Wednesday, April 1, 2009

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (Kajian Perbandingan Antara KHI dan Fiqh Islam)

Tulisan ini telah merubah sedikit pendirian ana tentang Kompilasi Hukum Islam (hukum islam versi Inodensia)....dulu ana termasuk mahasiswa hukum yang sangat menolak KHI sampai kepuncaknya...tapi, kajian ini telah ana lakukan, dan ternyata hasilnya merubah prinsip ana tentang KHI, minimal tidak semua perlu kita tolak...mungkin ada hal seperti masalah talak yang juga telah ana bincangkan di dalam post yang sebelumnya....tapi untuk masalah rukun dan syarat nikah, ana tidak menemukan cacat secara hukum islam...Selamat membaca!!



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Republik Indonesia; Soeharto telah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia dengan Nomor 1 Tahun 1991 yang inti dari isi INPRES tersebut adalah menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga (3) buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.[1]

Selanjutnya KHI ini dijadikan sebagai pedoman di dalam menetapkan perkara-perkara yang berhubungan dengan tiga masalah yang terkandung di dalam KHI tersebut yang dialami oleh orang Islam. Ini telah ditetapkan oleh Menteri Agama di dalam keputusannya tentang pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tersebut.[2]

Oleh karena itu, KHI menjadi bagian penting di dalam kehidupan maysarakat muslim di Indonesia. Ia dapat diibaratkan sebagai kitab fiqh produk rakyat Indonesia. Walau bagaimanapun, lahirnya KHI tidak bebas dari pro dan kontra. Buktinya ada beberapa tokoh yang memprotes isi dari KHI karena dianggap tidak benar-benar fiqh murni.[3]

Padahal, menurut catatan H. Abdurrahman, SH. MH.; KHI adalah produk hukum fiqh yang telah melewati beberapa cara dan tahap. Salah satu yang paling penting adalah ia merupakan rujukan dari kitab-kitab fiqh Islam dan diteliti oleh sarjana fiqh dan ulama Indonesia tertentu.[4] Dari sekian tahap yang telah dilalui dalam penyusunan KHI, bagaimana mungkin KHI dianggap masih belum benar-benar fiqh murni.

Sebagaimana yang telah diterangkan, KHI mengandung tiga (3) pembahasan. Salah satu yang paling utama dan yang paling penting dalam kehidupan muslim adalah buku pertamanya yaitu tentang perkawinan.

Di dalam buku pertama ini, pembahasan yang paling pokok adalah Bab IV tentang Rukun dan Syarat Perkawinan. Bab IV ini pula telah dibagi menjadi 5 bagian. Maka Bab IV inilah yang menjadi pembahasan penulis di dalam tulisan ini. Agar dapat menguak paradigma apakah KHI Bab IV ini benar-benar fiqh murni atau tidak, maka penulis akan melakukan kajian perbandingan antara fiqh vs KHI.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Kajian KHI Pasal 14 dibandingkan dengan kitab fiqh.

2. Kajian KHI Pasal 15-18 dibandingkan dengan kitab fiqh.

3. Kajian KHI Pasal 19-23 dibandingkan dengan kitab fiqh.

4. Kajian KHI Pasal 24-26 dibandingkan dengan kitab fiqh.

5. Kajian KHI Pasal 27-29 dibandingkan dengan kitab fiqh.

C. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan yang diidam-idamkan, dalam penelitian makalah ini, penulis menggunakan penelitian dengan metode penelitian perbandingan dan normatif yang meliputi:

1. Pendekatan Masalah:

Cara ini adalah dengan meneliti setiap pasal-perpasal, lalu dicarikan sumbernya dari berbagai kitab-kitab fiqh yang dapat diakses dengan pendekatan kajian pustaka (library research). Peneliti akan menitik beratkan hanya pada apakah ada pendapat ulama terdahulu bagi masalah ini yang dicantumkan dalam KHI. Secara subsider, peneliti akan menimbang apakah mungkin terjadi kesalah-fahaman antara isi dari pasal tersebut dengan pandangan ulama fiqh terdahulu bagi masalah tersebut.

2. Analisis Bahan Hukum

Apabila penulis tidak menemukan sumber pasal tersebut dari berbagai kitab fiqh yang dapat diakses, maka penulis akan mengkajinya dengan metodelogi `usûl al-fiqh sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam metodelogi tersebut sebagaimana yang telah diatur ulama terdahulu. Batasan penulis di dalam menghukumi rusaknya pasal tersebut hanya akan diputuskan apabila tidak terdapat di dalam kitab fiqh dan secara `usûl al-fiqh juga tidak terpenuhi dan apabila ia ternyata telah menyalahi ijmak ulama terdahulu sebagaimana larangan di dalam menyalahi ijmak di dalam Islam.[5]

3. Sumber Bahan Hukum

Sebagai sumber hukum dalam melengkapi makalah ini dibutuhkan bahan hukum yang bersifat primer dan sekunder:

a. Sumber bahan hukum yang bersifat primer itu diambil dari kitab-kitab furû’iyyah fiqhiyyah, fatâwâ ‘ulamâ` dan qânûn `islâm dari berbagai mazhab fiqh. Walau bagaimanapun, penulis akan menitik beratkan di dalam pencarian tersebut pada pendapat yang berlatar belakang mazhab Syafi’i. Apabila tidak ditemukan baru berpindah ke mazhab yang lain walaupun dimungkinkan terjadi talfîq.[6] Selain dari itu, Kompilasi Hukum Islam juga adalah bagian dari bahas yang primer.

b. Sumber bahan hukum yang bersifat sekunder adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang atau dokumen rasmi pemerintah Republik Indonesia yang berkaitan dengan perkawinan, kitab-kitab `ushûl al-Fiqh maupun lainnya yang mendukung, dan buku-buku penjelasan UU perkawinan serta KHI yang dapat diakses.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian KHI Pasal 14 Tentang Rukun

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Rukun dan Syarat Perkawinan Bab IV Pasal 14 telah tertulis sebagai berikut:

Pasal 14

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan Kabul.[7]

Lima perkara yang ditetapkan oleh KHI ini adalah sesuai dengan syariat Islam. Ini dikarenakan lima perkara ini adalah bagian dari rukun nikah di dalam mazhab Syafi’i.[8]

Rukun nikah menurut mazhab Hanafi pula ada dua (2) yaitu ijab qabûl.[9] Menurut mazhab Hanbali, rukun nikah ada tiga (3) yaitu calon mempelai (suami dan istri) yang sepi dari penghalang berlangsungnya nikah seperti mahram, ijab, dan qabûl.[10] Menurut mazhab Maliki, rukun nikah ada lima (5) yaitu wali, mahar (mas kawin), calon suami, calon istri, dan shîghat.[11]

Akan tetapi, Dr. Wahbah al-Zuhaylî mengkritisi, bahwa rukun nikah pada dasarnya hanya ada empat: shîghat, calon istri, calon suami, dan wali. Calon suami dan wali merupakan orang yang melakukan akad nikah (العاقدان). Manakala perkara yang diakadkan adalah kenikmanat seksual (الإستمتاع) yang dicari suami dan istri dalam pernikahan. Sedangkan mahar sama seperti saksi dalam pernikahan, yang hanya menjadi syarat sebuah pernikahan dengan argumentasi diperbolehkannya melakukan nikah al-tafwîdl. Begitu juga dengan saksi, ia adalah syarat juga. Berhubung dengan kedudukan mahar dan saksi yang tersebar luas sebagai rukun nikah, pada hakikatnya tidak tepat karena penerimaan kedua-dua perkara itu sebagai rukun hanyalah istilah yang digunakan sebagian ahli fiqh.[12]

B. Kajian KHI Pasal 15-18 Tentang Calon Mempelai

Pasal 15 angka (1) Kompilasi Hukum Islam yang mengatur calon mempelai pula menyatakan sebagai berikut:

Pasal 15

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun

1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun;[13]

Menurut ketentuan di dalam Pasal 15 ini, secara jelas KHI telah membatasi umur calon mempelai (calon suami dan istri), sesuai dengan Undang-Undang yang berada di atasnya yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 angka (1).[14]

Fiqh klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan di bawah umur. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari 4 mazhab. Malah Ibn al-Mundzir menganggap bolehnya pernikahan di bawah umur sebagai ijmak kalau memang kuf` (sekufu). Dalil yang dipakai mayoritas ulama ini ada banyak, salah satunya adalah nikahnya Nabi Muhammad SAW dengan ‘Â`isyah sewaktu masih berumur 6 tahun.[15]

Akan tetapi, Ibn Syubramah, Abû Bakar al-`Asham, dan ‘Ustmân al-Batî; berpendapat bahwa anak kecil sama ada lelaki atau wanita itu tidak dibenarkan berkawin sehingga mereka baligh. Ini didasari dari firman Allah SWT “حتى إذا بلغوا النكاح[16]. Seumpama diperbolehkan menikahkan mereka sebelum baligh, maka ayat ini tidak memiliki faedah, karena mereka tidak ada kebutuhan untuk melakukan pernikahan.[17]

Jadi, KHI pada dasarnya mengambil pendapat minoritas yaitu Ibn Syubramah, Abû Bakar al-`Asham, dan ‘Ustmân al-Batî. Hanya saja, pendapat minoritas ini belum menetapkan batasan umur, akan tetapi hanya batasan baligh. Sedangkan baligh ketentuannya bukan hanya umur, akan tetapi bisa saja dengan keluarnya mani atau mulai haid bagi perempuan. Kalau ditinjau secara umur, pendapat ulama secara umumnya terbagi menjadi dua pendapat, yaitu 15 tahun[18] dan 18 tahun[19].[20]

Dalam hal ini, ternyata KHI berusaha untuk menghilangkan perbedaan yang terjadi dikalangan ulama dengan menetapkan batasan 16 tahun bagi calon wanita dan 19 bagi calon pria.[21] Konsep ini dikenal dengan kaidah “حكم الحاكم يرفع الخلاف. Menurut kaidah ini; kalau seorang hakim menjatuhkan hukuman sesuai dengan sebuah pendapat (dalam mazhab fiqh), yang mana ternyata pendapat tersebut tidak sesuai dengan keyakinan mazhab terdakwa, maka wajib bagi terdakwa mengikuti pendapat hakim menurut qaul yang ashoh (wajib ikut secara lahir dan batin).[22] Maka kalau pemerintah/mahkamah agung menentukan batasan baligh, maka wajib bagi rakyat untuk patuh pada ketetapan hakim tersebut, karena permasalahan ini adalah khilâf, dan ketetapan hakim itu adalah menghilangkan khilâf.[23]

Ternyata, KHI juga tidak sendirian di dalam pembatasan umur minimal ini. Dr. Wahbah al-Zuhaylî mendokumentasikan undang-undang Syuriah yang secara spesifik menyatakan bahwa syarat pernikahan haruslah kedua mempelai telah mencapai umur baligh, yaitu 18 tahun bagi lelaki dan perempuan. Ini adalah karena untuk menjaga kedudukan masyarakat (menjaga pola sosial/مراعاة لأوضاع المجتمع) dan juga memandang kepada tanggungjawab yang besar ke atas orang yang bernikah tersebut (وتقديرا لمخاطر مسؤوليات الزواج).[24] Kerajaan Negeri Selangor, Malaysia juga memberi batasan tersebut seperti Enactment sebagai berikut:

8. Minimum age for marriage. No marriage may be solemnized under this Enactment where either the man is under the age of eighteen or the woman is under the age of sixteen except where the Syarie Judge has granted his permission in writing in certain circumstances.[25]

Walau bagaimanapun, pembatasan ini pada dasarnya tidak ditetapkan secara mutlak. Akan tetapi, orang terkait dapat meminta izin seperti pernyataan yang terdapat di dalam Enactment tersebut. Begitu juga dengan undang-undang Syuriah dan KHI seperti Pasal 15 angka (2) KHI:

Pasal 15

(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.[26]

Dalam hal ini, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) menyatakan seperti ini:

Pasal 6

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.[27]

Ternyata KHI (yang mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974), undang-undang Syuriah, dan Enactment di Negeri Selangor sekalipun tidak berani menetapkan sesuatu yang bukan syariat secara mutlak. Undang-undang ini masih memberi ruang bagi orang yang sudah benar-benar dianggap baligh walaupun belum mencapai umur baligh dengan ketentuan orang yang bersangkutan haruslah melaporkan dan memohon kepada pengadilan. Perkara ini ditegaskan Dr. Wahbah al-Zuhaylî tujuannya adalah demi menjaga kemaslahatan pemuda-pemudi dalam hal keprawanan dan keperjakaan di dalam pernikahan, dan menjaga mereka daripada terjadi penyimpangan.[28]

Pasal 16 dan 17 Kompilasi Hukum Islam pula menyatakan sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17

(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.[29]

Secara fiqh, Pasal 16 ini berbeda dengan pendapat Imam al-Syâfi’î di dalam kitab al-`Umm. Menurut Imam al-Syâfi’î; setiap perempuan yang akan dinikahi dengan pria lain, haruslah dimintai izin, kecuali apabila yang menikahkannya adalah bapaknya sendiri (wali mujbir).[30]

Akan tetapi, KHI ternyata menganut pendapat dari kalangan mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa perempuan yang baligh dan merdeka tidak boleh dipaksa untuk menikah sama ada ia masih perawan atau janda, malah wajib meminta izin dan berdiskusi dengannya.[31] Malah Muhammad Qadrî Bâsyâ telah menjadikannya sebagai hukum materiil di dalam hukum keluarga Kerajaan Turki Utsmani (sejenis KHI di Kerajaan Turki Utsmani).[32]

Bagi Pasal 16 angka (2) jo Pasal 17 angka (3) pula, terdapat di hukum materiil Muhammad Qadrî Bâsyâ ini. Hanya saja, ia tidak menetapkan atau menyinggung sama sekali tentang persetujuan dengan cara tulisan. Dalam hal ini, penulis menganggap KHI telah mengambil maksud dari pendapat Ibn Shalâh yang mengatakan bahwa “seorang pemberi ijazah sebaiknya mengucapkan lafaz ijazah selain dari hanya menulis ijazah tersebut, akan tetapi kalau hanya tulis tapi disertai niat untuk memberi ijazah, maka tetap sah”. Dari kata-kata Ibn Shalâh ini dapat diyakini kalau tulisan itu menempati tempatnya lisan apabila ia disertai niat. Begitu juga dalam masalah persetujuan calon mempelai ini.[33]

Selanjutnya Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan sebagai berikut:

Pasal 18

Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI.[34]

Sedangkan di dalam Bab VI mengatur tentang larangan kawin dengan alasan seperti pertalian nasab, sesusuan dan lain-lain. Perkara ini sudah ditetapkan di dalam fiqh.[35]

C. Kajian KHI Pasal 19-23 Tentang Wali Nikah

Permasalahan wali nikah adalah pembahasan yang paling penting di dalam mazhab Syafi’I. Kompilasi Hukum Islam juga tidak ketinggalan di dalam mengatur masalah ini. Pada Pasal 19 KHI menegaskan setegas-tegasnya sebagai berikut:

Pasal 19

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.[36]

Ini adalah sebuah rukun/syarat menurut mayoritas ulama kecuali mazhab Hanafi. Maka menurut mayoritas ulama, pernikahan hanya akan sah bila ada wali, berdasarkan { فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ}[37]. Menurut Imam Syafi’I, ayat inilah ayat yang paling jelas dalam perlunya wali. Sekiranya wali tidak perlu, maka larangan ke atas wali yang menghalang pernikahan seperti ayat di atas tidak akan memberi sebarang makna. Ada juga hadis Rasulullah SAW: “لا نكاح إلا بولي” (أي لا نكاح شرعي أو موجود في الشرع إلا بولي). Lalu hadis Aisyah RA: “أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْ فَرْجِهَا وَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ”.[38]

Maka dari itu, KHI secara tegas mewajibkan adanya wali dalam pernikahan. Selanjutnya, KHI menetapkan pada Pasal 20 sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari :

a. Wali nasab;

b. Wali hakim.[39]

Pasal 20 angka (1) ini telah ditetapkan di dalam fiqh, lebih-lebih lagi di dalam mazhab Syafi’i. Menurut Imam al-Bâjûrî, syarat yang harus dipenuhi bagi seorang wali adalah 1. Islam, 2. Baligh, 3. Berakal, 4. Merdeka, 5. Lelaki, 6. Adil (tidak fasik). Dari uraian Imam al-Bâjûrî ini ada dua yang tidak dicantumkan KHI; yaitu merdeka dan adil. Merdeka tidak dicantumkan karena memandang status merdeka sudah pasti wujud dan tidak perlu diqayyidkan karena memandang sekarang sudah tidak ada perhambaan. Sedangakan status adil tidak dicantumkan karena berpegangan pada pendapat kedua di dalam mazhab Syafi’i, bahwa wali fasik tetap dapat menjadi wali nikah.[40]

Bagi Pasal 20 angka (2) pula ditetapkan pembagian wali menjadi dua, yaitu wali nasab dan wali hakim. Dalam hal ini, pada dasarnya senada dengan kitab-kitab fiqh. Di dalam kitab Syarqâwî ‘alâ al-Tahrîr, wali dibagi menjadi 4 yaitu kebapakan (bapak, datuk, ke atas), yang mendapat waris ‘ashabah dari nasab, sifat kekuasaan perhambaan (الولاء), dan wilayah kesultanan atau kehakiman.[41] Kalau ditinjau dari pernyataan ini, dapat disimpulkan menjadi 3, yaitu dari segi nasab (yang pertama kebapakan dan waris ‘ashabah), dari segi kekuasaan perhambaan (الولاء), dan wilayah kesultanan atau kehakiman. dalam konteks Indonesia, yang ada adalah dari segi nasab dan wilayah kehakiman, maka sesuailah dengan ketentuan Pasal 20 angka (2).

Untuk mengatur siapa saja yang menjadi wali bagi seorang perempuan bagi ketentuan Pasal 20 angka (2) huruf (a), maka Pasal 21 KHI mengatur sebagai berikut:

Pasal 21

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon

mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Ababila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.[42]

Pada dasarnya, Pasal 21 ini semuanya menetapi ketentuan yang terdapat di dalam fiqh mazhab Syafi’i. Hanya saja, sistematika KHI menggunakan pembagian kelompok agar mudah untuk difahami. Sedangkan sistematika yang biasa digunakan fiqh mazhab Syafi’i yang klasik adalah langsung memberikan urutan wali (ترتيب الأولياء).[43] Perlu untuk dicermati, KHI tetap konsisten menetapi ketentuan fiqh Syafi’i di sini, karena pada angka (2), (3), dan (4) sudah ada klausul tertib sesuai urutan seperti dalam fiqh Syafi’i sendiri.[44]

Selanjutnya Pasal 22 KHI pula mengantisipasi status wali nikah yang telah disebutkan dari segi kemampuan yang mereka miliki sebagai berikut:

Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[45]

Ketetapan perpindahan kewalian apabila wali yang lebih berhak tidak memenuhi syarat, itu adalah sesuatu yang sudah maklum seperti di dalam mazhab Syafi’i.[46] Sedangkan ketentuan wali nikah yang menderita tuna wicara dan tuna rungu, atau sudah uzur tidak boleh menjadi wali dan kewaliannya berpindah pada orang di bawah derajatnya dapat diambil dari pernyataan Syaikh Abd al-Rahmân bin Muhammad 'Audh al-Jazîrî di dalam Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-`Arba’at sebagai berikut:

ومنها (أى من الأحوال التي تنقل ولاية الأقرب للأبعد) : أن يكون نظره في الأمور مختلا لسبب من الأسباب كمرض ملازم أعجزه عن البحث في أحوال الناس وتعرف أوصافهم وهوج وبله.[47]

Terjemahan: Termasuk dari perkara-perkara yang membuat berpindahnya kewalian dari yang paling berhak kepada yang bawah derajatnya adalah adanya penalarannya terhadap perkara-perkara itu rusak disebabkan oleh beberapa sebab seperti sakit yang tetap yang dapat melemahkannya untuk berbahas akan keadaan manusia, mengenali sifat-sifat manusia, kelemahan intelektualnya, dan kelemahan kecerdasannya.

Dari pernyataan ini, KHI telah memasukkan tuna wicara dan tuna rungu sebagai salah satu dari penyakit yang dapat merusak penalarannya bagi berbagai perkara menjadi rusak.

Setelah membahas ketentuan wali nasab, KHI Pasal 23 pula membahas persoalan wali hakim seperti ketentuan yang telah disebutkan sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.[48]

Bagi Pasal 23 angka (1), bermaksud bahwa wali hakim hanya dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab sama ada dari al-`aqrab atau al-`ab’ad itu tidak ada, tidak mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, gaib, atau adlal (enggan/tidak mau menikahkan). Ketentuan di dalam pasal ini adalah berdasarkan fiqh mazhab Syafi’i.[49]

Pasal 23 angka (2) pula merupakan ketetapan mandat seseorang sebagai wali hakim. Dalam konteks fiqh Syafi’I adalah orang yang mendapatkan kuasa untuk menjadi wali bagi wanita yang kuasa tersebut didapatkan melalui penyerahan wewenang (mandat) dari presiden atau pemerintah.[50] Dalam hal ini, ketentuan Psal 23 angka (2) menetapkan wali hakim yang biasanya dipegang oleh KUA hanya boleh bertindak sebagai wali hakim apabila ada putusan dari Pengadilan Agama. Status ini juga telah ditetapkan di dalam Bahtsul Masail al-Diniyyah al-Waqi’iyyah Muktamar XXX NU di PP. Lirboyo Kediri, pada tanggal 21-27 November 1999.[51]

D. Kajian KHI Pasal 24-26 Tentang Saksi Nikah

Setelah KHI membahas ketentuan wali dalam pernikahan, KHI beranjak pada permasalahan saksi nikah yang mana ia sebagai salah satu dari rukun nikah seperti yang telah diterangkan. Dalam hal ini, Pasal 24 KHI menyatakan:

Pasal 24

(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.[52]

Ketentuan Pasal 24 ini adalah ketetapan yang disepakai mazhab Syafi’i. Mazhab Syafi’I menegaskan bahwa sebuah pernikahan bisa sah apabila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan Ibn Hibbân di dalam kitab Sahihnya “عَنْ عَائِشَةَ رضي الله تعالى عنها : لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ , وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ , فَإِنْ تَشَاحُّوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ”.[53]

Kompulasi Hukum Islam meneruskan ketentuan bagi saksi nikah dengan Pasal 25 sebagai berikut:

Pasal 25

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.[54]

Ketentuan Pasal 25 ini juga merupakan pendapat mazhab Syafi’i. hanya saja, menurut pendapat yang lebih sahih (الأصح), seorang saksi harus juga tidak tuna netra (tidak buta). Ini dapat dilihat di dalam kitab al-`Iqnâ’ yang mengatakan “ومما تركه من شروط الشاهدين السمع والبصر والضبط”. Secara spesifik kitab tersebut menentukan penglihatan sebagai salah satu syarat.[55]

Akan tetapi, ternyata KHI telah meninggalkan ketentuan tidak tuna netra (boleh seorang tuna netra menjadi saksi nikah) karena berpegangan pada pendapat “مقابل الأصح” dalam mazhab Syafi’I, dan pendapat mayoritas ulama. Alasan pendapat ini adalah sebuah kesaksian orang yang tuna netra bisa sah apabila ia mendengar kata-kata kedua orang yang berakad, dan dapat membedakan suara keduanya yang tidak memiliki keraguan sama sekali, karena tuna netra adalah orang yang cakap sebagai saksi. Kesaksian di dalam pernikahan adalah berdasarkan ucapan (bukan penglihatan seperti tindak pidana). Maka kesaksiannya tetap sah sebagaimana kesaksian di dalam muamalah.[56]

Ketentuan terakhir bagi saksi nikah yang diatur oleh KHI adalah Pasal 26 sebagai berikut:

Pasal 26

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.[57]

Dalam pasal ini, kehadiran saksi untuk menyaksikan secara langsung akad nikah dapatlah difahami dan memang sudah ditetapkan di dalam mazhab Syafi’i.[58] Akan tetapi, ketentuan Pasal 26 yang menyebutkan “serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan” perlu untuk dibahas lebih dalam menurut tinjauan fiqh.

Kenyataan di dalam fiqh klasik, penulis tidak menemukan satupun pendapat ulama yang menegaskan bahwa setiap pernikahan wajib untuk dicatat, yang dalam kaitan Pasal 26 ini ada klausul yang menuntut saksi menandatangani akta nikah. Menurut penulis, sudah seharusnya pembahasan akan klausul ini masuk di dalam pembahasan pencatatan pernikahan.

Telah terjadi perbedaan pendapat tentang pencatatan pernikahan di kalangan ulama kontemporer. Menurut pendapat pertama; ia tetap sah walaupun tidak dicatat di lembaga pemerintah. Alasan yang dikeluarkan pendapat ini adalah karena melihat apabila syarat dan rukun sesuatu itu telah terpenuhi. Hal ini telah ditetapkan oleh Jam’iyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama pada Muktamarnya ke-10 di Pekalongan, tanggal 27-30 Maret 2005 M. Ibarat yang dipakai oleh peserta adalah dari kitab al-Fatâwâ al-Syar’îyyah yang nashnya sebagai berikut:

(الجواب) عقد الزواج إذا استوفى أركانه وشروطه الشرعية تحل به المعاشرة بين الزوجين وليس من شرائطه الشرعية إثباته كتابة في وثيقة رسمية ولا غير رسمية وإنما التوثيق لدى المأذون أو الموظف المختص نظام أجابته اللوائح والقوانين الخاصة بالمحاكم الشرعية خشية الجحود وحفظا للحقوق وحذرت من مخالفته لما له من النتائج الخطيرة عند الجحود . <الفتاوى الشرعية ص 183>

Jawab, apabila akad nikah telah terpenuhi rukun-rukun dan syaratnya secara syar’î maka dengan akad tersebut halallah pergaulan antara suami dan istri. Penetapan akad nikah secara tertulis di instansi resmi atau tidak resmi bukanlah syarat akad nikah. Pengukuhan oleh pejabat tertentu yang berwenang hanyalah aturan yang diwajibkan oleh undang-undang tertentu di peradilan agama karena khawatir akan terjadi pengingkaran, juga untuk melindungi hak masing-masing, sehingga instansi tersebut bisa memberikan peringatan ketika terjadi pengingkaran agar hal-hal yang mengakibatkan bahaya dapat dicegah.[59]

Menurut pendapat kedua, pencatatan pernikahan menjadi syarat sebuah pernikahan karena melihat dari sisi kemaslahatan bagi kedua mempelai. Dengan tanpa akta nikah, dikhawatirkan hak-hak suami-istri tidak dapat dibela di pengadilan karena kurangnya bukti bahwa mereka berada di dalam pernikahan yang sah. Dengan adanya akta nikah, sebuah pasangan dapat pergi ke mana saja tanpa perlu membawa saksi hidup pernikahan mereka untuk membuktikan bahwa mereka adalah suami-istri yang sah. Selain dari itu, akta nikah dapat menolah pengingkaran terhadap tali pernikahan yang mengkin akan dikeluarkan oleh salah satu pihak. Ketetapan ini didasari dengan konsep ­al-mashlahah al-mursalah[60] yang disepakati oleh beberapa ulama seperti Mâlikiyyah dan Imam al-Ghazâlî.[61]

Menurut analisis penulis terhadap ketentuan pencatatan pernikahan atau keharusan untuk menandatangani akta nikah oleh saksi memiliki dasar hukum secara syar’î. Selain dari hujjah melalui konsep al-mashlahah al-mursalah yang telah diterangkan, di dalam mazhab Syafi’I sekalipun sudah ada ketentuan untuk mematuhi peraturan pemerintah yang mengandung kemaslahatan dan ia tidak bertentangan dengan syariat. Buktinya, di dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidîn; menetukan seumpama adalah ketentuan dari pemerintah yang mengandung kemaslahatan umum dan ia tidak bertentangan dengan ketentuan syariat, maka wajib taat secara lahir dan batin. Yang dimaksud batin di sini, seumpama tidak taat, maka akan mendapatkan sanksi dosa di sisi Allah SWT.[62] Kesimpulan dari ini, menurut hemat penulis; dengan barbagai perbedaan pendapat, pencatatan nikah dan/atau penandatangan saksi di akta nikah adalah wajib secara syar’î. Akan tetapi, apabila tidak dipenuhi (tidak melakukannya) maka pernikahan tersebut tidak akan rosak secara syar’î, hanya saja ia akan terkena sanksi dosa oleh Allah SWT. Pemerintah juga berhak menganggap ia belum berstatus menikah selagi tidak didatangkan saksi yang sesuai dengan ketentuan syariat.

E. Kajian KHI Pasal 27-29 Tentang Akad Nikah

Bagian terakhir dari Bab IV KHI tentang syarat dan rukun perkawinan, adalah pembahasan akad nikah. Dalam hal ini, Pasal 27 KHI menetapkan sebagai berikut:

Pasal 27

Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.[63]

Ketentuan ini adalah ketentuan yang dikeluarkan menurut mayoritas ulama fiqh. Malah ulama mazhab Syafi’i menegaskan untuk tidak terjadi perpisahan yang panjang antara lafaz ijab dan kabul kedua orang yang berakad. Seumpama terdapat perpisahan yang panjang, maka akad tersebut akan rusak, karena perpisahan yang panjang akan mengeluarkan kabul sebagai jawaban dari ijab.[64]

Dalam ketentuan tidak berselang waktu, ini ditegaskan ulama fiqh dengan ketentuan “berada di satu majlis” (اتحاد المجلس). Yang dimaksud dari istilah ini adalah adanya ijab dan kabul itu berada di dalam satu majlis, bukan dari dua majlis yang berbeda. Alasan ini dikarenakan syarat terjadi pertalian (terikat/الإرتباط) adalah dalam waktu yang sama (اتحاد الزمان) yang menjadi istilah KHI di pasal ini. Maka ulama mengunakan bahasa “berada di satu majlis” (اتحاد المجلس) karena telah mengumpulkan ketentuan dalam ijab dan kabul agar memudahkan kedua orang yang berakad.[65]

Selanjutnya KHI mengatur persoalan wakil wali dalam akad nikah tersebut dengan Pasal 28 sebagai berikut:

Pasal 28

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.[66]

Konsep Pasal 28 ini adalah suatu ketentuan yang sudah umum di dalam fiqh Islam. Seorang wali boleh mewakilkan kepada orang lain, sama ada ia berada di majlis akad maupun tidak. Akan tetapi, kalau ia mewakilkan dan berada di majlis tersebut, ia (wali) tidak boleh menjadi saksi. Kalau sampai ia menjadi saksi, maka rusaklah akad tersebut.[67]

Pasal terakhir yang mengatur persoalan rukun dan syarat perkawinan adalah Pasal 29 KHI. Dalam pasal ini, ia mengatur tentang calon memperlai pria dalam akad tersebut sebagaimana berikut:

Pasal 29

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.

(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.[68]

Dalam konteks ijab dan kabul, secara fiqh pada dasarnya mengacu pada konsep akad-akad yang lain seperti jual beli.[69] Menurut mayoritas ulama fiqh, kabul adalah sebuah lafaz yang menunjukkan relanya pernikahan yang dikeluarkan oleh suami.[70] Ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 angka (1).

Sedangkan menurut mazhab Hanafi pula, ijab adalah sesuatu yang keluar awalnya dari salah satu orang yang berakad, sama ada suami atau istri. Sedangkan kabul adalah sesuatu yang keluar kedua dari pihak yang lain pula.[71]

Pasal 29 angka (2) pula merupakan konsep wakil yang sudah maklum di dalam fiqh. Menurut mazhab Syafi’i, syarat bagi perkara yang diwakilkan, salah satunya adalah perkara tersebut menerima untuk digantikan oleh orang lain. Dalam hal ini, semua akad itu sah untuk diwakilkan kecuali ibadah seperti solat.[72] Oleh karena nikah di dalam mazhab Syafi’i adalah akad secara hakiki sedangkan secara majâznya adalah wat` (persetubuhan/jimak),[73] maka sudah tentu kabul tersebut dapat diwakilkan.[74] Sebab itulah menurut hemat penulis, dalam mazhab Syafi’i, seorang wali boleh mewakilkan perwaliaannya kepada orang lain untuk menikahkan anak perempuannya.[75]

Sedangkan ketetapan harus pemberian kuasa tersebut berbentuk tulisan, pada dasarnya tidak ditetapkan dalam fiqh. Malah fiqh secara perbandingan secara tegas menetapkan ia boleh berbentuk kata-kata (عبارة) atau berbentuk tulisan. Juga tidak ditetapkan harus ada saksi.[76]

Menurut hemat penulis, ketetapan yang ditetapkan KHI ini tidak ada salahnya diundang-undangkan, mengikut kaidah al-maslahah al-mursalah yang telah dijelaskan atau konsep dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidîn yang mengatakan ketetapan pemerintah yang tidak diharamkan secara syariat wajib ditaati secara lahir dan batin, kalau ia bertentangan dengan syariat seperti mewajibkan sesuatu yang haram, maka cukup taat secara lahir saja.[77] Lebih-lebih lagi, tujuannya tidak lain hanya untuk menghilangkan keraguan dan gugatan dari mana-mana pihak.

Pasal 29 angka (3) yang menetapkan seumpama calon wanita atau wali keberatan nikah tersebut diwakilkan, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan pula berpegangan pada dasar nikah itu sendiri; yaitu keputusan pernikahan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai, sama seperti yang telah termaktub di Pasal 16 KHI jo Pasal 17 KHI. Seperti apa yang telah dijelaskan, pasal ini adalah resapan dari pendapat mazhab Hanafi yang mensyaratkan persetujuan dari pihak wanita.[78]

Dalam hal keberatan yang datang dari wali pula mengacu pada fiqh mazhab Syafi’i dan yang lainnya yang berpendapat bahwa orang yang berakad adalah calon suami dan wali, bukan calon istri.[79] Maka apabila salah satu dari orang yang berakad keberatan untuk meneruskan karena alasan wakil tersebut, sudah tentu akad tidak bisa diteruskan, karena tidak ada persetujuan dari kedua orang yang berakad.

BAB III

KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

1. Pasal 14 KHI adalah sesuai dengan fiqh yang mengacu pada mazhab Syafi’i. Maka dari itu, Pasal 14 KHI adalah sesuai dengan fiqh.

2. Pasal 15 KHI bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama, akan tetapi ia mengacu pada pendapat Ibn Syubrmah dan lain-lain, maka ia tetap sesuai fiqh. Pasal 16 dan 17 KHI pula mengacu pada fiqh mazhab Hanafi. Pasal 18 KHI secara tegas sependapat dengan fiqh. Maka Pasal 15-18 KHI jelas-jelas sesuai dengan fiqh.

3. Pasal 19 KHI sesuai dengan pendapat mayoritas ulama fiqh. Pasal 20 KHI ditetapkan mazhab Syafi’I walaupun ada khilâf. Pasal 21 KHI adalah ketentuan yang ditetapkan mazhab Syafi’I. Pasal 22 KHI juga senada dengan konsep mazhab Syafi’i. Pasal 23 KHI jelas sama seperti mazhab Syafi’i. Maka Pasal 19-23 KHI adalah tidak bertentangan dengan fiqh sama sekali.

4. Pasal 24 KHI diambil dari kesepakatan ulama mazhab Syafi’i. Pasal 25 adalah senada dengan mazhab Syafi’I walaupun ada khilâf. Pasal 26 adalah ketentuan mazhab Syafi’I, hanya saja masalah tandatangan, KHI mengacu pada konsep pencatatan nikah berdasarkan al-maslahah al-mursalah dan konsep taat pemerintah menurut kitab Bughyah al-Mustarsyidîn. Maka Pasal 24-26 KHI adalah memiliki dasar fiqh.

5. Pasal 27 KHI adalah merupakan kesepakan mayoritas ulama fiqh. Pasal 28 KHI pula adalah suatu yang sudah maklum dalam fiqh Islam. Pasal 29 KHI bersesuaian dengan fiqh Islam, hanya saja masalah berbentuk tulisan itu mengacu pada konsep akta nikah yang telah lewat. Maka Pasal 27-29 KHI adalah sesuai dengan kaca mata fiqh.


DAFTAR PUSAKA

‘Abd al-Rahman bin Muhammad Bâ’alwî, Bughyah al-Mustarsyidîn (Surabaya: al-Hidâyah, t.t.

‘Abd al-Salâm, ‘Abd al-‘Azîz bin. Fatâwâ Sulthân al-‘Ulamâ` al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm. Cairo: Maktabah al-Qur`ân, 1987.

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

al-Bahûtî, Mansûr bin Yunus. Kasyâf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, t.t..

al-Bâjûrî, `Ibrâhîm. Hâsyiah al-Bâjûrî ‘alâ `ibn Qâsim al-Ghazzî. Surabaya: Hidâyah, t.t..

Bâsyâ, Muhammad Qadrî. al-`Ahkâm al-Syar’iyyah fî al-`Ahwâl al-Syakhshiyyah. Cairo: Dâr al-Salâm, 2006.

al-Bujairamî, Sulaimân bin Muhammad. Tuhfah al-Habîb ‘alâ Syarh al-Khathîb. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

al-Dumyâthî, Muhammad Syatha. `I’ânah al-Thâlibîn. Semarang: Thaha Putra, t.t..

al-Hamâm, Kamâl al-Dîn bin ‘Abd al-Wâhid Ibn. Fath al-Qadîr. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..

al-Hushnî, Abî Bakr bin Muhammad. Kifâayh al-`Akhyâr. Jeddah: Dâr al-Minhaj, 2007.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

Islamic Family Law (State of Selangor) Enactment 2003. Petaling Jaya: International Law Book Services, 2005.

al-Jamal, Sulaimân. Hâsyiah al-‘Alâmah al-Syaikh Sulaimân al-Jamal ‘alâ Syarh al-Minhâj. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..

Jam’iyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama. Permasalahan Thariqah, Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama. Surabaya: Khalista, 2006.

al-Jazîrî, Abd al-Rahmân bin Muhammad 'Audh. Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-`Arba’at. Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2001.

al-Kâsânî, Mas’ûd bin Ahmad. Badâ`I’ al-Shanâ`I’ fî Tartîb al-Syarâ`I’. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, t.t..

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991. Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

al-Khathîb, Muhammad al-Syirbînî. al-`Iqnâ. Surabaya: al-Hidâyah, t.t..

---------. Mughnî al-Muhtâj. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t..

Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara, 2007.

al-Kuwait, Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi. Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah. Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t..

al-Mahalî, Jalâl al-Dîn. Hâsyiah al-Mahalî ‘alâ Minhâj al-Thâlibîn. Semarang: Thahâ Putra, t.t..

Nuruddin, Amiur & Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.

Nahdlatul Ulama. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes. Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004.

al-Ramlî, Muhammad bin Syihâb al-Dîn. Fatâwâ al-Ramlî bi Hâmisy al-Fatâwâ al-Kubrâ al-Fiqhiyyah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1983.

al-Suyûthî, ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr. al-`Asyhbâh wa al-Nadzâ`ir. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t..

al-Syâfi’î, Muhammad bin `Idrîs. al-`Umm. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994.

al-Syâthirî, Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar. Syarh al-Yâqût al-Nafîs. Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007.

Al-Syarqâwî. Syarqâwî ‘alâ al-Tahrîr. Surabaya: al-Hidâyah, t.t..

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007.

al-Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004.

---------. `Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001.

---------. al-Wajîz fî `Ushûl al-Fiqh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003.


[1] Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

[2] Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

[3] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 129.

[4] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), 35-51.

[5] Wahbah al-Zuhaylî, `Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), vol. 1, 538.

[6] Alasan mengapa penulis tidak begitu menitik beratkan larangan talfîq karena, talfîq sendiri di dalam kacamata fiqh telah terjadi khilâf di kalangan ulama Islam, walaupun di dalam mazhab Syafi’i sekalipun. Lihat: al-Zuhaylî, `Ushûl al-Fiqh, vol. 2, 1170-1183; ‘Abd al-‘Azîz bin ‘Abd al-Salâm, Fatâwâ Sulthân al-‘Ulamâ` al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm (Cairo: Maktabah al-Qur`ân, 1987), 38.

[7] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[8] Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar al-Syâthirî, Syarh al-Yâqût al-Nafîs (Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007), 582.

[9] Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 9, 6521.; Mas’ûd bin Ahmad al-Kâsânî, Badâ`I’ al-Shanâ`I’ fî Tartîb al-Syarâ`I’ (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, t.t.), vol. 2, 230.

[10] Mansûr bin Yunus al-Bahûtî, Kasyâf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, t.t.), vol. 5, 38.

[11] Abd al-Rahmân bin Muhammad 'Audh al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-`Arba’at (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2001), 818.

[12] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6521.

[13] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[14] UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7: (1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

[15] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6682.

[16] al-Qur’an, 4:6.

[17] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6682.

[18] Menurut Syâfi’iyyah, Hanâbilah, Abû Yûsuf, dan al-`Awzâî.

[19] Menurut Mâlikiyyah dan Abû Hanîfah.

[20] Muhammad Syatha al-Dumyâthî, `I’ânah al-Thâlibîn (Semarang: Thaha Putra, t.t.), vol. 1, 21; Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.), vol 2, 16.

[21] Alasan mengapa ditetapkan umur 19 tahun bagi lelaki dan 16 tahun bagi wanita adalah mengacu pada alasan bahwa umur ini dianggap lebih matang fisik dan kejiwaannya. Yang jelas pembatasan ini adalah berdasarkan kaidah exepressip verbis yang dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Lihat: Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 70.

[22] Muhammad bin Syihâb al-Dîn al-Ramlî, Fatâwâ al-Ramlî bi Hâmisy al-Fatâwâ al-Kubrâ al-Fiqhiyyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), vol. 4, 113, 20.

[23] Seperti contoh: Seorang suami menjatuhkan talak 3, lalu ia ingin kembali kepada istrinya, tanpa perlu melakukan nikâh muhallil. Dengan ini, ia mengaku bahwa nikah yang pertama adalah fâsid. Maka bagi hakim boleh merestui pernikahan kedua tanpa perlu melakukan nikâh muhallil apabila berita acaranya didukung oleh pernyataan si istri. Akan tetapi, seumpama alasan rusaknya nikah awal adalah disebabkan fasiknya wali/saksi, sedangkan nikah yang pertama itu telah dihukumi sah oleh hakim berdasarkan pendapat yang memperbolehkan orang fasik menjadi wali/saksi (di mana dalam hal ini Syafi’iyyah menganggap tidak boleh/sah), maka tidak boleh baginya (suami) melakukan apa yang berbeda dengan ketetapan hakim yang awal, walaupun dia menganggap tidak sah berdasarkan Mazhab Syafi’i. Ini dikarenakan ketetapan hakim itu adalah menghilangkan khilâf. Lihat: Sulaimân al-Jamal, Hâsyiah al-‘Alâmah al-Syaikh Sulaimân al-Jamal ‘alâ Syarh al-Minhâj (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 4, 142.

[24] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6688.

[25] Islamic Family Law (State of Selangor) Enactment 2003, Petaling Jaya: International Law Book Services, 2005.

[26] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[27] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[28] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6689.

[29] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[30] Muhammad bin `Idrîs al-Syâfi’î, al-`Umm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), vol. 5, 29.

[31] Kamâl al-Dîn bin ‘Abd al-Wâhid Ibn al-Hamâm, Fath al-Qadîr (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 3, 260.

[32] Muhammad Qadrî Bâsyâ, al-`Ahkâm al-Syar’iyyah fî al-`Ahwâl al-Syakhshiyyah (Cairo: Dâr al-Salâm, 2006), vol. 1, 152.

[33] Ibid.; ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr al-Suyûthî, al-`Asyhbâh wa al-Nadzâ`ir (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), 309.

[34] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[35] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6624. Keterangan lebih dalam akan dibahas di pembahasan larangan kawin.

[36] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[37] Al-Qur’an, 2:232.

[38] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6572.

[39] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[40] Jalâl al-Dîn al-Mahalî, Hâsyiah al-Mahalî ‘alâ Minhâj al-Thâlibîn (Semarang: Thahâ Putra, t.t.), vol. 3, 227.

[41] Al-Syarqâwî, Syarqâwî ‘alâ al-Tahrîr (Surabaya: al-Hidâyah, t.t.), vol. 2, 226.

[42] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[43] Analisis ini adalah menurut penulis. Kitab klasik yang dimaksud penulis adalah seperti al-`Iqnâ, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-`Arba’at, dan Hâsyiah al-Bâjûrî ‘alâ `ibn Qâsim al-Ghazzî. Jadi, seumpama terdapat di dalam kitab klasik mazhab Syafi’i yang lain ternyata memakai sistematik kelompok seperti di KHI, maka abaikanlah analisis penulis ini.

[44] al-Jazîrî, al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-`Arba’at, 827; `Ibrâhîm al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjûrî ‘alâ `ibn Qâsim al-Ghazzî (Surabaya: Hidâyah, t.t.), vol. 2, 105; Muhammad al-Syirbînî al-Khathîb, al-`Iqnâ (Surabaya: al-Hidâyah, t.t.), vol. 2, 125.

[45] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[46] al-Jazîrî, al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-`Arba’at, 833.

[47] Ibid.

[48] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[49] Sulaimân bin Muhammad al-Bujairamî, Tuhfah al-Habîb ‘alâ Syarh al-Khathîb (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), vol. 4, 146.

[50] al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjûrî, vol. 2, 106.

[51] Nahdlatul Ulama, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004), 564.

[52] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[53] al-Syirbînî al-Khathîb, al-`Iqnâ, vol. 2, 122; al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6559.

[54] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[55] al-Syirbînî al-Khathîb, al-`Iqnâ, vol. 2, 124.

[56] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6565.

[57] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[58] al-Syirbînî al-Khathîb, al-`Iqnâ, vol. 2, 122.

[59] Jam’iyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama, Permasalahan Thariqah, Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista, 2006), 263.

[60] Syarat sebuah pandangan dapat dimasukkan sebagai al-mashlahat al-mursalah ada 3: 1. Adanya kemaslahatan tersebut itu sesuai dengan tujuan-tujuan syariat: yaitu tidak terjadi pertentangan dengan dasar-dasar syariat, tidak bertentangan dengan nash atau dalil-dalil yang qath’î, harus sesuai dengan kemaslahatan yang menjadi tujuan dari syariat. Contoh kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah fatwa yang menyuruh orang kaya kafârah menjimak istri di siang Ramadhan adalah puasa dua bulan berturut-turut, bukan memerdekakan budak, padahal ada ayat yang menetapkan sebagai berikut; 2. Adanya kemaslahatan tersebut itu dapat dinalar akal secara hakiki, bukan persangkaan saja. Dengan gambaran kalau hukum itu ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tersebut, maka secara hakiki akan menarik sebuah kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Contohnya ketetapan mewajibkan pendaftaran tanah akan mengurangi secara pasti terhadap syahâdah al-zûr; 3. Adanya kemaslahatan itu bersifat umum bagi seluruh manusia bukan khusus bagi orang tertentu saja seperti presiden, dan lain-lain. Contohnya tidak dipebolehkan mengeluarkan fatwa untuk membunuh seorang muslim yang dijadikan alat perlindungan (tameng) oleh musuh selagi masih mungkin menghitung jumlah musuh tersebut, dan tidak ditakutkan akan berhasil menguasai negara Islam. Maka, melarang nikah sirri atau mewajibkan pencatatan nikah adalah dapat ditetapkan sebagai salah satu dari ketentuan syariat menurut metode al-mashlahah al-mursalah, karena ia telah memenuhi 3 krateria ini. Lihat: Wahbah al-Zuhaylî, al-Wajîz fî `Ushûl al-Fiqh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), 96.

[61] Ibid., 93.

[62] ‘Abd al-Rahman bin Muhammad Bâ’alwî, Bughyah al-Mustarsyidîn (Surabaya: al-Hidâyah, t.t.), 91.

[63] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[64] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6536.

[65] Ibid., vol. 9, 6535.

[66] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[67] Abî Bakr bin Muhammad al-Hushnî, Kifâayh al-`Akhyâr (Jeddah: Dâr al-Minhaj, 2007), 411; al-Dumyâthî, `I’ânah al-Thâlibîn, vol. 3, 299.

[68] Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

[69] al-Syâthirî, Syarh al-Yâqût al-Nafîs, 588.

[70] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6522.

[71] Ibid.

[72] al-Syâthirî, Syarh al-Yâqût al-Nafîs, 422.

[73] al-Jazîrî, al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-`Arba’at, 813.

[74] Sedangkan menurut mazhab Hanafi ini sudah jelas kebolehannya. Selanjutnya ia sudah ditetapkan di dalam undang-undang keluarga Turki Utsmani. Lihat: Bâsyâ, al-`Ahkâm al-Syar’iyyah, vol. 1, 163.

[75] Muhammad al-Syirbînî al-Khathîb, Mughnî al-Muhtâj (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), vol. 4, 261.

[76] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6726.

[77] Bâ’alwî, Bughyah al-Mustarsyidîn, 91.

[78] Ibn al-Hamâm, Fath al-Qadîr, vol. 3, 260; Bâsyâ, al-`Ahkâm al-Syar’iyyah, vol. 1, 152.

[79] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 9, 6521.

1 comment:

amalus sholeh said...

bagus dan menarik
makasih ya...