A. Latar Belakang
Amrozi, seorang warga negara Indonesia beserta teman-temannya terdakwa pidana dengan hukuman mati karena tertuduh sebagai master mind bagi kejadian Bom Bali 1, yang berakibat pada beratus orang korban dari dalam dan luar negeri.
Dikarenakan vonis hukuman mati sudah tidak dapat diperingan, maka Amrozi cs. memohon untuk dihukum dengan hukuman pancung dengan alasan mengikuti syariat Islam. Sedangkan di Indonesia, hukuman mati adalah dengan ditembak, sesuai dengan UU nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer. Jadi, Mahkamah Agung terpaksa menolak permohonan Amrozi cs.[1]
Permasalahan ini ternyata berkembang menjadi pertanyaan akan relevansi undang-undang positif di negara-negara yang bermayoritaskan muslim, seperti Malaysia, Indonesia, dan lain-lain – yang mana kebanyakan dari negara-negara ini menetapkan cara hukuman mati dengan cara yang berbeda dengan cara pancung. Seperti contoh: Malaysia menerapkan cara dengan hukuman gantung.
Maka dari itu, perlu diketahui apakah sebenarnya konsep pelaksanaan hukuman mati menurut agama Islam? Bagaimana pemberlakuan hukum normatif bagi Islam dengan konteks hukum positif?
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Konsep pelaksanaan qishâsh menurut mazhab Hanafi dan Hanbali.
2. Konesp pelaksanaan qishâsh menurut mazhab Syafi’i dan Maliki.
3. Relevansi cara qishâsh normatif fiqh dengan hukum positif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Cara Pelaksanaan Qishâsh Menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali[2]
Menurut mazhab Hanafi, qishâsh hanya boleh dilaksanakan dengan menggunakan senjata seperti pedang. Maksudnya, hukuman qishâsh dilaksanakan hanya dengan memakai senjata, tidak dengan membalas seperti cara penjinayah tersebut membunuh atau lainnya.[3] Hukum ini juga ditetapkan menurut sebuah riwayat yang paling `ashah menurut mazhab Hanbali.[4]
Cara pancung ini berlaku mutlak, baik orang tersebut (penjinayah/terpidana/الجاني) dalam melakukan jinayah pembunuhan tersebut dengan senjata, ataupun tidak. Ia juga berlaku walaupun pembunuhan tersebut adalah hasil dari pemenggalan leher, terus-menerusnya luka, mencekik, melemaskan dalam air, membakar, atau selainnya.[5]
Hujjah yang digunakan adalah berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW:
لا قَوَدَ إلا بالسيف[6]
Terjemahan: Tidak ada qishâsh kecuali dengan pedang.
Yang dimaksud dengan kata ‘قَوَدُ’ itu adalah qishâsh. Sedangkan qishâsh adalah bagaimana melaksanakannya (cara). Maka makna dari hadis tersebut adalah menafikan qishâsh dengan selain menggunakan pedang.[7]
Sedangkan kata ‘السيف’ itu sendiri, menurut ulama Hanafi, adalah ‘السلاح’. Menurut Imam Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Fayûmî; kata ‘السلاح’ bermakna:
( س ل ح ) : السِّلَاحُ مَا يُقَاتَلُ بِهِ فِي الْحَرْبِ[8]
Terjemahan: Kata al-silâh adalah sesuatu yang digunakan untuk membunuh di dalam peperangan.
Maka di sini, dapat diambil kesimpulan, bahwa kata al-silâh adalah bermakna senjata di dalam bahasa Indonesia. Senjata memiliki makna yang lebih umum yang terkandung di dalamnya adalah pedang.
Pada kesimpulannya menurut mazhab Hanafi, setelah sempurna semua syarat-syarat qishâsh menurut semua mazhab, maka orang yang terkena qishâsh, haruslah diqishâsh dengan menggunakan pedang (senjata). Tidak boleh melakukan apa yang dilakukan penjinayah tersebut seperti ketika ia melakukan pembunuhan dengan tanpa pedang; karena ia disebut mutslah (melakukan persamaan). Sedangkan mazhab Hanafi melarang melakukan mutslah. Ini dengan alasan bahwa mutslah memiliki nilai sakit yang lebih. Ini juga berlaku walaupun pembunuhan tersebut dilakukan dengan jalan maksiat oleh terpidana, seperti dengan khamr.[9]
Secara filosofis, pendapat mazhab Hanafi ini memiliki kelebihan tersendiri. Seperti contoh: kalau seseorang (penjinayah) membunuh dengan cara memotong sebagian anggota mangsa. Lalu penjinayah tersebut dihukum qishâsh dengan cara mutslah. Akan tetapi, tatkala penjinayah tersebut dieksekusi dengan mutslah, sementara ia sulit untuk mati, lalu eksekusi tersebut diganti dengan pancung misalnya, karena ia pasti akan mati. Maka ini tidak adil, karena penjinayah telah dihukum dengan dua cara yang berbeda, dan berakibat pada kesakitan yang tidak adil.[10]
Ulama Hanafi menambahkan; seumpama penuntut jinayah dari keluarga (ولي الدم) melempar penjinayah ke dalam sumur, atau membunuhnya dengan memakai batu, atau membunuh dengan cara lain, maka ia dianggap telah mengambil haknya di dalam qishâsh. Dalam hal ini, ia juga harus dita’zîr.[11]
Ulama mazhab Hanbali pula menegaskan bahwa; tidak boleh melakukan qishâsh kecuali dengan pedang pada leher,[12] yang dalam hal ini adalah pancung. Ini dikarenakan umumnya hadis al-Nu’mân bin Basyîr, yaitu sabda Nabi Muhammad SAW “لا قود إلا بالسيف”. Selain dari itu, qishâsh dengan mutslah hanya akan menambahkan kesakitan. Apabila penjinayah tersebut tidak mati, maka haruslah diulangi, sampai ia mati.[13]
Mereka menambahkan, bahwa qishâsh pada nyawa (hukuman mati) hanya boleh dilakukan dengan pedang, bukan dengan pisau atau selainnya. Ini berbeda dengan pendapat mazhab Hanafi. Alasannya adalah dikarenakan pedang adalah cara yang paling cepat untuk menghilangkan nyawa. Sedangkan qishâsh pada anggota (طرف), hanya boleh dengan menggunakan pisau. Ini agar tidak menzalimi penjinayah.[14]
B. Cara Pelaksanaan Qishâsh Menurut Mazhab Syafi’i dan Maliki
Menurut mazhab Syafi’I dan Maliki, penjinayah haruslah dibunuh (qishâsh) dengan cara seperti apa ia melakukan pembunuhan tersebut. Contohnya dengan memukul menggunakan sesuatu alat yang tajam seperti besi atau pedang; atau dengan alat berat seperti batu; atau dengan mencampakannya dari suatu tempat tinggi; atau mencekik lehernya; atau melemparkannya; atau melemaskannya; menahan makanan, merejam dalam air, membakar,[15] atau dengan cara-cara lain.[16] Konsep ini disebut dengan mutslah atau mumâtsalah.
Kedua dari mazhab tersebut menetapkan konsep mutslah di dalam qishâsh berdasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut:[17]
1. Alquran, Surah al-Nahl [16/126]: {وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ} (Dan jika kamu membalas kejahatan, hendaklah kamu membalasnya sama seperti yang telah ditimpakan ke atas kamu).
2. Alquran, Surah al-Syûrâ [42/40]: {وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا} (Dan balasan bagi sesuatu kejahatan ialah kejahatan yang seumpamanya).
3. Alquran, Surah al-Baqarah [2/194]: { فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم} (Oleh itu, sesiapa yang mencerobohi kamu, maka balaslah pencerobohannya seperti yang telah ia lakukan ke atas kamu).
4. Hadis Rasulullah SAW, riwayat Imam Bukhari dan Muslim:[18] “أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَضَّ رَأْسَ يَهُودِيٍّ بَيْنَ حَجَرَيْنِ , َكَانَ قَدْ قَتَلَ بهما جَارِيَةً من الأنصار” (Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah menghimpit kepala seorang lelaki Yahudi di antara dua ketul batu, karena dia telah membunuh seorang hamba perempuan Anshâr dengannya).
5. Hadis marfû’,[19] riwayat al-Baihaqî: “مَنْ حَرَّقَ حَرَّقْنَاهُ وَمَنْ غَرَّقَ غَرَّقْنَاهُ” (Sesiapa yang membakar, kami akan membakarnya pula; dan sesiapa yang menenggelamkan, maka dia akan kami tenggelamkan).
6. Hukum akal: Perkataan al-qishâsh itu berarti persamaan di dalam perbuatan. Maka, wajiblah penjinayah dibalas sama seperti apa yang telah ia lakukan. Lagi pula, tujuan qishâsh adalah untuk mengubati perasaan. Lantaran itu, tidak akan sempurna tujuan tersebut kecuali apabila pembunuh dibunuh sama seperti ia membunuh. Hadis yang melarang mutslah pula hnya melibatkan orang yang wajib dihukum bunuh, bukan dalam bentuk pembalasan yang setimpal dengan tindakannya.
Seumpama pembunuhan yang dilakukan penjinayah adalah dengan cara yang diharamkan; seperti sihir, khamr, air kencing, liwâth, dan lain-lain; maka qishâsh haruslah dilaksanakan dengan hukuman pancung menggunakan pedang yang tidak diberi racun. Ini dikarenakan hukum pelaksanaan qishâsh dengan cara mutslah sudah menjadi sukar atau tidak mungkin (ta’adzdzur). Ulama mazhab Syafi’i menambah, bahwa pembunuhan yang tidak ada yang dapat menyamainya (seperti memperkosa perempuan kecil, lalu berakibat matinya perempuan tersebut), juga harus dengan pedang.[20]
Menurut mazhab Maliki, qishâsh dilaksanakan dengan menggunakan pedang lagi; jika penjinayah diqishâsh dengan mutslah, maka penyeksaan terhadap penjinayah akan berkepanjangan, atau hukuman qishâsh ditetapkan kepada penjinayah secara qasâmah.[21]
Bagi permasalah pembunuhan dengan api dan racun, ulama Maliki terjadi perbedaan pendapat. Menurut satu pendapat dari ‘Abd al-Mâlik; qishâsh dijalankan dengan hukuman pancung (pedang). Ini dikuatkan dengan hadis:
لَا يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إلَّا رَبُّ النَّارِ[22]
Terjemahan: Tidak boleh menyiksa dengan menggunakan api, kecuali Tuhan bagi api.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua, qishâsh dijalankan dengan mutslah. Ini adalah pendapat yang masyhur dari mazhab Maliki, karena pelarangan menyiksa dengan apa dikecualikan dalam hal ini.[23]
Imam ‘Alî bin ‘Alî al-Syibrâmalisî berpendapat; kemusykilan tentang qishâsh dengan tajwî’[24] dan taghrîq,[25] sedangkan ia adalah haram, haruslah dihilangkan. Beliau memberi hujjah dari komentar Ibn Qâsim terhadap syarh Ibn Hajar al-Haitamî bagi Minhâj al-Thâlibîn karangan Imam Nawawî:[26]
نَحْوُ التَّجْوِيعِ وَالتَّغْرِيقِ إنَّمَا حَرُمَ ; لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إلَى إتْلَافِ النَّفْسِ , وَالْإِتْلَافُ هُنَا مُسْتَحَقٌّ فَلَا يُمْنَعُ , بِخِلَافِ نَحْوِ الْخَمْرِ وَاللِّوَاطِ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ وَإِنْ أُمِنَ الْإِتْلَافُ فَهَذَا امْتَنَعَ هُنَا فَلْيُتَأَمَّلْ ا هـ سم عَلَى حَجّ
Terjemahan: Melakukan tajwî’ dan taghrîq atau sesamanya itu hanya haram karena ia akan membawa pada rusaknya nyawa. Sedangkan perusakan di sini adalah yang berhak, maka tidak dicegah. Ini berbeda dengan kasus khamr dan liwâthh, karena perkara tersebut tetap haram walaupun aman dari kerusakan. Maka dalam hal qishâsh dilarang di sini. Maka anggan-angganlah!
Dari pendapat ini, dapat disimpulkan dan disamakan bahwa mengqishâsh dengan membakar sebagai ganti dari cara pembunuhan yang dilakukan penjinayah (mutslah) adalah diperkenankan walaupun terdapat hadis “لَا يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إلَّا رَبُّ النَّارِ”. Ini dikarenakan, menurut pendapat Syâfi’iyyah, ‘illat diharamkannya menyiksa haiwan dengan api adalah karena dapat merusak jiwa. Sedangkan qishâsh dalam hal ini menuntut untuk merusak jiwa.
Menurut pendapat Imam Nawawî yang dishahîhkan oleh beliau, bahwa seumpama penjinayah diqishâsh dengan cara mutslah, akan tetapi ia tidak mati; seperti membakarnya sesuai dengan lamanya ia membakar orang yang dibunuhnya, lalu penjinayah tersebut tidak kunjung mati; maka qishâsh itu ditambah sampai ia mati. Hal ini tidak perduli apakah akan menambah kesakitan dan penyiksaan.[27]
Akan tetapi, menurut pendapat yang lain dari kalangan Syâfi’iyyah, qishâsh dalam hal ini dialihkan dengan cara pancung. Pendapat ini adalah yang dibenarkan oleh Imam Bulqînî dan lainnya, serta ini adalah pendapat yang muktamad. Ini dikarenakan teknik mutslah itu bisa berhasil akan tetapi kemungkinan akan melambatkan keluarnya ruh. Maka dari itu wajib dalam keterlambatan tersebut diqishâsh dengan cara yang paling mudah.[28]
Seumpama walî al-qatîl (ahli waris) menginginkan untuk memindah qishâsh dengan cara pancung dengan pedang, maka diperkenankan melakukan perkara tersebut. Malah ini adalah yang lebih utama berdasarkan kaidah “الخروج من الخلاف مستحب” (keluar dari khilâf adalah sunnah).[29]
C. Relevansi Qishâsh Fiqh dengan Hukum Positif
Setelah membahas konsep pelaksanaan qishâsh menurut empat mazhab Islam, dapat disimpulkan, bahwa teknis pelaksanaan qishâsh terbagi menjadi dua (2) pendapat secara umum. Pendapat pertama adalah qishâsh hanya bisa dilaksanakan dengan pedang yaitu dengan dipancung. Pendapat kedua adalah dengan mutslah, yaitu diqishâsh sesuai dengan cara penjinayah tersebut membunuh.
Di satu sisi, dunia kontemporer memiliki cara pelaksanaan hukuman mati dengan cara yang berbeda dan tidak dibahas di dalam kitab-kitab fiqh ulama Islam terdahulu. Seperti contoh: dengan ditembak, digantung, memakai kursi listrik, suntik mati, dan lain-lain.
Apabila dilihat secara teliti, maka perbedaan hukum akan terjadi di antara penerapan normatif fiqh dengan hukum positif yang berlaku di beberapa negara yang bermayoritaskan muslim, seperti Malaysia dan Indonesia.[30] Misalnya seseorang membunuh dengan menikam terhadap mangsa di Malaysia. Menurut pendapat pertama (Hanafi dan Hanbali yang ashah), ia haruslah diqishâsh dengan hukuman pancung atau dengan senjata. Sedangkan pendapat kedua (Syafi’i dan Maliki) haruslah dengan ditikam juga seperti apa yang ia lakukan. Sedangkan secara hukum positif di Malaysia ia akan dihukum gantung. Padahal gantung bukan ‘بالسيف’ seperti penafsiran Hanafi dan Hanbali. Gantung juga bukan mutslah seperti yang dianut Syafi’I dan Maliki.
Maka dari itu, perlulah dicari ‘illatnya dalam menetapkan kedua konsep tersebut apabila dikontekskan dengan cara penetapan hukuman mati menurut berbagai hukum positif.
Menurut Mufti Universitas al-Azhar, ‘Abd al-Majîd Salîm yang dikeluarkan pada 31 Oktober 1937 M; bahwa melakukan qishâsh dapat dialihkan caranya dari pancung menjadi hukuman gantung. ‘Abd al-Majîd Salîm berpendapat, bahwa hujjah yang diberikan ulama Hanafiyyah tidak berarti melarang melakukan qishâsh dengan selain pedang, apabila alat selain pedang itu ternyata lebih mudah, lebih ringan, dan lebih cepat di dalam menghilangkan nyawa.[31]
Pendapat ini berdalilkan pada hadis:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ إلخ[32]
Terjemahan: Sesungguhnya Allah menetapkan perlakuan baik pada segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Apabila kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan sembelihan yang baik...
Selain dari hadis ini, dalil yang digunakan untuk menetapkan konsep qishâsh adalah “لا قود إلا بالسيف” yang mana secara manthûq[33] menghasilkan dua perkara; 1. Wajib menjalankan qishâsh dengan pedang; 2. Tidak boleh melaksanakan qishâsh dengan cara yang seperti tidak mudah dan ringan.[34]
Ayat tersebut juga, secara dilâlah al-nash[35] memiliki pemahaman diperbolehkannya qishâsh dengan selain pedang, apabila ia sama-sama dapat memudahkan dan mencepatkan hilangnya ruh atau mungkin lebih dari pedang. Ini dikarenakan, bahasa hadis tersebut dapat difahami bahwa ‘illat dalam kewajiban memakai pedang bagi qishâsh adalah karena pedang dapat membunuh dengan mudah dan ringan. Maka, kalau dapat ditemukan suatu cara untuk membunuh yang belum diketahui sebelumnya, sedangkan cara yang baru ini lebih cepat dan mudah di dalam menghilangkan ruh, maka secara lahir (dzâhir) diperkenankan untuk melakukan qishâsh dengan cara baru ini, berdasarkan dilâlah al-nash hadis ini. Untuk kasus yang terdapat di dalam hadis ini (لا قود إلا بالسيف), qashr yang dipakai adalah al-qashr al-`idlâfî.[36] Maka maksud dari hadis ini adalah “tidak boleh menegakkan qishâsh dengan tanpa pedang yaitu alat-alat yang mungkin melebihi dari batas”.[37]
Dari fatwa ‘Abd al-Majîd Salîm ini, dapat dikontekskan dengan permasalahan yang berlaku di Malaysia dan negara lain. Cara hukuman mati dengan selain memakai cara pancung tetap dapat dibenarkan, selagi perkara tersebut dapat menghilangkan nyawa secara cepat, mudah, serta ringan. Maka hukuman mati dengan cara gantung, kursi listrik, tembak, dan lain-lain dapat dibenarkan secara syariat; kalau memang ia dapat menghilangkan nyawa secara cepat, mudah, serta ringan.[38]
Dr. Wahbah al-Zuhaylî menegaskan; tidak ada pencegahan dari syara’ untuk menggunakan alat (cara) lain yang lebih cepat tindakannya daripada pedang, yang lebih sedikit kesakitannya, dan lebih terjamin daripada menggunakan cara mutslah (seperti pendapat mazhab Syafi’I dan Maliki). Seperti contoh memasukkan penjinayah ke dalam peti bersenjata tajam, kursi listrik yang membunuh secepat kilat, tali gantung untuk tidak mengalirkan darah, menghentikan degupan jantung, dan juga dengan sejenis gas yang menyerupai obat bius.[39]
Seumpama disanggah konsep memakai cara selain pedang, dengan mngkhususkan cara pembunuhan tersebut dengan hanya satu cara, seperti hukuman gantung misalnya, karena menurut mazhab Syafi’I dan Maliki yang memakai konsep mutslah. Maka pertentangan ini dapat dijawab dengan kaidah “تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة”. Dalam kaidah ini, seorang pemimpin wajib menentukan kebijakan bagi rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan rakyat tersebut. Ketentuan menentukan kebijakan bagi rakyat ini tentunya terbatas dengan syarat kebijakan tersebut tidak membawa kepada kerusakan, dan tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam yang mujma’ ‘alaih seperti kewajiban solat lima waktu.[40]
Dalam masalah cara penegakkan qishâsh, sudah jelas ia merupakan sebuah isu yang terdapat khilâf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama fiqh. Maka tentunya lebih tepat dikukuhkan kekuasaan pemimpin/hakim dalam menentukan cara penerapan qishâsh. Ini berdasarkan kaidah “حكم الحاكم يرفع الخلاف”. Menurut kaidah ini; kalau seorang hakim menjatuhkan hukuman sesuai dengan sebuah pendapat (dalam mazhab fiqh), yang mana ternyata pendapat tersebut tidak sesuai dengan keyakinan mazhab terdakwa, maka wajib bagi terdakwa mengikuti pendapat hakim menurut qaul yang ashoh (wajib ikut secara lahir dan batin). [41] Jadi, kalau hakim menentukan cara qishâsh dengan gantung misalnya, maka wajib bagi terdakwa untuk patuh pada ketetapan hakim tersebut, karena permasalahan ini adalah khilâf, dan ketetapan hakim itu adalah menghilangkan khilâf. [42]
Lebih-lebih lagi, prinsip-prinsip syariat yang disepakati; bahwa penegakkan vonis hudud, qishâsh, takzir, itu adalah suatu hak khusus yang diperuntukkan kepada Imam (pemimpin sebuah negara). Tidak boleh ada orang yang menegakkan qishâsh tanpa izin Imam. Kalau ada yang menegakkannya tanpa izin dari Imam, maka ia boleh dihukum (takzir).[43]
Maka dalam menjalankan qishâsh, teknis yang dipakai oleh undang-undang positif yang berlaku di negara-negara yang mayoritas muslim ini, tergantung pada ‘illat apakah ia dapat membunuh dengan cepat, mudah, serta ringan. Kalau ternyata ia memiliki ‘illat tersebut, maka dapat dibenarkan secara syar’i. Kalau cara tersebut tidak memiliki ‘illat yang telah diuraikan misalnya penyaliban atau sula, maka ia tergantung apakah itu mutslah atau tidak. Kalau ternyata bukan mutslah, maka undang-undang positif tersebut tidak dapat dibenarkan secara syar’i. Kalau ia adalah mutslah, maka ia dapat dibenarkan mengikut pada mazhab Syafi’I dan Maliki. Akan tetapi, kalau dengan cara yang diharamkan seperti khamr atau liwâth, maka ia diharamkan secara ijmak ulama.
BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali; hukuman mati hanya boleh dilakukan dengan cara memakai pedang. Ulama Hanbali menentukan caranya dengan pancung, sedangkan ulama Hanafi membebaskan caranya, asalkan memakai senjata seperti pedang. Inti dari pendapat kedua mazhab ini, hukuman mati tidak boleh memakai konsep mutslah.
2. Menurut mazhab Syafi’I dan Maliki; hukuman mati dilakukan dengan cara mutslah, walaupun dengan cara membakar atau menenggelamkan selagi tidak diharamkan secara prinsipiil seperti dengan khamr, atau liwâth. Walau bagaimanapun, menurut mereka hukuman mati dengan cara mutslah boleh berpindah ke pancung, kalau diminta oleh walî al-qatîl.
3. Setelah dianalisa cara pancung menurut Islam, ternyata ‘illat yang ditemukan adalah karena pedang dapat membunuh dengan cepat, mudah, serta ringan. Kesimpulannya, untuk menentukan legalisasi cara hukuman mati versi hukum positif menurut syariat Islam, terjadi tiga (3) pentafsilan:
a) Kalau cara yang ditetapkan memiliki ‘illat tersebut; maka dibenarkan secara mutlak.
b) Kalau cara yang ditetapkan tidak memiliki ‘illat tersebut, misalnya penyaliban atau sula; maka ada dua kemungkinan:
i. Kalau cara yang ditetapkan ternyata merupakan cara yang mutslah, maka dibenarkan.
ii. Kalau cara yang ditetapkan ternyata bukan cara yang mutslah, maka ia tidak dapat dibenarkan.
[1] Novel, “MK Tolak Uji Materiil, Amrozi Tetap Dieksekusi Tembak”, http://www.eramuslim.com/berita/nasional/mk-tolak-uji-materiil-amrozi-tetap-dieksekusi-tembak.htm, diakses tanggal 2 Desember 2008.
[2] Mazhab Hanbali ini menurut qaul yang ashah dari kalangan mazhab mereka. Sedangkan menurut riwayat yang lain dari Imam Ahmad bin Hanbal, cara melakukan qishâsh adalah dengan melakukan seperti apa yang dilakukan untuk membunuh. Lihat: Ibn Qudâmah, al-Mughnî (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 8, 240.
[3] Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987), vol. 5, 346.
[4] Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 7, 5685; Manshûr bin Yûnus al-Bahûtî, Kasyâf al-Qinâ’ (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol. 5, 538.
[5] Abd al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Janâ`î al-`Islâmî (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1992), vol. 2, 150.
[6] Al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî: Kitâb al-Diyât ‘an Rasûl `Allah, no.1314, Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah: Kitâb al-Diyât, no. 2657, 8, Mausu’ah al-Hadîts al-Syarîf (CD-ROM: Global Islamic Software Company, Digital, 2000).
[7] ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Janâ`î al-`Islâmî, vol. 2, 150; Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr, vol. 5, 346.
[8] Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Fayûmî, al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), 284.
[9] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5685.
[10] ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Janâ`î al-`Islâmî, vol. 2, 151.
[11] Ibid.; vol. 2, 151; al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5685.
[12] Redaksi arabnya adalah “ولا يجوز استيفاء القصاص في النفس إلا بالسيف في العنق”
[13] al-Bahûtî, Kasyâf al-Qinâ’, vol. 5, 538.
[14] Ibid., 539.
[15] Untuk masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan mazhab Maliki. Lihat keterangan di bawah nanti.
[16] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5685; ‘Abd al-Mâlik bin ‘Abd `Allah bin Yûsuf al-Juwainî, Nihâyat al-Mathlab fî Dirâyat al-Madzhab (Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007), vol. 16, 177; Muhammad bin Ahmad al-Syirbînî, Mughî al-Muhtâj (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), vol. 4, 55; Abû al-‘Abbâs Ahmad al-Shâwî, Hâsyiah al-Shâwî ‘alâ al-Syarh al-Shaghîr (Beirut: Dâr al-Ma’ârif, t.t.), vol. 4, 369.
[17] Ibid.; al-Syirbînî, Mughî al-Muhtâj, vol. 4, 55; al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5686.
[18] al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî: Kitâb al- al-Diyât; no: 6368, 76, Muslim, Shahîh Muslim: Kitâb al-Qasâmah wa al-Muhâribîn wa al-Qishâsh wa al-Diyât, no: 3167, Mausu’ah al-Hadîts al-Syarîf.
[19] Sebuah hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dari segi ucapan, pekerjaan, penetapan, atau sifat. Lihat: Mahmûd al-Thahhân, Taisîr Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 105.
[20] Muhammad bin Syihâb al-Dîn al-Ramlî, Nihâyat al-Muhtâj (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), vol. 7, 305; al-Shâwî, Hâsyiah al-Shâwî, vol. 4, 370.
[21] Ibid., 371; al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5686.
[22] Abû Dâud, Sunan Abî Dâud: Kitâb al-Jihâd, no: 2299, `Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Makkiyyin, no:15457, Mausu’ah al-Hadîts al-Syarîf.
[23] al-Shâwî, Hâsyiah al-Shâwî, vol. 4, 369; al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5686.
[24] Membuat seseorang lapar (karena tidak diberi makanan) sehingga mati.
[25] Menenggelamkan seseorang ke dalam air sampai ia mati kelemasan.
[26] ‘Alî bin ‘Alî al-Syibrâmalisî, Hâsyiah ‘alâ Nihâyah al-Muhtâj (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), vol. 7, 305.
[27] al-Syirbînî, Mughî al-Muhtâj, vol. 4, 56.
[28] Ibid., vol. 4, 56; al-Juwainî, Nihâyat al-Mathlab, vol. 16, 178; al-Ramlî, Nihâyat al-Muhtâj, vol. 7, 306.
[29] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5685; al-Juwainî, Nihâyat al-Mathlab, vol. 16, 178.
[30] Undang-Undang nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer, T.t.: t.p., t.t..
[31] ‘Abd al-Majîd Salîm, “al-Qishâsh bi al-Syanqi”, Fatâwaal-`Azhar, vol. 6: 16 (DVD-ROM: al-Maktabah al-Syâmilah 2.09, Digital, t.t.).
[32] Muslim, Shahîh Muslim: Kitâb al-Shaid wa al-Dzabâ`ih wa Mâ Yu`kalu min al-Hayawâ, no. 3615, Mausu’ah al-Hadîts al-Syarîf.
[33] Manthûq adalah perkara yang mana lafaznya menunjukkan pada sesuatu pada waktu diucapka. Lihat: Wahbah al-Zuhaylî, `Ushul al-Fiqh al-`Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), vol. 1, 360.
[34] Abd al-Majîd Salîm, “al-Qishâsh bi al-Syangqi”, Fatâwaal-`Azhar, 6: 16.
[35] Dilâlah al-nash adalah sebuah penunjukkan lafaz melalui tempat keluarnya hukum atau ‘illatnya bukan melalui ibarat atau isyarat. Lihat: Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî `Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 167.
[36] Qashr `idlâfî adalah qashr yang mana lafaz yang diqashr menjadi khusus terhadap perkara yang dikhususkan, dengan melihat pada sandaran dan nisbatnya pada perkara lain yang tertentu, bukan pada semua perkara yang selain diqashr. Seperti contoh kata “إنما العالم زيد” sebagai jawaban dari orang yang berkata “زيد وعمرو عالمان”. Lihat: Madrasah Nidhâmiyyah, Taqrîrât Nadzm al-Jauhar al-Maknûn (Kediri: MADIN, t.t.), 34.
[37] Abd al-Majîd Salîm, “al-Qishâsh bi al-Syangqi”, Fatâwaal-`Azhar, 6: 16.
[38] ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Janâ`î al-`Islâmî, vol. 2, 154.
[39] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5688.
[40] Muhammad Nûr al-Dîn Marbû al-Banjarî al-Makkî, al-Durar al-Bahiyyah fî `Îdlâhi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (Kedah: Pustaka Darussalam, 2002), 138.
[41] Muhammad bin Syihâb al-Dîn al-Ramlî, Fatâwâ al-Ramlî bi Hâmisy al-Fatâwâ al-Kubrâ al-Fiqhiyyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), vol. 4, 113, 20.
[42] Seperti contoh: Seorang suami menjatuhkan talak 3, lalu ia ingin kembali kepada istrinya, tanpa perlu melakukan nikâh muhallil. Dengan ini, ia mengaku bahwa nikah yang pertama adalah fâsid. Maka bagi hakim boleh merestui pernikahan kedua tanpa perlu melakukan nikâh muhallil apabila berita acaranya didukung oleh pernyataan si istri. Akan tetapi, seumpama alasan rusaknya nikah awal adalah disebabkan fasiqnya wali/saksi, sedangkan nikah yang pertama itu telah dihukumi sah oleh hakim berdasarkan pendapat yang memperbolehkan orang fasiq menjadi wali/saksi (di mana dalam hal ini Syafi’iyyah menganggap tidak boleh/sah), maka tidak boleh baginya (suami) melakukan apa yang berbeda dengan ketetapan hakim yang awal, walaupun dia menganggap tidak sah berdasarkan Mazhab Syafi’i. Ini dikarenakan ketetapan hakim itu adalah menghilangkan khilâf. Lihat: Sulaimân al-Jamal, Hâsyiah al-‘Alâmah al-Syaikh Sulaimân al-Jamal ‘alâ Syarh al-Minhâj (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 4, 142.
[43] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 7, 5687; Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (