BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT meletakkan peraturan terhadap makhluk-Nya tidaklah sembarangan tanpa melihat latar belakang dan dasar-dasar makhluk-Nya. Setiap perintah dan larangan Allah SWT pastilah didasari dengan sebuah filsafat atau hikmat yang sangat kuat.
Seperti contoh keharaman meminum khamr tidaklah terjadi dengan tanpa alasan, melainkan karena khamr dapat membuat akal manusia terganggu atau malah hilang dan rusak. Dengan efek seperti ini, manusia tidak dapat berfikir secara normal sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan terhadap dirinya sendiri maupun orang lain tanpa disengaja dan jelas tidak diingini.
Begitu juga dengan konsep hukum Islam yang meletakkan predikat taklîf sebagai batasan dalam peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-hukum yang taklîfî. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah taklîf itu serta objeknya?
2. Apakah mukallaf itu serta bagaimana gambarannya?
3. Apakah filsafat dibalik wujudnya taklîf dan predikat mukallaf di dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Pembahasan Taklîf
Sebelum membahas lebih dalam tentang taklîf, perlu diketahui bahwa pembahasan taklîf di sini adalah berkaitan dengan hukum. Maka dari itu, perlu diketahui bahwa pengertian hukum secara istilah menurut mayoritas ulama usul adalah:
“خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع”
“Kalam/Ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf baik berupa tuntutan (melakukan atau meninggalkan), atau pilihan atau meletakan/menjadikan (suatu sebab atau penghalang bagi suatu hukum)”.[1]
- Yang dimaksud dengan “خطاب الله” adalah dalil yang secara langsung datang dari Allah SWT yaitu Alquran, atau dalil yang datang dengan wâsithah (lantaran) seperti Sunah, Ijmak, Qiyas, dan dalil-dalil yang lain. Maka setiap satu dari dalil-dalil ini adalah hukum syar’î menurut ulama-ulama usul.
- Yang dimaksud dengan “بالإقتضاء” adalah tuntutan (الطلب) untuk melakukan sesuatu, sama ada tuntutan untuk melakukan sebuah pekerjaan atau meninggalkan pekerjaan.
- Yang dimaksud dengan “بالتخيير” adalah kebolehan (الإباحة) antara melakukan atau meninggalkan sesuatu perbuatan dengan posisi yang sama.
- Yang dimaksud dengan “بالوضع” adalah meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah, sah, rusak, azîmah, atau keringanan pada sesuatu yang lain.[2]
Dari sini, hukum syar’i itu terbagi menjadi dua bagian: 1. Hukum Taklîfî, dan 2. Hukum Wadl’î.
Bagi yang pertama, yaitu hukum taklîfî: Secara bahasa, kata taklîf (تكليف) berasal dari fi’il mâdli “كلّف” yang memiliki makna “membebani”. Seperti contoh “كلّف زيد عمرا بالأمر” yang berarti “Zaid membebani Umar dengan sebuah perkara”. Maka kata “تكليف” berarti “pembebanan”.[3]
Pengertian hukum Taklîfî secara istilah adalah:
“ما اقتضى طلب فعل من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل والكف عنه” “Hukum taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan”.[4]
Contoh tuntutan melakukan perbuatan adalah ayat “أقيموا الصلاة” atau “كتب عليكم الصيام”. Sedangkan contoh tuntutan meninggalkan perbuatan adalah ayat “ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق” atau “حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير...”. Bagi contoh pilihan pula adalah ayat “فلا جُناح عليهما فيما افتدتْ به” atau “وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة”.[5]
Hukum ini disebut sebagai hukum taklîfî adalah dikarenakan hukum ini memiliki pembebanan (تكليف) dengan melakukan atau meninggalkan atau pilihan dalam melakukan perbuatan tersebut.[6]
Hukum taklîfî terbagi menjadi 5 jenis karena “خطاب الله” yang berupa tuntutan melakukan sebuah perbuatan itu terkadang ada yang tegas, maka hukumnya adalah al-Ijâb. Ada juga yang tidak tegas, maka hukumnya adalah al-Nadb. Tuntutan yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan seumpama ia tegas, maka hukumnya al-tahrîm. Akan tetapi kalau ia tidak secara tegas, maka hukumnya al-karâhah. Apabila “خطاب” itu menunjukkan pada kebolehan melakukan pemilihan, maka hukumnya adalah al-Ibâhah.[7]
Sedangkan perkara-perkara yang dituntut untuk melakukannya atau meninggalkannya atau terdapat pilihan itu ada 5 jenis:
1. Al-Wâjib: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan itu mendapat pahala dari Allah SWT dan bila ditinggalkan berakibat dosa. Seperti contoh mendirikan solat lima waktu, membayar zakat, dan lain-lain.
2. Al-Mandûb: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk melakukannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan mandûb mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila ditinggalkan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menulis hutang-piutang, siwakan, dan lain-lain.
3. Al-Harâm: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang wajib. Dengan gambaran orang yang melakukan perbuatan itu mendapat dosa dari Allah SWT dan bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Seperti contoh memakan harta riba, melakukan zina, dan lain-lain.
4. Al-Makrûh: Sebuah perkara yang dituntut oleh al-Syâri’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya dengan sebuah tuntutan yang tidak wajib. Dengan gambaran orang yang meninggalkan perbuatan makrûh mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi apabila dilakukan, ia tidak berdosa. Seperti contoh menjatuhkan thalâq terhadap istrinya.
5. Al-Mubâh: Sebuah perkara yang oleh al-Syâri’ memperbolehkan terhadap mukallaf untuk memilih antara melakukannya atau meninggalkannya. Dengan gambaran orang yang melakukan atau meninggalkan perkara yang mubâh tidak diberi pahala maupun dosa. Seperti contoh diperbolehkannya berburu apabila telah selesai melaksanakan ibadah haji.[8]
Bagian yang kedua dari hukum syar’î adalah hukum wadl’î. Menurut Wahbah al-Zuhaylî, Hukum wadl’î ialah “خطاب الله” yang turun untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, pencegah, sah, rusak, ‘azîmah, dan keringanan.[9] Sedangkan menurut Khalîl al-‘Alâ`î al-Syâfi’î, hukum wadl’î adalah sebuah “الخطاب” yang tumbuh yang berhubungan dengan pekerjaan orang mukallaf, tidak dengan tuntutan atau pilihan.[10]
Perbedaan antara hukum taklîfî dan hukum wadl’î terdapat 3 poin:
1. Hukum taklîfî menghendaki terwujudnya pekerjaan yang dituntut untuk dilakukan dan menjauhkan diri dari yang terlarang atau memilih menurut keinginan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu perkara. Sedangkan hukum wadl’î tidak ada beban dengan tuntutan maupun pilihan, melainkan hukum wadl’î adalah memperhatikan tentang adanya ikatan atau kaitan antara suatu perkara dengan lainnya dengan menjadikan sebab, syarat atau pencegah baginya.
2. Yang dituntut dalam hukum taklîfî ialah sesuatu yang mampu dilakukan oleh mukallaf menurut ukuran normal, seperti mengerjakan ibadat, menulis, berjalan dan sebagainya. Sedangkan hukum wadl’î adalah sesuatu yang mampu atau tidak mampu dilakukan oleh mukallaf. Seperti contoh mencuri akan menyebabkan (مسبب) pada terpotongnya tangan, dan sifat kerabat menjadi sebab pada dapat menerima warisan.
3. Hukum taklîfî itu tidak ada hubungan kecuali dengan orang mukallaf. Sedangkan hukum wadl’î itu berhubungan dengan manusia, sama ada ia mukallaf atau tidak, seperti anak kecil dan orang gila. Seperti contoh sahnya jual-belinya anak kecil, dan tetapnya hutang bagi tanggungan orang gila maupun anak kecil.[11]
B. Pengertian dan Pembahasan al-Mahkûm Fih
Al-Mahkûm Fih (obyek hukum syar’î) adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan khitâb al-Syârî’, baik tuntutan melakukan suatu perbuatan, memilih suatu pekerjaan, atau yang bersifat wadl’î (syarat, sebab, penghalang, sah, rusak, ‘azîmah, maupun rukhshah). Seperti contoh:
1. “أقيموا الصلوة وأتوا الزكوة”. Tuntutan kewajiban (إيجاب) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
2. “يآأيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلي أجل مسمى فاكتبوه”. Anjuran (ندب) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan menulis hutang piutang.
3. “فإذا قُضِيَتِ الصلاةُ فانتشروا في الأرض”. Kebolehan (إباحة) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan mencari rezeki.
4. “ولا تقتلوا النفس”. Larangan tegas (التحريم) dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan membunuh.[12]
Menurut para ulama Usul Fiqh, tuntutan Syârî’ tersebut dapat menjadi beban hukum (التكليف) jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. Seorang mukallaf telah mengetahui secara sempurna terhadap hukum Syârî’ yang berkaitan dengan perbuatan yang akan dilakukannya sehingga tujuannya dapat dipahami dengan jelas dan dapat dilakukannya.
2. Seorang mukallaf telah mengetahui dengan baik dan benar terhadap sumber taklîf suatu perbuatan yang akan dilaksanakannya sehingga pelaksanaan perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap tuntutan Allah SWT.
3. Perbuatan tersebut mungkin untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh seorang mukallaf. Dalam hal ini, perbuatan tersebut dibagi menjadi 3 ketentuan:
a. Tidak sahnya al-taklîf dengan sesuatu yang mustahil menurut mayoritas ulama, sama ada mustahil tersebut dengan cara penalaran pada zatnya atau penalaran pada selain zatnya.
Ø Contoh penalaran pada zatnya: mengumpulkan antara dua perkara yang berlawanan dalam satu taklîf, Seperti terdapat sebuah perbuatan yang ada dua ketentuan hukum pada waktu bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama; yaitu wajib dikerjakan dan pada saat yang sama haram dikerjakan.
Ø Contoh penalaran pada selain zatnya: Sesuatu yang dapat digambarkan oleh akal wujudnya, akan tetapi tidak pernah berlaku secara adat. Seperti manusia bisa terbang layaknya burung.
Kedua jenis mustahil ini itu tidak sah adanya taklîf, karena Allah SWT sendiri menyatakan bahwa taklîf terhadap sesuatu yang tidak bisa dikerjakan itu tidak ada.[13]
b. Tidak sahnya seseorang menunaikan kewajiban yang di-taklîf-kan kepada orang lain untuk dan atas nama orang tersebut, karena ini adalah sesuatu yang tidak mungkin yang mana dikatagori sebagai taklîf dengan sesuatu yang tidak kuasa. Oleh sebab itu, seseorang tidak dibebani melakukan sholat untuk saudaranya. Akan tetapi, disini ada beberapa pengecualian seperti melakukan haji untuk orang lain sebagai wakil, dengan syarat ia sudah pernah melakukan haji, dan menurut sebagian syâfi’iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengizinkan menganti puasa orang lain berdasarkan hadits “من مات وعليه صيام صام عنه وليه”.
c. Tidak sah menurut syara’ membebankan perbuatan yang bersifat jibilliyyah/fithriyyah, di mana manusia tidak turut campur di dalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiyâr), seperti sikap marah, benci, takut, gembira, kasih sayang, cinta, gairah makan dan minum. Perbuatan-perbuatan tersebut bukan lah bersifat ikhtiyâri dan kehendak manusia. Oleh sebab itu tidak ada taklîf bagi perbuatan seperti itu. Ini didasari doa Rasulullah SAW “اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ , فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ”. Maka adil mencintai istri-istri (bagi lelaki yang berpoligini) itu bukanlah sebuah kewajiban. Apabila ada nash yang menyuruh sesuatu seperti di atas, maka nash itu dipalingkan dari makna zahirnya kepada sebab dan akibat. Seperti ayat “ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون”. Secara zahir, ayat ini menyuruh untuk tidak mati pada saat masih kafir, akan tetapi, ini bukanlah sesuatu yang mampu bagi manusia. Maka yang diingini dari ayat ini adalah untuk memeluk Islam sebelum datangnya kematian.[14]
Dari syarat-syarat di atas, mucul sebuah persoalan lain yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklîf. Apakah sah sebuah taklîf dengan amal yang berat? Dari sini ulama membagi masyaqqah kepada dua bentuk, yaitu al-masyaqqah al-mu’tâdah dan al-masyaqqah ghair al-mu’tâdah.[15]
1. al-Masyaqqah al-Mu’tâdah: Sebuah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudaratan baginya. Masyaqqah seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’. Hal ini biasa terjadi karena seluruh perbuatan dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Contohnya: mengerjakan solat itu bisa melelahkan badan, berpuasa itu menimbulkan rasa lapar, dan menunaikan ibadah haji itu menguras tenaga. Kesulitan seperti ini, menurut para ahli usul fiqh, berfungsi sbagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan seorang hamba dalam menjalankan taklîf syara’. Dengan demikian, masyaqqah seperti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk melaksanakan taklîf syara’.
2. al-masyaqqah ghair al-mu’tâdah: Suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, dan akan merusak jiwanya bila dipaksakan. Hal itu terjadi, biasanya apabila melebih-lebihkan perbuatan yang sebenarnya bermanfaat. Taklîf seperti ini mungkin bisa menurut akal, namun tidak ada dalam syariat. Allah tidaklah menuntut kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan dan kemudaratan. Seperti melakukan puasa terus-menerus tanpa berbuka, dan mewajibkan diri untuk sentiasa bangun solat malam. Adapun dalil yang dikemukakan ulama adalah ayat-ayat yang berbicara tentang menghilankan kesulitan dan kesempitan dalam syara’: “وما جعل عليكم في الدين مِنْ حرج”, “يريد الله أن يُخفِّف عنكم وخلق الإنسان ضعيفا” dan “يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر”. Terdapat lagi dalil-dalil seperti hadits Nabi Muhammad SAW dan fasilitas rukshah yang terdapat di dalam syariat Islam seperti jama’ dan qashor untuk mendukung penolakan terhadap pemberatan.[16]
C. Pengertian dan Pembahasan Mukallaf
Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk ism al-maf’ûl dari fi’il al-mâdli “kallafa” (كَلَّفَ), yang bermakna membebankan. Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani.
Secara istilah, mukallaf adalah:
“الإنسان الذي تعلق بفعله خطاب الشارع أو حكمه”
“Seorang manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syâri’ atau hukumnya”.[17]
Dari sini, dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum taklîfî yang sudah diterangkan.[18]
Sebagian besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar adanya taklîf (pembebanan hukum) terhadap seorang mukallaf adalah akal (العقل) dan pemahaman (الفهم). Seorang mukallaf dapat dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara baik yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’. Termasuk ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa. Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:
“رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق (رواه البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني )”
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”
“رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له (رواه ابن ماجة والطبراني)”
“Beban hukum diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.[19]
Dari sini, ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat:
1. Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf. Ini dikarenakan taklîf itu adalah khitâb, sedangkan khitâb orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas tidak mungkin (محال). Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menemukan ide (الإدراك). Hanya saja akal itu adalah sebuah perkara yang abstrak (الخفية). Maka al-Syâri’ sudah menentukan batas taklîf dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan (منضبط) yaitu sifat baligh seseorang. Sifat baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk mukallaf karena tidak memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis yang di atas.[20]
2. Seseorang telah mampu bertindak hukum/mempunyai kecakapan hukum (أهلية).
Secara istilahi, ahliyyah didefinisikan sebagai:
“صلاحية الإنسان لاستحقاق الحقوق وأداء التصرفات”
“Kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa hak dan melakukan beberapa transaksi”.[21]
Dari sini, ulama membagi sifa ahliyyah menjadi dua jenis, yaitu: Ahliyyah Wujûb dan Ahliyyah Adâ`. Definisi Ahliyyah Wujûb adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum cukup untuk dibebani seluruh kewajiban. Dasar adanya kecakapan ini adalah adanya kehidupan / nyawa (وجود الحياة).[22]
Kecakapan semacam ini menurut ulama Fiqh disebut “ذمة”, yaitu suatu sifat yang secara hukum menjadikan seseorang dapat bertindak dan menerima kewajiban tertentu. Untuk menentukannya adalah berdasarkan sifat kemanusiaannya (إنسانية) yang tidak dibatasi umur, baligh atau tidak, cerdas atau tidak. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup di dunia sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat kecakapan ini. Kecakapan ini akan hilang apabila nyawanya hilang atau meninggal dunia.[23]
Para ulama usul fiqh membagi Ahliyah al-Wujûb ini menjadi dua bagian:
1. Ahliyyah al-Wujûb al-Nâqishah (أهلية الوجوب الناقصة), yaitu: ketika seseorang masih berada di dalam kandungan ibunya. Janin dianggap memiliki Ahliyyah al-Wujûb yang belum sempurna karena hak-hak yang harus diterimanya belum dapat menjadi miliknya secara sempurna sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat. Terdapat empat macam hak seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:
a. Hak keturunan ayahnya.
b. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
c. Wasiat yang ditujukan kepadanya.
d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
2. Ahliyyah al-Wujûb al-Kâmilah (أهلية الوجوب الكاملة), yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan berakal walaupun masih kurang sempurna. Pada periode ini, seseorang telah menerima kewajiban-kewajiban tertentu, seperti kewajiban untuk menjaga harta orang tuanya, kewajiban agama yang berkaitan dengan hartanya seperti zakat, dan kewajiban membayar ganti rugi yang diambil dari hartanya apabila ia telah merusakkan harta orang lain.[24]
Ahliyyah al-`Adâ` adalah sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung-jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia melakukan perbuatan yang dituntut al-Syâri’ maka ia dianggap telah memenuhi kewajiban dan berhak mendapat pahala, sedangkan apabila ia melakukan perbuatan yang dilarang al-Syâri’ maka ia dianggap telah melanggar kewajiban dan mendapat dosa. Dasar adanya kecakapan ini adalah “تمييز”, yaitu kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan buruk dan yang bagus dan yang jelek.[25]
Ahliyyah al-`Adâ` juga terbagi menjadi dua:
1. Ahliyyah al-`Adâ` al-Nâqishah (أهلية الأداء الناقصة) yaitu, ketika seseorang masih kecil sampai dengan mencapai masa baligh dan berakal secara sempurna. Pada periode ini tindakan atau perbuatan hukum seseorang dalam hal-hal tertentu dianggap sah, seperti transaksi-transaksi yang semata-mata menguntungkan.
2. Ahliyyah al-`Adâ` al-Kâmilah (أهلية الأداء الكاملة) yaitu, periode di mana seseorang telah baligh dan berakal sempurna. Pada periode ini seluruh tindakan atau perbuatan hukum seseorang harus dipertanggung jawabkan, baik melaksakan tuntutan Syari’ maupun meninggalkan tuntutan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Transaksi-transaksi yang dilakukannya juga mengikat secara sempurna. Perpindahan seseorang dari periode sebelumnya menuju periode ini ditandai secara fisik, bagi laki-laki apabila telah mimpi basah dan bagi wanita apabila telah haid.[26]
Terkadang, beberapa penghalang dapat menghilangkan, mengurangi, atau merubah hukum-hukum ahliyyah (أهلية). Penghalang ini dibagi menjadi dua:
1. ‘Awâridl Samâwiyyah (عوارض سماوية) yaitu, halangan kecakapan yang datangnya dari Allah, seperti gila, dungu, sakit keras yang berakibat kematian, dan lupa.
2. ‘Awâridl Muktasabah (عوارض مكتسبة) yaitu, halangan kecakapan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, khilaf, bodoh, dan berada di bawah pengampuan.[27]
Sedangkan dilihat dari segi obyeknya, maka halangan kecakapan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk:
1. Halangan kecakapan yang mengakibatkan kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء) akan hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa.
2. Halangan kecakapan yang dapat mengurangi kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء), seperti dungu.
3. Halangan kecakapan yang dapat mengubah sebagian kecakapan berbuat hukum secara sempurna (أهلية الأداء), seperti orang yang berhutang, pailit, di bawah pengampuan, khilaf, dan tolol.[28]
D. Filsafat di balik Taklîf dan Mukallaf di dalam Islam
Seorang ulama yang digelar sebagai bapak kepada Filsafat Tasyrî, yaitu Imam Abu Ishâk al-Syâthibî; berpendapat bahwa tujuan dari peletakan syari’at adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari dorongan hawa nafsu, sehingga ia menjadi hamba Allah dengan kamauannya sendiri.
Adapun dalil yang mendukung pendapat ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa sesungguhnya hamba itu diciptakan untuk menyembah Allah, serta terkandung dalamnya adalah perintah Allah dan larangannya. Seperti contoh ayat “وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون”, dan “وَأْمُرْ أَهْلَكَ بالصلوة وَاصْطَبِرْ عليها لا نَسْئَلُكَ رزقا نحن نرزقك”, dan lain-lain. Banyak juga dalil yang mencela orang yang berpaling dari perintah Allah.[29]
Pendapat ini didasari juga dengan bukti ayat-ayat Alquran yang memberi kesimpulan bahwa wahyu dan nafsu itu bertentangan. Maka mengikuti hawa nafsu itu berlawanan dengan kebenaran. Dasar yang diambil adalah “يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكُمْ بين الناس بالحق ولا تَتَّبِعِ الْهوى فَيُضِلَّكَ عن سبيلِ الله”. Karenanya inilah, tidak boleh seseorang mengatakan bahwa hukum Islam dibuat sesuai dengan keinginan hawa nafsu, karena prinsip utama hukum-hukum syara’ adalah wajib, ataupun haram. Prinsip dasar ini bertentangan dengan hawa nafsu. Hukum Islam dibuat untuk kemaslahatan hamba, maka kemaslahatan itu kembali kepada hamba menurut ukuran syara’ dan kemaslahatan itu semuanya kembali kepada si mukallaf baik di dunia maupun di akhirat.[30]
Dari sinilah hamba diuntut untuk mematuhi hukum syari’at, karena tujuannya adalah kebaikan bagi hamba itu sendiri, yaitu kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Maka kesimpulan lain dari sifat taklîf ini adalah adanya hukum yang ditetapkan untuk dipatuhi mukallaf haruslah sesuatu yang dapat dilakukan atau mampu dilakukan (القدرة). Ini diaplikasikan ulama usul fiqh dengan kaedah syarat hukum taklîf yang ada di bab al-mahkûm fîh seperti yang telah diterangkan di atas.[31]
Menurut al-Syâthibî, ayat-ayat yang menuntut sebuah pekerjaan yang tidak mungkin untuk dilakukan (ما لا يطاق) haruslah dirujuk pada perbuatan yang maqdûr yang mendahului (سابق), atau yang menyusul (لاحق), atau terjadi serentak (قارن). Contohnya ayat “ولا تَمُوْتُنَّ إلا وأنتم مسلمون” yang mana secara zahir, ayat ini menyuruh untuk tidak mati pada saat masih kafir, akan tetapi, ini bukanlah sesuatu yang mampu bagi manusia. Maka yang diingini dari ayat ini adalah untuk memeluk Islam sebelum datangnya kematian.[32]
BAB III
KESIMPULAN
1. Hukum taklîfî itu berarti pembebanan terhadap mukallaf dengan menuntut sebuah perbuatan darinya, sama ada melakukan, memilih atau larangan; yang mana ia memiliki 5 jenis hukum, yaitu wajib, sunnah, mubâh, makrûh, haram.
2. Al-Mahkûm fîh memiliki arti perbuatan mukallaf yang dikenai tuntutan Allah sama ada ia berupa hukum taklîfî ataupun wadl’î dengan beberapa syarat yang telah ditentukan, salah satu darinya adalah sebuah perbuatan yang mampun untuk dilakukan mukallaf.
3. Mukallaf adalah seorang manusia yang memiliki akal, serta faham akan “خطاب الله” yang mana ketentuan perbuatannya ditentukan Syâri’ dari segi hukumnya.Filsafat dari hukum taklîf adalah bertujuan untuk mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsu menuju pada kepatuhan terhadap Allah SWT demi kedamaian dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
[1] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 37; al-Amidî, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005) Juz 1, 84; Khalîl Kaikaldî al-‘Alâ`î, al-Majmû’ al-Mudzhabi fî Qawâ’id al-Madzhab (Mekah: al-Maktabah al-Makiyyah, 2004) Juz 1, 25.
[2] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 120.
[3] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002) 1225.
[4] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 42.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 124.
[8] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 124.
[9] Ibid. 135; Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 93.
[10] Khalîl Kaikaldî al-‘Alâ`î, al-Majmû’ al-Mudzhabi fî Qawâ’id al-Madzhab (Mekah: al-Maktabah al-Makiyyah, 2004), Juz 1, 27.
[11] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 43.
[12] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 132.
[13] Akan tetapi, mayoritas ulama Asy’ariyyah berpendapat bahwa diperbolehkannya taklîf dengan sesuatu yang mustahil secara mutlak (sama ada mustahil tersebut dengan cara penalaran pada zatnya atau penalaran pada selain zatnya). Pendapat mereka ini didasari pada argumen: Sumpama tidak sah taklîf dengan sesuatu yang tidak mampu itu pasti tidak terjadi secara realita. Akan tetapi, realitasnya memang terjadi; seperti taklîf beriman untuk orang yang inkar, contohnya Abu Jahal. Dalam kasus ini menurut mereka, Allah sudah mengetahui bahwa mereka tidak akan beriman, dan Abu Jahal tidak akan pernah menyatakan beriman dan membenarkan Rasul. Bila Allah tidak mengetahuinya, berarti Allah itu tidak mengetahui. Maka ini adalah mustahil. Lihat: Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 136.
[14] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 133; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 295.
[15] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fiqh al-Islamî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) Juz 1, 133; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 300; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 326.
[16] Perlu diketahui, bahwa ketidak mampuan melaksanakan tugas yang sukar yang bukan secara adat ini menjadi dasar dari filsafat tasrî’ menurut Imam al-Syâtibî. Untuk faham lebih dalam akan masalah filsafat taklîf dalam Islam, baca di bab Filsafat taklîf dan mukallaf di dalam Islam.
[17] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 155.
[18] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 334; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 304.
[19] al-Amidî, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005) Juz 1, 130; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 335; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 305.
[20] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 156.
[21] Ibid.
[22] Ibid.; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 341; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 309; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 58.
[23] Ibid.
[24] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 157; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 341; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 310; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 59.
[25] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 157; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 340; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 308; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 59.
[26] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 158; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 60.
[27] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 159; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 343; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 311; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 60.
[28] Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) 159; Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007) 343; Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 312; M. Shofiyul Huda, Diktat Mata Kuliah Ilmu Ushul Fiqh (Kediri: Stain Kediri, 2006) 61.
[29] al-Syâtibî, al-Muwâfaqât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2004), 318.
[30] Ibid.; Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 218; Muhammad Khalid Masud, Shatibi’s Philosophy of Islamic Law (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1995), 196.
[31] al-Syâtibî, al-Muwâfaqât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2004), 281.
[32] al-Syâtibî, al-Muwâfaqât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2004), 281; Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 198.