Sejak awal pertama penulis menjejakkan kaki di tanah Jawa, tepatnya Jawa Timur demi menuntut ilmu di pesantren, penulis sudah dikenalkan dengan polemik isu pondok atau pesantren yang modern dan yang masih mempertahankan ciri-ciri tradisionalnya atau dikenal dengan istilah Pondok Salaf.
Sebelum penulis terjun menerangkan pro-kontra antara dua arus institusi pendidikan yang mengawal arus pemikiran dan yang paling berpengaruh dalam mencetak calon ulama, pemikir, akademisi serta ilmuan di Indonesia, sebaiknya penulis menjelaskan dahulu apakah perbezaan di antara dua arus pondok ini di sebalik istilah tersebut.
Arus yang pertama adalah Pondok Tradisional atau lebih akrab diistilahkan dengan Pesantren Salaf. Salaf di sini sama sekali tidak bermaksud Salafi/Wahabi sebagaimana yang difahami oleh mereka yang beristilahkan sebagai arus pemikiran (school of thought); Akan tetapi, Salaf di sini adalah mengikuti gaya dan cara pendidikan yang ditubuhkan oleh murid-murid Wali Songo atau paling tidak ia adalah sistem pendidikan yang diwarisi warga Jawa sejak sebelum kemerdekaan lagi.
Ciri-Ciri Pondok Salaf dan Modern
Kita dapat mengenal Pondok-Pondok Salaf dengan berbagai ciri, sebahagian darinya adalah: memakai kitab-kitab turats (kitab kuning) sebagai kitab rujukan, menggunakan teknik bacaan Jawa kuno (Utawi iki iku) atau Sunda Kuno, Melayu Kuno (Bermulanya Kalam dll) atau lain-lain, sistem hafalan, dan yang paling penting tarbiyah adab bersama guru seperti yang diajarkan Imam al-Zarnuji dalam kitab Ta'lim al-Muta'alimnya.
Contoh mempertahankan kitab turats (kitab kuning) di pesantren adalah seperti dalam pembelajaran bahasa Arab menggunakan kitab-kitab dari al-Ajurumiyyah, Nazam al-Imrithi ala al-Ajurumiyyah, Alfiyyah Ibn Malik, selain itu ilmu sorof seperti al-Maqshud dan lain-lain. Golongan pesantren salaf sangat kuat mempertahankan pengajian kitab-kitab turats ini walaupun dikata sudah kadar-luasa (expired) atau terlalu tinggi dan susah untuk difahami bagi. Sebaliknya, pondok Salaf tetap mempertahankan tradisi ini, sehinggakan contohnya Alfiyyah Ibn Malik dibacakan dan diajarkan secara intensif di semua pesantren salaf dari Jawa Barat sehinggakan Jawa Timur. Perkara ini adalah sesuatu yang susah kita temui di Tanah Air Malaysia.
Sedangkan teknik bacaan Jawa Kuno seperti "utawi iki iku" dapat memudahkan para santri memahami uslub bahasa Arab dengan I'rabnya sehinggakan menumbuhkan sifat malakah bagi para santri yang tidak berbicara bahasa Arab dan mampu membaca kitab Arab dengan tanpa baris dengan bacaan yang sahih serta i'rab yang jelas. Diikutkan dengan hafalan yang disiplin sebagai asas bagi para santri agar mampu ingat kaedah-kaedah nahwu sorof, sehinggakan dapat berhujjah dengan syahid-syahidnya dari Alfiyyah dan kitab-kitab yang lain.
Diperkasakan lagi dengan tarbiyah menuntut ilmu serta adab-adabnya yang sudah diisyarahkan oleh ulama sejak zaman Rasulullah SAW sehinggakan para ulama seperti yg diajarkan dalam kitab al-Zarnuji. Menghormati ilmu dan ahlinya, mengabdi kepada mereka, dilanjutkan dengan niat yang ikhlas, bukan mencari kerja, jabatan maupun pengaruh, akan tetapi murni mencari ilmu demi keridhaan Allah SWT dan menunaikan kewajiban dan menyebarkan ilmu untuk menghilangkan kejahilan di bumi Allah SWT ini.
Sedangkan pondok modern, mereka memiliki gaya yang berbeza dengan sistem pondok Salaf. Salah satu ciri yang jelas adalah seperti: mengunakan kitab-kitab baru yang ringkas, serta sistematik susunan modern untuk mudah memahami ilmu nahwu sorof, mempraktikkan bahasa Arab dan bahasa Inggeris di setiap tindak laku para santrinya di Pondok sama ada dalam kelas, maupun program-program kokurikulum, mempelajari pelajaran-pelajaran umum seperti English, Science, Mathematic, Biology, Physic, dan lain-lain, agar para santri boleh lulus dengan memegang sijil yang diakui kerajaan yang akan digunakan untuk menyambung pelajaran di institusi pendidikan tinggi lainnya seperti universit-universiti di Indonesia, al-Azhar Mesir, UIA Malaysia dan lain-lain. Perkara ini membuatkan pondok modern mendapatkan sambutan yang lebih banyak dibandingkan pondok salaf.
Di sisi lain pula, pondok salaf sangat kuat menolak gerakan "memodernkan" pesantren seperti trend yang berlaku ini. Ini disebabkan, pondok salaf memiliki prinsip sendiri iaitu mengekalkan tradisi sebagai jejak langkah ulama silam seperti mempertahankan budaya talaqqi di Masjid al-Haram, Masjid al-Azhar dan lain-lain. Mereka takut kalau pesantren mereka mengadopsi sistem modern seperti di atas, maka mempertahankan sistem ulama silam akan dihapus dan lenyap. Lebih ditakutkan lagi, apabila karya-karya ulama silam tidak lagi menjadi bahan-bahan primier sebagai rujukan, akan tetapi bahan rujukan modern sajalah yang mampu difahami oleh para santri.
Memilih Jenis Pondok
Dalam pro-kontra ini, penulis menilai, bahawa segala sisi ada positif dan negatifnya. Maka bagi orang tua (parents) yang ingin anaknya dapat pergi ke universitas, menjadi doktor, jurutawan, guru matematika, ahli pendidikan, maka silakan letak anaknya di pondok modern; ia lebih tepat.
Akan tetapi, bagi santri yang bertujuan mencari ilmu, mengkaji kitab-kitab turats, mempelajari khilaf seperti kitab-kitab Fath al-Qarib Mu'in dan Wahhab, mempelajari ilmu kalam yang dalam, usul fiqh yang tinggi seperti Jam'u al-Jawami' atau al-Mustashfa karangan Imam al-Ghazali, dan menghatamkan kutub sittah (6 kitab hadis) dan juga memperkasa diri mereka dengan wirid, hizib, serta amalan dan ijazah lainnya, maka yang lebih tepat adalah pondok salaf. Ini tidak lain kerena semua ilmu ini didapatkan di pondok salaf, bukan di pondok modern.
Bayangkan, di pesantren salaf, para santri sudah mempelajari kitab Fath al-Qarib yang dikarang pada abad ke 10 Hijriyyah pada tingkatan Tsanawiyyah 1 atau 2 tahun setelah memasuki pondok. Juga mempelajari Alfiyyah Ibn Malik pada waktu yang sama. Ini berarti, seorang santri sudah bermain dengan rujukan-rujukan utama ilmu Islam sejak masuk di sekolah lagi, tanpa menunggu waktu di universitas seperti al-Azhar Mesir. Maka sudah tentu merekalah yang lebih layak untuk dijadikan seorang ulama yang pakar dalam ilmu agama kerana sudah dilengkapi dengan segala jenis ilmu alat mulai dari nahwu, sorof, arudl, usul fiqh, qawaid fiqh, ulum al-hadis, ulum al-quran, fiqh, tafsir, ilmu kalam, mantiq, dan lain-lain. Belum lagi, mereka sudah giat dalam program bahtsul masail untuk mengupas isu-isu semasa dengan bersumberkan pada fiqh dan usul fiqh serta ilmu khilaf yang mantab dan rujukan dari sumber-sumber turats bukan karya semasa. Dengan wasilah ini, banyak kajian bahtsul masail pesantren menjadi sumber rujukan seperti fihris bagi pengkaji dan pengeluar fatwa untuk mencari illat hukum dalam menetapkan hukum nawazil yang baru yang belum dibahas dalam fiqh klasik.
Titik Temu Antara Dua Arus
Sayangnya, pondok salaf memiliki kekuarangan dari sisi, tidak adanya latihan untuk bertutur bahasa Arab. Ini berbeza dengan pondok modern, seperti Gontor misalnya yang melatih murid mereka bertutur bahasa Arab dalam setiap aspek pendidikan mereka sama ada korikulum atau kokurikulum. Tapi menurut penulis, yang penting adalah dasar ilmu itu sendiri. Ketika sudah memiliki dasar, maka mempraktekkan ilmu itu bukanlah sesuatu yang susah. Berbeza dengan orang yang terbiasa dengan praktek, akan tetapi dasar ia tidak miliki, maka dia akan susah berhujjah ketika dihadapkan dengan suatu kritik.
Contohnya, santri salaf, ketika sudah menghafal Alfiyyah dan lain-lain, ketika mereka mampu membaca kitab kosong walaupun tidak mampu bertutur bahasa Arab, terbukti ketika mereka terjun di negara Arab untuk melanjutkan studi seperti di Hadramaut Yaman, Mekkah, Mesir, bahkan di Morocco misalnya, mereka mampu untuk berbicara Arab Fusha dalam waktu yang singkat. Dan lebih menarik, banyak Syaikh-Syaikh Arab kagum dengan mereka kerana mereka sudah kenal dengan kitab-kitab turats seperti Alfiyyah dan lain-lain. Bahkan mereka sudah hafal lantunan bait-bait tersebut.
Sebaliknya, santri modern mereka tentu mampu berbicara Arab ketika sampai di negara Arab, atau bahkan Inggeris sekalipun. Akan tetapi, kekurangan mereka terjadi ketika mereka pergi talaqqi atau berhadapan langsung dengan Syaikh-Syaikh agung dan mereka dianggap seperti sekolah ma'ahad biasa yang belum mengenal kitab-kitab turats tersebut. Mereka juga kadang ketika berbicara dengan sahih, tapi ketika menemukan suatu uslub yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab modern, akan merasa kesusahan kerena belum pernah dilalui. Apatah lagi berhujjah dengan syahid-syahid Alfiyyah dan lainnya. Juga mereka belum terbiasa dengan perbahasan fiqh mendalam seperti yang sudah biasa dalam bahtsul masail di pondok-pondok salaf.
Tapi penulis benar-benar telah menyaksikan, bahawa keluaran pondok modern banyak yang sukses di dunia internasional kerana mereka banyak yang mampu melanjutkan studi di negara-negara Arab, Eropah, dan Nusantara sendiri. Juga Pondok Salaf tidak kalah hebatnya dalam mengeluarkan ulama agung nusantara seperti KH. Sahal Mahfuz, KH Thoifur Purworejo, KH. Hanan Ma'sum dan banyak lagi di mana mereka menguasai ilmu-ilmu syariah secara syumul. Walaupun tidak bergiat di dunia akademik, mereka diakui keilmuannya di dunia international seperti di Qarawiyyin, Dar al-Musthafa Hadramaut, dan al-Azhar juga. Penulis banyak bertemu dengan santri salaf yang menjadi khadim di antara ulama-ulama agung seperti Habib Umar bin Hafiz, Syaikh Yusri Mesir, Syaikh Yusuf Bakhour Hasani, dan lain-lain. Walau bagaimanapun, adalah suatu keharusan bagi pesantren salaf untuk merubah diri dan mengembangkan sayap mereka di dunia internasional bersaing dengan pondok modern. Lebih-lebih lagi, Indoonesia sudah diberi rahmat oleh Allah SWT dengan diakuinya ijazah atau sijil pesantren untuk memasuki perguruan tinggi di Indonesia sendiri, juga di beberapa universitas yang lain. Ini tentunya sesuatu yang memalukan bagi Malaysia yang justru kerajaan mereka dalam segala jenis kebijakan (policy) pendidikan mereka membuatkan Pondok semakin mati, pupus dilenyapkan oleh zaman dan modernisasi. Di sisi lain, institusi pendidikan agama di Malaysia juga dalam keadaan yang menyedihkan dan mengeluarkan pelajar-pelajar yang tidak layak untuk menonjolkan diri sebagai alumni sekolah agama yang patut dibanggakan di negara Arab. Bagaimana tidak, berapa banyak pelajar yang membawa nilai cemerlang dari tanah air dan melanjutkan pelajaran di universiti-universiti Arab, gagal pada tahun pertama atau walaupun lulus, akan tetapi ilmu dasar nahwu mereka masih sangat memperihatinkan, kecuali sedikit dan segelintir sahaja dari mereka yang benar-benar memiliki dasar yang kuat secara ilmu dan praktik.
Semoga Allah SWT menaikkan taraf pendidikan agama Islam kita di Malaysia seperti yang ada di Indonesia. Semoga pengajian pondok di Malaysia semakin maju pesat dan bertambah kualitas dibandingkan dengaan yang ada sekarang. Amin!