1. Kisah Nabi Khidir AS dan nabi musa as
Sering terdengar dari klaim-klaim orang awam yang mengikuti tarikat, bahwa ada perkara-perkara yang keluar dari Syariat kadangkala boleh. Ini dikarenakan orang tersebut sudah sampai pada tingkatan hakikat atau ma’rifat. Hujjah yang dikeluarkan adalah kisah Nabi Musa dan Nabi
Pertanyaan
a. Benarkah apa yang diklaim oleh orang awam tarikat tadi?
b. Apakah makna sebenarnya dari kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir AS dalam Al Quran tersebut?
c. Apakah ilmu ladunni itu?
(Pon Pes Raudlatul Ulum, Kencong)
Jawaban
a. Klaim orang awam seperti itu adalah klaim yang tidak dapat dibenarkan bahkan klaim yang sesat lagi menyesatkan.
Catatan: Bagi orang yang majdzûb ketika sedang dalam jadzab dikecualikan dari ketentuan di atas karena mereka bukanlah dari golongan mukallaf. Walau bagaimanapun, orang majdzûb terbagi menjadi dua; 1- majdzûb yang tidak sampai pada “إختلال العقل” tetapi hanya sekadar “استتار العقل وتغطيته ” maka ia disamakan dengan orang yang lupa atau tidur. Oleh karena itu, setelah sadar ia wajib mengqadla kewajiban yang ditinggalnya ketika ia jadzab seperti solat, dan ia wajib mengganti harta milik orang lain seumpama ia merusaknya. 2- Majdzûb yang sampai pada “إختلال العقل” maka seumpama ia meninggalkan solat maka ia tidak berkewajiban mengqodlonya, akan tetapi seumpama merusak harta orang lain tetap berkewajiban menggantinya oleh si walinya.
/ R E F E R E N S I / | |||
01 | Kifatayat al-Atqiya’ hal. 12 | 04 | `Iânah al-Thâlibin vol.4 hal. 134 |
02 | Hasyiah al-Jamal ‘ala al-Manhaj vol. 3 hal. 613 | 05 | `Inaratu al-Duja hal. 209 |
03 | Fath al-Bari Syarh al-Bukhari vol. 1 hal. 221 | 06 | Umdatul Fudhala` hal. 121 |
b. Makna yang terkandung dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidlir banyak sekali yang bisa kita petik diantaranya:
1- Pentingnya mencari ilmu kepada ahlinya sekalipun ia sudah pada tingkatan yang lebih tinggi dari orang yang mengajarnya.
2- Terbaginya ilmu menjadi dua macam: a) ilmu muktasab yang bisa didapatkan dengan upaya pencarian (belajar); b) ilmu ladunni yang dianugrahkan oleh Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya.
3- Sikap sabar terhadap gurunya ketika dalam pencarian ilmu, sebab kesabaran itu merupakan salah satu kunci keberhasilan.
4- dan lain-lain.
/ R E F E R E N S I / | |||
01 | Fath al-Qadir vol. 4 hal. 408 | 02 | Taisir al-Lathif al-Mannan vol. 1 hal. 442 |
c. Ilmu ladunni adalah ilmu yang diberikan oleh Allah kepada seseorang tanpa melalui proses belajar atau perantara. Ilmu ini dianugrahkan kepada orang-orang yang mengamalkan ilmunya disertai dengan kebeningan hati dan melakukan riyadlah dan mujahadah.
/ R E F E R E N S I / | |||
01 | al-Bahru al-Madid vol. 4 hal. 256 | 02 | Tafsir Fakhru al-din al-Rozi vol. 21 hal. 150 |
2. Lupa hafalan al-qur’an
Sering kami dengar dari kebanyakan santri-santri penghafal Al Quran di banyak Pesantren, yang katanya juga menurut guru-gurunya (kyainya), bahwa orang yang saat menghafalkan Al Qurannya tidak diniati menghafal (ya mungkin diniati membaca terus biar lancar, lalu karena saking biasanya, menjadi hafal sendiri), orang tersebut bila sampai lupa hafalannya tidak dihukumi berdosa. Sehingga banyak juga santri yang menggunakan metode ini ketika menghafal Al Quran.
Pertanyaan
a. Apakah anggapan tersebut memang ada dasarnya (dapat dibenarkan menurut fiqh)?
b. Sejauh manakah batasannya orang dianggap lupa hafalan Al Quran yang dihukumi berdosa?
(Pon Pes Darussalam, Sumbersari)
Jawaban
a. Anggapan tersebut tidak ditemukan dasarnya (tidak bisa dibenarkan).
/ R E F E R E N S I / | |||
01 | Bariqah Mahmudiyah vol. 4 hal. 195 | 02 | Faidl al-Qadir vol. 4 hal. 414 |
b. Lupa yang dimaksud dalam ancaman dosa terjadi khilaf dikalangan ulama; 1- hilangnya hafalan dikarenakan sembarangan (semberono) dan yang dimaksud lupa di sini adalah sekiranya sulit untuk mengembalikan ingatannya. Adapun lupa-lupa ingat yang masih bisa dikembalikan tanpa bersusah-payah semisal dengan mendengarkan bacaan orang lain maka tidak termasuk dalam ancaman dosa. 2- tidak mengamalkan kandungan al-Qur’an.
/ R E F E R E N S I / | |||
01 | al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah vol. 1 hal. 36 | 04 | al-Fawaid al-Makkiyyah hal. 15 |
02 | Hasyiah al-Jamal vol. 1 hal. 446 | 05 | Syarh al-Zurqani vol. 2 hal. 17 |
03 | al-Zawajir vol. 1 hal. 201 | 06 | Fatawa al-Azhar vol. 8 hal. 34 |
3. Antara syariat dan tradisi
Tradisi penduduk di
Pertanyaan
a. Bolehkah kita, dalam pandangan kaca mata fiqh mengikuti tradisi tersebut?
b. Apakah bila berkeyakinan pada kejadian di atas (pesan dalam mimpi) itu termasuk kufur?
c. Bagaimana pula hukumnya membangun kembali pada kuburan yang ambrol seperti diskripsi di atas?
(Pon Pes al-Miftah, Biro Puncu)
Jawaban
a. Sebenarnya pembahasan no. 3 belum terbahas secara total karena keterbatasan waktu. Hanya saja yang sudah bisa disepakati adalah: mengenai hukum asal perbaikan kuburan tanpa terkait dengan adat-adat yang lain dan hukum yang disepakatinya adalah mubah.
/ R E F E R E N S I / | |||
01 | Asna al-Mathalib vol. 1 hal. 332 | 03 | Nihayatuz Zain hal. 163 |
02 | Hasyiah al-Jamal vol. 4 hal. 14 | | |
No comments:
Post a Comment