BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Umat Islam di daerah Nusantara
memang identik dengan praktek-praktek klenik. Salah satu yang sering
berlaku adalah mencukur rambut bayi yang baru lahir pada acara ‘aqîqah.
Sesuai dengan fiqh, ‘aqîqah
dilakukan bersamaan dengan mencukur seluruh rambut bayi tersebut (حلق), lalu ditimbang dan dibelikan
perak sebanyak timbangan tersebut lalu disedekahkan.[1]
Bagi daerah Nusantara, acara ‘aqîqah
yang dilakukan adalah sama seperti yang ada di dalam ilmu fiqh seperti
yang telah disebutkan, hanya saja dalam mencukur rambut bayi itu tidaklah
dilakukan dengan mencukur seluruh rambut, akan tetapi hanya sebagian.
Alasan yang diberikan juga tidak
jelas. Sesuatu yang pasti, praktek seperti ini dilakukan karena praktek inilah
yang sering terjadi di kalangan orang Nusantara, sehingga seolah-olah sudah
menjadi adat kebiasaan bagi mereka.
Sebagian orang Islam yang lain,
menganggap praktek ini adalah tidak benar, bid’ah, serta bertentangan dengan
sabda Nabi Muhammad SAW seperti yang akan dijelaskan dipembahasan nanti.
Mereka berhujjah, kalau memang ingin
melakukan pencukuran, ia haruslah dengan cara mencukur seluruh rambut bayi
tersebut. Rasulullah SAW melarang mencukur sebagian rambut dan membiarkan
sebagian yang lain.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Hadis tentang larangan
mencukur sebagian rambut (القزع).
2. Kritik terhadap
sanad, perawi, dan takhrîj hadis tersebut.
3. Kritik terhadap
matan, dan fiqh hadis tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Larangan Mencukur Sebagian
Rambut Bayi
Pada dasarnya, hadis
mengenai larangan mencukur sebagian rambut bayi ini ada beberapa riwayat, akan
tetapi di sini penulis akan memulai meneliti dari hadis yang paling pokok dalam
pembahasan ini:
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ
حَرْبٍ حَدَّثَنِي يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْقَزَعِ قَالَ
قُلْتُ لِنَافِعٍ وَمَا الْقَزَعُ قَالَ يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِيِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ (رواه المسلم في كتاب اللباس والزينة في باب
كراهة القزع)
(Telah
bercerita padaku dari Zuhair bin Harb, berkata telah bercerita padaku dari
Yahya yaitu anak lelaki Sa’îd dari ‘Ubaidillah, yang berkata ‘Umar bin Nâfi’
telah mengkabarkan padaku dari bapaknya dari Ibn ‘Umar bahwa sesungguhnya
Rasulullah SAW melarang dari melakukan “al-Qaza’”. Lalu ‘Umar bin Nâfi’
bertanya pada Nâfi’, “Apa itu al-Qaza’?”, Nâfi’ menjawab: “Dicukurnya sebagian
kepala anak dan ditinggalkan sebagian yang lain”).[2]
B.
Kritik Sanad, Perawi, dan Takhrîj Hadis
Hadis tersebut diriwayatkan Imam Muslim melalui jalur Zuhair bin Harb –
Yahya bin Sa’îd – ‘Ubaidillah – ‘Umar bin Nâfi’ – Nâfi’ – Ibn ‘Umar –
Rasulullah SAW. Skema sanad hadis tersebut adalah seperti ini:
Melihat sanad hadis
muslim ini, maka ada enam (6) perawi yang perlu untuk dipelajari:[3]
1.
Zuhair bin
Harb: Nama lengkapnya adalah Abû Khaitsamah Zuhair bin Harb bin Syadâd
al-Harsyî al-Nasâ`î. Seorang ulama tâbi’ al-tâbi’în yang besar. Beliau
bermukim di Baghdad dan wafat di sana pada tahun 234 H. Menurut penilaian ulama
tentang beliau: a. Yahya bin Mu’în [ثقة]; b. Abû Hâtim al-Râzî [صدوق]; c. al-Husain
bin Fahm [ثقة ثبت]; d. al-Nasâ`î [ثقة مأمون]; e. Ibn Hibbân [متقن
ضابط]; f. al-Khathîb [ثقة ثبت حافظ متقن].
2.
Yahya bin Sa’îd: Nama lengkapnya adalah Abû Sa’îd Yahya
bin Sa’îd bin Farrûkh al-Qaththân al-Tamîmî. Seorang tâbi’în
yang kecil yang bermukim dan wafat di Basrah pada tahun 198 H. Menurut
penilaian ulama tentang beliau: a. Ibn Mahdî [لا ترى
عيناك مثله]; b. Ahmad bin
Hanbal [إليه المنتهى في التثبت بالبصرة]; c. ‘Alî bin al-Madînî [ما رأيت أعلم بالرجال منه];
d. Abû Zar’ah al-Râzî [من الثقات الحفاظ]; e. Abû Hâtim al-Râzî [حجة حافظ]; f.
al-Nasâ`î [ثقة ثبت].
3.
‘Ubaidillah: Nama lengkapnya adalah Abû ‘Utsmân
‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Hafsh bin ‘Âshim bin ‘Umar bin al-Khathâb al-‘Adawî.
Bermukim dan wafat di kota Madinah. Tahun wafat adalah 147 H. Menurut penilaian
ulama tentang beliau: a. Yahya bin Mu’în [من الثقات]; b. al-Nasâ`î
[ثقة ثبت];
c. Abû Zar’ah al-Râzî [ثقة]; d. Abû Hâtim al-Râzî [ثقة]; e. Muhammad bin Sa’d [ثقة حجة]; f. Ahmad bin
Shâlih al-Mishrî [ثقة ثبت مأمون].
4.
‘Umar bin Nâfi’: Nasabnya adalah al-‘Adawî. Beliau
tidak sampai menemui para sahabat. Bermukim dan wafat di Madinah. Menurut
penilaian ulama tentang beliau: a. Ahmad bin Hanbal [من أوثق ولد نافع]; b. Yahya bin
Mu’în [ليس به بأس]; c. Muhammad bin Sa’d [ثبت]; d. Abû Hâtim al-Râzî [ليس به بأس]; e.
al-Nasâ`î [ثقة]; f. Ibn ‘Adî [ليس به بأس].
5.
Nâfi’: Nama lengkapnya adalah Abû ‘Abdillah Nâfi’
Maulâ bin ‘Umar al-Madanî. Beliau termasuk tâbi’în
tengah yang bermukim di Madinah. Wafat di Madinah pada tahun 117 H. Menurut penilaian ulama tentang beliau: a. Yahya
bin Mu’în [ثقة]; b. al-‘Ijlî [ثقة]; c. al-Nasâ`î [ثقة]; d. Ibn Khirâsy [ثقة]; e. Ahmad bin
Shâlih al-Mishrî [حافظ ثبت]; f. al-Khalâl [إمام متفق عليه صحيح
الرواية].
6.
Ibn ‘Umar: Nama lengkapnya adalah Abû ‘Abd al-Rahman
‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khathâb bin Nufail al-‘Adawî al-Qarsyî. Beliau
adalah salah satu sahabat Nabi. Bermukim di Madinah dan wafat di Marw al-Raudz
pada tahun 73 H. Menurut penilaian ulama terhadap sahabat Nabi adalah derajat al-‘adâlah
dan al-tautsîq tertinggi.
Hadis tentang larangan
mencukur sebagian rambut ini ternyata tidak hanya diriwayatkan Imam Muslim. Ia
juga diriwayatkan beberapa Imam Hadis yang lain. Berikut ini adalah takhrîj
hadisnya:[4]
1.
Imam
al-Bukhari; dalam kitab Sahihnya pada kitab al-libâs, no. 5465 dan 5466.
2.
Imam al-Nasâ`î;
dalam Sunan al-Nasâ`înya pada kitab al-zînah, no. 4964, 4965, 5133,
5134, 5135, dan 5136.
3.
Imam Abû Daud; dalam Sunan Abî Daudnya pada
kitab al-tarajjul, no. 3661 dan 3662.
4.
Imam Ibn Mâjah;
dalam Sunan Ibn Mâjahnya pada kitab al-libâs, no. 3627 dan 3628.
5.
Imam Ahmad bin
Hanbal; dalam Musnad Ahmad pada kitab musnad al-mukatstsarîn min al-Shahâbat,
no. 4243, 4732, 4928, 5102, 5289, 5291, 5358, 5509, 5582, 5717, 5935, 6012,
6132, dan 6170.
Setelah meneliti sanad
hadis ini, maka dapat disimpulkan bahwa hadis ini memiliki sanad yang muttashil[5]
dan marfû’[6].[7]
Hadis ini dapat diterima dan dijadikan hujjah karena ia bebas dari ‘illat
yang dapat menolak sebuah hadis, yaitu terputusnya sanad dan cacatnya perawi.[8] Ia
juga dikategorikan sahih, karena telah memenuhi lima (5) syarat: a. sambungnya
sanad; b. adilnya perawi; c. perawi yang dlâbit; d. tidak syâdz;
e. tidak terdapat ‘illat.[9]
Selain dari sanad ini,
Imam Muslim juga mendapatkan hadis yang sama dengan tiga (3) sanad berbeda. Akan
tetapi, penulis tidak akan membahas sanadnya lebih lanjut karena pada dasarnya
semua kembali kepada Nâfi’
dari Ibn ‘Umar, dari Nabi Muhammad SAW. Hanya saja, dalam riwayat lain hadis
ini, terdapat perbedaan matan. Perbedaannya hanya seputar penafsiran terhadap
kata al-qaza’. Kalau menurut riwayat yang pertama, penafsir kata al-qaza’
adalah Nâfi’, sedangkan riwayat yang lain adalah ucapan ‘Ubaidillah.[10]
C. Kritik Matan dan Fiqh Hadis
Sekilas, matan hadis
ini sudah jelas maknnya. Akan tetapi, ada sebuah kata yang perlu dibahas karena
ia jarang sekali digunakan. Kata tersebut adalah ‘al-Qaza’’ (القزع).
Menurut Imam Nawawi di
dalam kitab al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, kata al-Qaza’ adalah dengan
dibaca fathah huruf qaf (ق) dan huruf zainya (ز).[11]
Sesuai dengan tafsiran
yang ada di dalam matan hadis, maka al-qaza’ adalah [حلق[12]
بعض الرأس مطلقا] (mencukur
sebagian kepala secara mutlak). Menurut sebagian ulama yang lain, berpendapat
bahwa al-qaza’ adalah [حلق مواضع متفرقة منه] (mencukur tempat-tempat yang berbeda bagi
kepala). Imam Nawawi berpendapat bahwa yang paling shahîh adalah yang
pendapat yang awal, karena ia adalah tafsiran yang diberi perawi, serta ia
tidak bertentangan dengan . Maka wajib untuk beramal dengannya (memakainya).[13]
Menurut Ibn ‘Âbidîn, al-qaza’
adalah [أن يحلق البعض ويترك البعض قطعا مقدار ثلاثة
أصابع] (mencukur sebagian
rambut dan meninggalkan sebagian yang lagi pada bagian-bagian yang lain
kira-kira tiga jari). Begitulah menurutnya yang dinukil dari kitab al-Gharâ`ib.[14]
Secara fiqh, ulama
dari berbagai mazhab telah sepakat (اتفق/أجمع) bahwa melakukan qaza’ adalah
makruh. Perbedaan pendapat hanya terjadi seputar teknis qaza’ itu
sendiri. Menurut Imam Nawawi, kalau qaza’ dilakukan pada tempat yang
berbeda-beda, maka ulama sepakat akan kemakruhannya, serta makruhnya adalah
makruh tanzih. Seumpama qaza’ dilakukan untuk perubatan atau
sesamanya seperti untuk bekam dan lain-lain, maka hukum kemakruhannya sudah
hilang.[15]
Menurut Imam Malik,
kemakruhan tersebut hanya berlaku bagi jâriyyah dan gulâm secara
mutlak. Sebagian dari sahabat Imam Malik berpendapat bahwa mencukur di depan
dan di tengkuk, lalu meninggalkan yang lain bagi gulâm.[16]
Walaubagai
bagaimanapun, Imam Nawawi menegaskan bahwa menurut mazhab beliau, kemakruhan
tersebut berlaku secara mutlak bagi lelaki maupun perempuan karena umumnya
hadis tersebut.[17]
Ulama berbeda pendapat
terhadap ‘illat larangan tersebut yang menyebabkan makruh. Sebagian
berpendapat bahwa qaza’ merubah ciptaan Tuhan. Ada yang berpendapat ia
adalah hiasan syaitan. Ada lagi yang mengatakan ia adalah perhiasan orang
Yahudi. Ada riwayat dari Imam Daud bahwa qaza’ adalah perhiasan orang
tercela.[18]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Pada dasarnya,
hadis yang menerangkan pencukuran sebagian rambut ada banyak, akan tetapi yang diambil
sebagai bahan primer adalah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim.
2. Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim adalah berstatus sahih,
karena ia memiliki sanad yang muttashil. Hadis ini dapat diterima dan
dijadikan hujjah karena ia bebas dari ‘illat yang dapat menolak sebuah
hadis, yaitu terputusnya sanad dan cacatnya perawi.
3. Al-Qaza’ adalah mencukur sebagian rambut
dan membiar sebagian yang lain. Hukum melakukan qaza’ adalah makruh,
tidak sampai berstatus haram seperti anggapan sebagian orang. Maka dari itu,
memvonis pelaku qaza’ dengan bid’ah dan sesat adalah tidak dapat
dibenarkan karena ia hanya dihukum makruh. Walau bagaimanapun, menghindari
melakukan qaza’ adalah lebih baik daripada melakukannya.
.
DAFTAR
PUSAKA
‘Âbidîn, Ibn. Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr. Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987.
Mausu’ah
al-Hadîts al-Syarîf. (CD-ROM: Global Islamic Software Company, 2000).
Muslim.
Shahîh Muslim: Kitâb al-Libâs wa al-Zînah. Beirut: Dâr
al-Fikr, 2003.
al-Nawawi,
Ibn Yahya. al-Minhâj bi Syarh Shahîh Muslim. Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2002.
al-Ramlî, Muhammad
bin Syihâb al-Dîn. Nihâyat al-Mutâj `ila Syarh
al-Minhâj. Beirut:
Dâr al-Kutub
al-‘Alamiyyah, 1993.
al-Thahhân, Mahmûd. Taisîr Mushthalah al-Hadits. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..
Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi
al-Kuwait. Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah. Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.
[1] Muhammad bin
Syihâb al-Dîn al-Ramlî, Nihâyat al-Mutâj `ila Syarh
al-Minhâj (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1993) juz 8,
148.
[2]
Muslim, Shahîh
Muslim: Kitâb
al-Libâs wa
al-Zînah
(Beirut: Dâr al-Fikr,
2003), 1069.
[3] Mausu’ah
al-Hadîts
al-Syarîf
(CD-ROM: Global Islamic Software Company, 2000).
[4] Mausu’ah
al-Hadîts
al-Syarîf
[5]
Sebuah hadis yang sanadnya sambung sama ada ia berupa marfû’ atau mauqûf. Lihat: Mahmûd al-Thahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadits
(Beirut: Dâr al-Fikr,
t.t.), 111.
[6]
Sebuah hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dari segi ucapan,
pekerjaan, penetapan, atau sifat. Lihat: al-Thahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadits, 105.
[7] Mausu’ah
al-Hadîts
al-Syarîf
[8]
al-Thahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadits,
52.
[9]
al-Thahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadits,
30.
[10]
Muslim, Shahîh
Muslim: Kitâb
al-Libâs,
1069.
[11]
Ibn Yahya al-Nawawi, al-Minhâj
bi Syarh Shahîh
Muslim (Beirut: Dâr
Ibn Hazm, 2002), 1599.
[12]
Kata ‘حلق’ adalah ‘إزالة الشعر’
(menghilangkan rambut). Lihat: Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi
al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzârat al-Awqâf
al-Kuwaitiyyah, t.t.) vol. 18, 94.
[13]
al-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, 1599.
[14]
Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987), vol. 5, 261.
[15] Wuzârat
al-Awqâf, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, vol. 33, 165; al-Nawawi,
Syarh Shahîh Muslim, 1599.
[16]
Ibid.
[17]
Ibid.
[18]
Ibid.; Wuzârat
al-Awqâf, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, vol. 33, 165.
3 comments:
akh,kalau gini qaza bukan.atasnya di potong tapi yang pinggirnya dipotong lebih pendek agar rapih.
qaza' dimaksud mungkin yang lebih mengarah kepada potongan rambut yang malah membuat penampilan jadi terlihat aneh dan konyol....apakah potongan rambut ala barbershop yang rapi dan malah menambah kecakapan meski potongan rambut nya rata rata gundul di tepi dan agak panjang di tengah...itu di kategorikan qaza... maksud saya definisi qaza yang dimaksud rasulullah adalah identik dengan potongan ala barbershop atau beda dengan qaza dimaksud
assalammualaikum..boleh bantuk enggak berikan syarah hadis berkaitan qaza' menurut syarah kutub sittah
Post a Comment