BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Negara Serta Tujuannya
Kata negara secara bahasa memiliki arti: suatu masyarakat yang menduduki kawasan tertentu dan diperintah oleh sebuah kerajaan. Ia juga dapat diartikan dengan kawasan yang di bawah kekuasaan kerajaan tertentu, seperti contoh 'Negara China' dan lain-lain.[1] Selain dari itu, negara dapat menjadi terjemahan dari kata-kata asing, yakni state yang diambil dari bahasa Latin yaitu status atau statum. Kedua kata ini lazim diartikan dengan standing atau station. Isitilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae.[2]
Negara secara terminologi pula adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, badan politik, atau sebagai institusi kepemerintahan.[3] Menurut Kranenburg, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi, terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari kelompok itu.[4]
Sedangkan menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa. Jadi, pertama-tama negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, maka organisasi ini memiliki suatu kewibawaan dalam mana terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi tersebut. Ini berbeda dengan organisasi yang tidak memiliki kuasa yang kuat seperti negara, contohnya adalah organisasi mahasiswa, dan lain-lain.[5]
Kesimpulannya, kalau menurut Kranenburg, negara ditubuhkan oleh bangsa-bangsa (kelompok manusia) sebagai primier negara, sedangkan negara adalah sekunder. Bagi Logemann pula, yang primier adalah organisasi kekuasaannya yaitu negara. Sedangkan kelompok manusianya adalah sekunder.[6]
Berdasarkan makna dari negara dengan sebuah organisasi kemasyarakatan atau kekuasaan, maka negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama, karena sebuah organisasi yang tidak memiliki kesepakatan bersama tidak mungkin dapat terus bertahan. Akan tetapi, apa tujuan sebuah negara sangatlah relatif dan tidak dapat ditentukan secara konkrit atau pasti. Ini disebabkan, sebuah tujuan pastilah sesuai dengan latar belakang sebuah negara dengan kebutuhan yang diperlukan. Seperti contoh, dahulu ada beberapa hal yang tidak menjadi tugas negara misalnya ekonomi. Akan tetapi, sekarang ekonomi menjadi tugas negara. Begitu juga dengan pendidikan. Dahulu pendidikan menjadi tugas individu, akan tetapi sekarang ia menjadi tugas individu juga negara, karena bangsa yang memiliki pendidikan yang rendah sangat mudah tereliminasi.[7]
Walau bagaimanapun, sebagian besar dari tujuan negara adalah sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata-mata sama ada dari segi daerah jajahan, maupun pengaruh atau ekonomi, seperti Pemerintahan Nazi German atau Amerika Syarikat;
2. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum, seperti pemerintahan yang menganut pada sistem demokrasi dan kedaulatan hukum;
3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum, seperti pemerintahan Uni Soviet, Kuba, China maupun pemerintahan sosialis lainnya, dan seperti Indonesia.[8]
Bagi Islam pula, tujuan sebuah negara adalah menuju kepada kemaslahatan dan kesejahteraan sosial dengan jalan syari'at Islam sebagai pedoman menuju pada kemaslahatan.[9] Konsep ini hanpir sama dengan sistem teokrasi yang dipelopori Thomas Aquinas dan Agustinus. Menurut sistem ini, tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Sedangkan pemimpin menjalankan kekuasaannya hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepadanya.[10]
B. Sistem Pemerintahan
Setiap negara memiliki sistem tersendiri dalam menjalankan roda kepemerintahannya. Sebut saja sistem yang dianut Indonesia dan Thailand maupun Malaysia. Walaupun kedua negara ini bertetangga, akan tetapi sistem yang dianut banyak terdapat perbedaan. Kalau di Indonesia, sistem kepemerintahannya menganut pada sistem demokrasi yang meletakkan legitimasi kekuasaannya pada rakyat atau dapat disebut dengan kedaulatan rakyat yang meletakkan amanatnya pada konstitusi atau parlimen (MPR).
Sedangkan Thailand, begitu pula Malaysia, mengadopsi sistem kerajaan Inggris Raya (Great Britain); dengan sistem monarki serta kekuatan konstitusi parlimen (demokrasi). Sistem ini mengakui kedaulatan raja, juga meletakkan roda kepimpinan pada kekuatan parlimen dengan sistem demokrasi melalui Perdana Menteri (Prime Minister). Jadi, kekuatan roda kepemerintahan seorang Perdana Menteri dapat dikawal oleh Raja di bawah konstitusi. Sedangkan roda kepemerintahan tetap dijalankan Perdana Menteri karena ia sebagai hasil dari sistem demokrasi yang memilihnya. Dalam hal ini, seorang Raja dapat melakukan pencopotan terhadap Perdana Menteri, begitu juga dapat memberi amnesti terhadap pelaku kriminal. Akan tetapi, seorang raja tidak berhak untuk memerintah dengan alasan demokrasi. Kejadian ini dibuktikan sejarah dengan kudeta di Thailand.
Sistem pemerintahan dapat dibagi menjadi tiga jenis:
Monarki: Kata monarki merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu momos yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Monarki adalah sebuah sistem kepemerintahan yang dipegang hanya oleh satu orang, atau kedaulatan bagi satu orang. Biasanya, orang yang memegang pucuk kepimpinan ini disebut dengan sebutan Raja (King) atau Emperor.[11] Sistem ini, menurut kebanyakan ahli filsafat adalah sebuah sistem yang bersifat tirani.[12] Akan tetapi, Islam justru lebih dekat dengan sistem ini, karena melihat pada tujuan negara sendiri yaitu untuk maslahat. Seumpama sebuah negara memiliki lebih dari satu pemimpin, dikhawatirkan terdapat perbenturan kebijaksanaan. Para ulama mengambil dasar dari Surah al-Anbiyâ', ayat 22: "لَوْ كَانَ فِيهِمَا ءَالِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ". Dari pernyataan ini, seorang Raja pada dasarnya memiliki kekuasaan mutlak. Untuk mengantisipasi dari kezaliman, maka Islam meletakkan konsep kedaulatan hukum (Syari'at) sebagai aturan kepemerintahan. Inilah alasan mengapa kebanyakan negara Islam seperti Umayyah, Abbasiyyah, Ottoman, Saudi Arabia, dan Brunei memilih sistem monarki.[13]
Demokrasi: Asal nama dari demokrasi adalah dari bahasa Yunani "dēmokratiā " yaitu ''dēmos" (Rakyat) dan "kratos" (Memerintah). Sistem demokrasi adalah merupakan bentuk negara yang pimpinan (pemerintah) tertinggi negara terletak di tangan rakyat. Dalam bentuk negara yang demokratis, rakyat memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan.[14] Sistem ini adalah yang paling terkenal pada zaman ini. Hampir semua negara menganut sistem ini. Ini disebabkan, adanya demokrasi menganut pada pilihan rakyat yang diyakini sebagai perkara yang paling adil dan benar. Sistem menentukan apa yang menjadi pilihan rakyat biasanya dengan sistem pemilihan umum, dalam memilih perwakilan rakyat di parlimen. Dengan parlimen inilah nantinya akan menentukan seorang presiden atau pemimpin tertinggi.[15] Pemimpin tertinggi ini bertanggung jawab untuk memerintah dan menyelesaikan permasalahan negara dengan kebijakan darinya dan orang yang ia percayai. Sedangkan parlimen memiliki kekuasaan untuk merubah dan menetukan undang-undang negara serta mengamat presiden agar tidak terjadi tirani, dan penyalahgunaan kekuasaan. Akan tetapi, banyak juga tirani terbentuk dari demokrasi, seperti pemerintahan Adolf Hitler (Nazi German), Suharto (Golkar pra reformasi), Idi Amin (Mantan Presiden Uganda). Pemimpin ini pada awalnya disukai rakyat, akan tetapi, pada akhirnya menjadi pemimpin yang tirani dan menindas siapa saja yang bercanggah dengannya. Banyak juga negara yang menganut sistem demokrasi, akan tetapi tidak sanggup mengeluarkan negaranya dari krisis seperti Indonesia, Filipina, dan lain-lain. Seperti Indonesia, yang sangat mendewakan demokrasi, terbukti setelah melakukan perubahan pucuk pimpinan berkali-kali tetap tidak mampu keluar dari reformasi. Dapat dilihat secara nyata, Indonesia setiap harinya penuh dengan demonstrasi yang terkadang demonstrasi tersebut tidak diperlukan. Kadang pemerintah atasan sudah berfikir lebih jauh daripada gerakan-gerakan rakyat atau mahasiswa yang terus menentang pemerintah. Indonesia belum pernah memiliki seorang pemimpin yang naik secara positif, dan turun juga secara positif. Presiden Sukarno naik secara positif, akan tetapi dilengser oleh rakyat (negatif). Begitu juga Presiden Suharto. Presiden B.J. Habibie naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Presiden Suharto (dianggap negatif karena kenaikannya bukan pilihan rakyat), baru turunnya secara positif. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), naik secara positif, akan tetapi dilengser MPR (negatif). Presiden Megawati naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Abdurrahman Wahid (negatif), turun secara positif. Apakah Presiden Susilo Bambang Yudohono yang naiknya secara positif turunnya juga positif? Kenyataan yang dapat dilihat adalah mahasiswa masih saja tetap berdemonstrasi meminta Presiden Susilo Bambang Yudohono untuk turun.
Pada dasarnya, Islam tidak menentukan sistem manakah yang dianut, akan tetapi, Islam secara tegas menuntut sebuah negara untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Ini sesuai dengan kaedah fiqh "تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة".[16] Jadi, bagi sebuah negara, untuk mencapai kemaslahatan yang terbaik baginya adalah monarki, maka sistem itulah yang dianut. Jika yang terbaik adalah demokrasi, maka demokrasilah yang dianut sesuai dengan kelebihan dan kekurangannya.[17]
C. Relasi Antara Negara dan Agama
Menurut teori teokrasi,[18] sebuah negara itu diibaratkan sebagai sebuah perkara yang tidak dapat dipisahkan dengan agama. Maka dari itu, segala sesuatu haruslah berdasarkan pada agama. Seperti contoh, pemerintahan Paus (Papal State). Segala undang-undang di negara ini merujuk pada Kitab Suci Injil.[19]
Sedangkan menurut teori Sekuler, bahwa negara dan agama itu tidak ada hubungan sama sekali. Negara adalah urusan yang berhubungan antara manusia dengan manusia itu sendiri. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan ini, kedua perkara ini tidak dapat disatukan. Maka dari itu, setiap kebijakan yang ditentukan untuk menyikapi sebuah masalah dalam negara haruslah ditentukan dengan kesepakatan antara para ahli, bukanlah berdasarkan firman-firman Tuhan, meskipun keputusan tersebut bertentangan dengan firman Tuhan.[20] Teori ini berkembang pesat pada abad ke XVI yaitu pada zaman renaissance.[21]
Menurut teori Komunisme,[22] yang dipelopori Karl Marx dan Lenin beranggapan bahwa negara dan agama berdasarkan pada filosofis materialisme-dialektis dan materialisme-historis. Paham ini akan menimbulkan paham atheis (tidak ada Tuhan). Paham ini mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat yang digambarkan sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Maka dari itu, paham ini berpendapat bahwa agama harus ditahan dan dilarang. Nilai tertinggi bagi negara adalah materi, karena manusia pada hakikatnya adalah materi.[23]
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Islam tidak pernah mengatur sistem pemerintahan yang baku. Tegasnya, Islam hanya menuntut agar umat muslim melaksanakan syari'at dan pemerintahan memberikan yang terbaik bagi rakyat. Maka dari itu, menurut penulis, hubungan antara negara dan agama menurut Islam adalah sangat reletif. Seumpama sebuah negara hanya dapat memberikan yang terbaik bagi rakyat, serta dapat memberi peluang bagi umat muslim untuk menjalankan syari'at dengan meletakkan posisi negara sebagai negara sekuler, maka itulah yang menjadi kewajiban bagi negara tersebut di sisi Islam.[24] Seperti contoh Indonesia, yang seumpama menjadikan negara Islam bagi NKRI, maka dikhawatirkan terjadi konflik berkepanjangan yang justru akan membuat umat muslim tidak bebas melaksanakan kewajibannya.
Ini berbeda dengan Kerajaan Saudi Arabia pula, yang seumpama menjadikan ia sebagai negara sekuler, justru akan menyebabkan kerusakan terhadap tanah suci yang dikhawatirkan kalau berhaluan non muslim akan berakibat hilangnya nilai-nilai moral Islamis.
KESIMPULAN
Negara adalah sebuah organisasi kekuasaan yang tertinggi daripada organisasi kekuasaan yang lain, seperti organisasi mahasiswa, LSM, dan organisasi-organisasi yang lain. Dengan kekuasaan yang tinggi ini, negara diharapkan dapat memberikan yang terbaik bagi rakyat, karena itulah tujuan terbentuknya negara itu. Seumpama negara gagal dalam memberikan terbaik bagi rakyatnya, maka secara otomatis, negara tersebut disebut sebagai negara yang jelek, dan harus untuk direformasi bentuknya.
Maka atas dasar itu, terbentuklah beberapa teori tentang negara, mulai dari sistemnya, sampailah apa saja yang berhubungan dengannya. Dalam menyikapai, teori mana yang terbaik, perdebatan antara ahli tidaklah dapat dibendung. Akan tetapi, faktor empiris telah berbicara; bahwa segala sesuatu itu tergantung pada situasi dan bagaimana sebuah negara menjalankannya. Seperti monarki terbukti dapat memberikan yang terbaik bagi Brunei, yang mungkin saja seumpama memakai sistem demokrasi seperti Indonesia malah membuat ia menjadi kacau. Begitu juga dengan Indonesia, yang seumpama mengadopsi sistem monarki akan mengakibatkan munculnya gerakan sparatis sebagai dampak dari negara yang multi kultural dan multi etnis.Selanjutnya, perbicaraan antara agama dengan negara juga menjadi sebuah tema yang sangat dialektis. Ini mengacu pada munculnya zaman renaissance di Eropa yang memisahkan kekuasaan Paus terhadap negara-negara Eropa yang memiliki Raja sejak dahulu. Sedangkan Islam sendiri, awal berdirinya memang identik dengan mensatukan agama dengan negara. Akan tetapi, Islam juga tidak secara jelas mewajibkan untuk membentuk sebuah negara yang mensatukan kepala negara dengan agama, seperti apa yang dipercayai oleh kaum Katolik (Paus adalah wakil Tuhan di bumi). Yang jelas dalam Islam, nilai-nilai keislamanlah yang diwajibkan bagi seluruh umat muslim. Maka dari itu, negara Islam bukanlah tujuan, akan tetapi hanya wasilah. Sedangkan wasilah bisa dengan bentuk apapun selagi tidak menyalahi aturan mestinya.
[1] Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Ampang: Dawama, 2005), 1074.
[2] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 41.
[3] "State", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006).
[4] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 142.
[5] Ibid., 143.
[6] Ibid., 142-143.
[7] Ibid., 147-148.
[8] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 43.
[9] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29; Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinbutgh University Press, 2004), 263.
[10] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 44.
[11] Ibid., 58; "Monarchy", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006).
[12] Sebuah sistem yang akan menjurus pada kekejaman dan keterbatasan, karena diperintah secara mutlak oleh satu orang tanpa ada yang berada di atasnya.
[13] Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinbutgh University Press, 2004), 263; Ali bin Muhammad al-Mâwardî, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn (Beirut: Dâr Maktabah al-Hayyât, t.t.), 137.
[14] Robert A. Dahl, "Democracy", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006); Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 58.
[15] Ini adalah bentuk pemilihan yang banyak diikuti negara demokrasi seperti Malaysia, dan lain-lain. Akan tetapi, banyak juga negara yang memiliki bentuk lain dalam pemilihan presiden yaitu dengan pemilihan langsung, seperti Amerika Syarikat, Indonesia, dan lain-lain.
[16] Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh (Kediri: Purna Siswa III Aliyah, 2005), 75-87.
[17] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29.
[18] Teori ini pertama kalinya dipelopori Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Teori ini berkembang antara abad ke V sampai abad ke XV. Lihat: Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 152.
[19] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 59.
[20] Ibid., 60.
[21] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 68.
[22] Komunisme adalah sebuah ideologi yang mengajarkan bahwa tidak ada hak pribadi terhadap harta. Semua material dimiliki sepenuhnya oleh negara atau komunitas tersebut, dan diberi kepada setiap individu sesuai dengan kebutuhannya, bukan sesuai dengan berapa yang ia memproduktif. Jadi, Komunisme adalah sebuah paham negara yang mensejajarkan seluruh rakyatnya sebagai satu tahap atau sama antara satu dengan yang lain. Konsep ini menghapus perbedaan tahap kehidupan sosial seperti adanya golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah. Ideologi ini muncul akibat dari sistem kapitalis yang merajalela, dan dipercaya bahwa sistem komunis ini mampu untuk merubah taraf kehidupan menjadi lebih baik. Lihat: "Communism", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006)
[23] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 60.
[24] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29; Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 62.
PEMBAHASAN
A. Definisi Negara Serta Tujuannya
Kata negara secara bahasa memiliki arti: suatu masyarakat yang menduduki kawasan tertentu dan diperintah oleh sebuah kerajaan. Ia juga dapat diartikan dengan kawasan yang di bawah kekuasaan kerajaan tertentu, seperti contoh 'Negara China' dan lain-lain.[1] Selain dari itu, negara dapat menjadi terjemahan dari kata-kata asing, yakni state yang diambil dari bahasa Latin yaitu status atau statum. Kedua kata ini lazim diartikan dengan standing atau station. Isitilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae.[2]
Negara secara terminologi pula adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, badan politik, atau sebagai institusi kepemerintahan.[3] Menurut Kranenburg, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi, terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari kelompok itu.[4]
Sedangkan menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa. Jadi, pertama-tama negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, maka organisasi ini memiliki suatu kewibawaan dalam mana terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi tersebut. Ini berbeda dengan organisasi yang tidak memiliki kuasa yang kuat seperti negara, contohnya adalah organisasi mahasiswa, dan lain-lain.[5]
Kesimpulannya, kalau menurut Kranenburg, negara ditubuhkan oleh bangsa-bangsa (kelompok manusia) sebagai primier negara, sedangkan negara adalah sekunder. Bagi Logemann pula, yang primier adalah organisasi kekuasaannya yaitu negara. Sedangkan kelompok manusianya adalah sekunder.[6]
Berdasarkan makna dari negara dengan sebuah organisasi kemasyarakatan atau kekuasaan, maka negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama, karena sebuah organisasi yang tidak memiliki kesepakatan bersama tidak mungkin dapat terus bertahan. Akan tetapi, apa tujuan sebuah negara sangatlah relatif dan tidak dapat ditentukan secara konkrit atau pasti. Ini disebabkan, sebuah tujuan pastilah sesuai dengan latar belakang sebuah negara dengan kebutuhan yang diperlukan. Seperti contoh, dahulu ada beberapa hal yang tidak menjadi tugas negara misalnya ekonomi. Akan tetapi, sekarang ekonomi menjadi tugas negara. Begitu juga dengan pendidikan. Dahulu pendidikan menjadi tugas individu, akan tetapi sekarang ia menjadi tugas individu juga negara, karena bangsa yang memiliki pendidikan yang rendah sangat mudah tereliminasi.[7]
Walau bagaimanapun, sebagian besar dari tujuan negara adalah sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata-mata sama ada dari segi daerah jajahan, maupun pengaruh atau ekonomi, seperti Pemerintahan Nazi German atau Amerika Syarikat;
2. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum, seperti pemerintahan yang menganut pada sistem demokrasi dan kedaulatan hukum;
3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum, seperti pemerintahan Uni Soviet, Kuba, China maupun pemerintahan sosialis lainnya, dan seperti Indonesia.[8]
Bagi Islam pula, tujuan sebuah negara adalah menuju kepada kemaslahatan dan kesejahteraan sosial dengan jalan syari'at Islam sebagai pedoman menuju pada kemaslahatan.[9] Konsep ini hanpir sama dengan sistem teokrasi yang dipelopori Thomas Aquinas dan Agustinus. Menurut sistem ini, tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Sedangkan pemimpin menjalankan kekuasaannya hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepadanya.[10]
B. Sistem Pemerintahan
Setiap negara memiliki sistem tersendiri dalam menjalankan roda kepemerintahannya. Sebut saja sistem yang dianut Indonesia dan Thailand maupun Malaysia. Walaupun kedua negara ini bertetangga, akan tetapi sistem yang dianut banyak terdapat perbedaan. Kalau di Indonesia, sistem kepemerintahannya menganut pada sistem demokrasi yang meletakkan legitimasi kekuasaannya pada rakyat atau dapat disebut dengan kedaulatan rakyat yang meletakkan amanatnya pada konstitusi atau parlimen (MPR).
Sedangkan Thailand, begitu pula Malaysia, mengadopsi sistem kerajaan Inggris Raya (Great Britain); dengan sistem monarki serta kekuatan konstitusi parlimen (demokrasi). Sistem ini mengakui kedaulatan raja, juga meletakkan roda kepimpinan pada kekuatan parlimen dengan sistem demokrasi melalui Perdana Menteri (Prime Minister). Jadi, kekuatan roda kepemerintahan seorang Perdana Menteri dapat dikawal oleh Raja di bawah konstitusi. Sedangkan roda kepemerintahan tetap dijalankan Perdana Menteri karena ia sebagai hasil dari sistem demokrasi yang memilihnya. Dalam hal ini, seorang Raja dapat melakukan pencopotan terhadap Perdana Menteri, begitu juga dapat memberi amnesti terhadap pelaku kriminal. Akan tetapi, seorang raja tidak berhak untuk memerintah dengan alasan demokrasi. Kejadian ini dibuktikan sejarah dengan kudeta di Thailand.
Sistem pemerintahan dapat dibagi menjadi tiga jenis:
Monarki: Kata monarki merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu momos yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Monarki adalah sebuah sistem kepemerintahan yang dipegang hanya oleh satu orang, atau kedaulatan bagi satu orang. Biasanya, orang yang memegang pucuk kepimpinan ini disebut dengan sebutan Raja (King) atau Emperor.[11] Sistem ini, menurut kebanyakan ahli filsafat adalah sebuah sistem yang bersifat tirani.[12] Akan tetapi, Islam justru lebih dekat dengan sistem ini, karena melihat pada tujuan negara sendiri yaitu untuk maslahat. Seumpama sebuah negara memiliki lebih dari satu pemimpin, dikhawatirkan terdapat perbenturan kebijaksanaan. Para ulama mengambil dasar dari Surah al-Anbiyâ', ayat 22: "لَوْ كَانَ فِيهِمَا ءَالِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ". Dari pernyataan ini, seorang Raja pada dasarnya memiliki kekuasaan mutlak. Untuk mengantisipasi dari kezaliman, maka Islam meletakkan konsep kedaulatan hukum (Syari'at) sebagai aturan kepemerintahan. Inilah alasan mengapa kebanyakan negara Islam seperti Umayyah, Abbasiyyah, Ottoman, Saudi Arabia, dan Brunei memilih sistem monarki.[13]
Demokrasi: Asal nama dari demokrasi adalah dari bahasa Yunani "dēmokratiā " yaitu ''dēmos" (Rakyat) dan "kratos" (Memerintah). Sistem demokrasi adalah merupakan bentuk negara yang pimpinan (pemerintah) tertinggi negara terletak di tangan rakyat. Dalam bentuk negara yang demokratis, rakyat memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan.[14] Sistem ini adalah yang paling terkenal pada zaman ini. Hampir semua negara menganut sistem ini. Ini disebabkan, adanya demokrasi menganut pada pilihan rakyat yang diyakini sebagai perkara yang paling adil dan benar. Sistem menentukan apa yang menjadi pilihan rakyat biasanya dengan sistem pemilihan umum, dalam memilih perwakilan rakyat di parlimen. Dengan parlimen inilah nantinya akan menentukan seorang presiden atau pemimpin tertinggi.[15] Pemimpin tertinggi ini bertanggung jawab untuk memerintah dan menyelesaikan permasalahan negara dengan kebijakan darinya dan orang yang ia percayai. Sedangkan parlimen memiliki kekuasaan untuk merubah dan menetukan undang-undang negara serta mengamat presiden agar tidak terjadi tirani, dan penyalahgunaan kekuasaan. Akan tetapi, banyak juga tirani terbentuk dari demokrasi, seperti pemerintahan Adolf Hitler (Nazi German), Suharto (Golkar pra reformasi), Idi Amin (Mantan Presiden Uganda). Pemimpin ini pada awalnya disukai rakyat, akan tetapi, pada akhirnya menjadi pemimpin yang tirani dan menindas siapa saja yang bercanggah dengannya. Banyak juga negara yang menganut sistem demokrasi, akan tetapi tidak sanggup mengeluarkan negaranya dari krisis seperti Indonesia, Filipina, dan lain-lain. Seperti Indonesia, yang sangat mendewakan demokrasi, terbukti setelah melakukan perubahan pucuk pimpinan berkali-kali tetap tidak mampu keluar dari reformasi. Dapat dilihat secara nyata, Indonesia setiap harinya penuh dengan demonstrasi yang terkadang demonstrasi tersebut tidak diperlukan. Kadang pemerintah atasan sudah berfikir lebih jauh daripada gerakan-gerakan rakyat atau mahasiswa yang terus menentang pemerintah. Indonesia belum pernah memiliki seorang pemimpin yang naik secara positif, dan turun juga secara positif. Presiden Sukarno naik secara positif, akan tetapi dilengser oleh rakyat (negatif). Begitu juga Presiden Suharto. Presiden B.J. Habibie naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Presiden Suharto (dianggap negatif karena kenaikannya bukan pilihan rakyat), baru turunnya secara positif. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), naik secara positif, akan tetapi dilengser MPR (negatif). Presiden Megawati naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Abdurrahman Wahid (negatif), turun secara positif. Apakah Presiden Susilo Bambang Yudohono yang naiknya secara positif turunnya juga positif? Kenyataan yang dapat dilihat adalah mahasiswa masih saja tetap berdemonstrasi meminta Presiden Susilo Bambang Yudohono untuk turun.
Pada dasarnya, Islam tidak menentukan sistem manakah yang dianut, akan tetapi, Islam secara tegas menuntut sebuah negara untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Ini sesuai dengan kaedah fiqh "تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة".[16] Jadi, bagi sebuah negara, untuk mencapai kemaslahatan yang terbaik baginya adalah monarki, maka sistem itulah yang dianut. Jika yang terbaik adalah demokrasi, maka demokrasilah yang dianut sesuai dengan kelebihan dan kekurangannya.[17]
C. Relasi Antara Negara dan Agama
Menurut teori teokrasi,[18] sebuah negara itu diibaratkan sebagai sebuah perkara yang tidak dapat dipisahkan dengan agama. Maka dari itu, segala sesuatu haruslah berdasarkan pada agama. Seperti contoh, pemerintahan Paus (Papal State). Segala undang-undang di negara ini merujuk pada Kitab Suci Injil.[19]
Sedangkan menurut teori Sekuler, bahwa negara dan agama itu tidak ada hubungan sama sekali. Negara adalah urusan yang berhubungan antara manusia dengan manusia itu sendiri. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan ini, kedua perkara ini tidak dapat disatukan. Maka dari itu, setiap kebijakan yang ditentukan untuk menyikapi sebuah masalah dalam negara haruslah ditentukan dengan kesepakatan antara para ahli, bukanlah berdasarkan firman-firman Tuhan, meskipun keputusan tersebut bertentangan dengan firman Tuhan.[20] Teori ini berkembang pesat pada abad ke XVI yaitu pada zaman renaissance.[21]
Menurut teori Komunisme,[22] yang dipelopori Karl Marx dan Lenin beranggapan bahwa negara dan agama berdasarkan pada filosofis materialisme-dialektis dan materialisme-historis. Paham ini akan menimbulkan paham atheis (tidak ada Tuhan). Paham ini mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat yang digambarkan sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Maka dari itu, paham ini berpendapat bahwa agama harus ditahan dan dilarang. Nilai tertinggi bagi negara adalah materi, karena manusia pada hakikatnya adalah materi.[23]
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Islam tidak pernah mengatur sistem pemerintahan yang baku. Tegasnya, Islam hanya menuntut agar umat muslim melaksanakan syari'at dan pemerintahan memberikan yang terbaik bagi rakyat. Maka dari itu, menurut penulis, hubungan antara negara dan agama menurut Islam adalah sangat reletif. Seumpama sebuah negara hanya dapat memberikan yang terbaik bagi rakyat, serta dapat memberi peluang bagi umat muslim untuk menjalankan syari'at dengan meletakkan posisi negara sebagai negara sekuler, maka itulah yang menjadi kewajiban bagi negara tersebut di sisi Islam.[24] Seperti contoh Indonesia, yang seumpama menjadikan negara Islam bagi NKRI, maka dikhawatirkan terjadi konflik berkepanjangan yang justru akan membuat umat muslim tidak bebas melaksanakan kewajibannya.
Ini berbeda dengan Kerajaan Saudi Arabia pula, yang seumpama menjadikan ia sebagai negara sekuler, justru akan menyebabkan kerusakan terhadap tanah suci yang dikhawatirkan kalau berhaluan non muslim akan berakibat hilangnya nilai-nilai moral Islamis.
KESIMPULAN
Negara adalah sebuah organisasi kekuasaan yang tertinggi daripada organisasi kekuasaan yang lain, seperti organisasi mahasiswa, LSM, dan organisasi-organisasi yang lain. Dengan kekuasaan yang tinggi ini, negara diharapkan dapat memberikan yang terbaik bagi rakyat, karena itulah tujuan terbentuknya negara itu. Seumpama negara gagal dalam memberikan terbaik bagi rakyatnya, maka secara otomatis, negara tersebut disebut sebagai negara yang jelek, dan harus untuk direformasi bentuknya.
Maka atas dasar itu, terbentuklah beberapa teori tentang negara, mulai dari sistemnya, sampailah apa saja yang berhubungan dengannya. Dalam menyikapai, teori mana yang terbaik, perdebatan antara ahli tidaklah dapat dibendung. Akan tetapi, faktor empiris telah berbicara; bahwa segala sesuatu itu tergantung pada situasi dan bagaimana sebuah negara menjalankannya. Seperti monarki terbukti dapat memberikan yang terbaik bagi Brunei, yang mungkin saja seumpama memakai sistem demokrasi seperti Indonesia malah membuat ia menjadi kacau. Begitu juga dengan Indonesia, yang seumpama mengadopsi sistem monarki akan mengakibatkan munculnya gerakan sparatis sebagai dampak dari negara yang multi kultural dan multi etnis.Selanjutnya, perbicaraan antara agama dengan negara juga menjadi sebuah tema yang sangat dialektis. Ini mengacu pada munculnya zaman renaissance di Eropa yang memisahkan kekuasaan Paus terhadap negara-negara Eropa yang memiliki Raja sejak dahulu. Sedangkan Islam sendiri, awal berdirinya memang identik dengan mensatukan agama dengan negara. Akan tetapi, Islam juga tidak secara jelas mewajibkan untuk membentuk sebuah negara yang mensatukan kepala negara dengan agama, seperti apa yang dipercayai oleh kaum Katolik (Paus adalah wakil Tuhan di bumi). Yang jelas dalam Islam, nilai-nilai keislamanlah yang diwajibkan bagi seluruh umat muslim. Maka dari itu, negara Islam bukanlah tujuan, akan tetapi hanya wasilah. Sedangkan wasilah bisa dengan bentuk apapun selagi tidak menyalahi aturan mestinya.
[1] Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Ampang: Dawama, 2005), 1074.
[2] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 41.
[3] "State", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006).
[4] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 142.
[5] Ibid., 143.
[6] Ibid., 142-143.
[7] Ibid., 147-148.
[8] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 43.
[9] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29; Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinbutgh University Press, 2004), 263.
[10] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 44.
[11] Ibid., 58; "Monarchy", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006).
[12] Sebuah sistem yang akan menjurus pada kekejaman dan keterbatasan, karena diperintah secara mutlak oleh satu orang tanpa ada yang berada di atasnya.
[13] Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinbutgh University Press, 2004), 263; Ali bin Muhammad al-Mâwardî, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn (Beirut: Dâr Maktabah al-Hayyât, t.t.), 137.
[14] Robert A. Dahl, "Democracy", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006); Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 58.
[15] Ini adalah bentuk pemilihan yang banyak diikuti negara demokrasi seperti Malaysia, dan lain-lain. Akan tetapi, banyak juga negara yang memiliki bentuk lain dalam pemilihan presiden yaitu dengan pemilihan langsung, seperti Amerika Syarikat, Indonesia, dan lain-lain.
[16] Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh (Kediri: Purna Siswa III Aliyah, 2005), 75-87.
[17] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29.
[18] Teori ini pertama kalinya dipelopori Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Teori ini berkembang antara abad ke V sampai abad ke XV. Lihat: Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 152.
[19] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 59.
[20] Ibid., 60.
[21] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 68.
[22] Komunisme adalah sebuah ideologi yang mengajarkan bahwa tidak ada hak pribadi terhadap harta. Semua material dimiliki sepenuhnya oleh negara atau komunitas tersebut, dan diberi kepada setiap individu sesuai dengan kebutuhannya, bukan sesuai dengan berapa yang ia memproduktif. Jadi, Komunisme adalah sebuah paham negara yang mensejajarkan seluruh rakyatnya sebagai satu tahap atau sama antara satu dengan yang lain. Konsep ini menghapus perbedaan tahap kehidupan sosial seperti adanya golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah. Ideologi ini muncul akibat dari sistem kapitalis yang merajalela, dan dipercaya bahwa sistem komunis ini mampu untuk merubah taraf kehidupan menjadi lebih baik. Lihat: "Communism", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006)
[23] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 60.
[24] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29; Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 62.