erat dengan lembaga parlimen yang mana bertugas untuk bermusyawarah demi menemukan solusi maupun membentuk hukum positif bagi negara tersebut demi kebaikannya sendiri. Hanya saja, sistem modern yang wujud di zaman sekarang terlalu menitik beratkan pada prinsip-prinsip individu, liberalisme, persamaan mutlak, dan materialisme yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Maka dari itu, perlu sedikit pembenahan.
Seperti yang telah diterangkan, bahwa Islam tidak menentukan sistem perpolitikan yang baku, akan tetapi Islam menuntut sebuah sistem yang terbaik bagi situasi dan kondisi negara tersebut dengan catatan tidak meninggalkan prinsip-prinsip Islam. Maka, bagi negara yang sesuai dengan sistem demokrasi, tentunya tetap mengadopsi demokrasi, dengan menghilangkan ciri-ciri kafir di dalamnya, dan menggantikan dengan syariat Islam sebagai hukum prinsipilnya.
Maka langkah pertama adalah meletakkan prinsip syahâdah sebagai konstitusi negara. Selanjutnya, membentuk sistem politik yang paling sesuai bagi daerah tersebut walaupun ia berupa sistem monarki sekalipun – dengan catatan itu adalah yang terbaik bagi negara tersebut. Langkah berikut adalah menetapkan kedaulatan hukum yang berasaskan hukum syariat Islam. Membentuk dewan parlimen untuk mengawasi pemerintahan, dan merumuskan undang-undang negara berdasarkan konsep Islam, dan dewan pertimbangan pemimpin sebagai penyetujuan terhadap pola politik negara tersebut yang terdiri dari ulama Islam yang tidak mengikuti mana-mana lembaga kekuasaan. Dewan ini berfungsi sebagai pengawasan agar tidak ada pola yang berseberangan dengan syariat Islam sebagai kedaulatan yang tertinggi di dalam negara tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Konstitusi (dustûr) adalah sebuah undang-undang dasar sebuah negara yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat. Konsep ini pada dasarnya tidak ada bedanya antara negara Islam atau negara non Islam. Perbedaannya hanya berada pada asas dan sumber yang dipakai untuk membentuk konstitusi tersebut, karena pada dasarnya tidak ada dalil yang juz`î yang jelas mengatur tentang konstitusi. Maka dikembalikan kepada dasar yang umum.
2. Legislatif adalah sebuah perangkat yang dikenal juga dengan nama ahl al-hall wa al-’aqd. Ia bertugas mengangkat pemimpin, membentuk undang-undang, dan mengawasi pemerintahan. Pada dasarnya, fiqh klasik tidak mengatur wewenang legislatif untuk membentuk undang-undang, akan tetapi konsep ini berkembang sesuai dengan zaman.
3. Umat merupakan salah satu dari perangkat sebuah pemerintahan di dalam Islam. Ia merupakan bagian yang terpenting di dalam negara. Di dalam Islam, umat berposisi sebagai rakyat bagi negara tersebut, yang wajib taat kepada pemerintah selagi pemerintah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dlarûrî dan hak-hak pasti.
4. Syûrâ adalah sebuah lembaga yang bertugas melakukan musyawarah untuk mencari solusi bagi masalah-masalah yang berlaku bagi negara tersebut. Secara terminologis modern, ia terkenal dengan nama parlimen. Hanya saja, Islam tidak mengatur bentuk dari musyawarah tersebut, dalam arti bisa saja bukan berupa parlimen seperti dewan penasihat Sultan dan lain-lain. Dalam Islam, musyawarah sudah diatur dengan baik oleh syariat. Syûrâ kadang diartikan sebagai bentuk dari demokrasi. Akan tetapi, demokrasi di sini tidak sepenuhnya seperti demokrasi barat.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Eeman Mohamed Sultan ‘Abd al-Hamid II dan Kejatuhan Khilafah Islamiah. Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 2002.
al-Asrar, Mahdum Khalid, et. al.. Simbiosis Negara dan Agama. Kediri: Purna Siswa Aliyah 2007 MHM-PPL, 2007.
‘Audah, Abd al-Qâdir. al-`Islâm wa `Audlâ’unâ al-Siyâsiyyah. Cairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1951.
al-Bukhârî. Shahîh al-Bukhârî: Bâb Kaifa al-`Amr `idza lam Takun Jamâ’ah.
Crone, Patricia. Medieval Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinbutgh University Press, 2004.
al-Damijî, `Abd `Allah bin ‘Umar bin Sulaimân. al-Imâmah al-'Udzmâ ‘inda `Ahli al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Riyadl: Dâr al-Thoibah, 1987.
Djazuli, H. A.. Fiqh Siyâsah. Jakarta: Kencana, 2007.
al-Fayyûmî, Ahmad bin Muhammad. al-Mishbah al-Munîr. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t..
Hilmi, Mahmud. Nidzâm al-Hukm al-Islamî. Kairo: Dâr al-Hâdî, 1978.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Iqbal, Muhammad. The Recontruction of Religious Thought in Islam. Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
Khallâf, Abd al-Wahhâb. al-Siyâsah al-Syarî’ah. Kairo: Dar al-Anshar, 1997.
Kinross, Patrick. Atatürk The Rebirth of a Nation. London: Phoenix, 2001.
Lewis, Bernard, dkk. The Encyclopedia of Islam. Leiden: E. J. Brill, 1978.
Majlis Musyawarah Pondok Pesantren al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06. Kediri: MMPA, 2006.
al-Makkî, Muhammad Nûr al-Dîn Marbû al-Banjarî. al-Durar al-Bahiyyah fî `Îdlâhi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Kedah: Pustaka Darussalam, 2002
Manzhûr, Muhammad bin Mukram Ibn. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr Shâdir, t.t..
al-Maududi, Abul A’la. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1995.
Moten, Abdur Rashid. Political Science: An Islamic Perspective. USA: St. Martin Inc., 1996.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Quraish. “Peningkatan Ukhuwah Islamiah untuk Memperkokoh Persatuan Bangsa”. Makalah disajikan dalam Kongres Umat Islam Indonesia. Jakarta, 3-7 November 1998.
Sadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1990.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996.
Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait. Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah. Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.
[1] H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah (Jakarta: Kencana, 2007), 47.
[2] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 153-4.
[3] Abd al-Wahhâb Khallâf, al-Siyâsah al-Syarî’ah (Kairo: Dar al-Anshar, 1997), 25-40.
[4] Iqbal, Fiqh Siyasah, 154.
[5] Ibid., 154-5.
[6] Ibid., 156.
[7] Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung: Mizan, 1995), 227.
[8] Iqbal, Fiqh Siyasah, 157.
[9] Ibid., 158; Eeman Mohamed Abbas, Sultan ‘Abd al-Hamid II dan Kejatuhan Khilafah Islamiah (Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 2002), 195-202.
[10] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 112.
[11] Ibid., 14.
[12] Iqbal, Fiqh Siyasah, 158.
[13] Catatan sejarah lengkap tentang pembentukan komplotan ini menurut perspektif golongan barat yang pro dengan Mustafa Kemal Ataturk dapat dilihat: Patrick Kinross, Atatürk The Rebirth of a Nation (London: Phoenix, 2001).
[14] Bernard Lewis, dkk, The Encyclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1978), vol. 2, 644.
[15] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1990), hal. 15
[16] Iqbal, Fiqh Siyasah, 161.
[17] Ibid.
[18] Majlis Musyawarah Pondok Pesantren al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (
[19] Muhammad Nûr al-Dîn Marbû al-Banjarî al-Makkî, al-Durar al-Bahiyyah fî `Îdlâhi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Kedah: Pustaka Darussalam, 2002), 138.
[20] Mahdum Khalid al-Asrar, et. al., Simbiosis Negara dan Agama (Kediri: Purna Siswa Aliyah 2007 MHM-PPL, 2007), 227.
[21] Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (
[22] Mahmud Hilmi, Nidzâm al-Hukm al-Islamî (Kairo: Dâr al-Hâdî, 1978), 207.
[23] Ibid., 209.
[24] Muhammad Iqbal, The Recontruction of Religious Thought in Islam (Delhi: Kitab Bhavan, 1981), 155.
[25] Ibid., 162.
[26] Ibid., 173.
[27] Ibid., 159.
[28] Iqbal, Fiqh Siyasah, 173.
[29] Alquran, 3:110.
[30] Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shâdir, t.t.), vol. 12, 24.
[31] Ibid., vol. 12, 26.
[32] `Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Fayûmî, al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), 23.
[33] Djazuli, Fiqh Siyâsah, 258.
[34] Quraish Shihab, “Peningkatan Ukhuwah Islamiah untuk Memperkokoh Persatuan Bangsa”. Makalah disajikan dalam Kongres Umat Islam Indonesia, Jakarta, 3-7 November 1998.
[35] Iqbal, Fiqh Siyasah, 182.
[36] Abdur Rashid Moten, Political Science: An Islamic Perspective (USA: St. Martin Inc., 1996), 79.
[37] Djazuli, Fiqh Siyâsah, 64.
[38] Ibid.
[39] Abd al-Qâdir ‘Audah, al-`Islâm wa `Audlâ’unâ al-Siyâsiyyah (Cairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1951), 195-201.
[40] al-Qur’an, 49:13.
[41] al-Qur’an, 2:256.
[42] Manzhûr, Lisân al-‘Arab, vol. 4, 434.
[43] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), 469.
[44] Iqbal, Fiqh Siyasah, 185.
[45] Wuzârat al-Awqâf, al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, vol. 26, 279.
[46] Iqbal, Fiqh Siyasah, 190
[47] Ibid., 185; ‘Audah, al-`Islâm wa `Audlâ’unâ al-Siyâsiyyah, 147.
[48] Ibid., 148.
[49] al-Qur’an, 39:3.
[50] al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî: Bâb Kaifa al-`Amr `idza lam Takun Jamâ’ah; no: 6557.
[51] Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, terj. Abu Faiz (Bangil: al-Izzah, 2004), 202.