BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama yang diturunkan Allah kepada makhluk-Nya melalui Rasulallah SAW sebagai agama terakhir atau final, sekaligus sebagai satu-satunya agama yang benar. Sebagai agama yang benar dan terakhir, maka Allah membekali makhluk-Nya dengan Alquran, yang mana dalam hal ini, Alquran haruslah mampu menjawab segala sesuatu persoalan yang timbul.
Dengan dasar ini, banyak persoalan yang muncul tentang Allah itu sendiri, akan tetapi banyak yang hanya mampu menjawab secara rasio, bukan memakai Alquran. Kalaupun ada yang memakai Alquran, sering sekali tafsir dari ayat tersebut terlupakan. Tafsir sangat diperlukan di dalam memaknai ayat Alquran karena memandang ada yang masih sangat kontroversi (sulit difahami) seperti ayat-ayat musyâbihât.
Maka dari itu, demi memahami ayat-ayat yang ada kaitannya dengan Allah, perlulah dibahas pentafsiran ayat-ayat tersebut berdasarkan pendapat dan riwayat dari para sahabat maupun tabiin.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Tafsir ayat-ayat sifat Allah.
2. Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang terpuji terhadap Allah.
3. Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang tercela terhadap Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Ayat-Ayat Sifat Allah
Pada dasarnya, wajib menetapkan segala sifat kesempurnaan terhadap Allah, dan membersihkan segala sifat kekurangan terhadap-Nya. Allah juga memiliki sifat jawâz (boleh dan tidak) melakukan sesuatu perkara. Akan tetapi, menurut `Asyâ’irah dan Mâthurîdiyyah, sifat yang wajib diketahui secara terperinci adalah dua puluh (20) sifat.[1]
Memandang 20 sifat itu sangat banyak untuk dibahas penafsiran setiap ayat Alquran yang menjadi dalil baginya, maka sifat (tafsir ayat sifat tersebut) yang akan dibahas hanyalah sifat: 1. al-Baqâ` (البقاء) yang berarti tetap; 2. al-Mukhâlafah li al-Hawâdits (مخالفة للحوادث) yang berarti berbeda dengan makhluk; 3. Al-Kalâm (الكلام) yang berarti Maha berbicara.
Bagi yang pertama (1), yaitu sifat al-Baqâ` (البقاء), dalil Alquran sifat ini berdasarkan pada ayat:
"وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (القصص 88)"
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya (Allah). Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.[2]
Imam Ibn Katsîr berpendapat bahwa ayat {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} itu mengkabarkan bahwa sesungguhnya Allah SWT itu adalah Zat yang kekal (الدائم), tetap (الباقي), hidup, yang berdiri dengan sendiri-Nya, yang mematikan makhluk-Nya, dan Zat yang tidak akan mati. Ini seperti yang ditegaskan Allah SWT pada ayat {كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ}. Kata {وجه} di sini berarti Zat yaitu Allah. Dalam Hadis sahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulallah SAW pernah bersabda: “Aku membenarkan kalimat yang dilantunkan seorang penyair {ألا كل شيء ما خلا الله باطل}.[3] Dr. Wahbah al-Zuhailî melanjutkan bahwa ayat ini juga menetapkan bahwa segala sesuatu yang baru (حادث) itu pasti rusak dan akan hilang.[4]
Imam al-Thabarî berkata bahwa ada sebagian ulama berpendapat bahwa makna ayat ini adalah segala sesuatu itu pasti rusak kecuali apa yang diingini oleh Allah.[5]
Menurut tafsirannya Ibn ‘Abbâs, yang dimaksud dengan ayat {كل شيء هالك إلا وجهه} adalah segala amal yang bukan karena Allah, itu ditolak kecuali yang ditujukan kepada Allah. Juga ditafsiri dengan segala zat itu pasti berubah kecuali Zat Allah, dan segala kerajaan pasti hilang kecuali kerajaan Allah.[6]
Sifat yang kedua (2) adalah al-Mukhâlafah li al-Hawâdits (مخالفة للحوادث), sedangkan dalil Alqurannya adalah ayat:
"وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (الإخلاص 4)"
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.[7]
Sebab turunnya surah al-`Ikhlas ini adalah pada saat orang-orang musyrik berkata pada Nabi Muhammad SAW: “Ya Muhammad! Ceritakan kami nasab Tuhan kamu!, maka Allah menurunkan ayat { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)}”. Dari riwayat yang lain mengatakan bahwa ada segolongan orang Yahudi yang datang menemui Nabi Muhammad SAW lalu berkata: “Sifatilah kepada kami Tuhan kamu, karena sesungguhnya Allah menurunkan sifat-Nya di dalam Taurat. Maka kabarilah kami dari apakah Dia? Dari jenis apakah Dia? Emaskah, tembagakah, atau perakkah? Apakah Dia makan dan minum? Dari siapakah diwariskan dunia, dan kepada siapakah Dia akan mewariskan dunia?”. Maka Allah menurunkan surah ini yang hanya dinisbatkan kepada Allah sahaja.[8]
Dari segi bacaan, lafaz {كُفُوًا} itu dibaca sesuai dengan bacaan Imam Hafsh. Bagi bacaan imam selainnya, mereka membacanya dengan {كُفُؤاً}.[9]
Dari segi makna perlafaznya, kata {كفوا} memiliki arti yang menyamai (مكافئا ومماثلا). Jadi makna kalimatnya adalah “tidak ada satupun yang menyamai-Nya (أنه لم يكن أحد يكافئه)”, seperti istri dan selainnya.[10]
Tafsir yang dikeluarkan Ibn Katsîr bagi ayat ini adalah Allah SWT tidak memiliki istri. Ini juga selaras dengan pendapat Mujâhid yang berdalilkan ayat {بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}[11], yaitu Allah adalah Raja segala sesuatu dan Sang Pencipta, bagaimana Allah bisa memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya?, atau hampir menyamai-Nya?[12]
Dr. Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini digunakan untuk membatalkan keyakinan orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa Allah itu memiliki sepadan di dalam pekerjaan-Nya, sehingga mereka menjadikan malaikat sebagai teman (sahabat) bagi Allah, serta patung-patung dan berhala adalah sepadan dengan Allah. Ini juga didasari oleh ayat Alquran yang lain: 6:101, 19:92-95, dan 21:26-27.[13] Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini menolak semua akidah yang sesat seperti 1) al-Tsanawiyyah yang berpendapat wujudnya Tuhan dua bagi alam yaitu siang dan malam; 2) Kristen yang berpendapat Tuhan tiga (trinitas); 3) al-Shâbi`ah yang menyembah langit dan bintang; 4) Yahudi yang mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah; 5) Orang musyrik yang berpendapat bahwa sesungguhnya malaikat adalah anak perempuan Allah.
Menurut Imam al-Thabarî, ahli pentakwil berbeda pendapat dalam menafsiri ayat ini. Ada sebagian dari mereka yang berpendapat maknanya adalah “tidak ada yang menyerupai atau menyamai Allah (ولم يكن له شبيه ولا مثل)”. Sebagian yang lain berpendapat Allah tidak memiliki istri. Sedangkan secara bahasa, kata {الكُفُؤُ والكَفِيءُ والكِفَاءُ} memiliki arti yang sama yaitu “المثل والشبه”.[14]
Sifat yang ketiga (3) adalah al-Kalâm (الكلام), sedangkan dalil Alqurannya adalah ayat:
"وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا (النساء 164)"
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.[15]
Dr. Wahbah al-Zuhailî menerangkan bahwa ayat ini menunjukkan keistimewaan Nabi Musa AS yang mendapat gelar Kalîm Allah. Ini didasari oleh Ayat {وكلم الله موسى تكليما} yaitu berbicara yang benar secara hakiki dengan tanpa perantara. Sedangkan sifat al-Kalâm Allah kepada para nabi yang lain, itu disebut dengan wahyu. Ini berdasarkan ayat { وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ }. Hikmah dibalik hijab; adalah bertujuan memerhatikan perkara yang penting kepada hanya satu perkara. Sedangkan yang bertugas untuk mengirim wahyu dengan izin Allah adalah Jibril AS, yaitu malaikat wahyu, yang dikenal dengan Ruh Amin.[16]
Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî menjelaskan bahwa ayat ini bertujuan menolak ucapan orang Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya kamu tidak ingat Nabi Musa AS serta apa yang kamu hitung dari kalangan nabi-nabi. Maka ini adalah dalil bahwa kamu tidak membawa risâlah”. Maka Allah menolak tersebut dengan menurunkan ayat ini dan setelahnya. Selanjutnya, al-Shâwî menafsiri lafaz {وكلم الله موسى} dengan menegaskan bahwa Allah SWT menghilangkan hijab sehingga Musa AS mampu mendengarkan kalam Allah, dan Allah SWT bukanlah Zat yang diam (ساكتا), lalu baru berfirman, karena sesungguhnya perkara tersebut itu adalah mustahil bagi Allah SWT.[17] Kata {تكليما} itu adalah masdar mu`akkad bagi firman {كلم}. Tujuan memperkuat hukum adalah agar menghilangkan kemungkinan dimaknai dengan majâz bagi lafaz tersebut, karena Allah SWT itu berfirman kepada Musa AS dengan firman-Nya yang Azali, Qadîm, dengan tanpa huruf, bukan berupa suara, tidak dapat digambarkan, tidak dibatasi, dan tidak ada yang mengerti kecuali Allah.[18]
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan bahwa ayat ini tidak menunjukkan dengan keistimewaan Musa ini, berarti merendahkan derajat dan keistimewaan nabi-nabi yang lain. Begitu juga ayat ini bukan merendahkan nabi yang mendapat risâlah tidak dengan jalan sekali turun seluruhnya (seperti yang didapatkan Nabi Musa AS).[19]
B. Tafsir Ayat tentang Akhlak yang Terpuji terhadap Allah
Dalam Alquran, juga disebutkan beberapa akhlak (budi pekerti) yang terpuji terhadap Allah. Salah satu yang paling utama adalah syukur. Masalah syukur ini disebut di dalam Alquran pada ayat:
"فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (البقرة 152)"
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kemu mengingkati (ni’mat)-Ku.[20]
Dalam menerangkan konsep syukur bagi ayat ini, Imam Ibn Katsîr menerangkan di dalam tafsirnya bahwa ayat {وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ} itu adalah sebuah perintah Allah untuk bersyukur kepada-Nya, dan syukur tersebut dilaksanakan dengan menambahkan kebaikan. Dari ini Allah berfirman {وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ}[21]. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sebuah hadis yang datang dari Abû Rajâ` al-‘Uthâridî yang menceritakan bahwa “‘Imrân keluar menemuiku, dan ‘Imrân membawa sepotong kain dari sutera (مطرف من خز) yang belum pernah aku melihat sebelum ini dan setelahnya, lalu ‘Imrân berkata: sesungguhnya Rasulallah SAW bersabda: Barangsiapa yang Allah memberi nikmat kepadanya dengan sebuah nikmat, maka Allah itu menyukai untuk diperlihatkan efek dari nikmat tersebut dari makhluk-Nya”.[22]
Menurut Imam al-Thabarî, ayat ini menyuruh orang-orang mukmin agar bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka, yaitu berupa Islam, atau hidayah berupa agama yang telah disyariatkan bagi nabi-nabi Allah serta kekasih-Nya.[23] Lalu Allah memerintahkan untuk tidak melakukan kekufuran (tidak bersyukur) terhadap kebaikan Allah kepada mereka (mukmin), niscaya Allah akan merampas nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Sebaliknya kalau mereka bersyukur, maka Allah akan menambah lalu menyempurnakan nikmat-Nya terhadap mereka, dan Allah akan memberi mereka hidayah seperti hidayah yang diberikan kepada hamba-Nya yang diridai-Nya. Selanjutnya, Imam al-Thabarî menjelaskan bahwa makna syukur di sini adalah memuji.[24]
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhailî, Allah memerintahkan untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada orang mukmin dengan cara hati, lisan, dan mengunakan segala anggota pada apa yang dijadikan Allah bagi anggota tersebut untuk melakukan kebaikan dan kemanfaatan. Orang mukmin dilarang mengkafiri nikmat ini dengan cara memalingkan penggunaan anggota tersebut menuju apa yang dilarang syariat. Akal sehat juga tidak dapat menerima kekufuran tersebut. Sesungguhnya kalau perbuatan itu bagus, maka baguslah balasannya, dan kalau perbuatan itu tercela, maka tercelalah balasannya. Ini seperti ayat: {وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ}.[25]
Tafsiran ayat ini menurut tafsir Jalâlain, al-Khâzin, dan al-Nawawî, bahwa menysukuri nikmat Allah itu adalah dengan cara melakukan ketaatan kepada Allah.[26] Sedangkan Imam Zamakhsyarî cuma menafsiri dengan bersyukur atas nikmat yang telah dikurniakan Allah kepada mukmin.[27]
Selain dari syukur, salah satu akhlak yang terpuji terhadap Allah adalah tawakal. Konsep ini terdapat dalam Alquran pada ayat:
"وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (الطلاق 3)"
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.[28]
Kata {بالغُ أمرِه} adalah bacaaan Imam Hafsh. Bagi bacaan imam selainnya adalah {بالغٌ أمرَه}.[29]
Ibn Mardawaih dan al-Khathîb meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, “Sesungguhnya ayat ini[30] turun pada seorang anak dari Auf bin Mâlik yang ditawan musuh, lalu dia dan istrinya memperbanyak membaca kalimat [لا حول ولا قوة إلا بالله]. Lalu musuh yang menawan anaknya lengah dalam menjaganya, sehingga anak itu berhasil melarikan diri dengan membawa kambing-kambing musuh dan diserahkannya kepada ayahnya. Lalu turnlah ayat ini”.[31]
Imam al-Khâzin menafsiri kata {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} dengan mengatakan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah pada apa yang diwakilkan kepadanya (dipinjamkan Allah kepadanya), maka Allah akan mencukupkan apa yang lebih penting bagi orang tersebut. al-Khâzin juga menambahkan dengan dukungan Hadis: Rasulullah SAW bersabda: “Adaikan kamu bertawakal (menyerah) kepada Allah dengan sungguh-sungguh niscaya Allah akan memberi rizqi kepadamu sebagaimana burung yang keluar pagi dengan perut kosong (lapar) dan kembali senja hari sudah kenyang”.[32]
Dalam kitab Tanwîr al-Miqbâs, lafaz {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} itu bermakna “barangsiapa yang percaya dengan Allah dalam masalah rezeki, maka Allah akan mencukupinya”.[33]
Dr. Wahbah al-Zuhailî menambah dari pendapat kitab Tanwîr al-Miqbâs dengan qayyid setelah orang tersebut melakukan usaha untuk mencari rezeki. Setelah wujudnya usaha ini barulah Allah akan mencukupkan apa yang paling penting bagi orang tersebut dalam semua hal. Ini dikarenakan Allah adalah Zat yang Maha mampu pada segala sesuatu (القادر على كل شيء), yang Maha kaya. Apabila datangnya rezeki dan selainnya itu dari perkara yang tidak akan ada kecuali dengan takdir Allah, maka seseorang tidak akan disebut sebagai orang yang memiliki akal kecuali apabila ia percaya kepada takdir Allah. Ini didasari dengan firman Allah {وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ}[34]. Hujah ini adalah sebagai dalil tentang wajibnya bertawakal kepada Allah dan memasrahkan segala perkara kepada-Nya.[35]
Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî menjelaskan makna dari tawakal adalah memberi/memasrahkan masalah-masalah kepada Allah. Selanjutnya, al-Shâwî menjelaskan bahwa melakukan beberapa sebab (usaha) agar tercapai apa yang diingini, itu tidak bertentangan dengan tawakal, karena sesungguhnnya melakukan sebab (uasaha) di sini adalah yang diperintah. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tidak muktamad bergantung pada sebab-sebab tadi.[36]
C. Tafsir Ayat tentang Akhlak yang Tercela Terhadap Allah
Selain dari akhlak yang terpuji terhadap Allah, terdapat juga akhlak yang tercela terhadap Allah. Dari sekian banyak akhlak yang tercela terhadap Allah, syirik adalah yang paling tercela. Syirik disebut di dalam Alquran pada ayat:
"إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (النساء 48)"
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.[37]
Kata {ويغفر} adalah bermakna menutup dosa (ستر الذنب). Sedangkan {المغفور له} adalah orang yang dimasukkan ke dalam syurga dengan tanpa dosa, dan orang mukmin yang diseksa sebab dosanya lalu dimasukkan ke syurga. Kata {افْتَرَى} berarti membuat (اختلق), mengerjakan (اعتمل), atau berbuat (ارتكب). Kata {إثما عظيما} adalah dosa besar (ذنب كبير).[38]
Sebab turunnya ayat ini dikeluarkan Ibn `Abî Hâtim dan al-Thabrânî yang diceritakan dari `Abî Ayûb al-`Anshârî, berkata: “Seorang lelaki datang menemui Nabi SAW lalu berkata: sesungguhnya aku memiliki anak saudara lelaki yang tidak berhenti melakukan dosa, lalu Nabi Muhammad SAW bertanya: Apa agamanya? Dia pun menjawab: Anak itu sholat dan mentauhidkan Allah. Nabi baerkata: mintalah dia memberikan agamanya, kalau dia menolak, maka belilah agamanya. Lalu orang tersebut melakukan perintah Nabi, dan ternyata anak itu menolak. Maka lelaki itu datang menemui Nabi Muhammad SAW dan mengkabari beliau, dan lelaki itu berkata: aku menemui kalau anak itu kikir/lokek akan agamanya. Maka turunlah ayat ini”.[39]
Imam Ibn Katsîr dalam menafsiri ayat ini dengan mengunakan banyak sekali hadis. Salah satu yang menarik adalah hadis kedua yaitu perkataan `Abû Bakar al-Bazzâr di dalam musnadnya: Ahmad menceritakan dari Zâidah al-Namrî dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Kezaliman itu ada tiga, (1) zalim yang tidak diampuni Allah, (2) zalim yang diampuni Allah, (3) zalim yang Allah tidak meninggalkan darinya sesuatu apapun (لا يترك الله منه شيئا). Zalim yang tidak diampuni Allah adalah syirik, dan Nabi Muhammad SAW bersabda ‘إن الشرك لظلم عظيم’. Zalim yang kedua adalah zalimnya hamba terhadap dirinya sendiri yang berhubungan dengan Allah. Zalim yang ketiga adalah zalimnya hamba terhadap sesama mereka sehingga terjadi hutang (material maupun non material) yang belum dilunasi di antara mereka”.[40]
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhailî, ayat ini mengkabarkan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, yaitu dosa pelaku kesyirikan. Yang diingini dengan syirik di sini adalah mutlak kekufuran yang terkandung di dalamnya kekufuran orang Yahudi dan lainnya. Allah juga akan mengampuni dosa selainnya bagi hamba yang diingini-Nya. Selanjutnya, Dr. Wahbah al-Zuhailî juga mengeluarkan sebuah `Atsâr yang diambil dari al-Turmudzî, bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Tidak ada di dalam al-Qur’an ayat yang lebih aku sukai daripada ayat ini, yaitu {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا}”.[41]
Imam al-Thabarî mengatakan bahwa Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadap-Nya dan kekufuran. Allah akan mengampuni orang-orang yang berbuat dosa selain syirik. Ayat ini juga mejelaskan bahwa setiap pelaku dosa besar, mungkin diampuni oleh Allah kalau Allah menghendakinya, atau meyiksanya selagi bukan dosa besar berupa syirik yang mana tidak akan diampuni.[42]
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan bahwa ayat ini memasukkan golongan Yahudi ke dalam golongan musyrik (orang yang melakukan syirik) menurut ‘urf syarak. Alasan ini didasari dari penalaran, kalau memang Yahudi bukan yang melakukan syirik (karena mereka memang masih percaya Tuhan itu satu), maka pastilah mereka diampuni dosa mereka sesuai dengan hukum ayat ini. Sedangkan secara ijmak, Yahudi itu bukanlah golongan yang diampuni. Maka atas dasar ini, Yahudi digolongkan di dalam golongan musyrik.[43]
Syaikh Nawawî al-Jâwî menjelaskan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang melakukan syirik adalah bagi orang yang tetap dengan sifat kekufuran tersebut dengan tanpa melakukan taubat dan iman. Allah akan mengampuni dosa besar maupun kecil yang selain syirik walaupun tanpa taubat. Sedangkan melakukan syirik lalu bertaubat, maka tetap akan diampuni kalau memang dikehendaki Allah. Pendapat ini juga dikeluarkan Imam Zamakhsyarî. Pendapat ini berdasarkan hadis kisah seorang hamba bernama Wahsyi masuk Islamnya tetap diterima walaupun dia juga yang melakukan pembunuhan terhadap paman Nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Hamzah.[44]
Selanjutnya, akhlak yang tercela terhadap Allah adalah al-nifâq atau orang tersebut digelar munafik (منافق). al-Nifâq digolongkan ke dalam akhlak yang tercela terhadap Allah adalah sesuai dengan ayat:
"إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا (النساء 142)"
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.[45]
Imam Ibn Katsîr dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa pada awal surah al-Baqarah, Allah SWT berfirman: {يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا}, lalu di sini firman-Nya {إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ}. Tidak diragukan lagi bahwa Allah SWT itu tidak dapat ditipu. Allah Maha mengetahui rahsia-rahsia dan apa yang tersimpan. Akan tetapi, orang munafik karena kebodohan mereka itu berkeyakinan bahwa masalah mereka itu seperti apa yang disangka manusia. Mereka melakukan hukum syariat secara lahir. Begitu juga hukuman mereka di hari kiamat menurut Allah. Pada hari kiamat nanti mereka akan bersumpah bahwasanya mereka itu istiqâmah dan benar. Mereka juga akan beriqtikad kalau perkara tersebut dapat memberi manfaat pada mereka, seperti firman Allah { يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيَحْلِفُونَ لَهُ كَمَا يَحْلِفُونَ لَكُمْ }. Akan tetapi, Allah SWT lebih tinggi dari mereka, dan Allah akan membuat mereka tidak mendapatkan yang hak dan sampai kepada Allah SWT di dunia dan akhirat. Ini seperti firman Allah SWT dalam Alquran 57:13-15.[46]
Dalam kitab Tanwîr al-Miqbâs, lafaz {المنافقين} itu dinisbatkan kepada Abdullah bin `Ubai dan sahabat-sahabatnya. Mereka menipu Allah secara diam-diam dan menyangka kalau berjaya menipu Allah. Padahal Allah akan menipu mereka pada hari kiamat nanti di sisi al-Shirâth.[47]
Dalam menyikapi tafsir ayat ini, Dr. Wahbah al-Zuhailî memberi kesimpulan dengan beberapa poin. Menurutnya, ayat ini menunjukkan:
1. al-Nifâq dan al-Riyâ` itu adalah dua perkara yang berlaku pada setiap umat dan zaman. al-Nifâq: merahsiakan kekufuran, dan memperlihatkan keislaman. al-Riyâ` memperlihatkan kebaikan, demi dilihat manusia, bukan karena mengikuti perintah Allah.
2. Orang munafik menipu Allah, sebenarnya Allah yang mempermainkan mereka.
3. Orang munafik melakukan hukum syarak di dunia secara lahir. Sedangkan di akhirat, orang mukmin dan munafik akan diberi cahaya. Maka orang munafik akan suka dan menyangka mereka itu beruntung. Akan tetapi pada waktu mereka sampai di al-Shirâth maka padamlah semua cahaya orang munafik.
4. Salah satu sifat orang munafik adalah solat dengan riyâ`. Mereka malas melakukan solat, dan tidak mengharapkan pahala, serta menganggap tidak akan diseksa kalau meninggalkannya. Dalam hadis sahih “إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ”.[48]
5.
BAB III
KESIMPULAN
1. Sifat al-Baqâ` Allah SWT berdasarkan pada ayat {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} ditafsiri dengan berbagai tafsiran, akan tetapi, ulama sepakat bahwa berdasarkan ayat ini Allah adalah Zat yang kekal, sedangkan sesuatu yang baru itu pasti rusak/hilang; sifat al-Mukhâlafah li al-Hawâdits berdasarkan pada ayat {وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ }, yaitu Allah tidak memiliki istri, maupun yang menyamainya; sifat al-Kalâm yang berdasarkan pada ayat {وكلم الله موسى تكليما} yaitu Allah memiliki sifat berfirman seperti firmannya Allah kepada Nabi Musa AS secara hakiki dengan tanpa huruf maupun suara, sedangkan firman Allah kepada nabi yang lain adalah melalui wahyu atau perantara malaikat Jibril AS.
2. Akhlak terpuji terhadap Allah adalah syukur dan tawakal, berdasarkan ayat {وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ} yaitu perintah untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada makhluknya; dan ayat {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} yaitu barangsiapa yang memasrahkan masalahnya kepada Allah dengan usaha Allah akan memenuhi keperluan yang paling penting baginya, walaupun usaha bukanlah satu-satunya jalan untuk berhasil.
3. Akhlak tercela terhadap Allah adalah syirik dan al-nifâq, berdasarkan ayat{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا}, yaitu Allah akan mengampuni segala dosa kecuali syirik yang sampai akhir hayatnya tanpa melakukan taubat; sedangkan ayat al-nifâq adalah {إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ}, yaitu orang munafik menipu Allah di dunia, akan tetapi nanti Allah yang akan mempermainkan mereka di akhirat kelak.
[1] Muhammad bin ‘Ali Bâ’athiyyah al-Da’aniyyi, Mûjaz al-Kalâm Syarh ‘Aqîdah al-‘Awâm (Surabaya: Dâr al-Saqâf, 2002), 52.
[2] al-Qur’an, 28:88.
[3] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Bulaq: al-Halabî, t.t.), vol.3, 403.
[4] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 10, 547.
[5] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 6, 53.
[6] Ibn Ya’qûb al-Fairûz`abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 245.
[7] al-Qur’an, 112:4.
[8] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 866.
[9] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 867.
[10] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 868.
[11] al-Qur’an, 6:101.
[12] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Bulaq: al-Halabî, t.t.), vol.4, 570.
[13] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 869.
[14] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 7, 583.
[15] al-Qur’an, 4:164.
[16] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 383.
[17] Dalam arti, Allah pada dasarnya memang berfirman. Hanya saja Nabi Musa AS belum bisa mendengarkan firman-Nya, karena masih terdapat hijâb.
[18] Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyyah al-‘Alâmah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain (Semarang: Maktabah Thaha, t.t.), vol. 1, 259.
[19] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 6, 109.
[20] al-Qur’an, 2:152.
[21] al-Qur’an, 14:7.
[22] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol.1, 292.
[23] Ini dikarenakan berhubungan dengan ayat sebelumnya, yaitu “كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آَيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُون”.
[24] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 1, 434.
[25] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 1, 396.
[26] al-Jalâlain, Tafsîr al-Jalâlain bi Hâmisy Hâsyiyyah al-‘Alâmah al-Shâwî (Semarang: Maktabah Thaha, t.t.), vol. 1, 69; al-Khâzin, Tafsîr al-Khâzin (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 95; Muhammad Nawawî al-Jâwî, Marâh labîd-Tafsîr al-Nawawî (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 40.
[27] Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 323.
[28] al-Qur’an, 65:3.
[29] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 14, 647.
[30] Lebih lengkap ayat ini adalah { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا}.
[31] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 14, 650.
[32] al-Khâzin, Tafsîr al-Khâzin (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 4, 280.
[33] Ibn Ya’qûb al-Fairûz`abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 358.
[34] al-Qur’an, 8:13.
[35] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 110.
[36] Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyyah al-‘Alâmah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain (Semarang: Maktabah Thaha, t.t.), vol. 4, 215.
[37] al-Qur’an, 4:48.
[38] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 110.
[39] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 110.
[40] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol. 1, 770.
[41] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 111.
[42] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 1, 770.
[43] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 6, 123.
[44] Muhammad Nawawî al-Jâwî, Marâh labîd-Tafsîr al-Nawawî (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 153; Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 532.
[45] al-Qur’an, 4:142.
[46] “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu. Dikatakan (kepada mereka): Kembalilah kamu kebelakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu). Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa * Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mu’min) seraya berkata: Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu? Mereka menjawab: Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu * Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali”.
[47] Ibn Ya’qûb al-Fairûz`abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 67.
[48] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 344.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama yang diturunkan Allah kepada makhluk-Nya melalui Rasulallah SAW sebagai agama terakhir atau final, sekaligus sebagai satu-satunya agama yang benar. Sebagai agama yang benar dan terakhir, maka Allah membekali makhluk-Nya dengan Alquran, yang mana dalam hal ini, Alquran haruslah mampu menjawab segala sesuatu persoalan yang timbul.
Dengan dasar ini, banyak persoalan yang muncul tentang Allah itu sendiri, akan tetapi banyak yang hanya mampu menjawab secara rasio, bukan memakai Alquran. Kalaupun ada yang memakai Alquran, sering sekali tafsir dari ayat tersebut terlupakan. Tafsir sangat diperlukan di dalam memaknai ayat Alquran karena memandang ada yang masih sangat kontroversi (sulit difahami) seperti ayat-ayat musyâbihât.
Maka dari itu, demi memahami ayat-ayat yang ada kaitannya dengan Allah, perlulah dibahas pentafsiran ayat-ayat tersebut berdasarkan pendapat dan riwayat dari para sahabat maupun tabiin.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Tafsir ayat-ayat sifat Allah.
2. Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang terpuji terhadap Allah.
3. Tafsir ayat yang berkaitan dengan akhlak yang tercela terhadap Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Ayat-Ayat Sifat Allah
Pada dasarnya, wajib menetapkan segala sifat kesempurnaan terhadap Allah, dan membersihkan segala sifat kekurangan terhadap-Nya. Allah juga memiliki sifat jawâz (boleh dan tidak) melakukan sesuatu perkara. Akan tetapi, menurut `Asyâ’irah dan Mâthurîdiyyah, sifat yang wajib diketahui secara terperinci adalah dua puluh (20) sifat.[1]
Memandang 20 sifat itu sangat banyak untuk dibahas penafsiran setiap ayat Alquran yang menjadi dalil baginya, maka sifat (tafsir ayat sifat tersebut) yang akan dibahas hanyalah sifat: 1. al-Baqâ` (البقاء) yang berarti tetap; 2. al-Mukhâlafah li al-Hawâdits (مخالفة للحوادث) yang berarti berbeda dengan makhluk; 3. Al-Kalâm (الكلام) yang berarti Maha berbicara.
Bagi yang pertama (1), yaitu sifat al-Baqâ` (البقاء), dalil Alquran sifat ini berdasarkan pada ayat:
"وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (القصص 88)"
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya (Allah). Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.[2]
Imam Ibn Katsîr berpendapat bahwa ayat {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} itu mengkabarkan bahwa sesungguhnya Allah SWT itu adalah Zat yang kekal (الدائم), tetap (الباقي), hidup, yang berdiri dengan sendiri-Nya, yang mematikan makhluk-Nya, dan Zat yang tidak akan mati. Ini seperti yang ditegaskan Allah SWT pada ayat {كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ}. Kata {وجه} di sini berarti Zat yaitu Allah. Dalam Hadis sahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulallah SAW pernah bersabda: “Aku membenarkan kalimat yang dilantunkan seorang penyair {ألا كل شيء ما خلا الله باطل}.[3] Dr. Wahbah al-Zuhailî melanjutkan bahwa ayat ini juga menetapkan bahwa segala sesuatu yang baru (حادث) itu pasti rusak dan akan hilang.[4]
Imam al-Thabarî berkata bahwa ada sebagian ulama berpendapat bahwa makna ayat ini adalah segala sesuatu itu pasti rusak kecuali apa yang diingini oleh Allah.[5]
Menurut tafsirannya Ibn ‘Abbâs, yang dimaksud dengan ayat {كل شيء هالك إلا وجهه} adalah segala amal yang bukan karena Allah, itu ditolak kecuali yang ditujukan kepada Allah. Juga ditafsiri dengan segala zat itu pasti berubah kecuali Zat Allah, dan segala kerajaan pasti hilang kecuali kerajaan Allah.[6]
Sifat yang kedua (2) adalah al-Mukhâlafah li al-Hawâdits (مخالفة للحوادث), sedangkan dalil Alqurannya adalah ayat:
"وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (الإخلاص 4)"
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.[7]
Sebab turunnya surah al-`Ikhlas ini adalah pada saat orang-orang musyrik berkata pada Nabi Muhammad SAW: “Ya Muhammad! Ceritakan kami nasab Tuhan kamu!, maka Allah menurunkan ayat { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)}”. Dari riwayat yang lain mengatakan bahwa ada segolongan orang Yahudi yang datang menemui Nabi Muhammad SAW lalu berkata: “Sifatilah kepada kami Tuhan kamu, karena sesungguhnya Allah menurunkan sifat-Nya di dalam Taurat. Maka kabarilah kami dari apakah Dia? Dari jenis apakah Dia? Emaskah, tembagakah, atau perakkah? Apakah Dia makan dan minum? Dari siapakah diwariskan dunia, dan kepada siapakah Dia akan mewariskan dunia?”. Maka Allah menurunkan surah ini yang hanya dinisbatkan kepada Allah sahaja.[8]
Dari segi bacaan, lafaz {كُفُوًا} itu dibaca sesuai dengan bacaan Imam Hafsh. Bagi bacaan imam selainnya, mereka membacanya dengan {كُفُؤاً}.[9]
Dari segi makna perlafaznya, kata {كفوا} memiliki arti yang menyamai (مكافئا ومماثلا). Jadi makna kalimatnya adalah “tidak ada satupun yang menyamai-Nya (أنه لم يكن أحد يكافئه)”, seperti istri dan selainnya.[10]
Tafsir yang dikeluarkan Ibn Katsîr bagi ayat ini adalah Allah SWT tidak memiliki istri. Ini juga selaras dengan pendapat Mujâhid yang berdalilkan ayat {بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}[11], yaitu Allah adalah Raja segala sesuatu dan Sang Pencipta, bagaimana Allah bisa memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya?, atau hampir menyamai-Nya?[12]
Dr. Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini digunakan untuk membatalkan keyakinan orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa Allah itu memiliki sepadan di dalam pekerjaan-Nya, sehingga mereka menjadikan malaikat sebagai teman (sahabat) bagi Allah, serta patung-patung dan berhala adalah sepadan dengan Allah. Ini juga didasari oleh ayat Alquran yang lain: 6:101, 19:92-95, dan 21:26-27.[13] Wahbah al-Zuhailî menambahkan bahwa ayat ini menolak semua akidah yang sesat seperti 1) al-Tsanawiyyah yang berpendapat wujudnya Tuhan dua bagi alam yaitu siang dan malam; 2) Kristen yang berpendapat Tuhan tiga (trinitas); 3) al-Shâbi`ah yang menyembah langit dan bintang; 4) Yahudi yang mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah; 5) Orang musyrik yang berpendapat bahwa sesungguhnya malaikat adalah anak perempuan Allah.
Menurut Imam al-Thabarî, ahli pentakwil berbeda pendapat dalam menafsiri ayat ini. Ada sebagian dari mereka yang berpendapat maknanya adalah “tidak ada yang menyerupai atau menyamai Allah (ولم يكن له شبيه ولا مثل)”. Sebagian yang lain berpendapat Allah tidak memiliki istri. Sedangkan secara bahasa, kata {الكُفُؤُ والكَفِيءُ والكِفَاءُ} memiliki arti yang sama yaitu “المثل والشبه”.[14]
Sifat yang ketiga (3) adalah al-Kalâm (الكلام), sedangkan dalil Alqurannya adalah ayat:
"وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا (النساء 164)"
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.[15]
Dr. Wahbah al-Zuhailî menerangkan bahwa ayat ini menunjukkan keistimewaan Nabi Musa AS yang mendapat gelar Kalîm Allah. Ini didasari oleh Ayat {وكلم الله موسى تكليما} yaitu berbicara yang benar secara hakiki dengan tanpa perantara. Sedangkan sifat al-Kalâm Allah kepada para nabi yang lain, itu disebut dengan wahyu. Ini berdasarkan ayat { وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ }. Hikmah dibalik hijab; adalah bertujuan memerhatikan perkara yang penting kepada hanya satu perkara. Sedangkan yang bertugas untuk mengirim wahyu dengan izin Allah adalah Jibril AS, yaitu malaikat wahyu, yang dikenal dengan Ruh Amin.[16]
Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî menjelaskan bahwa ayat ini bertujuan menolak ucapan orang Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya kamu tidak ingat Nabi Musa AS serta apa yang kamu hitung dari kalangan nabi-nabi. Maka ini adalah dalil bahwa kamu tidak membawa risâlah”. Maka Allah menolak tersebut dengan menurunkan ayat ini dan setelahnya. Selanjutnya, al-Shâwî menafsiri lafaz {وكلم الله موسى} dengan menegaskan bahwa Allah SWT menghilangkan hijab sehingga Musa AS mampu mendengarkan kalam Allah, dan Allah SWT bukanlah Zat yang diam (ساكتا), lalu baru berfirman, karena sesungguhnya perkara tersebut itu adalah mustahil bagi Allah SWT.[17] Kata {تكليما} itu adalah masdar mu`akkad bagi firman {كلم}. Tujuan memperkuat hukum adalah agar menghilangkan kemungkinan dimaknai dengan majâz bagi lafaz tersebut, karena Allah SWT itu berfirman kepada Musa AS dengan firman-Nya yang Azali, Qadîm, dengan tanpa huruf, bukan berupa suara, tidak dapat digambarkan, tidak dibatasi, dan tidak ada yang mengerti kecuali Allah.[18]
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan bahwa ayat ini tidak menunjukkan dengan keistimewaan Musa ini, berarti merendahkan derajat dan keistimewaan nabi-nabi yang lain. Begitu juga ayat ini bukan merendahkan nabi yang mendapat risâlah tidak dengan jalan sekali turun seluruhnya (seperti yang didapatkan Nabi Musa AS).[19]
B. Tafsir Ayat tentang Akhlak yang Terpuji terhadap Allah
Dalam Alquran, juga disebutkan beberapa akhlak (budi pekerti) yang terpuji terhadap Allah. Salah satu yang paling utama adalah syukur. Masalah syukur ini disebut di dalam Alquran pada ayat:
"فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (البقرة 152)"
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kemu mengingkati (ni’mat)-Ku.[20]
Dalam menerangkan konsep syukur bagi ayat ini, Imam Ibn Katsîr menerangkan di dalam tafsirnya bahwa ayat {وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ} itu adalah sebuah perintah Allah untuk bersyukur kepada-Nya, dan syukur tersebut dilaksanakan dengan menambahkan kebaikan. Dari ini Allah berfirman {وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ}[21]. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sebuah hadis yang datang dari Abû Rajâ` al-‘Uthâridî yang menceritakan bahwa “‘Imrân keluar menemuiku, dan ‘Imrân membawa sepotong kain dari sutera (مطرف من خز) yang belum pernah aku melihat sebelum ini dan setelahnya, lalu ‘Imrân berkata: sesungguhnya Rasulallah SAW bersabda: Barangsiapa yang Allah memberi nikmat kepadanya dengan sebuah nikmat, maka Allah itu menyukai untuk diperlihatkan efek dari nikmat tersebut dari makhluk-Nya”.[22]
Menurut Imam al-Thabarî, ayat ini menyuruh orang-orang mukmin agar bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka, yaitu berupa Islam, atau hidayah berupa agama yang telah disyariatkan bagi nabi-nabi Allah serta kekasih-Nya.[23] Lalu Allah memerintahkan untuk tidak melakukan kekufuran (tidak bersyukur) terhadap kebaikan Allah kepada mereka (mukmin), niscaya Allah akan merampas nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Sebaliknya kalau mereka bersyukur, maka Allah akan menambah lalu menyempurnakan nikmat-Nya terhadap mereka, dan Allah akan memberi mereka hidayah seperti hidayah yang diberikan kepada hamba-Nya yang diridai-Nya. Selanjutnya, Imam al-Thabarî menjelaskan bahwa makna syukur di sini adalah memuji.[24]
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhailî, Allah memerintahkan untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada orang mukmin dengan cara hati, lisan, dan mengunakan segala anggota pada apa yang dijadikan Allah bagi anggota tersebut untuk melakukan kebaikan dan kemanfaatan. Orang mukmin dilarang mengkafiri nikmat ini dengan cara memalingkan penggunaan anggota tersebut menuju apa yang dilarang syariat. Akal sehat juga tidak dapat menerima kekufuran tersebut. Sesungguhnya kalau perbuatan itu bagus, maka baguslah balasannya, dan kalau perbuatan itu tercela, maka tercelalah balasannya. Ini seperti ayat: {وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ}.[25]
Tafsiran ayat ini menurut tafsir Jalâlain, al-Khâzin, dan al-Nawawî, bahwa menysukuri nikmat Allah itu adalah dengan cara melakukan ketaatan kepada Allah.[26] Sedangkan Imam Zamakhsyarî cuma menafsiri dengan bersyukur atas nikmat yang telah dikurniakan Allah kepada mukmin.[27]
Selain dari syukur, salah satu akhlak yang terpuji terhadap Allah adalah tawakal. Konsep ini terdapat dalam Alquran pada ayat:
"وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (الطلاق 3)"
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.[28]
Kata {بالغُ أمرِه} adalah bacaaan Imam Hafsh. Bagi bacaan imam selainnya adalah {بالغٌ أمرَه}.[29]
Ibn Mardawaih dan al-Khathîb meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, “Sesungguhnya ayat ini[30] turun pada seorang anak dari Auf bin Mâlik yang ditawan musuh, lalu dia dan istrinya memperbanyak membaca kalimat [لا حول ولا قوة إلا بالله]. Lalu musuh yang menawan anaknya lengah dalam menjaganya, sehingga anak itu berhasil melarikan diri dengan membawa kambing-kambing musuh dan diserahkannya kepada ayahnya. Lalu turnlah ayat ini”.[31]
Imam al-Khâzin menafsiri kata {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} dengan mengatakan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah pada apa yang diwakilkan kepadanya (dipinjamkan Allah kepadanya), maka Allah akan mencukupkan apa yang lebih penting bagi orang tersebut. al-Khâzin juga menambahkan dengan dukungan Hadis: Rasulullah SAW bersabda: “Adaikan kamu bertawakal (menyerah) kepada Allah dengan sungguh-sungguh niscaya Allah akan memberi rizqi kepadamu sebagaimana burung yang keluar pagi dengan perut kosong (lapar) dan kembali senja hari sudah kenyang”.[32]
Dalam kitab Tanwîr al-Miqbâs, lafaz {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} itu bermakna “barangsiapa yang percaya dengan Allah dalam masalah rezeki, maka Allah akan mencukupinya”.[33]
Dr. Wahbah al-Zuhailî menambah dari pendapat kitab Tanwîr al-Miqbâs dengan qayyid setelah orang tersebut melakukan usaha untuk mencari rezeki. Setelah wujudnya usaha ini barulah Allah akan mencukupkan apa yang paling penting bagi orang tersebut dalam semua hal. Ini dikarenakan Allah adalah Zat yang Maha mampu pada segala sesuatu (القادر على كل شيء), yang Maha kaya. Apabila datangnya rezeki dan selainnya itu dari perkara yang tidak akan ada kecuali dengan takdir Allah, maka seseorang tidak akan disebut sebagai orang yang memiliki akal kecuali apabila ia percaya kepada takdir Allah. Ini didasari dengan firman Allah {وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ}[34]. Hujah ini adalah sebagai dalil tentang wajibnya bertawakal kepada Allah dan memasrahkan segala perkara kepada-Nya.[35]
Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî menjelaskan makna dari tawakal adalah memberi/memasrahkan masalah-masalah kepada Allah. Selanjutnya, al-Shâwî menjelaskan bahwa melakukan beberapa sebab (usaha) agar tercapai apa yang diingini, itu tidak bertentangan dengan tawakal, karena sesungguhnnya melakukan sebab (uasaha) di sini adalah yang diperintah. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tidak muktamad bergantung pada sebab-sebab tadi.[36]
C. Tafsir Ayat tentang Akhlak yang Tercela Terhadap Allah
Selain dari akhlak yang terpuji terhadap Allah, terdapat juga akhlak yang tercela terhadap Allah. Dari sekian banyak akhlak yang tercela terhadap Allah, syirik adalah yang paling tercela. Syirik disebut di dalam Alquran pada ayat:
"إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (النساء 48)"
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.[37]
Kata {ويغفر} adalah bermakna menutup dosa (ستر الذنب). Sedangkan {المغفور له} adalah orang yang dimasukkan ke dalam syurga dengan tanpa dosa, dan orang mukmin yang diseksa sebab dosanya lalu dimasukkan ke syurga. Kata {افْتَرَى} berarti membuat (اختلق), mengerjakan (اعتمل), atau berbuat (ارتكب). Kata {إثما عظيما} adalah dosa besar (ذنب كبير).[38]
Sebab turunnya ayat ini dikeluarkan Ibn `Abî Hâtim dan al-Thabrânî yang diceritakan dari `Abî Ayûb al-`Anshârî, berkata: “Seorang lelaki datang menemui Nabi SAW lalu berkata: sesungguhnya aku memiliki anak saudara lelaki yang tidak berhenti melakukan dosa, lalu Nabi Muhammad SAW bertanya: Apa agamanya? Dia pun menjawab: Anak itu sholat dan mentauhidkan Allah. Nabi baerkata: mintalah dia memberikan agamanya, kalau dia menolak, maka belilah agamanya. Lalu orang tersebut melakukan perintah Nabi, dan ternyata anak itu menolak. Maka lelaki itu datang menemui Nabi Muhammad SAW dan mengkabari beliau, dan lelaki itu berkata: aku menemui kalau anak itu kikir/lokek akan agamanya. Maka turunlah ayat ini”.[39]
Imam Ibn Katsîr dalam menafsiri ayat ini dengan mengunakan banyak sekali hadis. Salah satu yang menarik adalah hadis kedua yaitu perkataan `Abû Bakar al-Bazzâr di dalam musnadnya: Ahmad menceritakan dari Zâidah al-Namrî dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Kezaliman itu ada tiga, (1) zalim yang tidak diampuni Allah, (2) zalim yang diampuni Allah, (3) zalim yang Allah tidak meninggalkan darinya sesuatu apapun (لا يترك الله منه شيئا). Zalim yang tidak diampuni Allah adalah syirik, dan Nabi Muhammad SAW bersabda ‘إن الشرك لظلم عظيم’. Zalim yang kedua adalah zalimnya hamba terhadap dirinya sendiri yang berhubungan dengan Allah. Zalim yang ketiga adalah zalimnya hamba terhadap sesama mereka sehingga terjadi hutang (material maupun non material) yang belum dilunasi di antara mereka”.[40]
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhailî, ayat ini mengkabarkan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, yaitu dosa pelaku kesyirikan. Yang diingini dengan syirik di sini adalah mutlak kekufuran yang terkandung di dalamnya kekufuran orang Yahudi dan lainnya. Allah juga akan mengampuni dosa selainnya bagi hamba yang diingini-Nya. Selanjutnya, Dr. Wahbah al-Zuhailî juga mengeluarkan sebuah `Atsâr yang diambil dari al-Turmudzî, bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Tidak ada di dalam al-Qur’an ayat yang lebih aku sukai daripada ayat ini, yaitu {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا}”.[41]
Imam al-Thabarî mengatakan bahwa Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadap-Nya dan kekufuran. Allah akan mengampuni orang-orang yang berbuat dosa selain syirik. Ayat ini juga mejelaskan bahwa setiap pelaku dosa besar, mungkin diampuni oleh Allah kalau Allah menghendakinya, atau meyiksanya selagi bukan dosa besar berupa syirik yang mana tidak akan diampuni.[42]
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menambahkan bahwa ayat ini memasukkan golongan Yahudi ke dalam golongan musyrik (orang yang melakukan syirik) menurut ‘urf syarak. Alasan ini didasari dari penalaran, kalau memang Yahudi bukan yang melakukan syirik (karena mereka memang masih percaya Tuhan itu satu), maka pastilah mereka diampuni dosa mereka sesuai dengan hukum ayat ini. Sedangkan secara ijmak, Yahudi itu bukanlah golongan yang diampuni. Maka atas dasar ini, Yahudi digolongkan di dalam golongan musyrik.[43]
Syaikh Nawawî al-Jâwî menjelaskan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang melakukan syirik adalah bagi orang yang tetap dengan sifat kekufuran tersebut dengan tanpa melakukan taubat dan iman. Allah akan mengampuni dosa besar maupun kecil yang selain syirik walaupun tanpa taubat. Sedangkan melakukan syirik lalu bertaubat, maka tetap akan diampuni kalau memang dikehendaki Allah. Pendapat ini juga dikeluarkan Imam Zamakhsyarî. Pendapat ini berdasarkan hadis kisah seorang hamba bernama Wahsyi masuk Islamnya tetap diterima walaupun dia juga yang melakukan pembunuhan terhadap paman Nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Hamzah.[44]
Selanjutnya, akhlak yang tercela terhadap Allah adalah al-nifâq atau orang tersebut digelar munafik (منافق). al-Nifâq digolongkan ke dalam akhlak yang tercela terhadap Allah adalah sesuai dengan ayat:
"إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا (النساء 142)"
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.[45]
Imam Ibn Katsîr dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa pada awal surah al-Baqarah, Allah SWT berfirman: {يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا}, lalu di sini firman-Nya {إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ}. Tidak diragukan lagi bahwa Allah SWT itu tidak dapat ditipu. Allah Maha mengetahui rahsia-rahsia dan apa yang tersimpan. Akan tetapi, orang munafik karena kebodohan mereka itu berkeyakinan bahwa masalah mereka itu seperti apa yang disangka manusia. Mereka melakukan hukum syariat secara lahir. Begitu juga hukuman mereka di hari kiamat menurut Allah. Pada hari kiamat nanti mereka akan bersumpah bahwasanya mereka itu istiqâmah dan benar. Mereka juga akan beriqtikad kalau perkara tersebut dapat memberi manfaat pada mereka, seperti firman Allah { يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيَحْلِفُونَ لَهُ كَمَا يَحْلِفُونَ لَكُمْ }. Akan tetapi, Allah SWT lebih tinggi dari mereka, dan Allah akan membuat mereka tidak mendapatkan yang hak dan sampai kepada Allah SWT di dunia dan akhirat. Ini seperti firman Allah SWT dalam Alquran 57:13-15.[46]
Dalam kitab Tanwîr al-Miqbâs, lafaz {المنافقين} itu dinisbatkan kepada Abdullah bin `Ubai dan sahabat-sahabatnya. Mereka menipu Allah secara diam-diam dan menyangka kalau berjaya menipu Allah. Padahal Allah akan menipu mereka pada hari kiamat nanti di sisi al-Shirâth.[47]
Dalam menyikapi tafsir ayat ini, Dr. Wahbah al-Zuhailî memberi kesimpulan dengan beberapa poin. Menurutnya, ayat ini menunjukkan:
1. al-Nifâq dan al-Riyâ` itu adalah dua perkara yang berlaku pada setiap umat dan zaman. al-Nifâq: merahsiakan kekufuran, dan memperlihatkan keislaman. al-Riyâ` memperlihatkan kebaikan, demi dilihat manusia, bukan karena mengikuti perintah Allah.
2. Orang munafik menipu Allah, sebenarnya Allah yang mempermainkan mereka.
3. Orang munafik melakukan hukum syarak di dunia secara lahir. Sedangkan di akhirat, orang mukmin dan munafik akan diberi cahaya. Maka orang munafik akan suka dan menyangka mereka itu beruntung. Akan tetapi pada waktu mereka sampai di al-Shirâth maka padamlah semua cahaya orang munafik.
4. Salah satu sifat orang munafik adalah solat dengan riyâ`. Mereka malas melakukan solat, dan tidak mengharapkan pahala, serta menganggap tidak akan diseksa kalau meninggalkannya. Dalam hadis sahih “إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ”.[48]
5.
BAB III
KESIMPULAN
1. Sifat al-Baqâ` Allah SWT berdasarkan pada ayat {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} ditafsiri dengan berbagai tafsiran, akan tetapi, ulama sepakat bahwa berdasarkan ayat ini Allah adalah Zat yang kekal, sedangkan sesuatu yang baru itu pasti rusak/hilang; sifat al-Mukhâlafah li al-Hawâdits berdasarkan pada ayat {وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ }, yaitu Allah tidak memiliki istri, maupun yang menyamainya; sifat al-Kalâm yang berdasarkan pada ayat {وكلم الله موسى تكليما} yaitu Allah memiliki sifat berfirman seperti firmannya Allah kepada Nabi Musa AS secara hakiki dengan tanpa huruf maupun suara, sedangkan firman Allah kepada nabi yang lain adalah melalui wahyu atau perantara malaikat Jibril AS.
2. Akhlak terpuji terhadap Allah adalah syukur dan tawakal, berdasarkan ayat {وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ} yaitu perintah untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada makhluknya; dan ayat {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} yaitu barangsiapa yang memasrahkan masalahnya kepada Allah dengan usaha Allah akan memenuhi keperluan yang paling penting baginya, walaupun usaha bukanlah satu-satunya jalan untuk berhasil.
3. Akhlak tercela terhadap Allah adalah syirik dan al-nifâq, berdasarkan ayat{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا}, yaitu Allah akan mengampuni segala dosa kecuali syirik yang sampai akhir hayatnya tanpa melakukan taubat; sedangkan ayat al-nifâq adalah {إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ}, yaitu orang munafik menipu Allah di dunia, akan tetapi nanti Allah yang akan mempermainkan mereka di akhirat kelak.
[1] Muhammad bin ‘Ali Bâ’athiyyah al-Da’aniyyi, Mûjaz al-Kalâm Syarh ‘Aqîdah al-‘Awâm (Surabaya: Dâr al-Saqâf, 2002), 52.
[2] al-Qur’an, 28:88.
[3] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Bulaq: al-Halabî, t.t.), vol.3, 403.
[4] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 10, 547.
[5] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 6, 53.
[6] Ibn Ya’qûb al-Fairûz`abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 245.
[7] al-Qur’an, 112:4.
[8] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 866.
[9] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 867.
[10] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 868.
[11] al-Qur’an, 6:101.
[12] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Bulaq: al-Halabî, t.t.), vol.4, 570.
[13] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 15, 869.
[14] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 7, 583.
[15] al-Qur’an, 4:164.
[16] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 383.
[17] Dalam arti, Allah pada dasarnya memang berfirman. Hanya saja Nabi Musa AS belum bisa mendengarkan firman-Nya, karena masih terdapat hijâb.
[18] Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyyah al-‘Alâmah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain (Semarang: Maktabah Thaha, t.t.), vol. 1, 259.
[19] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 6, 109.
[20] al-Qur’an, 2:152.
[21] al-Qur’an, 14:7.
[22] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol.1, 292.
[23] Ini dikarenakan berhubungan dengan ayat sebelumnya, yaitu “كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آَيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُون”.
[24] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 1, 434.
[25] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 1, 396.
[26] al-Jalâlain, Tafsîr al-Jalâlain bi Hâmisy Hâsyiyyah al-‘Alâmah al-Shâwî (Semarang: Maktabah Thaha, t.t.), vol. 1, 69; al-Khâzin, Tafsîr al-Khâzin (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 95; Muhammad Nawawî al-Jâwî, Marâh labîd-Tafsîr al-Nawawî (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 40.
[27] Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 323.
[28] al-Qur’an, 65:3.
[29] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 14, 647.
[30] Lebih lengkap ayat ini adalah { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا}.
[31] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 14, 650.
[32] al-Khâzin, Tafsîr al-Khâzin (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 4, 280.
[33] Ibn Ya’qûb al-Fairûz`abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 358.
[34] al-Qur’an, 8:13.
[35] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 110.
[36] Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyyah al-‘Alâmah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain (Semarang: Maktabah Thaha, t.t.), vol. 4, 215.
[37] al-Qur’an, 4:48.
[38] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 110.
[39] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 110.
[40] `Ismâ’îl ibn Katsîr, tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol. 1, 770.
[41] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 111.
[42] al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî min Kitâbihi Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl `Âyi al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1994), vol. 1, 770.
[43] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 6, 123.
[44] Muhammad Nawawî al-Jâwî, Marâh labîd-Tafsîr al-Nawawî (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 153; Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasyâf (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 532.
[45] al-Qur’an, 4:142.
[46] “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu. Dikatakan (kepada mereka): Kembalilah kamu kebelakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu). Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa * Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mu’min) seraya berkata: Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu? Mereka menjawab: Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu * Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali”.
[47] Ibn Ya’qûb al-Fairûz`abâdî, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 67.
[48] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol. 3, 344.
5 comments:
Alhamdulillah
Bismillahirrahmaannirrahiim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
mas kayaknya ada yang ngganjl dengan MOTTO-nya.
gimana kalo dirubah menjadi
IMAN - HIJRAH - JIHAD !
kan lebih Qur'ani, lebih berPOLA perjuangan.
terima kasih
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Bismillahirrahmaannirrahiim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
mas kayaknya ada yang ngganjl dengan MOTTO-nya.
gimana kalo dirubah menjadi
IMAN - HIJRAH - JIHAD !
kan lebih Qur'ani, lebih berPOLA
terima kasih
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Smga tambah brmanfaat.....
amin.....
Mohon penjelasannya, bagaimana kita mengimani dua sifat Alloh yaitu Adzh-dzhohiru dan Al-Bathiinu. Dua sifat yang amat kontradiktif berada dalam satu dzat. Terima kasih.
Post a Comment