Saturday, January 9, 2010

Berhenti Membakar Gereja & Guna Nama Allah

Sebenarnya, saya sedang berusaha untuk tidak active di dalam Blog maupun forum dalam waktu proses penulisan thesis saya. Tapi dikarenakan banyaknya orang meminta saya ulas tentang Nama Allah di Malaysia, dan selanjutnya sampai terjadi pembakaran di Gereja di Malaysia; minimal tulisan pendek saya ini dapat memberi gambaran ringkas masalah ini agar Islam tidak dijadikan kambing hitam. Perlu saya terangkan masalah Pembakaran gereja dulu karena ini yang menjadi alasan saya menulis.


Bagi masalah pembakaran geraja ini, perlulah disikapi secara rasional dan tidak terlalu terburu-buru menjustifikasi dengan tanpa bukti dan putusan hakim. Malaysia sebagai negara hukum, haruslah menjunjung tinggi konsep hukum. Pesan ini bukan hanya ditujukan kepada orang muslim sahaja, tapi juga orang non muslim. Jujur saja, dengan kejadian ini banyak orang dengan reflek menjustifikasi bahwa Islam adalah agama radikal/ekstrimis/anarkis.


Padahal kejadian ini bisa saja dilakukan oleh orang non muslim sendiri agar menimbulkan kekacauan atau mengkambing hitamkan Islam di Malaysia sehingga suara minoritas mereka dianggap suara yang sedang menjerit dengan dipaksa tutup mulut. Akhirnya akan menarik simpati masyarakat internasional dan memberi penekanan terhadap eksklusifsasi Islam sebagai agama rasmi di Malaysia.


Tapi tidak menutup kemungkinan kejadian ini dilakukan oleh seorang muslim yang jahil terhadap agamanya sendiri, tapi di sisi lain dia memiliki semangat Islam yang tinggi. Perkara ini bukan sebuah perkara yang jarang di Malaysia. Kita kenal dengan Noordin M Top, yang dianggap oleh sebagian orang sebagai seorang pahlawan atau jihadis. Tapi secara real, menurut testimoni teman akrab seperjuangannya yang sudah taubat bahwa Noordin M Top tidak lain adalah orang awam yang ahli dalam merakit bom. Bukan seorang ulama Islam, bahkan bahasa Arab saja tidak bisa. Mereka inilah kadangkala yang miss guided dan akhir dengan bersikap anarkis bahkan sampai melakukan bom bunuh diri. Padahal mereka ini tidak sama sekali memiliki dasar yang Islamic.


Dengan kedua kemungkinan ini, maka kita tidak boleh menuding siapa-siapa sebagai pelaku atau su’udzon kepada satu golongan terhadap golongan yang lain. Ini menjadi dasar sampai ada putusan mahkamah dan/atau memiliki dasar yang kuat terhadap itu. Maka dari itu, pembahasan saya adalah murni menjelaskan hukum melakukan perbuatan anarkis kepada golongan lain dengan konteks Malaysia berdasarkan hukum Islam itu sendiri atau menurut kaca mata fiqh. Setelah uraian ini, barulah saya akan mengulas dengan pendek saja tentang isu nama Allah digunakan oleh orang non muslim.


Untuk memahami hukum perlakuan anarkis kepada non muslim di Malaysia, perlulah difahami status mereka dengan konteks Malaysia. Konteks non muslim di Malaysia adalah kafir al-harbi bi ta’min al-sulthan (kafir perang dengan mendapatkan pengamanan dari pemerintah) atau redaksi aslinya “ذمة التأمين من الإمام” yaitu mendapatkan jaminan aman dari Imam [Qurrat al-‘Ain bi Fatawa Ulama’ Haramyn, Hal. 210-212]. Dia tetap disebut dengan kafir harbi karena dia tidak membayar jizyah. Sedangkan pajak/tax di Malaysia bukanlah jizyah karena muslim juga turut membayarnya. Tapi mereka mendapat jaminan kerajaan sesuai dengan ijtihad kerajaan dengan pertimbangan maslahah dan mafsadah. Oleh karena itu mereka dilarang untuk diperangi (dibunuh, dirampas hartanya, atau dijadikan tawanan). Dengan ketetapan ini, maka secara otomatis perbuatan anarkis juga dilarang terhadap harta-benda mereka termasuk tempat peribadatan mereka seperti gereja.


Seumpama dilarikan pada konsep amar ma’ruf, ini juga salah dari segi fiqhi. Karena, status rakyat dalam amar ma’ruf hanya sebatas lisan dan nasihat. Mungkin konteks sekarang adalah memberi pandangan dengan ucapan atau tulisan. Bukan dengan membakar. Sedangkan yang memiliki hak untuk melakukan amar ma’ruf dengan perbuatan paksa seperti menghancurkan, membakar, dan lain-lain adalah wewenang pemerintah [Ihya’ Ulumi al-Din, vol. 2 page 237]. Maka perlu ditegaskan bahwa perbuatan anarkis ini tidak dapat dibenarkan sama sekali, karena bertentangan dengan dasar-dasar maqashid al-syari’ah dan juga fiqhi itu sendiri.


Oleh itu, saya menyerukan kepada seluruh umat Islam di Malaysia untuk tidak melakukan perbuatan seperti ini, dan jangan sekali-kali juga melakukan provokasi untuk melakukan perbuatan anarkis. Ini dikarenakan provokasi kepada perkara yang diharamkan adalah termasuk dari perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Maka kalau ingin melakukan demonstrasi sebagai amar ma’ruf bi al-Lisan (amar ma’ruf dengan lisan seperti keterangan saya di atas) tidak boleh isi kandungannya dengan mengucapkan “kalau mereka tetap saja pakai….maka kita bakar saja!” atau “kalau mereka berani pakai….maka kita akan serang mereka!”; ini adalah salah [Is’ad al-Rafiq, vol. 2 page 93].


Masalah pengunaan nama “Allah” oleh non muslim di Malaysia:


Terus terang, selama saya belajar fiqh, al-Qur’an, Hadis, maupun akdiah dan ushul; saya tidak pernah menemukan isu atau pembahasan penggunaan nama Allah oleh orang non muslim. Adapun yang ada adalah ayat-ayat tentang penggunaan orang jahiliyyah terhadap kata Allah sebagai penunjukkan mereka kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang mereka yakini juga. Semisal ayat:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ (87) وَقِيلِهِ يَا رَبِّ إِنَّ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ لَا يُؤْمِنُونَ (88) [الزخرف: 87-88]

Terjemahan: “Dan sesungguhnya, jika kamu (Wahai Muhammad) bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka?" sudah tentu mereka akan menjawab: "Allah!". (jika demikian) maka bagaimana mereka rela dipesongkan? Dan (Dia lah Tuhan Yang mengetahui rayuan Nabi Muhammad) yang berkata: Wahai Tuhanku! Sesungguhnya mereka ini adalah satu kaum yang tidak mahu beriman!”.


Akan tetapi, ini tidak menegaskan boleh atau tidak penggunaannya secara shorih. Sedangkan kalau kita memakai konsep hukum al-tarku oleh nabi ketika tidak disertai dengan uacapan larangan atau perintah atau apa-apa (nabi diam dan membiarkan) maka ia adalah boleh – dalam hal ini (penggunaan nama Allah oleh non muslim) sulit untuk diterapkan karena ini berhubungan dengan orang non muslim. Sedangkan kalau masalah al-Tarku itu adalah masalah yang dinisbatkan kepada sesama muslim seperti binatang dlabb itu halal ketika dimakan oleh sahabat dan Nabi membiarkan – berarti jawaz. Lebih-lebih lagi, Islam pada dasarnya tidak mengatur syariat agama lain setelah terutusnya Nabi Muhammad SAW. Ini juga dapat difaham dari ayat “لكم دينكم ولي دين”. Oleh karena itu, pandangan saya secara fiqh perkara ini (orang non muslim menggunakan nama Allah sebagai Tuhan) memiliki hukum asal boleh.


Hanya saja, ketika kita nisbatkan masalah ini dengan konteks Malaysia sebagai negara yang secara resmi meletakkan Islam sebagai agama negara, maka perangkat-perangkat pemerintah perlulah juga menggunakan alat-alatnya dalam memerintah agar dapat menarik kemaslahatan dan menolak mafsadah.

Ketetapan ini ditetapkan di dalam kaidah-kaidah fiqh yaitu “تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة” dan “درء المفاسد مقدم على جلب المصالح”.


Secara real, menurut penelitian banyak sumber yang dapat dipercaya, dan juga kenyataan yang saya sendiri hidup di Indonesia dan lebih-lebih lagi di Kediri, bahwa lajunya misionaris dalam memurtadkan umat Islam yang awam tidak dapat dibendung. Menurut dosen saya, Drs. Achmad Zayadi yang juga Hakim di Pengadilan Agama Kota Kediri, bahwa banyak sekali orang yang murtad di Kediri. Ini terbukti menurut beliau ketika sidang perkara yang menjadi saksi kepada pasangan muslim adalah kerabat-kerabat mereka yang memiliki nama Islam, tapi ketika ditanya agamanya adalah Katolik. Dan ketika diinvestigasi ternyata mereka adalah orang-orang yang murtad. Alasan yang diberi adalah mudah sebenarnya, “SEMUA AGAMA ADALAH SAMA”. Ini tidak lain karena pendekatan orang kristen sendiri dalam mendedahkan agama mereka seolah-olah agama mereka dan Islam itu sama, mulai dari istilah sampailah prinsip-prinsip ajaran seperti perdamaian, belaskasih, dan yang paling menarik “Tuhan mu adalah Tuhan ku juga” (istilah yang sering dipakai oleh pro pluralis). Kenyataan ini juga tercatat dalam hujjah Jakim lihat http://www.islam.gov.my/penerbitan/buku/kalimah%20Allah.pdf (tentang pemurtadan di Indonesia). Atau http://bahrusshofa.blogspot.com/2010/01/penggunaan-nama-allah.html .


Jadi untuk itu, menurut saya kerajaan dapat melarang secara hukum dengan menggunakan enekmen-enekmennya dengan alasan maslahah mursalah dan/atau sadd al-dzara’I. Hujjah-hujjah saya adalah sebagai berikut:


Sebagai Maslahah Mursalah:


Syarat-syarat maslahat mursalah ini dapat terpenuhi dalam melarang penggunaan kata “Allah” oleh non muslim. Syarat-syarat maslahah mursalah adalah 1. Adanya kemaslahatan tersebut itu sesuai dengan tujuan-tujuan syariat: yaitu tidak terjadi pertentangan dengan dasar-dasar syariat, tidak bertentangan dengan nash atau dalil-dalil yang qath’î, harus sesuai dengan kemaslahatan yang menjadi tujuan dari syariat. Contoh kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah fatwa yang menyuruh orang kaya kafârah menjimak istri di siang Ramadhan adalah puasa dua bulan berturut-turut, bukan memerdekakan budak, padahal ada ayat yang menetapkan seperti itu. Dalam hal ini, ayat di surah al-Zukhruf ini tidak secara jelas melarang maupun memerintahkan penggunaan kata Allah oleh non muslim. Apalagi tujuan pelarangan adalah agar menjaga agama (حفظ الدين) 2. Adanya kemaslahatan tersebut itu dapat dinalar akal secara hakiki, bukan persangkaan saja. Dengan gambaran kalau hukum itu ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tersebut, maka secara hakiki akan menarik sebuah kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Contohnya ketetapan mewajibkan pendaftaran tanah akan mengurangi secara pasti terhadap syahâdah al-zûr. Dalam hal ini isu pelarangan benar-benar menjadi nyata kemaslahatannya, karena terbukti kalau diizinkan, ideologi pluralisme sulit dibendung dan secara real terbukti di Indonesia. 3. Adanya kemaslahatan itu bersifat umum bagi seluruh manusia bukan khusus bagi orang tertentu saja seperti presiden, dan lain-lain. Contohnya tidak dipebolehkan mengeluarkan fatwa untuk membunuh seorang muslim yang dijadikan alat perlindungan (tameng) oleh musuh selagi masih mungkin menghitung jumlah musuh tersebut, dan tidak ditakutkan akan berhasil menguasai negara Islam. Dalam hal ini, pelarangan menggunakan nama “Allah” oleh non muslim dapat membendung kepada semua orang secara personal, kelompok, dan pemerintah agar mencegah dari dijadikannya alat untuk misi pemurtadan dan pluralisme. [Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî `Ushûl al-Fiqh, page 96 dan Wahbah al-Zuhaylî, `Ushûl al-Fiqh al-`Islami, vol. 2 Page 799]. Lebih-lebih lagi maslahah di sini bukan hanya masalah menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan, tapi sudah mencakup menjaga maqashid al-syari’ah yang pertama yaitu “حفظ الدين Perkara ini ditegaskan olah Imam al-Ghazali [al-Ghazali, al-Mushtashfa, Page 173-174].


Sebagai Sadd al-Dzara’i:


Menjaga agama (حفظ الدين) adalah merupakan asas yang paling tinggi dalam Islam. Dalam hal ini, ia merupakan perkara yang harus dijaga lebih dulu. Oleh karena itu, konsep “سد الذرائع” perlu dipakai demi menjaga sesuatu yang haram tidak berlaku. Ini dikarenakan kalau pelarangan penggunaan nama Allah oleh non muslim segera tidak dilakukan, maka banyak orang Islam yang cetek pemikirannya dan masih sangat awam atau hanya Islam KTP (Islam secara terdaftar tapi tidak mengamalkan Islam) akan murtad. Bagi saya pribadi lebih baik dia masih Islam tapi tidak amal Islam dibandingkan kafir.


Menurut Imam al-Syathibi, Sadd al-Dzar’I dalam hal ini diperkenankan dan ia digolongkan dalam Sadd al-Dzara’I yang keempat yaitu perkara (yang akan diharamkan itu ketika tidak diharamkan) akan membawa kepada kerusakan menurut kadar kebanyakan bukan secara biasanya (غالبا) dan tidak secara jarang. [Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî `Ushûl al-Fiqh, hal. 109].


Dari sini, menurut saya sudah cukup untuk menjadi hujjah bagi kerajaan untuk melarang orang non muslim menggunakan lafaz Allah oleh mereka. Apalagi terdapat sebuah kaedah yang masyhur “حكم الحاكم يرفع الخلاف” (hukum hakim itu menghilangkan perbedaan pendapat). Secara aplikatif kaidah ini adalah ketika terjadi perkhilafan antara ulama, atau intinya perkara tersebut bukan berdasar pada prinsipil-prinsipil Islam yang mujma’ alaih, maka segala pendapat yang kontra dengan Imam adalah ditolak secara hukum (qanun) bukan secara fiqh. Ini dikarenakan fiqh itu dzonni yang tentunya pasti terjadi khilaf ulama. Sedangkan dzonni itu akan hilang apabila ada paksaan Imam (تنفيذ الإمام). Ini dikarenakan ketetapan hakim itu adalah menghilangkan khilâf. Bukti wujudnya kaidah ini sila lihat: [Sulaimân al-Jamal, Hâsyiah al-‘Alâmah al-Syaikh Sulaimân al-Jamal ‘alâ Syarh al-Minhâj, vol. 4, 142]. Dan kaidah ini masyhur juga terdapat dibanyak kitab-kitab fiqh lain dalam berbagai mazhab Islam.


Kesimpulan & Nasihat: Isu nama Allah ini pada dasarnya tidak salah untuk digunakan oleh orang non muslim menurut hukum asal. Tapi ketika dikaitkan dengan konsep pemerintahan, maka kerajaan Malaysia memiliki hak untuk menetapkan larangan terhadap non muslim menggunakannya demi kemaslahatan orang muslim. lebih-lebih lagi ada hadis Nabi dari Shohih Bukhari “الإسلام يعلو ولا يعلى عليه”. Maka dasar-dasar free speech atau human rights berbeza dalam masalah ini dan tidak dapat dijadikan hujjah. Apalagi kalau dilihat secara jujur saja, apa yang membuat orang Kristen Katolik tetap ngotot (bersikeras) ingin menggunakan kata “Allah”? kenapa tidak Tuhan Bapa saja, kalau mereka benar-benar ingin menyalurkan ajaran mereka hanya terbatas bagi kaum kristen? Oleh itu, saya mendukung kerajaan untuk menetapkan enekmen tersebut dan tetap melarang penggunaan kata Allah bagi non muslim. Hanya saja yang perlu digarisbawahi, bahwa melakukan pembakaran atau perbuatan anarkis lainnya terhadap perkhidmatan awam atau tempat ibadah adalah jelas salah secara Hukum Islam. Wa Allahu a’lam.

2 comments:

shameel Iskandar said...

Assalamualaikum.

Memang pengunaan nama Allah oleh penganut bukan islam akan menimbulkan kekeliruan. Setakat ini pun hnaya kristian Mesir, Indonesia( spt yg didakwa oleh Agnes monica), sabah dan Sarawak yg memakai kalimah Allah utk merujuk kepada Tuhannya. Dlm zaman kegawatan akidah yg melanda umat islam di Malaysia hari ini , umat islam sewajarnya menentang sehabis-habisnya usaha pihak kristian yg ingin menggunakan kalimah Allah sebagai nama Tuhannya.

saudara bleh lihat juga pandangan dewan ulaam pas sebelum ini ttg hal ini


http://ulamak.pas.org.my/

http://www.harakahdaily.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=24155:wan-nik-wan-yussof-qkalimah-allahq-utamakan-keharmonian&catid=97:pendapat-dan-analisis&Itemid=131

akitiano said...

Oleh kerana itulah saya menetapkan bahwa demi maslahat dan menolak mudarat, sewajarnya dan Wajib bagi kerajaan melarang mereka menggunakannya dengan segala kemampuan yang ada. Dan saya sayangkan kalau ada orang kita (muslim) yang nak memberi kelonggaran kepada mereka pula untuk menggunakannya. Malu sangat malu.