Thursday, October 20, 2011

FIQH SIYÂSAH; PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEMATIKA HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut teori yang dikemukakan J.J. Rousseau (1712-1778 M), bahwa secara natural law, setiap individu-individu melalui perjanjian bersama antara mereka membentuk sebuah masyarakat (social contract). Dengan terbentuknya sebuah masyarakat ini, maka secara otomatis pula, terbentuklah sebuah pemerintahan yang dapat mengatur dan memimpin masyarakat tersebut.[1]
Dikatakan pula, bahwa hukum Islam itu adalah sebuah hukum yang sangat menyeluruh, dalam arti hukum Islam dapat mencakup segala aspek kehidupan manusia. Padahal, di satu sisi, hukum Islam terlihat secara lahirnya hanya dikaitkan dengan hukum dogmanitas yang seolah-olah bersifat vertikal, bukan horizontal. Ternyata pandangan ini salah. Karena terbukti hukum Islam secara langsung mengatur urusan duniawi manusia, sama ada yang muslim maupun yang bukan muslim.[2]
Maka dari sinilah perlunya sebuah disiplin ilmu di dalam hukum Islam yang dapat mengatur konsep pemerintahan. Karena pemerintahan sangat diperlukan di dalam mengatur kehidupan manusia. Disiplin ilmu tersebut adalah fiqh siyâsah.

B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Pengertian fiqh siyâsah.
2.      Ruang lingkup fiqh siyâsah.
3.      Kedudukan fiqh siyâsah di dalam hukum Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqh Siyâsah
Kata “fiqh siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalah “الفقه السياسي” berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (الفقه) dan yang kedua adalah al-siyâsî (السياسي).
Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran {قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول}[3], yang artinya “kaum berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa yang kamu bicarakan”.[4]
Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti: {العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية} yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”.[5]
Sedangkan al-siyâsî pula, secara bahasa berasal dari “ساس – يسوس – سياسة” yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam hadis: “كان بنو إسرائيل يسوسهم أنبياؤهم أي تتولى أمورهم كما يفعل الأمراء والولاة بالرعية”, yang berarti: “Adanya Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya”. Bisa juga seperti kata-kata “ساس زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي دبره وقام بأمره” yang artinya: “Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siyâsah itu secara bahasa bermakna: “القيام على الشيء بما يصلحه” yang artinya “bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut untuknya”.[6]
Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh siyâsah yang juga dikenal dengan nama siyâsah syar’iyyah secara istilah memiliki berbagai arti:
1.      Menurut Imam al-Bujairimî: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan”.[7]
2.      Menurut Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait: “Memperbagus kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur permsalahan mereka”.[8]
3.      Menurut Imam Ibn ‘Âbidîn: “Kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyâsah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyâsah berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan”.[9]
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh Siyâsah yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur; 2. Pihak yang diatur. Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa:[10]

Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.[11]

Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyâsah berbeda dengan politik. Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siyâsah (siyâsah syar’iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlâh). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan.[12] Ini juga dibuktikan dengan definisi politik di dalam Penguin Encyclopedia:

“Political Science: The academic discipline which describes and analyses the operations of government, the state, and other political organizations, and any other factors which influence their behaviour, such as economics. A major concern is to establish how power is exercised, and by whom, in resolving conflict within society.”[13]

Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.
Perbedaan tersebut tampak apabila disadari bahwa dalam menjalani politik di dalam hukum Islam haruslah terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan syariat Islam, atau sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syariah yang kullî. Dengan demikian, rambu-rambu fiqh siyâsah adalah: 1. Dalil-dalil kullî, baik yang tertuang di dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW; 2. Maqâshid al-syarî’ah; 3. Kaidah-kaidah usul fiqh serta cabang-cabangnya. [14]
Oleh karena itu, politik yang didasari adat istiadat atau doktrin selain Islam, yang dikenal dengan siyâsah wadl’iyyah itu bukanlah fiqh siyâsah, hanya saja selagi siyâsah wadl’iyyah itu tidak bertentangan dengan prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.[15]

B. Ruang Lingkup Fiqh Siyâsah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyâsah. Ada yang membagi menjadi lima bidang. Ada yang membagi menjadi empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini tidaklah terlalu prinsipil.
Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:[16]
1.      Siyâsah Dustûriyyah;
2.      Siyâsah Mâliyyah;
3.      Siyâsah Qadlâ`iyyah;
4.      Siyâsah Harbiyyah;
5.      Siyâsah `Idâriyyah.
Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-Siyâsah al-Syar’iyyah, ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:[17]
1.      Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2.      Siyâsah `Idâriyyah;
3.      Siyâsah Mâliyyah;
4.      Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah.
Sementara Abd al-Wahhâb Khalâf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja, yaitu:[18]
1.      Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2.      Siyâsah Dauliyyah;
3.      Siyâsah Mâliyyah;
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang berserta penerangannya, yaitu:[19]
1.      Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan);
2.      Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum);
3.      Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan);
4.      Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5.      Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara);
6.      Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau internasional);
7.      Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang);
8.      Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok. Pertama (1): politik perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan (`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.[20]
Kedua (2): politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warganegara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.[21]
Ketiga (3): politik keuangan dan moneter (Siyâsah Mâliyyah), yang antara lain membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan.[22]

C. Kedudukan Fiqh Siyâsah di dalam Sistematika Hukum Islam
Pra pembahasan kedudukan fiqh siyâsah di dalam hukum Islam, perlulah untuk diketahui dulu sistematika hukum Islam secara umum. Dengan diketahui sistematika hukum Islam, maka dapatlah difahami kedudukan fiqh siyâsah di dalam sistematika hukum Islam.
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaylî, salah satu dari keistimewaan hukum Islam dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, adalah bahwa hukum Islam ini selalu diperkaitkan/dihubungkan dengan tiga perkara penting bagi manusia. 1. Hubungan manusia dengan Tuhannya; 2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri; 3. Hubungan manusia dengan masyarakat sosialnya.[23]
Ini dikarenakan hukum Islam diperuntukkan untuk dunia dan akhirat, agama dan negara. Ia juga berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak ada kadarluarsa sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk Islam, semuanya berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat melaksanakan sesuatu yang wajib/harus dilakukan, serta tidak melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada Allah; juga untuk menghormati hak-hak insani untuk memiliki, merasa aman, bahagia, hidup berkelanjutan bagi seluruh jagat alam raya.[24]
Agar dapat memenuhi peruntukan tersebut, maka hukum Islam atau yang juga disebut fiqh yang mana dalam hal ini berhubungan dengan apa yang keluar dari seorang mukalaf, dari segi ucapan, pekerjaan, itu meliputi dua perkara pokok:[25]
1.      Fiqh ‘Ibâdah (Hukum Ibadat): hukum-hukum yang mengatur segala persoalan yang berpautan dengan urusan akhirat.[26] Bagian dari Fiqh ‘Ibâdah adalah bersuci, solat, puasa, haji, zakat, nazar, sumpah, dan sebagainya dari perkara-perkara yang bertujuan mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Malah Alquran membicarakan masalah ini melebihi 140 ayat.
2.      Fiqh Mu’âmalât (Hukum Muamalah): hukum-hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan secara umum.[27] Bagian dari ini adalah segala jenis akad, akibat, jinayah, ganti-rugi, dan lain-lain yang berhubungan antara manusia dengan manusia yang lain, sama ada secara privat maupun publik.
Dari pembagian ini, maka Dr. Wahbah al-Zuhaylî pula membagi hukum muamalah kepada beberapa hukum yang sifatnya berbeda. Ini dikarenakan fiqh mu’âmalât ini sangat luas. Pembagian tersebut adalah:[28]
a.       Hukum yang berhubungan dengan keadaan manusia: seperti pernikahan, nafkah, warisan, dan lain-lain yang berhubungan antara manusia dan keluarganya secara privat.
b.      Hukum kebendaan: seperti segala jenis akad jual-beli, persewaan, perikatan, dan lain-lain yang berhubungan dengan kepentingan hak kebendaan seseorang.
c.       Hukum jinayah (pidana): seperti kriminal serta akibat darinya, dan lain-lain yang bertujuan menjaga kedamaian manusia serta harta mereka.
d.      Hukum acara perdata atau pidana: hukum yang bertujuan mengatur proses peradilan dalam meletakkan sabit kesalahan yang sifatnya pidana maupun perdata dengan tujuan menegakkan keadilan di kalangan manusia.
e.       Hukum dustûriyyah: segala hukum yang mengatur konsep penetapan hukum dan dasar-dasarnya. Dalam hukum ini, fiqh membahas bagaimana membatasi sebuah hukum dengan subyek hukum.
f.       Hukum pemerintahan (dauliyyah): hukum yang mengatur hubungan antara pemerintahan Islam dengan lainnya di dalam kebijakan perdamaian, peperangan, international affairs, dan lain-lain yang mengatur kebijakan pemerintah Islam dalam pemerintahannya.
g.      Hukum perekonomian dan keungan: hukum yang mengatur hak-hak warganegara dan pemerintah dalam hal kebendaan, seperti pengaturan pajak negara, harta rampasan perang, mata uang, pengaturan dana sosial perzakatan, sedekah, dan lain-lain yang berkaitan dengan kebendaan antara warganegara dan pemerintah.
h.      Akhlak dan adab: sebuah konsep dalam fiqh yang mengajarkan konsep tata pergaulan yang baik. Ini dikarenakan fiqh adalah produk wahyu Tuhan, sehingga nilai-nilai moral sangat diutamakan.
Secara kedudukan, fiqh siyâsah berada di dalam fiqh mu’âmalât. Ini apabila fiqh mu’âmalât diartikan dengan arti luas. Akan tetapi, apabila fiqh mu’âmalât diartikan secara sempit; maka fiqh siyâsah bukanlah fiqh mu’âmalât. Ini dikarenakan fiqh mu’âmalât adalah fiqh yang mengatur hubungan manusia dengan kebendaan yang sifatnya privat, bukan publik, walaupun kemungkinan ada campur tangan pemerintah. Hanya saja pencampuran tersebut bukanlah secara esensial. Ini seperti apa yang diartikan secara sempit, menurut Khudlarî Beik:

“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.”[29]

Maka dari itu, kalau dibandingkan antara definisi yang dimiliki fiqh siyâsah seperti yang dijelaskan di bab sebelum ini, maka dapatlah dimasukkan fiqh siyâsah di dalam fiqh mu’âmalât secara arti luas, bukan sempit.
Dari sistematika hukum Islam seluruhnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa fiqh siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini dikarenakan, fiqh siyâsah-lah sebuah disiplin ilmu yang akan mengatur pemerintah dalam menjalankan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa keberadaan pemerintah yang Islami (dalam hal ini pemerintah yang menjalankan konsep fiqh siyâsah), maka sangat sulit terjamin keberlakuan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakat muslimnya.[30] Imam al-Ghazâlî juga secara tegas menjelaskan ini di dalam kitabnya yang berjudul al-`Iqtishâd fî al-`I’tiqâd.[31]
Buktinya, tanpa pemerintah yang minimal peduli dengan fiqh siyâsah, tidak mungkin akan mengeluarkan salah satu produk hukum Islam sebagai hukum positif untuk rakyatnya yang muslim. Indonesia misalnya, pada tahun 1974 telah berhasil melahirkan undang-undang No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa semua penduduk asli Indonesia yang beragama Islam untuk mematuhi peraturan pernikahan tersebut yang terbentuk dari dasar-dasar Islami. Tanpa ini, tentu konsep fiqh munâkahah tidak dapat diaplikasikan secara positif di Indonesia.[32]
Contoh lain sebagai bukti pentingnya fiqh siyâsah di dalam pemerintahan, adalah adanya fiqh siyâsah itu lebih mementingkan kemaslahatan untuk rakyat umum, serta berusaha menolak segala jenis kerusakan.[33] Ini juga didasari oleh salah satu akar fiqh siyâsah, yaitu kaidah fiqhiyyah. Kaidah yang terkenal adalah “دفع المفاسد وجلب المصالح”. Selanjutnya, batasan kemaslahatan tentunya dibatasi dengan kaidah “المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة”, yang dapat membatasi pemerintah daripada hanya mementingkan kursi kekuasaan. Walau bagaimanapun, kebijakan pemerintah yang jelas-jelas untuk kemaslahatan rakyat, harus ditaati. Maka dari itu terdapat kaedah “تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة”. Secara aplikasinya, kalau pengadilan tidak dapat menemukan wali bagi orang yang dibunuh (والي القاتل), maka pemerintah (jaksa) dapat menjadi wakil bagi mangsa sebagai penuntut. Malah bagi jaksa boleh menuntut untuk diqishâsh kalau perlu, atau mengambil diyyat kalau dianggap lebih maslahat. Akan tetapi, jaksa tidak boleh memberi ampunan dari pemberlakuan qishâsh seperti yang dimiliki wali yang asli.[34]
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah mempunyai kedudukan penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam memikirkan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya, pemerintah jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam.[35]



BAB III
KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1.      Fiqh siyâsah adalah sebuah disiplin ilmu yang isinya adalah membahas hukum-hukum pemerintahan dan konsep menjalankan pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam dengan tujuan memberi kemaslahatan bagi rakyatnya.
2.      Ruang lingkup fiqh siyâsah secara keseluruhan dan secara umum, dapat dikelompokan kepada tiga (3) kelompok: 1. Siyâsah dustûriyyah; 2. Siyâsah khârijiyyah; 3. Siyâsah mâliyyah.
3.      Kedudukan fiqh siyâsah di dalam sistematika hukum Islam adalah berada di bawah fiqh mu’âmalat yang diartikan secara luas, sedangkan peranannya jelasnya adalah sangat penting bagi masyarakat muslim, karena ia adalah kunci dapat dijalankannya hukum Islam di dalam sebuah negara yang mayoritas rakyatnya adalah beragama muslim, selain di satu sisi fiqh siyâsah sendiri sangat mementingkan kemaslahatan untuk rakyat dan berusaha menghilangkan kemudaratan.

Dengan terselesainya makalah ini, penulis memiliki beberapa saran sebagai sumbangan pemikiran yang nantinya dapat dijadikan pertimbangan:
1.      Melihat definisi serta luasnya pembahasan ruang lingkup fiqh siyâsah, maka penulis berharap kajian fiqh siyâsah ini benar-benar didalami secara mendalam di dalam kelas fiqh siyâsah ini walaupun hanya ditawarkan sebanyak 2 SKS. Ini dikarenakan pentingnya fiqh siyâsah bagi kemajuan pemikiran mahasiswa.
2.      Pembelajaran fiqh siyâsah tidak hanya mengacu pada teks-teks fiqh siyâsah, akan tetapi ia juga dapat dirujuk pada kitab-kitab furû’ lainnya, karena selama penulis menulis makalah ini, penulis menemukan secara teori memang banyak ada di kitab-kitab fiqh siyâsah, akan tetapi, bentuk hukum yang ditunjukkan ulama berada di kitab-kitab furû’.
3.      Kajian fiqh siyâsah tidak hanya membahas sekilas isi produk fiqh siyâsah, akan tetapi, sebaiknya dikaji juga metodelogi penelitian fiqh siyâsah, yaitu ilmu `ushûlî-nya, agar dapat menemukan titik-temu perkhilafan yang terjadi di kalangan ulama Islam.
4.      Perlunya diperbanyak penterjemahan terhadap karya-karya ulama terdahulu dalam bidang fiqh siyâsah, karena banyak darinya berbahasa Arab, yang mana kebanyakan penduduk Indonesia tidak dapat memahaminya. Ini juga yang membuat fiqh siyâsah kurang mewarnai di kalangan masyarakat umum Indonesia.
5.      Perlunya diperbanyak karya tulis dalam bidang fiqh siyâsah secara khusus, karena menurut pengamatan penulis, sangat sedikit karya tulis yang dapat ditemukan, lebih-lebih lagi di Perpustakaan STAIN Kediri.
6.      Penulis menyarankan pemerintah Indonesia khusunya, seluruh dunia umumnya, agar memasukkan produk fiqh siyâsah di dalam Hukum Tata Negara (HTN), karena melihat bagusnya serta banyaknya manfaat fiqh siyâsah dalam membangun negara.
7.      Penulis secara tegas dan tulus mensarankan sekaligus berharap segala LSM, organisasi gerakan mahasiswa, study group, dan dosen-dosen agar mulai mewarnai sistem pemikiran politiknya berlandaskan fiqh siyâsah, karena selama ini, ideologi yang dipakai hanya bersifat nasionalisme semata, tanpa ada semangat Islami. 
 

DAFTAR PUSAKA

Âbidîn, Ibn.  Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr. Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987.
al-Bujairimî, Sulaimân bin Muhammad. Hâsyiah al-Bujairimî ‘alâ al-Manhaj. Bulaq: Mushthafâ al-Babî al-Halâbî, t.t..
Crystal, David. Penguin Encyclopedia. London: Penguin Books, 2004.
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Djazuli, H. A.. Fiqh Siyâsah. Jakarta: Kencana, 2007.
al-Fayyûmî, Ahmad bin Muhammad. al-Mishbah al-Munîr. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t..
al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad. al-`Iqtishâd fî al-`I’tiqâd. Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2008.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Manzhûr, Muhammad bin Mukram Ibn. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr Shâdir, t.t..
al-Mâwardî, ‘Alî bin Muhammad. al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2006.
al-Nadwî, ‘Alî `Ahmad. al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah. Damascus: Dâr al-Qalam, 2007.
Prodjodikoro,Wirjono. Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik. Bandung: Eresco, 1971.
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2000.
Syafe’I, Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait. Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah. Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah,  t.t.
al-Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004.
al-Zuhaylî, Wahbah. Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001.


[1] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), 160.
[2] Lihat keterangan panjang lebarnya di bab pembahasan, bagian C.
[3] Alquran, 11:91.
[4] Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) vol. 1, 18.
[5] Ibid., 19.
[6] Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shâdir, t.t.), vol. 6, 108; Ahmad bin Muhammad al-Fayyûmî, al-Mishbah al-Munîr (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), 295.
[7] Sulaimân bin Muhammad al-Bujairimî, Hâsyiah al-Bujairimî ‘alâ al-Manhaj (Bulaq: Mushthafâ al-Babî al-Halâbî, t.t.), vol. 2, 178.
[8] Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah,  t.t.) vol. 25, 295.
[9] Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1987), vol. 3, 147.
[10] H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah (Jakarta: Kencana, 2007), 28.
[11] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik (Bandung: Eresco, 1971), 6.
[12] Djazuli, Fiqh Siyâsah, 28.
[13] David Crystal, Penguin Encyclopedia (London: Penguin Books, 2004), 1219.
[14] Ibid., 28-9.
[15] Ibid., 28.
[16] ‘Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2006), 4; Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 13.
[17] Ibid., 13.
[18] Ibid.
[19] Djazuli, Fiqh Siyâsah, 30.
[20] Iqbal, Fiqh Siyasah, 13.
[21] Ibid., 14.
[22] Ibid.
[23] Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 1, 33.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), 30.
[27] Iqbal, Fiqh Siyasah, 9.
[28] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 1, 33.
[29] Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 15.
[30] Iqbal, Fiqh Siyasah, 11.
[31] Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, al-`Iqtishâd fî al-`I’tiqâd (Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2008), 291.
[32] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 85; Iqbal, Fiqh Siyasah, 12.
[33] al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, 3.
[34] Djazuli, Fiqh Siyâsah, 36-8; ‘Alî `Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah (Damascus: Dâr al-Qalam, 2007), 403;
[35] Ibid., 12-3.

1 comment:

pakrum said...

mustinya kajian fikih-fikih di masjid dan surau-surau juga membahas fikih secara luas dan berurutan, mungkin para ustadz yang berkompeten mendapat tantangan.
uraian ini sangai indah dan bagus. maturnuwun