Tuesday, October 20, 2009

Tafsir Ayat-Ayat tentang Keadilan di Peradilan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pergaulan antar manusia tentunya pasti menimbulkan sebuah masalah. Ibarat kata lidah saja tergigit apatah lagi suami istri. Begitu juga suami istri saja ada masalah, apatah lagi antar masyarakat yang tidak ada hubungan tali kasih, tentunya dengan mudah wujudnya sebuah permasalahan.
Fenomena ini sejak dulu memiliki jalan keluar, yaitu penyelesaian secara hukum. Dalam sejarah, penetapan sebuah ketentuan hukum adalah melalui peradilan, sama ada bentuknya itu secara formal seperti di peradilan yang diiktiraf negara, maupun peradilan non formal seperti mediasi maupun abritase.
Penyelesaian secara hukum ini tentunya harus berdasarkan keadilan. Lebih-lebih lagi adil merupakan hak azazi manusia. Bukan hanya filsafat modern yang menetapkan itu, akan tetapi banyak sekali ayat dalam Alquran – sebagai sumber utama muslim – mewajibkan menghukumi sesuatu perkara harus dengan adil.
Pemahaman adil dalam menghukumi ini tentunya memerlukan pentafsiran yang valid, karena batasan adil sendiri masih sangat umum dan terdapat banyak versi. Hanya dengan meneliti tafsir ahkam bagi ayat-ayat tentang adil sahaja yang dapat menghasilkan konsep menghukumi dengan adil dalam Islam.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat banyak ayat tentang adil yang ditemukan oleh penulis dalam Alquran. Setelah dibaca setiap satunya, maka penulis memfokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan amanat dan menghukum dengan adil.
2. Perlakuan sama di dalam peradilan dan persaksian.
3. Keadilan tidak hanya bagi orang Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Menyampaikan Amanat dan Menghukum dengan Adil
Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 58 sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Sebuah riwayat yang menceritakan ayat tentang memberikan amanat dan hak kepada yang berhak serta menghukum dengan adil ini adalah sebuah kisah ketika terjadinya pembukaan kota Mekkah. Ketika itu, penjaga ka’bah adalah ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr. Beliau mengunci ka’bah. Maka ‘Abbâs mengambil dengan paksa kunci tersebut. Lalu Rasulullah mengutus ‘Alî RA untuk meminta ‘Abbâs mengembalikan kunci tersebut dan meminta maaf kepada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr. Setelah itu, ‘Alî RA pun menceritakan pada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr bahwa ayat ini diturunkan kepadanya. Maka ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr pun memeluk Islam.[1]
Walaupun ayat ini diturunkan oleh sebab yang tertentu, akan tetapi ayat ini tetap berlaku secara umum dan bukan hanya tertakluk pada sebab kisah ini. Ini dikarenakan oleh sebuah kaedah dalam ‘ulûm al-Qur`ân yang berbunyi “العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب”.[2]
Perintah awal dari ayat ini adalah supaya menjalani amanat dengan memberikannya kepada ahlinya bagi setiap muslimin. Sama ada hak bagi dirinya sendiri maupun hak bagi orang lain serta hak Allah secara umum.[3]
Contoh menjaga amanah dalam hak Allah adalah seperti mematuhi perintahnya dan menjauhi larangannya. Menjaga amanah bagi hak manusia itu sendiri adalah seperti tidak melakukan kecuali apa yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Sedangkan menjaga amanah bagi orang lain adalah seperti tidak menipu ketika bermuamalat, berjihad, dan nasihat.[4]
Setelah menetapkan amanah, maka datanglah giliran menghukumi dengan adil diantara manusia. Dalam firman Allah yang berbunyi “حَكَمْتُمْ” adalah merupakan fi’il mâdli yang bertemu dengan dlamîr muttashilأنتم”. Ia memiliki arti “القضاء” yaitu menghukumi. Asal usulnya bermakna “المنع” yaitu mencegah. Contohnya: “حكمت عليه بكذا إذا منعته مِنْ خِلَافِهِ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْ ذَلِكَ وَحَكَمْتُ بَيْنَ الْقَوْمِ فَصَلْتُ بَيْنَهُمْ فَأَنَا حَاكِمٌ” yang berarti: “aku menghukum terhadapnya begini ketika akau menghalangnya dari melakukan sebaliknya, maka dia tidak mampu melakukan selain itu. Dan aku menghukum di antara kaum yaitu memutuskan di antara mereka maka aku adalah seorang hakim”.[5]
Secara istilah, kata menghukumi atau dalam bahasa Arab yang lebih dikenali dengan kata “القضاء” itu adalah memisah pertengkarang/persengketaan dan menghilangkan perselisihan. Ia adalah dituntut dalam Islam berdasarkan firman Allah “إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله”.[6]
Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylî, bahwa kata “adil” di dalam ayat ini adalah “إيصال الحق إلى صاحبه من أقرب طريق” yaitu “memberikan hak kepada pemiliknya dengan jalan yang terdekat”.[7]
Keadilan adalah merupkan asas kepimpinan. Ia adalah asal dari dasar-dasar hukum di dalam Islam. Wajib ada bagi masyarakat sosial agar yang lemah dapat mengambil haknya. Yang kuat tidak merampas dari yang lemah. Terlestarilah keamanan. Seluruh syariat yang datang dari Allah (seperti agama Yahudi dan Nasrani) itu mewajibkan mendirikan keadilan. Maka dari itu, wajib bagi hakim dan perangkat pemerintahan melestarikan keadilan sehingga hak-hak tersentuh ahlinya.[8]
Dalam membahas tentang adil ini, Alquran menyebutkannya di lebih dari satu tempat. Seperti contoh Surah al-Nahl ayat 90 yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون
Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Kata adil menurut `Ibn ‘Athiyyah: “telah berkata al-Qâdlî `Abû Muhammad: Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat, kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan kezaliman, memberikan sesuatu yang hak”.[9]
B. Perlakuan Sama di Dalam Peradilan dan Persaksian
Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 135 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Sebab turunya ayat ini ditakhrîj `Ibn Jarîr dari al-Sadiyyi. Ketika ayat ini diturunkan, terdapat dua orang lelaki yang sedang bersengketa yaitu satu kaya dan satu fakir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyebelahi yang fakir, dengan pandangan orang fakir tidak mungkin menzalimi yang kaya. Maka Allah enggan menerimanya kecuali menegakkan keadilan dalam arti seimbang di antara yang kaya dan fakir.[10]
Dalam ayat ini, kata adil digunakan dengan kata “القسط” yang secara bahasa memiliki arti adil, seimbang, tengah-tengah di dalam segala perkara.[11] Ini sama seperti yang terdapat di dalam surah al-`A’râf ayat 29:
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
Terjemahan: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memerintah hambanya yang mukmin agar menjadi orang yang benar-benar menegakkan keadilan. Dalam hal, keadilan yang dimaksud Allah SWT adalah seimbang dengan tidak condong ke kanan atau ke kiri.[12]
Menurut Wahbah al-Zuhaylî, bahwa ayat ini menegaskan dua hal:[13]
1. Penekanan untuk sangat-sangat di dalam menegakkan keadilan dan membantu, bukan menyulitkan atau berpaling di dalam peradilan. Dalam hal ini, keadilan dalam Islam tidak hanya diperuntukan bagi orang muslim, tapi juga non muslim.
2. Seumpama dalam peradilan hakim harus bersikap adil, maka persaksian juga harus dengan yang hak walau terhadap diri sendiri, orang tua atau kerabat. Ini dikarenakan hak itu unggul dan tidak diungguli oleh yang lain.
Ulama fiqh menuturkan beberapa perkara yang berkaitan dengan syahadah bagi orang tua atau terhadap orang tua. Mereka berkata tidak ada khilaf di dalam persaksian seorang anak terhadap orang tua. Perkara ini jelas diperbolehkan (diterima). Walaupun persaksian itu merugikan orang tua, tidak lain ini demi kebaikan mereka. Ini senada dengan ayat “قوا أنفسكم وأهليكم نارا[14].[15]
Sedangkan persaksian kedua orang tua terhadap anak, ini terjadi perbedaan pendapat. Menurut al-Zuhrî, ulama salaf soleh memperkenan persaksian seperti ini. Ini berdasarkan ayat “كونوا قوامين بالقسط شهدآء لله”. Lalu jelaslah dari manusia beberapa perkara yang memungkinkan terjadi penuduhan. Maka persaksian tuduhan itu harus ditinggal. Oleh karena itu tidak diperbolehkan untuk persaksian anak, kedua orang tua, saudara, suami-istri. Ini adalah mazhab al-Hasan, al-Nakha’î, al-Sya’bî, Syuraih, Mâlik, al-Tsaurî, al-Syâfi’î, `Ibn Hanbal, `Abî Hanîfah, dan murid-muridnya.[16]
Sebagian kaum membenarkan persaksian setengah dari mereka terhadap setengah yang lain ketika mereka itu adil. Ini diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khathâb dam ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz, juga ditegaskan `Ishâq dan al-Muzanni. Imam al-Syâfi’I membenarkan persaksian kedua mereka karena mereka berdua adalah orang lain (أجنبي).[17]
Terdapat sebuah hadis riwayat Abû Daud seperti berikut:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَدَّ شَهَادَةَ الْخَائِنِ وَالْخَائِنَةِ وَذِي الْغِمْرِ عَلَى أَخِيهِ وَرَدَّ شَهَادَةَ الْقَانِعِ لِأَهْلِ الْبَيْتِ وَأَجَازَهَا لِغَيْرِهِمْ.
Hadis ini adalah hujjah bagi orang yang memperbolehkan kesaksiannya ayah pada anaknya karena dia menarik kemanfaatan dengan kesaksiannya. Ini dikarenakan sudah wataknya ayah cinta pada anaknya dan condong padanya.[18]
Selain dari surah al-Nisâ` ayat 138 ini, Surah al-Mâ`idah ayat 8[19], Surah al-Hujjarât ayat 9[20] juga memiliki tafsiran yang sama.
Menurut catatan Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî; Imam al-Syafi’i berkata tentang persamaan hak dalam peradilan:[21]
ينبغي للقاضي أن يسوي بين الخصمين في خمسة أشياء : في الدخول عليه ، والجلوس بين يديه ، والاقبال عليهما ، والاستماع منهما ، والحكم عليهما
Terjemahan: Sebaiknya bagi hakim itu memberi persamaan di antara kedua orang yang berperkara dalam lima hal, yaitu dalam masuk ke hadapannya, duduk di hadapannya, menerima keduanya, mendengar dari keduanya, dan menghukumi keduanya.
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menegaskan inilah yang dimaksud dari firman Allah SWT “وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل.[22]
C. Keadilan Tidak Hanya Bagi Orang Islam
Allah SWT berfirman dalam Surah al-Mâ`idah ayat 42 sebagai berikut:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Terjemahan: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
Sebab turunnya ayat ini adalah terhadap orang Yahudi. Adanya hakim dari kalangan Yahudi ketika didatangi orang yang batil di dalam dakwaannya disebabkan suap maka hakim itu tetap mendengarkan ucapan orang tersebut, dan percaya terhadapnya. Hakim itu tidak berpaling dari pertikaiannya. Maka hakim ini memakan barang haram dan mendengarkan sebuah penipuan. Dan adanya ahli fakir dari orang Yahudi itu mengambil dari orang kaya Yahudi harta supaya menegakkan pada apa yang mereka mau bagi golongan Yahudi. Mereka mendengarkan dari orang kaya Yahudi itu penipuan-penipuan demi melariskan pemahaman Yahudi dan mencacatkan Islam. Ahli fakir itu memakan uang haram yang mereka ambil dari mereka. Mereka mendengarkan penipuan. Inilah yang ditunjukkan dengan firman Allah “سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ”. Ada suatu pendapat bahwa ia dinisbatkan kepada mereka yang berpegangan pada Taurat yang membuat mereka memakan riba sebagaimana firman Allah SWT: “وأخذهم الربوا وقد نهوا عنه”.[23]
Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylî; ayat ini menunjukkan kaum Yahudi menghukumi Nabi Muhammad SAW, kemudian Nabi menghukumi mereka dengan apa yang ada di dalam kitab Taurat. Maka ketika ada “أهل الذمة” mengangkat permasalahan kepada imam, maka jika yang mereka angkat itu berupa kezaliman seperti membunuh dan lain-lain yang berhubungan dengan tindak pidana, maka imam harus menghukumi di antara mereka dan melarang mereka menghukumi sendiri tanpa ada perbedaan pendapat ulama.[24]
Seumpama bukan berupa tindak pidana, maka imam diperkenankan memilih sama ada menghukumi atau tidak menurut Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. ini berdasarkan ayat “فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ”. Menurut Imam al-Syafi’I tidak boleh menghukumi mereka bagi masalah hudud. Sedangkan menurut Abû Hanîfah tetap menghukumi mereka dalam keadaan apa pun itu. ini berdasarkan ayat “وأن احكم بينهم بما أنزل الله[25].[26]
Ayat ini juga menegaskan bolehnya proses abritase (tahkîm) di dalam Islam. Menurut Imam al-Syafi’I, abritase itu boleh, akan tetapi ia tidak tetap. Hanya saja ia adalah fatwa. Ini dikarenakan orang yang abritase tidak mengajukan perkara mereka ke pemimpin atau para hakim. Mereka juga tidak mengambil kekuasaan hukum.[27]
Selain dari itu, ayat “سمعون للكذب أكلون للسحت” ini menunjukkan banyaknya orang Yahudi mendengarkan kebohongan, dan banyaknya mereka makan harta haram seperti suap dalam peradilan, mendengar ahli dukun, dan lain-lain yang telah disebutkan.[28]
Suap diharamkan dalam hal apapun. Suap kadang terjadi di dalam menghukum dan peradilan. Ia diharamkan bagi yang menyuap juga yang disuap. Nabi Muhammad SAW bersabda:
لعن الله الراشي والمرتشي والرائش الذي يمشي بينهما – رواه أحمد في مسنده عن ثوبان وهو حديث صحيح .
Apabila hakim – yang disuap – seumpama menghukum terhadap penyuap dengan apa yang hak, maka ia adalah fasiq, karena menerima suap untuk menghukumi sesuai yang diingini. Seumpama dia sampai menghukum dengan kebatilan, maka ia adalah fasiq juga, dikarenakan dia mengambil suap dan menghukum dengan kebatilan.[29]
Suap juga kadangkala terjadi pada selain menghukumi dan peradilan, semisal seseorang menyuap hakim agar dia menghilangkan kezaliman yang terjadi terhadapnya. Maka suap ini adalah yang diharamkan terhadap penerimanya dan tidak diharamkan terhadap pemberinya, seperti apa yang dikatakan hasan: “لا بأس أن يدفع الرجل من ماله ما يصون به عرضه”. Ketika adanya `Ibn Mas’ûd berada di Etopia, beliau menyuap dengan dua dinar lalu berkata: “dosa hanya terhadap penerima bukan pemberi”.[30]

BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Allah memerintahkan untuk melaksanakan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dalam hal ini adalah semisal memberikan perlindungan hukum terdapat yang memintanya. Dalam menghukum, haruslah dengan keadilan. Adil di sini memiliki banyak arti, bisa berupa memberikan sesuatu yang hak terhadap yang berhak memilikinya. Bisa juga berarti seimbang antara dua orang.
2. Dalam berperadilan, Islam menuntut untuk terjadi keadilan di antara kedua orang yang berperkara. Keadilan ini adalah bermakna kedua mereka sama ada kaya atau miskin, kuat atau lemah haruslah tetap diperlakukan sama tanpa melihat siapa mereka. Ini ditetapkan walaupun terhadap orang yang lemah sekalipun.
3. Dalam Islam, peradilan bukan hanya diperuntuk bagi orang Islam. Ia juga haruslah diberikan bagi orang non Islam. Dalam hal cara menghukumi Islam menentukan ia tetap memakai hukum mereka. Akan tetapi, ini hanya terbatas pada hukum perdata bukan pidana, menurut mazhab Imam al-Syafi’i.

DAFTAR PUSAKA
‘Athiyyah, ‘Abd al-Haqq bin. al-Muharrir al-Wajîz. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.
al-Fayûmî, Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî. Al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t..
al-Jauzî, Ibn al-Qayyim. Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.
Katsîr, `Ismâîl bin ‘Umar bin `Ibn. Tafsîr al-Qur`ân al-‘Adzîm. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2000.
al-Râzî, al-Fakhr. al-Tafsîr al-Kabîr. Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t..
al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm. Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004.
al-Zuhailî, Wahbah. al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004.
---------. al-Tafsîr al-Munîr. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005.
---------. Al-Wajîz fî `Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003.


[1] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 10, 138.
[2] Ibid.; Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), vol. 1, 74; Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî `Ushul al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), 203.
[3] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol 3, 129.
[4] Ibid.
[5] Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Fayûmî, al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), 145.
[6] Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol 3, 6231.
[7] Ibid., al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 129.
[8] Ibid., vol. 3, 130.
[9] ‘Abd al-Haqq bin ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajîz (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 1111.
[10] Ibn al-Qayyim al-Jauzî, Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 333.
[11] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 4, 535.
[12] `Ismâîl bin ‘Umar bin `Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Adzîm (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2000), 542.
[13] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 325.
[14] al-Qur`ân, 66:6.
[15] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 327.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
[20] وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
[21] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 10, 141.
[22] Ibid.
[23] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 544.
[24] Ibid., vol 3, 548.
[25] al-Qur’ân, 5:49
[26] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol 3, 549.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid., vol. 3, 550.
[30] Ibid.

3 comments:

Anonymous said...

penjelasan saudara pada bagian B Perlakuan Sama di Dalam Peradilan dan Persaksian

Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 138 sebagai berikut:
....................................

yang sebenarnya anda tulis ialah surah al-maidah ayat 8. bukan surat an-nisa' ayat 138. silahkan cek lagi di Al-Qur'an

Anonymous said...

anda juga sedikit keliru "saudara yang pertama kali komen".
memang awalan ayat yang dituliskan penulis blog ini, yang di bilang surat an-nisa' ayat 138, punya persamaan dengan surah al-maidah ayat 8.. tapi tetap berbeda, dipertengahan ayatnya.. coba anda cek lagi.. namun, yang menulis blog ini pun keliru sedikit, yang anda maksud ayat 138(an-nisa') mestinya ayat 135..

akitiano said...

Terima Kasih atas pembetulan tersebut...Maklum, kami manusia bisa silap bisa benar... Jazakallahu Khoiran...Sudah saya revisi..