Friday, February 13, 2009

Filsafat Ibn Rusyd - Paradigma Pertentangan Filsafat al-Ghazali

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Ibn Rusyd, dalam Islam terdapat beberapa mazhab dalam usaha mencari eksistensi Tuhan, seperti Hasyawiyyah, `Asyâ’irah, dan Sufiyyah. Secara ringkasnya, menurut Hasyawiyyah, jalan mencari Tuhan adalah lewat informasi yang disampaikan Rasulullah SAW, bukan memakai rasio akal. Akal tidak ada kaitannya dengan masalah ini. Sebaliknya, `Asyâ’irah mencari Tuhan dengan jalan rasio. Dari sini, kaum `Asyâ’irah melahirkan doktrin-doktrin bahwa dunia tidak qadîm, benda-benda terdiri dari atom-atom tersebut diciptakan, dan lain-lain. Sementara itu, kaum Sufi menemukan Tuhan lewat jalan mistis, yaitu ma’rifat Tuhan datang sendiri dari atas masuk ke dalam hati, setelah keinginan duniawi ditinggalkan.[1]

Ibn Rusyd tidak menerima metode-metode tersebut dan mengkritiknya.[2] Menurutnya; metode yang disampaikan Hasyawiyyah bertentangan dengan ajaran teks suci yang banyak memerintahkan manusia untuk beriman berdsarkan bukti-bukti rasional. Sedangkan `Asyâ’irah tidak bisa diikuti masyarakat awam, di samping argumennya tidak kukuh dan tidak meyakinkan. Kelemahan yang sama juga terjadi pada kaum Sufi, di samping, metodenya berarti menghapus kegiatan spekulasi yang diperintahkan dalam banyak ayat Alquran.[3]

Pada waktu sebelum Ibn Rusyd lahir, al-Ghazâlî dalam usaha untuk menjatuhkan pemikiran filsafat yang menular di kalangan Muslim pada zamannya; ia melakukan sanggahan terhadap pemikiran filosof di dalam kitabnya yang berjudul Tahâfut al-Falâsifah yang berarti ‘Kerancuan Para Filosof’. Akibat dari buku ini, Ibn Rusyd yang lahir sekitar 15 tahun setelah wafatnya al-Ghazâlî pula berusaha melawan argumen-argumen peniggalan Imam al-Ghazâlî.[4]

Siapakah sebenarnya Ibn Rusyd itu – seorang yang berani melawan Imam al-Ghazâlî, yang mana dianggap sebagai Hujjat al-`Islâm karena jasa beliau dalam melawan akidah Muktazilah dan filosof – dan apa saja karya-karya Ibn Rusyd?

Selanjutnya, seperti apakah pemikiran Ibn Rusyd dalam mencari eksistensi Tuhan, sehingga berani menolak metode-metode aliran yang lain?

Bagaimanakah pemikiran Ibn Rusyd dalam menjawab argumen-argumen Imam al-Ghazâlî yang terkenal sangat kuat dan tajam, karena terbukti berhasil membina arus ahli teologis dan fiqh untuk melawan perkembangan filsafat?

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Sejarah dan sebagian karya-karya Ibn Rusyd.

2. Filsafat ketuhanan Ibn Rusyd.

3. Ibn Rusyd dalam menjawab sanggahan al-Ghazâlî terhadap filsafat.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melakukan peulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memberikan ilmu kepada orang lain tentang sejarah dan sebagian karya-karya Ibn Rusyd secara hakiki.

2. Untuk mengetahui dan memberikan ilmu kepada orang lain seperti apa filsafat ketuhanan Ibn Rusyd secara hakiki.

3. Untuk mengetahui memberikan ilmu kepada orang lain apa saja hujjah Ibn Rusyd dalam menjawab sanggahan-sanggahan al-Ghazâlî terhadap filsafat.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Karya-Karya Ibn Rusyd

Ibn Rusyd (ابن رشد) yang memiliki nama panjang Abû al-Walîd Muhammad bin `Ahmad bin Rusyd al-Mâlikî lahir di Kordova pada tahun 520 H (1126 M) dan wafat di Maroko pada tahun 595 H (1198 M).[5]

Kakeknya adalah seorang hakim di Kordova, juga seorang yang alim, ahli fiqh mazhab Maliki, ahli di dalam bidang teologi dan filsafat, dan termasuk ulama tersyohor di zamannya. Di samping itu, ia terkenal dengan pembahasan-pembahasannya yang kesemuanya hingga kini masih berupa manuscript. Seperti halnya kakeknya, ayah Ibn Rusyd juga adalah termasuk dari ahli fiqh terkenal. Ia juga seorang hakim di Kordova.[6]

Ibn Rusyd mempelajari ilmu fiqh dari bapaknya sehingga hafal kitab al-Muwattha’. Selain dari bapaknya, ia juga mengambil fiqh dari Abî al-Qâsim bin Bisykawâl, Abî Marwân bin Masrah, Abî Bakr bin Samhûn, Abî Ja’far bin ‘Abd al-‘Azîz, dan Abî ‘Abd `Allah al-Mâzirî. Setelah dalam mepelajari fiqh dari ulama ini, ia pun mengarang kitab yang berjudul ‘Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid’.[7]

Sedangkan di dalam ilmu kalam, beliau mempelajarinya mendalam dan sampai mengkritisi pemikiran ulama kalam. Teologi yang didalaminya adalah teologi `Asy’ariyah, sehingga ia mengkritik `Asy’ariyah tatkala ia menjadi seorang ahli logika dan filosof.[8]

Ketika Ibn Rusyd berumur 18, dia bepergian ke Maroko dan menggabungkan diri dengan raja Muwahhid; ‘Abd al-Mu`min II. Setelah wafatnya sang penguasa ini, anaknya yang bernama Yûsuf bin ‘Abd al-Mu`min memanggil filosof Ibn Thufail ke istana dan Ibn Rusyd menghormatinya. Inilah awal kehidupan Ibn Thufail di istana yang menjadi sumber keuntungan sekaligus juga kesulitan baginya. Karirnya menanjak meraih jabatan-jabatan tinggi dan menjadi hakim pada suatu waktu, tetapi di lain waktu ia dituntut.[9]

Karena Khalifah tersebut tertarik dengan pemikiran-pemikiran Ibn Rusyd tentang persoalan filsafat, maka Ibn Rusyd diangkat menjadi perangkat peradilan di berbagai daerah Andalusia (Spanyol Selatan) sehingga mencapai derajat hakim, seperti kakek dan bapaknya. Lalu Ibn Rusyd dianggkat menjadi Hakim Agung (قاضي القضاة).[10]

Pada tahun 1182 M ia dipanggil oleh Khalifah di Maroko untuk menjadi dokter pribadinya dan mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Khalifah. Diceritakan, bahwa suatu ketika Ibn Rusyd sedang berdiskusi dengan Khalifah. Ketepatan ia sedang menjelaskan Kitab al-Hayawân karangan Aristoteles. Pada saat sampai pada kata jerapah, ia memberikan sifat dan berkata: “Aku telah melihat jerapah di sisi Raja Barbar [ملك البربر] (yaitu Khalifah al-Manshûr)”. Ketika hal itu sampat ke telinga al-Manshûr, ia sulit menerimanya. Inilah yang diperkirakan yang menjadi pemicu rasa tidak sukanya pada Ibn Rusyd. Dikisahkan, Ibn Rusyd mengajukan apologi, “yang ingin aku katakan adalah, raja-raja yang saleh [ملك البرين – أي أفريقية والأندلس]. Tapi aku salah ucap dan jadilah [ملك البربر]”.[11]

Selain dari ini, ia juga dipojokkan sekelompok fuqahâ` yang tidak menyukainya. Pada tahun 1195 M, ia mengalami inkuisisi. Ibn Rusyd bersama para filosof yang lain akhirnya diasingkan ke Yasanah, perkampungan Yahudi dekat Kordova, dan semua karya filsafatnya dibakar, di samping masyarkat dilarang mengkajinya.[12]

Beberapa lama di pembuangan, Ibn Rusyd dibebaskan dan dikembalikan ke istana, setelah para pemuka Sevilla meminta Khalifah membebaskan Ibn Rusyd. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama, karena ajal menjemputnya pada 11 Desember 1198 M / 9 Shafar 595 H, dalam usia 72 tahun. Jenazahnya dibawa ke Kordova dan dimakamkan di sana.[13]

Karya-karya Ibn Rusyd amat banyak dan beragam, mencapai 78 buah, mencakup soal filsafat, kedoktoran, hukum, teologi, astronomi, sastra, dan lain-lain. Di antaranya yang terkenal dalam filsafat, Tahâfut al-Tahâfut sebagai tanggapan atas buku Tahâfut al-Falâsifah karya al-Ghazâlî; al-Masâ`il fî al-Falsafah; Syarh Kitâb Mâ Warâ`a al-Thabi’ah li Aristha; Fashl al-Maqâl; Syarh Kitâb al-Samâ` wa al-`Ardl li Aristha.[14]

Dalam bidang teoligi, karya yang terpenting adalah al-Kasyf ‘an Manâhij al-`Adillah fî ‘Aqâ`id al-Millah, dalam bidang kedokteran adalah Kulliyah fî al-Thib, dalam bidang hukum Islam adalah Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, yang kemudian menjadi buku referensi penting dalam pemikiran hukum mazhab Maliki.[15]

B. Filsafat Ketuhanan Ibn Rusyd

Ibn Rusyd berpendapat bahwa Tuhan itu hanya dapat ditemukan dengan menggunakan akal. Ini berdasarkan pada ayat {فاعتبروا يا أولي الأبصار}. Menurutnya, ayat ini menunjukkan pada hukum wajibnya menggunakan qiyâs akal atau akal dan syariat secara bersamaan.[16]

Dalam proses ini, ia menyatakan Tuhan itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakannya, untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu.[17] Pendapat ini dapat dilihat di dalam kitabnya yang berjudul Fashl al-Maqâl:

فإن الموجودات إنما تدل على الصانع بمعرفة صنعتها وأنه كلما كانت المعرفة بصنعتها أتم كانت المعرفة بالصانع أتم اهـ .[18]

Berdasarkan ini, Ibn Rusyd mengatakan syariat telah menunjukkan wujudnya Tuhan dengan memakai dua jenis dalil, yaitu 1. Dalil ‘inâyah; 2. Dalil `Ikhtirâ’ yang kedua-duanya terdapat di dalam Alquran. Menurut penelitian Ibn Rusyd, ayat-ayat Alquran bisa dibagi dalam 3 golongan. 1. Ayat-ayat yang berisi terhadap peringatan dalil ‘inâyah; 2. Ayat-ayat yang berisi peringatan dalil `Ikhtirâ’; 3. Peringatan terhadap kedua dalil tersebut bersama-sama.[19]

Dalil ‘inâyah adalah sebuah dalil yang terdapat dua asas, yaitu apabila dilihat pada apa yang wujud di bumi ini maka sesuai (الموافقة) sekali dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain. Asas kedua adalah persesuaian ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang didasarkan pada ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini menunjukkan bahwa Allah dapat ditemukan dengan melihat makhluknya, dan inilah jalan yang ditempuh para filosof.[20]

Contohnya adalah adanya siang dan malam, matahari dan bulan, empat musim, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan hujan. Kesemuanya ini sesuai dengan kehidupan manusia. Seperti tangan dan anggota lain adalah sesuai dengan kehidupan dan kewujudan manusia. Wujud semua perkara ini pasti merupakan sebuah perencanaan yang bukan kebetulan.[21]

Dalil ini dibuktikan dengan dalil syariat di dalam beberapa ayat, khususnya firman Allah:

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا (6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7) وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11) وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16)[22]

Terjemahan: 6. Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, 7. Dan gunung-gunung sebagai pasak?, 8. Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, 9. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, 10. Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, 11. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, 12. Dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, 13. Dan Kami jadikan pelita yang Amat terang (matahari), 14. Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, 15. Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, 16. Dan kebun-kebun yang lebat?

Kelebihan dalil ‘inâyah ialah karena dalil tersebut mengajak kepada pengetahuan yang benar, bukan kepada sekedar debat, mendorong kita untuk memperbanyak penyelidikan dan menyingkap rahasia-rahasia alam, bukan untuk menimbulkan kesulitan dan kejanggalan.[23]

Seumpama dalil ‘inâyah yang telah lewat itu disandarkan pada asal mula sebab[24] wujudnya dan penelitian pemikiran akan mungkin dan bisa wujud, maka dalil `Ikhtirâ’ pula berdasarkan pada asas perkara itu sendiri.[25] Ini dapat digambarkan dengan apabila kita melihat pada beberapa jisim yang berupa materi, lalu kita menemukan ada kehidupan pada materi tersebut, maka kita akan mengetahuinya secara pengetahuan yang yakin bahwa di situ terdapat zat yang mewujudkan perkara tersebut.[26] Karena sesungguhnya segala sesuatu pasti ada sebab, dan tidak ada satu perkara pun yang merupakan kebetulan.[27]

Termasuk di dalam dalil `Ikhtirâ’ adalah wujudnya hewan dan jenis-jenisnya, wujudnya tumbuh-tumbuhan, dan langit. Dalil ini terbentuk pada dua dasar: 1. Semua perkara yang ada itu diciptakan; 2. Segala perkara yang diciptakan, pasti memiliki pencipta.[28]

Dalil ini dibuktikan dengan dalil syariat di dalam beberapa ayat, khususnya firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ [29]

Terjemahan: 73. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya.

Di samping kedua dalil tersebut di atas (dalil ‘inâyah dan dalil `Ikhtirâ’), Ibn Rusyd mengemukakan dalil lain, yaitu dalil gerak (دليل الحركة). Dalil ini diambil dari Aristoteles.[30] Dalil ini menyatakan bahwa alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak (berubah) dan tidak bermateri yaitu Tuhan (a first cause of motion/unmoved mover). Namun, Ibn Rusyd mengingkari pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa gerakan benda-benda langit adalah qadîm, karena Ibn Rusyd mengatakan bahwa benda-benda langit gerakannya dijadikan Tuhan dari tiada (عدم) dan bukan dalam zaman (waktu), karena zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu dianggap sebagai ukuran gerakannya.[31] Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi ada (wujud).[32]

C. Ibn Rusyd Menjawab Sanggahan al-Ghazâlî

Seperti yang telah diketahui, bahwa salah satu dari kelebihan Ibn Rusyd adalah usaha beliau di dalam menjawab sanggahan al-Ghazâlî terhadap filasafat yang mana jawaban tersebut tertuang di dalam kitab Tahâfut al-Tahâfut, Fashl al-Maqâl, atau lainnya.

al-Ghazâlî sebagai seorang `Asyâ’irah dan sufi berpendapat bahwa ada tiga (3) perkara yang membuat para filosof menjadi kafir, yaitu kepercayaan mereka bahwa alam itu qadîm; bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara yang juz`îyyât; pengingkaran meraka terhadap kebangkitan tubuh-tubuh di akhirat kelak.[33]

Menurut Ibn Rusyd, bukan pemikiran filosof muslim yang rancu, melainkan pemikiran al-Ghazâlî sendiri. Tambahnya, judul buku al-Ghazâlî Tahâfut al-Falâsifah yang paling tepat adalah Tahâfut Abî Hâmid.[34]

Bagi masalah yang pertama, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof tentang kepercayaan mereka akan alam itu qadîm.[35] Salah satu hujjah yang dikemukakan al-Ghazâlî adalah mustahil wujudnya alam itu qadîm yang bersamaan wujudnya Allah yang juga qadîm. Ini dikarenakan Allah menjadikan alam. Berarti alam itu hudûts, yang asal mulanya dari tidak ada menjadi ada (الإيجاد من العدم).[36]

Jawaban Ibn Rusyd dalam masalah ini, bahwa al-Ghazâlî salah faham akan qadîmnya alam menurut filosof. Menurut filosof, alam itu qadîm di dalam makna qadîm yang berbeda dengan qadîmnya Allah, yaitu yang ada (alam) menjadi sesuatu yang ada dalam bentuk yang lain (alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada sebelumnya). Ini dikarenakan, penciptaan dari tiada (al-‘adam), menurut filosof muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu.[37] Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadîm.[38]

Ibn Rusyd mengatakan, bahwa al-Ghazâlî menganggap bahwa Allah itu pada awalnya sendirian di dalam menciptakan alam ini. Sedangkan menurut filosof, Allah menciptakan alam ini dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Untuk mengguatkan pendapat ini, Ibn Rusyd mengambil contoh pada dalil-dali:

1. Alquran, Surah al-Anbiyâ`, ayat 30: { أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُون };

2. Alquran, Surah Hûd, ayat 7: { وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ };

3. Alquran, Surah `Ibrâhîm, ayat 48: { يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ };

4. Alquran, Surah Fushilat, ayat 11: { ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ }.

Dari keterangan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yaitu air dan uap.[39]

Maka dari ini, pendapat filosof muslimlah yang sesuai dengan lahir ayat, sedangkan kaum teolog muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat tersebut. Teolog muslim malah melakukan takwil, yang mana seharusnya dilakukan oleh filosof, dan vice versa.[40]

Menurut Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar; Ibn Rusyd mengatakan bahwa terjadinya perbedaan pendapat dalam hal ini antara teolog muslim dan filosof muslim adalah perbedaan dalam mengartikan kata qadîm dan al-`Ihdâts. Bagi kaum teolog muslim, qadîm diartikan sesuatu yang wujud tanpa sebab, sedangkan filosof muslim mengartikan sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir.[41] Ini dapat dilihat dari intisari kata-kata Ibn Rusyd di dalam kitab Tahâfut al-Tahâfutnya:

لكن اطلاق اسم الحدوث على العالم كما اطلقه الشرع أخص به من اطلاق الأشعرية لأن الفعل بما هو فعل فهو محدث وانما يتصور القدم فيه لأن هذا الإحداث والفعل المحدث ليس له أول ولا آخر . قلت ولذلك عسر أن يسمى العالم قديما والله قديم وهم لا يفهمون من القديم إلا ما لا علة له وقد رأيت بعض علماء الإسلام قد مال إلى هذا الرأي .[42]

Demikian pula kata al-`Ihdâts. Menurut teolog muslim, al-`Ihdâts berarti menciptakan dari tiada menjadi ada. Sedangkan kaum filosof muslim berpendapat bahwa kata itu berarti mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain.[43] Ini juga dapat dilihat dari intisari kata-kata Ibn Rusyd di dalam kitab Tahâfut al-Tahâfutnya:

وأما ان كان قديما بمعنى أنه في حدوث دائم وأنه ليس لحدوثه أول ولا منتهي فإن الذي أفاد الحدوث الدائم أحق باسم الإحداث من الذي أفاد الإحداث المنقطع وعلى هذه الجهة فالعالم محدث لله سبحانه واسم الحدوث به أولى من اسم القدم وإنما سمت الحكماء العالم قديما تحفظا من المحدث الذي هو من شيء وفي زمان وبعد العدم .[44]

Ibn Rusyd secara jelas mengatakan qadîmnya alam. Akan tetapi, ia juga mengatakan alam itu hâdits. Dua sifat ini dapat diberikan pada alam, karena alam dapat ditinjau dari sisi yang berbeda-beda.[45]

Di dalam kitab Fashl al-Maqâlnya Ibn Rusyd, ia menjelaskan bahwa perselisihan antara kaum teolog dan filosof muslim tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Akan tetapi mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi menjadi tiga jenis. Berikut ungkapannya:

وأما مسألة قدم العالم أو حدوثه فإن الإختلاف فيها عندي بين المتكلمين من الأشعرية وبين الحكماء المتقدمين يكاد أن يكون راجعا للإختلاف في التسمية وبخاصة عند بعض القدماء وذلك أنه اتفقوا على أنها هنا ثلاثة أصناف من الموجودة طرفان وواسطة بين الطرفين فاتفقوا في تسمية الطرفين واختلافوا في الواسطة .[46]

Tiga jenis tersebut adalah:[47]

1. Wujudnya karena sesuatu yang lain dan dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan diciptakan dari benda serta didahului oleh zaman. Jenis ini adalah benda-benda yang dapat diketahui dengan indra, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan hâdits.

2. Wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini sepakat mereka namakan dengan qadîm. Ia hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wujud yang qadîm ini disebut Allah SWT.

3. Wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan Zat-pembuat). Wujud ini adalah alam keseluruhannya.[48]

Bagi masalah yang kedua, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof tentang pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui perkara yang juz`îyyât (partikel).

Dalam menjawab masalah ini, Ibn Rusyd menegaskan bahwa al-Ghazâlî salah faham sebab tidak ada filosof muslim yang mengatakan demikian.[49] Yang dimaksudkan filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia.[50]

Pengetahuan Allah SWT bersifat qadîm (Allah mengetahuinya sejak azali). Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat hâdits. Begitu juga pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.[51]

Begitu juga menurut Ibn Rusyd. Pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz`î dan kullî. Juz`î adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindra. Kullî mencakup berbagai jenis. Kullî bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal.[52]

Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz`î dan kullî.[53]

Bagi masalah yang ketiga, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof tentang pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasmani. Menurut Ibn Rusyd, pernyataan ini adalah tidak benar.

Menurutnya, kebangkitan jasmani telah tersiar kurang lebih 1000 tahun yang lalu (dari zaman Ibn Rusyd), sedang usia filsafat kurang dari masa itu. Orang yang pertama-tama mengatakan adanya kebangkitan jasmani adalah nabi-nabi Bani Israel yang datang sesudah Nabi Musa AS. Sebagaimana juga yang terdapat di dalam kitab Zabur, dan kitab-kitab lainnya dari Bani Israel. Injil juga menyebutkannya.[54]

Bahkan nampaknya keimanan mereka terhadap kebangkitan tersebut lebih besar dan sangat dijunjung tinggi, karena soal kebangkitan jasmani bisa dipakai untuk menuntun manusia dalam mencapai kebahagiaan pribadi.[55]

Adanya prinsip-prinsip syariat seperti macamnya kebahagiaan di akhirat, mengakui adanya alam akhirat sesudah mati, meskipun semua agama dalam pembicaraannya tidak sama, namun hal ini tidak perlu dibicarakan tentang apa atau tidaknya. Seperti apakah Tuhan itu ada atau tidak ada. Demikian juga tentang wujud kebahagiaan di akhirat, sifat Tuhan dan perbuatan-Nya.[56]

Akan tetapi, suatu yang pasti adalah apa yang ada di dunia dengan di akhirat itu tidak sama. Ini dikarenakan alam akhirat lebih tinggi dibanding alam dunia. Ibn ‘Abbas meriwayatkan “Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja”.[57]

Menurut Ibn Rusyd, apa yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî adalah baik. Akan tetapi dalam perlawanan tersebut jiwa harus diperkirakan tidak mati, seperti yang ditunjukkan dalil-dalil akal dan syariat. Juga harus diperkirakan bahwa yang akan kembali di akhirat nanti adalah seakan-akan seperti perkara yang terdapat dalam dunia, bukan perkaranya sendiri, karena perkara yang telah hilang itu sendiri tidak akan kembali, seperti yang dikemukakan al-Ghazâlî.[58]

Menurut Ibn Rusyd, sikap al-Ghazâlî sendiri tidak konsisten yaitu saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam kitab Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazâlî mengatakan tidak ada seorang muslim pun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam kitabnya mengenai tasawuf, ia mengatakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.[59]

Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, tuduhan kafir yang dilontarkan al-Ghazâlî terhadap para filosof muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Ini dikarenakan antara al-Ghazâlî dengan filosof muslim terdapat perbedaan pandangan terhadap ayat-ayat kebangkitan akhirat misalnya. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Ini didasari hadis “إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا أخطأ فله أجر واحد” Jika tuduhan dilontarkan kepada para filosof muslim karena melanggar ijmak, maka dalam pemikiran tidak terjadi ijmak ulama secara pasti.[60]


BAB III

KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

1. Ibn Rusyd adalah seorang yang bermazhab Maliki, yang sangat alim di dalam ilmu fiqh dan sampai pada derajat mujtahid. Ini dibuktikan dengan kenyataan ia pernah sampai menjabat sebagai Hakim Agung (قاضي القضاة). Beliau memiliki banyak karangan, salah satu yang kontraversi adalah kitab Tahâfut al-Tahâfut.

2. Ibn Rusyd berpendapat; dalam menemukan Tuhan dapat dilakukan dengan mengunakan akal. Ini pada dasarnya sama dengan pendapat teolog muslim. Hanya saja, perbedaan yang mendasar adalah pendapat Ibn Rusyd, bahwa dalil wujudnya Tuhan itu ada dua (2) yaitu 1. Dalil ‘inâyah; 2. Dalil `Ikhtirâ’ yang mana keduanya telah ditunjukkan oleh Alquran. Selain dari itu, ia juga menggunakan dalil pergerakan (دليل الحرمة) yang beliau adopsi dari pendapat Aristoteles.

3. Dalam menyangkal hujjah al-Ghazâlî, Ibn Rusyd berpendapat, bahwa 3 perkara yang menjadi sebab kafirnya filosof muslim menurut al-Ghazâlî pada dasarnya bukanlah sebuah perkara yang esential, yang dapat dihukum kafir. Menurutnya, ini adalah urusan ijtihad yang mungkin benar atau salah. Selain dari itu, beliau menegaskan bahwa al-Ghazâlî sendiri salah pada pendirian bahwa alam itu pasti hâdits. Menurutnya, alam itu qadîm juga hâdits karena melihat dari sisi yang berbeda. Bagi 2 perkara yang lain, ia memvonis bahwa al-Ghazâlî salah mengambil karena tidak ada filosof yang berpendapat seperti itu (menurut Ibn Rusy), atau al-Ghazâlî salah faham maksud dari filosof.


DAFTAR PUSAKA

al-Bajûrî, `Ibrâhîm bin Muhammad bin `Ahmad al-Syâfi’î. Tuhfat al-Murîd. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2007.

Collinson, Diané. Fifty Major Philosophers. London: Routledge, 1997.

al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad. al-Munqidz min al-Dlalâl. Istanbul: Hakîkat Kitâbevi, 1998.

Hanafi, A.. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

---------. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003.

al-‘Irâqî, Muhammad ‘Âthif. al-Naz’ah al-‘Aqliyyah fî Falsafah `Ibn Rusyd. Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1968.

---------. Tajdîd fî al-Madzâhib al-Falsafiyyah wa al-Kalâmiyyah. Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1983.

Khan, Ali Mahdi. Dasar-Dasar Filsafat Islam. Terj. Subarkah. Bandung: Nuansa, 2004.

Mustofa, A.. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Rusyd, Abû al-Walîd bin. Fashl al-Maqâl fî Mâ baina al-Hikmah wa al-Syarî’at min al-Ittishâl. ed. Muhammad ‘Imârah. Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1972.

---------. Tahâfut al-Tahâfut. ed. Maurice Bouyges. Beirut: Dar el-Machreq sarl, 1930.

Soleh, Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo, 2004.


[1] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 108.

[2] Untuk mengetahui lebih dalam tentang konsep menemukan Tuhan versi pendapat Ibn Rusyd sendiri, dapat dilihat pada Bab II, pada pembahsan ‘B’ yaitu tentang ‘Filsafat Ketuhanan Ibn Rusyd’.

[3] Ibid.

[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), 159 & 225.

[5] Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam, Terj. Subarkah (Bandung: Nuansa, 2004), 106.

[6] Ibid.; Muhammad ‘Âthif al-‘Irâqî, al-Naz’ah al-‘Aqliyyah fî Falsafah `Ibn Rusyd (Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1968), 24; A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), 239.

[7] al-‘Irâqî, al-Naz’ah al-‘Aqliyyah, 24.

[8] Ibid.; Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam, 107.

[9] Ibid.

[10] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, 240; al-‘Irâqî, al-Naz’ah al-‘Aqliyyah, 25.

[11] Ibid., 29.

[12] Menurut al-Ahwani, inilah salah satu sebab mengapa pikiran-pikiran filsafat Ibn Rusyd justru lebih dikenal di Eropa tetapi tidak berkembang di kalangan muslim sendiri. Di kalangan muslim, karya-karya filsafat dibakar atau dilarang terbit, sementara di Eropa justru diterjemahkan dan diedarkan. Selain itu, pada masa renaisance, Eropa lebih mudah menerima pemikiran filsafat dan metode ilmiah seperti dianut Ibn Rusyd, sementara di Timur (Islam), ilmu dan filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan. Lihat: Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, 99-100.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid., 101.

[16] Abû al-Walîd bin Rusyd, Fashl al-Maqâl fî Mâ baina al-Hikmah wa al-Syarî’at min al-Ittishâl, ed. Muhammad ‘Imârah (Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1972), 22.

[17] A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 291.

[18] Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl, 22.

[19] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 170.

[20] Ibid., 171; al-‘Irâqî, al-Naz’ah al-‘Aqliyyah, 227.

[21] Ibid.; A. Mustofa, Filsafat Islam, 292.

[22] al-Qur’an: 78:6-16

[23] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 171.

[24] Yaitu dari segi persesuaiannya (الموافقة).

[25] Ibarat aslinya adalah sebagai berikut: “ثانيا : دليل الإختراع : إذا كان الدليل السابق قد استند إلى مبدأ السببية وتقد فكرة الجواز والإمكان فإن هذا الدليل قد قام على نفس الأساس.”.

[26] Ibarat aslinya adalah sebagai berikut: “فإننا إذا رأينا أجساما مادية ثم رأينا الحياة تحدث فيها علمنا علم اليقين أن هناك موجدا أوجدها”.

[27] al-‘Irâqî, al-Naz’ah al-‘Aqliyyah, 230.

[28] Ibid.

[29] al-Qur’an, 22:73.

[30] Aristoteles berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat sebab (causes) yang semuanya harus disebut, bila manusia hendak memahami proses kejadian segala sesuatu. Keempat penyebab itu menurut Aristoteles adalah

No

Penyebab

Keterangan

Contoh

1

Material Cause

Bahan dari mana benda dibikin

Kursi dibuat dari kayu

2

Formal Cause

Bentuk yang menyusun bahan

Bentuk Kursi+kayu=kursi

3

Efficient Cause

Sumber kejadian

Tukang kayu bikin kursi

4

Final Cause

Tujuan yang menjadi arah kejadian

Kursi dibikin untuk diduduki

Namun, ada substansi yang murni form, tanpa potentiality, jadi tanpa matter, yaitu Tuhan. Aristoteles percaya adanya Tuhan. Bukti adanya Tuhan menurutnya ialah Tuhan sebagai penyebab gerak pertama (a first cause of motion/unmoved mover). Lihat: Diané Collinson, Fifty Major Philosophers (London: Routledge, 1997), 24-5.

[31] Pendapat Ibn Rusyd ini senada dengan pendapat ahli teologi `Asyâ’irah. Lihat: `Ibrâhîm bin Muhammad bin `Ahmad al-Syâfi’î al-Bajûrî, Tuhfat al-Murîd (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2007), 62-5.

[32] A. Mustofa, Filsafat Islam, 293; al-‘Irâqî, al-Naz’ah al-‘Aqliyyah, 233; Ibid., Tajdîd fî al-Madzâhib al-Falsafiyyah wa al-Kalâmiyyah (Cairo: Dâr al-Ma’ârif, 1983), 137.

[33] Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, al-Munqidz min al-Dlalâl (Istanbul: Hakîkat Kitâbevi, 1998), 23.

[34] al-‘Irâqî, al-Naz’ah al-‘Aqliyyah, 51.

[35] Menurut para filosof; Tuhan itu qadîm, begitu juga alam adalah seperti qadîmnya ‘illat atas ma’lûlnya (sebab dan akibat), yaitu dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman; seperti cahaya dan matahari. Lihat: Ibid., 86.

[36] Zar, Filsafat Islam, 226.

[37] Seperti meja lazim terbentuk dari materi yang sudah ada sebelumnya, yaitu kayu – dari pohon – tanah dan air – dari atom-atom yang berbentuk lain yang tentunya merupakan alam. Maka pada dasarnya alam itu qadîm karena tidak mungkin wujud alam ini dari tiada menurut para filosof.

[38] Zar, Filsafat Islam, 226.

[39] Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl, 42-3.

[40] Ibid., 43; Zar, Filsafat Islam, 227.

[41] Ibid.

[42] Abû al-Walîd bin Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Dar el-Machreq sarl, 1930), 124.

[43] Zar, Filsafat Islam, 227;

[44] Ibn Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, 162.

[45] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 178.

[46] Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl, 40.

[47] Ibid., 40-1.

[48] Letak kesilapan Ibnu Ruysd dalam hal ini ialah bahwa ia tidak mengadakan pimasahan antara zaman dengan keabadian, sedang sebenarnya kedua perkara ini berbeda. Zaman tidak terbayang kecuali dengan gerakan, sedang keabadian tidak terbayang bersama gerakan sama sekali, sebab wujud yang abadi tidak bergerak dari satu tempat ke tempat lain, ataupun dari satu zaman ke zaman lain. Juga sebelumnya atau sesudahnya tidak ada sesuatu, kemudian ia bergerak dari apa yang sebelumnya kepada apa yang sesudahnya. Pendapat Plato tentang zaman lebih tepat dari pada pendapat lawan-lawannya, karena ia mengatakan bahwa zaman itu adalah peniruan terhadap keabadian, di mana zaman itu diberikan oleh Tuhan kepada makhluknya, karena makhluk ini tidak bisa mirip dengan Tuhan dalam sifat keabadiannya dengan tidak ada permulaan atau kesudahan. Ketika al-Ghazali mengatakan bahwa wujud alam sesudah wujud Tuhan tidak berarti mengharuskan adanya zaman antara keduanya, maka kata-kata tersebut sebenarnya tepat sekali, karena dalam hal ini hanya ada dua zat saja, dan tidak perlu ada perkiraan tentang adanya zaman antara wujud yang pertama (Tuhan) dengan wujud kedua (alam). Perkiraan semacam ini tidak lain adalah angan-angan yang salah. Lihat: A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 180.

[49] Akan tetapi, menurut Dr. M. Ghallab: “Aristoteles sebenarnya jelas-jelas meniadakan ilmu Tuhan terhadap alam kejadian dan kemusnahan. Juga Ibn Sina jelas sekali pendapatnya, baik ia terpengaruh oleh Aristoteles ataupun berasal dari pendapatnya sendiri. Demikian pula penafsiran Ibn Rusyd berlainan dengan apa yang dikehendaki oleh filosof-filosof”. Lihat: A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 182.

[50] Ibn Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, 495 & 498; Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl, 38.

[51] Zar, Filsafat Islam, 229.

[52] Ibid.

[53] Ibid.

[54] Ibn Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, 580.

[55] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 184.

[56] A. Mustofa, Filsafat Islam, 302.

[57] Ibn Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, 584; Zar, Filsafat Islam, 230; A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 186.

[58] Ibn Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, 586.

[59] Ibid., 587.

[60] Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl, 36-7.

No comments: