Thursday, April 23, 2009

Pengumuman....

Assalam....

Akan diadakan Bahtsu al-Masail di Pon Pes Raudlatul Ulum pada tanggal 1-2 Juni 2009...oleh karena itu, panitia menerima soal-soal fiqh atau lainnya untuk dibahas..soal ditutup pada hari ahad Malam senin. soal tetap akan diseleksi oleh panitia. dan kalau akan dimasukkan, maka panitia memohon izin untuk mengatas namakan sebagai soal dari pondok pesantren Raudlatul Ulum.

Soal diharapkan ada diskripsi masalah, lalu disertai soal yang menjadi inti pertanyaan.

Wassalam...

Friday, April 10, 2009

Tanggapan Artikel Kembara Ilmu ke India - Dr. Maza

Pembetulan Terhadap Fitnah yang Menimpa Pengajian Pondok
Pada pagi ini, saya dengan keadaan pening kepala berusaha untuk menghilangkannya dengan mem-browse around di Internet. Tanpa disengaja, saya membuka laman web Dr. Mohd Asri. Di dalamnya, saya membaca artikelnya tentang perjalananya ke India yang menurutnya telah dilakukan hampir satu bulan.
Terus terang, dalam artikel itu saya membaca semangatnya yang berusaha mengembangkan ideologinya dengan menggunakan ulama-ulama Aswaja (ahli sunnah wa al-Jama’ah) yang bermazhab akidah `Asy’ariyyah dan Mathuridiyyah, yaitu ulama-ulama hadis Doeband, India. Asri seakan-akan mengatakan ulama-ulama India tersebut memiliki ideologi yang sama dengan Asri yaitu melawan bid’ah dan prakek-praktek tarikat yang dianggap telah jatuh kufur.
Asri juga berusaha untuk merubah nama laqab bagi golongannya (wahabi/salafi) dengan berbagai claim. Dalam hal ini, saya pernah membaca artikel Asri tentang penamaan Wahabi bagi dirinya sebagai sebuah yang tidak ilmiah dan macam-macam lagi. Semua ini saya akan berusaha memberi pandangan dari sisi pesantren salaf Jawa.
Selanjutnya, yang lebih memilukan dan membuat saya hendak menulis dengan terpaksa (padahal saya sudah berazam hendak meninggalkan segala polemik discussion semester ini sebab saya hendak selesaikan skripsi saya dengan baik dan lancar) adalah kata-kata Asri seolah-olah pengajian pondok (tradisi pesantren) tidak membawa pada perkembangan ilmu, dan hanya akan menjadikan para murid taksub, jumud, kampungan, dan lain-lain yang dapat kita tafsirkan sendiri.
Padahal, saya telah duduk di Pondok Pesantren Salaf (traditional bukan salafi/wahabi) yang beraliran `Asy’ariyyah dan Mathuridiyyah selama 12 tahun lamanya. Secara jujur saja, justru dengan ini, saya bahkan tidak taksub, jumud, kampungan, dan lain-lain yang negatif yang menuju kepada kemunduran. Saya sendiri selalu menunjukkan di campus saya bahwa budak pondok traditional pun dapat bersaing secara academic, open minded, internationaly, dan tidak ketinggalan sifat wara’ yang menjadi syarat sebagai seorang perawi hadis tsiqah yang mana menjadi bidang ilmu Asri sendiri.

Tuduhan Amalan Tarikat yang Menjurus kepada Kekufuran
Dalam hal ini, Asri menulis sebagai berikut: “bahkan ada membawa menjadi begitu sesat bahkan juga sebahagiannya terkeluar dari daerah Islam kepada daerah kufur. Ada sejumlah banyak yang mengaku Islam di India yang percayakan angka, terutama angka 786. Masjid-masjid mereka ini ditulis di pintu masjid sebagai ganti Basmalah (Bismilah) ”.
Dari kata-kata ini, Asri seolah-olah sangat membenci amalan 786 tersebut sehingga mengelompokkan perkara tersebut bagian dari kekufuran. Saya terus terang, saya belum pernah membaca dalil hukum perkara ini. Tapi saya juga tidak ingin memvonis kufur, kerana setahu saya; amalan sebagian ahli hikmah dengan membuat azimat yang tuliskan nombor adalah gantian dari lafaz-lafaz yang berbahasa Arab sebagai tafa’ulan. Ia juga berguna bagi azimat yang bertuliskan ayat al-Qur’an agar dapat masuk ke dalam tandas, maka ia digantikan dengan nombor. Walau bagaimanapun, saya terus terang memang belum menemukan dalil yang memperbolehkannya, begitu juga yang melarangnya (kerana saya belum pernah terlintas mencarinya), hanya saja saya dapat membagi masalah ini kepada dua pendapat; 1) yang melarangnya: seperti Kyai Haji Thoifur, Purworejo Jawa Tengah (Ulama hadis, tafsir, fiqh, alat, sejarah, tasawwuf, dan macam-macam lagi Jawa Tengah alumni Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki) dengan alasan takut terjadi tahrif/tabdil terhadap al-Qur’an, tapi beliau pun tidak berani memvonis kafir. 2) yang memperkenankannya (tapi tidak mensunatkan) Kyai Haji Abdul Hannan Maksum, Kwagean-Pare-Kediri (seorang ulama ilmu nahwu, fiqh, usul, tauhid, hadis, tasawwuf dan llmu hikmah & thibb alumni Kyai Akbar saya yaitu al-Marhum Syaikh Zamroji al-Mursyid al-Kinjany). Salah satu hujjah yang saya menemuinya adalah amalan Ulama Agung kita Hujjat al-Islam Muhammad bin Muhammad al-Ghazali di dalam kitabnya yaitu al-munqidz min al-dlalal p. 79 (Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali vol 7; al-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Dalam kitab tersebut Imam Ghazali menyuruh untuk melukis rajah (seperti dibawah ini) dengan cara-cara tertentu bagi memudahkan bayi yang akan lahir. Berikut gambar yang ditulis al-Ghazali:



Apakah al-Ghazali terus menjadi kafir? Perlu diketahui al-munqidz min al-dlalal adalah kitab muta’akhir al-Ghazali. Saya bukan memperkenankan penulisan tersebut, saya hanya tidak berani hendak mengkafirkan. Saya juga tidak berani menguhukumi secara ilmiah kerana saya belum pernah membacanya. Pendapat ini saya kemukakan hanya sekadar pertimbangan dan iktibar kita semua apakah semudah itu mengkafirkan orang?
Asri menambah lagi: “Paling buruk sekali, dikatakan melebihi separuh muslimin India terlibat dengan ajaran Bralewi, mereka menyembah kubur tokoh-tokoh agama terutamanya tokoh-tokoh tarekat. Antara tempat utama mereka ialah Darga bersebelahan dengan markaz utama Jama’ah Tabhligh di Nizamuddin. ”
Saya terkejut dengan pernyataan ini. Jujur saja, saya memang tidak tahu hakikat Bralewi dan kaitannya dengan penglibatan muslimin di India yang mencapai separuh itu? tapi penyembahan kubur tokoh-tokoh tarekat adalah sebuah fitnah. Di dalam ilmu tarekat, kami tidak pernah sekali-kali mengajarkan agar menyembah selain Allah SWT. Dalam ilmu tarekat, kami selalu mengajarkan untuk berzikir mengingat Allah dan meletakkan Allah sebagai Dzat yang telah menjadikan sekalian alam dan tiada sekutu dengan-Nya. Mungkin claim yang diberikan Asri adalah praktek seperti membaca doa dan menyampaikan hajat di depan kubur dengan mengangkat tangan ke atas seperti halnya orang berdoa ketika selesai solat. Jujur saja, praktek ini tidaklah salah di dalam Islam, kerana ia adalah bagian dari tawassul. Sedangkan hukum tawassul adalah dibenarkan menurut mayoritas ulama yang tidak perlu saya jelaskan hukumnya kerana telah banyak ulama yang mengukuhkannya (Lihat: Mafahim Yajib an Tushahhah, Muhammad bin Alawi al-Maliki). Adalah kurang adab kalau saya mempanjangkan pembahasan ini dengan dalil-dalil tawassul, kerana ia hanya akan menghasilkan sesuatu yang hasil (تحصيل الحاصل). Kalau yang dimaksud adalah bacaan al-Qur’an dan tahlil untuk diperhadiahkan kepada guru-guru tarekat yang telah meninggal sebagai amalan yang sesat, maka Imam Ibn Qayyim dalam kitab al-Ruhnya (p. 13, Dar al-Kutub al-Ilmiah) telah berkata: “Telah disebutkan dari sekolompok ulama salaf bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Quran di kuburan mereka setelah dimakamkan. Abdul Haq berkata diriwayatkan bahawa Abdullah bin Umar memerintahkan untuk dibacakan surah al-Baqarah di kuburannya. Imam Ahmad pada mulanya mengingkari hal tersebut kerana belum mendengar informasi dari ulama salaf namun kemudian ia menyetujuinya. Al-Khallal berkata dalam kitab al-Jami’…ayahku berkata apabila aku meninggal letakkanlah aku……TERUSKAN SENDIRI ”.
Kalau yang dimaksud dari Asri adalah praktek mereka yang memegang kuburan dan menciumnya demi tabarruk sebagai sebuah praktek penyembahan, maka saya akan menjawab: tersebut dalam kitab al-Ajwibah al-Ghaliyyah p. 85:
س: ما حكم التمسح بالقبور وتقبيلها ؟ ج: الحكم في ذلك عند أكثر العلماء مكروه فقط وفال بعضهم إنه مباح وجائز للتبرك ولم يقل أحد بتحريمهما . س: ما الدليل على جواز ذلك ؟ ج: لأنه لم يرد فيه نهي من الشارع ولا قام الدليل على المنع وقد روي "أن بلالا لما زار المصطفى صلعم جعل يبكى ويمرغ خديه على القبر الشريف" وأن ابن عمر كان يضع يده اليمنى عليه ذكر ذلك الخطيب ابن جملة – إلى أن قال – وثبت عن الإمام أحمد بن حنبل أنه سئل عن تقبيل قبر النبي صلعم فقال لا بأس بذلك ذكره السمهودي في (خلاصة الوفا).
Kalau masalah solat atau sujud kepada kubur, saya terus terang, tidak pernah terlintas di dalam benak kami dan guru-guru kami melakukannya. Malah kami tau perkara tersebut haram seperti yang diutarakan Ibn Hajar dalam kitab al-Zawajir. Tapi Asri juga perlu tahu, sangat jarang atau saya sendiri belum pernah jumpa ada orang sufi yang melakukannya. Cubalah pergi ziarah ke makam wali song (wali 9) di Jawa seperti Sunan Ampel, Bonang, Giri, dan lain-lain. Apakah ada orang solat atau sujud? Yang ada hanya membaca al-Qur’an, tahlil, berdoa atau tawassul kepada mereka. Mungkin saja Asri melihatnya sewaktu di India, tapi Asri perlu tau, orang yang melakukannya mungkin juga bukan ahli tarekat. Jadi sebaiknya jangan menfitnah ahli tarekat menyembah kuburan. Dan perkara ini jarang berlaku, sebagaimana sebuah kaedah “sesuatu yang jarang itu seperti halnya tidak ada”.
Selanjutnya Asri berkata: “Mereka menabur bunga dan air wangi sebelum memohon hajat”. Dalam statement ini, saya memahami bahwa yang dimaksud oleh Asri perbuatan tersebut adalah haram dan dapat menjurus kepada kekafiran. Ini dari muqtadlal kalam yang disusun oleh Asri. Dalam hal menabur bunga dan air wangi, Ulama Nusantara Imam Nawawi Banten berkata di dalam kitab Nihayat al-Zain p. 154: “Disunnahkan mensiram kuburan dengan air yang dingin kerana tafaulan dengan kedinginannya. Dan tidak apa-apa dengan sedikit dari air bunga, kerana malaikat suka dengan bau yang wangi”. Hujjah ini dikuatkan dengan hadis dari Sahih Bukhari : “مر النبي صلى الله عليه وسلم بحائط من حيطان المدينة أو مكة فسمع صوت إنسانين يعذبان في قبورهما فقال النبي صلى الله عليه وسلم يعذبان وما يعذبان في كبير ثم قال بلى كان أحدهما لا يستتر من بوله وكان الآخر يمشي بالنميمة ثم دعا بجريدة فكسرها كسرتين فوضع على كل قبر منهما كسرة فقيل له يا رسول الله لم فعلت هذا قال لعله أن يخفف عنهما ما لم تيبسا أو إلى أن ييبسا”. Inilah titik kejumudan seorang yang terlalu benci dengan orang yang bertawassul sehingga kadangkala apabila melihat praktek yang tidak masuk akal, langsung memvonis bid’ah atau syirik sekalipun.

Surat dari Ulama Hadis Dr. M. Abu al-Laits yang Mengajar Di UIA
Asri berkata “Saya dan sahabat saya pergi ke India membawa surat sokongan peribadi daripada guru hadith Ph.D kami, Dr. Muhammad Abul Laith al-Khair Abadi, pengarang kitab Takhrij al-Hadith, `Ulum al-Hadith bain al-Asalah wa al-Mu`asarah dan lain-lain. Beliau juga berasal dari India, pernah belajar di Deoband dan mendapat Ph.D dari Umm al-Qura, Mekah”.
Terus terang, saya kenal dengan siapa Abu al-Laits tersebut. Rumah saya dekat dengan rumahnya yang berada di Gombak. Syaikh Abu al-Laits adalah seorang yang alim dalam ilmu hadis. Beliau sangat ilmiah dan jujur dengan ilmunya. Tapi Asri harus tahu, Abu al-Laits sendiri seorang yang berpegangan kuat pada akidah al-Mathuridiyyah yang ditolak oleh puak-puak seperti Asri atau Wahhabi. Malah guru besar golongan Wahhabi/salafi atau apapun nama mereka dan ingin disebut atau panggil oleh mereka menetapkan bahwa `Asy’ariyyah dan Mathuridiyyah adalah golongan yang sesat! (Lihat: al-Tauhid, Shalih Fauzan al-Fauzan, vol. 1 P. 104-105; cetakan Kuliyyah al-Mu’allimin al-Islamiyyah, Gontor Ponorogo). Pegangan ini saya dengar sewaktu saya menemuinya di UIA setelah beliau membacakan kitab Fath al-Bari Syarh Bukhari. Bukti tertulis adalah Abu al-Laits telah menerjemahkan sebuah kitab tentang cara yang disunnahkan untuk bermushafahah ke dalam bahasa Arab yang bernama “الطريقة المسنونة للمصافحة بين الرجال”. Dalam mukadimah kitab tersebut, Abu al-Laits memula perkataan beliau dengan “الحمد لله الذي خلقنا وهدانا للإسلام والصلاة والسلام على سيد الأنام”. Di sinilah beliau berkata “سيد الأنام”. Padahal menurut puak Asri (Wahabi/salafi) bahwa ini dilarang (Lihat: al-Tauhid, Shalih Fauzan al-Fauzan, vol. 3 P. 104-105; cetakan Kuliyyah al-Mu’allimin al-Islamiyyah, Gontor Ponorogo).
Oleh itu, menurut sahabat saya yang juga keluaran madrasah hadis di Pakistan mengatakan bahwa Abu al-Laits pada dasarnya menolak Dr. Asri ini. Hanya saja ini sebuah riwayat yang belum saya tanyakan ke Abu al-Laits, dan akan saya klarifikasikan kepada Beliau. Satu hal yang sangat mengeli hati adalah Abu al-Laits menolak keilmuan Nashiru al-Din al-Albani. Bagaimana pula dengan kata-kata Asri di petikan “Malangnya, ada seorang penulis keluaran pondok Kelantan yang kekadang menulis di dalam majalah-majalah, seakan menganggap seseorang seperti al-Syeikh Nasir al-Din al-Albani tidak boleh dianggap sebagai tokoh ulama dalam ilmu hadith kerana tidak menghimpunkan sanad. Inilah adalah satu kejahilan yang amat nyata. Inilah bala bila semua orang cuba mengaku pandai dan mencampuri apa yang bukan urusannya”. Ternyata seorang yang dikagumi Asri yang juga ahli hadis juga menolak al-Albani!!!!
Tuduhan Asri Terhadap Pelajar Pondok (Inti dari Tulisan Saya)
Seperti kata-kata Asri di atas, ditambah lagi dengan “Sebaliknya, di negara kita, ada yang menganggap Islam tidak dapat difahami melainkan setelah penat belajar di bawah pelita minyak yang malap, tinggal dalam pondok yang senget, menggunakan bahasa melayu sankrit lama. Baginya tokoh ulama hanya guru pondoknya. Para ulama timur tengah langsung tiada tempat dalam dirinya. Seakan-akan Nabi s.a.w itu dulunya lahir di kawasan pondoknya.”
Kata-kata ini sangat memilukan hati saya dan penuh pahit dan perih seperti saya ditampar di telinga dan pipi serta ditusuk hati saya. Akan tetapi, ini semua adalah fitnah belaka!! Fitnah semata-mata! Asri wajib meminta maaf dan ziarahlah pondok-pondok di daerah Jawa dan Madura! Saksikan sendiri!. Berikut ini hujjah saya dalam menolak kata-kata Asri:
1- Asri mengatakan bahwa kesalahan besar bagi si fulan dari Kelantan yang lulus pondok tersebut menganggap al-Albani tidak boleh dianggap ulama hadis sebab karena tidak menghimpun sanad. Asri menganggap ini adalah kebodohan budak pondok, kerana ia cuba mengaku pandai dan mencampuri apa yang bukan urusannya. Terus terang, bagi saya Asrilah yang salah, kerana al-Albani telah masuk dalam bab yang bukan keahliannya. Mungkin benar kata-kata ulama India yang mengatakan sekarang sudah tidak diperlukan lagi pengajian sanad, kerana ulama Hadis seperti Bukhari dan lain-lain telah mengemukakan sanad mereka, maka tradisi ijazah adalah sebagai tabarruk saja. Akan tetapi, Asri salah dalam membela al-Albani, kerana al-Albani-lah orang yang telah melakukan sesuatu yang bukan ahlinya. Dia jugalah yang telah meneliti sanad-sanad padahal – seperti kata-kata ulama hadis India – sanad-sanad telah selesai/tuntas dinyatakan oleh ulama Hadis sebelumnya. Dan akhirnya apa yang terjadi, al-Albani telah dengan mudahnya melemahkan satu perawi akan tetapi di dalam kitab yang sama ia mensahihkannya. Ini menunjukkan al-Albani bukanlah orang yang Alim dalam ilmu hadis. (Lihat kitab Tanaqud al-Albani dan bandingkan dengan kitab asal al-Albani, baru diketahui secara ilmiah dan ini ilmiah juga).
Selain dari itu, Asri juga harus tahu, al-Albani telah mentarjih (tashih dan tadl’if) hadis-hadis dengan tanpa memenuhi syarat. Padahal al-Albani tidak hafal hadis, sedangkan syarat menta’dil harus hafal seperti kata imam al-Suyuthi “وخذه حيث حافظ عليه نص # أو من مصنف بجمعه يخص”. Jadi apa yang menjadi kata-kata budak pondok Kelantan tersebut adalah berdasar dan dapat dibenarkan. Lebih-lebih lagi, bukan budak tersebut sendirian saja yang berpendapat sedemikian. Ulama Hadis di Madinah; Muhammad Awwamah di dalam kitabnya Atsar al-Hadis al-Syarif p. 51 juga menegaskan yang sama. Ia menetapkan kejahilan al-Albani dengan sebuah riwayat yang lucu apabila dibaca. Mungkin Asri salah memahami kata-kata ulama Hadis India tersebut, kerana mungkin saja Asri tidak mengerti bahasa Urdu atau Arab dialek India (kerana yang saya jumpa bahasa Arab India kadangkala agak sedikit berbeza uslubnya dengan di Arab walaupun tidak salah dari segi nahwu). Bagi saya, seperti apa yang diajarkan oleh ulama hadis saya, dan salah satunya adalah Ustaz Fahmi Zamzam (alumni madrasah al-Nadwah, India dan Muhammad bin Alawi al-Maliki) yang saya sempat mengikuti acara khataman kitab al-Awail al-Zamzamiyah bahwa dalam menetapkan hadis tersebut sahih, dan daif serta hasan atau tidak sudah tidak diperlukan lagi, kerana ia sudah dinyatakan oleh ulama Hadis yang lebih alim terdahulu. Jadi yang salah di sini justru al-Albani, seorang yang dikagumi Asri serta kuncu-kuncunya.
2- Kata-kata Asri “Sebaliknya, di negara kita, ada yang menganggap Islam tidak dapat difahami melainkan setelah penat belajar di bawah pelita minyak yang malap, tinggal dalam pondok yang senget” adalah yang memilukan. Apakah Asri tidak tahu bahwa menuntut itu perlu waktu yang lama? Dan juga memerlukan kepayahan. Tapi tidak ada di dalam Pondok mana-mana yang menuntut untuk semua pelajar kene pakai lampu minyak? Tidak ada yang menuntut pelajar kene duduk di pondok yang kumuh, dan senget (mereng atau dah nak runtuh). Justru ini membuktikan Asri berbicara tanpa tahu apa yang terdapat di Pondok. Kalau saja dia pergi ke Kelantan dan lihat bagaimana megahnya Pondok al-Rahmaniyah, Lubuk Tapah? Cobalah pergi ke Pondok Salaf Sidogiri yang kaya raya itu? Cuba lihat bagaimana megahnya pondok al-Fitrah Kedinding Surabaya yang luas di dalam kota Surabaya? Atau marilah melawat Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Kencong, Pare, Kediri yang bersih! Semua pondok ini telah mengeluarkan ulama-ulama besar yang jauh lebih hebat dari seorang Asri. Lubuk Tapah dipimpin oleh Tuan Guru haji Abdullah yang sewaktu masih hidupnya banyak ulama Arab sendiri datang menziarahinya (sayyid Muhammd bin Alawi al-Maliki, habib Umar, Kyai Ihya’ Ulumuddin, Sayyid Gibril, dan lain-lain). Mereka semua meminta ijazah dari Tuan Guru tersebut (Apakah ada ulama dari Arab datang menemui Asri dan meminta ijazah darinya?). Pondok Pesantren Lirboyo telah mengeluarkan lebih dari 50 kader ulama masa depan setiap tahunnya. Salah satu alumninya adalah Kyai Maimun Zubair, Sarang Jawa Tengah. Kyai Maimun seorang yang alim dalam semua bidang ilmu agama. Kalau Asri tidak percaya datanglah melawatnya dan berdiskusilah dengannya. Beliau dapat membahas lebih dalam dan lebih ilmiah dari Asri.
3- Sedangkan kata-kata Asri “Baginya tokoh ulama hanya guru pondoknya. Para ulama timur tengah langsung tiada tempat dalam dirinya. Seakan-akan Nabi s.a.w itu dulunya lahir di kawasan pondoknya.” Itu adalah kalam yang fasid sefasid-fasidnya. Kebanyakan pondok-pondok sangat senang diziarahi ulama besar dari Arab seperti Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki. Apakah Sayyid Muhammad bukan dari golongan ulama Arab? Justru Asri salah dengan kata-kata “bahasa melayu sankrit lama”, kerana kalau Asri pergi ke Pondok-pondok yang ada di Jawa, semua kitab yang dikaji dari kelas bawah yaitu pelajaran Awamil Jurjani sampai ke kitab Uqud al-Juman yang mungkin Asri belum pernah baca sekalipun memakai kitab yang berbahasa Arab. Dan di Pondok melayu lama pun tidak mempertikaikan apakah menggunakan kitab melayu atau arab? Yang penting faham dan khatam. Jangan baca sekerat-sekerat saja. Perlu Asri tau, murid-murid lulusan pesantren/pondoklah yang justru berjaya dan mendapatkan 1st class honor kalau dia masuk ke university. Menurut dosen saya, kalau di Saudi sekalipun (University Saud Riyadl tempat beliau study), kalau ada yang dapat mumtaz dari Asia, maka ia adalah seorang anak pondok salaf Nahdlatul Ulama. Herankan? Seorang `Asya’irah berjaya di University Wahabi??
Nama Laqab Wahabi bagi Puak Asri CS.
Dalam artikel ini dan juga artikel yang pernah saya baca, Dr. Asri sangat menolak pemberian nama Wahabi kepadanya, ia mengatakan Muhammad bin Abdil Wahhab adalah seorang yang alim dan murni memperjuangkan akidah yang suci. Saya jujur sahaja, sebenarnya saya tidaklah perduli dengan nama Wahabi tersebut, yang terpenting adalah apakah ia memiliki ideologi seperti golongan-golongan yang mereka anut itu yaitu seperti Bin Baz, Utsaimin, al-Albani, Shalih Fauzan al-Fauzan dan lain-lain yang dengan mudah membid’ahkan yang sesat terhadap majority amalan umat muslim di dunia, mulai dari bertaklid dan bermazhab, bertawassul, bertarekat, ziarah kubur dan lain-lain. Ideologi tersebutlah yang menjadi tujuan dari laqab wahabi, bukan semata-mata nama yang menjadi tujuan. Ok lah, kalau mereka tidak ingin disebut wahabi, maka saya dengan suka rela menyebut mereka dengan salafi seperti claim mereka itu sendiri yang menyebut salaf al-shalih. Tapi saya dengan tegas berpendapat ideologi tidak boleh lari walaupun nama berubah. Dan nama salaf al-shalih di sini bukanlah salaf al-shalih yang dimaksud dalam kitab-kitab salaf seperti Imam al-Syafi’I dan lain-lain, kerana Imam al-Syafi’I misalnya selalu bertawassul dengan Abu Hanifah setelah meninggalnya (Lihat: Tarikh Baghdad, vol. 1 p. 123). Akan tetapi, golongan Asri menolak tawassul dan mengharamkannya? Bagaimana dengan Syafi’i?? Syirikkah dia??
Pengakuan Mazhab Syafi’I, bukan Berarti Menolak Sunnah!
Dalam statement yang jelas dan penuh muslihat, Asri berkata “Di tempat kita juga demikian, golongan yang membuat amalan-amalan yang tidak benar pada nilaian al-Quran dan al-Sunnah akan membela diri dengan menyatakan ini adalah mazhab Syafi`i dan menuduh golongan yang menegur mereka sebagai wahabi. Ternyata mereka menggunakan modal yang sama. Kebanyakan perkara yang mereka dakwa sebagai mazhab Syafi`i, tidak pernah pun disebut al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi`i r.a.. Bahkan di kalangan mereka ada yang tidak pernah membaca al-Umm karangan fiqh beliau, atau al-Risalah dalam usul fiqh dan hadith”. Masalahnya, apakah amalan Asri sudah benar-benar sesuai al-Qur’an dan Sunnah Nabi? Mereka dengan mudahnya mengatakan kami yang bertentangan pada dua sumber Islam tersebut. Mereka juga menganggap amalan kita tidak sesuai dengan pendapat Imam al-Syafi’I sendiri.
Contoh hujjah mereka, kenapa melafazkan niat sewaktu solat? Padahal ia tidak diajarkan Imam al-Syafi’I sendiri? Mana hujjahnya dalam al-`Umm? Saya cukup ketawa dan menilai pendapat mereka itu sangat lemah dan hanya berlindung pada apakah Imam Syafi’I berkata seperti itu? Terus terang! Kalau kita belajar mazhab Syafi’I, kita akan tau bahwa Imam Syafi’I ada dua mazhab yaitu qadim dan jadid. Ini disebabkan beliau berijtihad. Dan ijtihad seseorang itu boleh berubah sesuai dengan perkembangan ilmunya. Akan tetapi, ijtihad yang memiliki dasar tidak boleh dirusak dengan ijtihad yang baru walaupun memiliki dasar pula (الإجتهاد لا ينقض بالإجتهاد). Begitu pula dengan mazhab Syafi’i. dalam hal melafazkan niat, memang Imam Syafi’I tidak menyebutkan secara sharih. Beliau bahkan tidak melarang secara sharih! Maka “عدم العلم نفي العدم” kalau tak tau bukan berarti tidak ada! Dalam kitab al-Majmu’ ditetapkan bahwa murid-murid beliaulah yang menganggap dan berijtihad bahwa melafazkan niat adalah sunnah kerana ia mengukuhkan niat dalam hati yang menjadi rukun dari sholat! Ini merupakan ijtihad muri-murid Syafi’i. apakah murid-muridnya bukan mujtahid juga? Padahal Imam al-Mawardi juga disebut dengan mujtahid mazhab! Imam Nawawi dan Rafi’I sebagai Mujtahid Fatwa! Belum lagi dari mazhab lain seperti Hanafi dan Hanbali yang juga menetapkan sunnah, kecuali Maliki yang menganggap ia makruh (tidak Haram)! (Lihat: al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 1 bab Sholat bagian niat; saya juga telah mengkaji dalam kitab asal mereka, dan ia telah ditetapkan seperti kata-kata Wahbah al-Zuhaily). Jadi kesimpulan saya, apa yang dilakukan umat islam dengan mengklaim ia adalah mazhab Syafi’I itu adalah benar, kerana kitab-kitab muta’akhirin seperti minhaj al-thalibin, nihayat al-muhtaj, tuhfah, fath al-muin dan lain-lain tidak lain merupakan tarjih ulama Mazhab Syafi’I terhadap mazhab Syafi’I berdasarkan ilmu usuli dan qawaidi yang menjadi inti di dalam mazhab Syafi’i.
Pernyataan kami dari pondok tidak membaca kitab al-Umm dan al-Risalah adalah salah. Mungkin saja benar kalau yang ditanya adalah budak pondok yang memang belum tahu apa-apa. Atau mungkin ustaz pondok yang class dia masih berada di bawah. Kalau Asri datang ke Jawa, saksikanlah bagaimana Kyai-Kyai yang academic membuktikan mazhab Syafi’I dengan berhujjah memakai kitab al-Umm dan konsep al-risalahnya dengan ilmiah! Saya sendiri dengan harapan doa dari semua pembaca dan orang lain dapat menyelesaikan skripsi saya tentang kajian penerapan usul fiqh syafi’I dalam al-risalah di dalam al-Umm itu sendiri. Amin…Amin….
Masalah pentarjihan pendapat yang kuat seperti kata-kata Asri, yang mana ia meninggalkan pendapat yang lemah walaupun dari Syafi’I, perlu dicermati. Apakah apabila Asri menetapkan ia lemah, berarti benar-benar secara hakiki pendapat itu lemah? Sehinggakan berqunut di waktu Subuh itu bid’ah? Kerana dalil lemah menurut Asri? Saya selama mengkaji dan mengaji dari kyai-kyai dan secara otodidak pun, selalu berusaha menilai sebuah dalil. Tapi selalu saya temukan, bahwa apabila ada tarjih, pasti dipandang satu sisi, sedangkan yang lain dari sisi yang lain pula. Hasilnya, khilaf. Maka apakah perbedaan sisi pandang membuat kita takfir dan tabdi’? tidak ada satu pun ulama salaf yang saya temu mentabdi’kan qunut yang dikeluarkan Imam Syafi’I dalam al-Ummnya. Di dalam dunia Pesantren, kalau seorang murid itu sudah sampai derajat ustaz, maka dalam membahas ia pasti selalu membandingkan antara qauli dan usuli. Dari sini kita dapat tahu, mengapa terjadi perbedaan pendapat antara ulama. (Sila datang ke program musyawarah kitab Mahali di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri).
Prinsip Saya, Seorang Santri/Pelajar Pondok Traditional Menghadapi Modern
Jujur saja, saya dan kawan-kawan di Pondok Traditional selalu meninggikan sifat ilmiah dan cinta ilmu. Claim bahwa di Pondok itu terdapat taksub adalah salah. Taksub sebegitu yang terlihat itu mungkin kerana unsur tawadlu kami terhadap guru-guru kami yang sangat menta’zimnya dengan cara mencium tangan, bahkan kaki sekalipun! Tapi ini bukan taksub, ini ta’zim! Taksub adalah apabila kami menolak semua pendapat kecuali apa yang dikeluarkan oleh guru kami. Ternyata itu tidak terjadi. Kami sendiri selalu memakai pendapat dari kitab-kitab walaupun tidak sefaham dengan guru kami. Seperti misalnya, kalau ada musyawarah membahas sebuah hukum, apabila guru kami yang menjabat sebagai mushoheh atau perumus, lalu berpendapat, dan pendapat tersebut kalau menurut kami ada cacat hukumnya, maka tanpa segan kami mengeluarkan hujjah lain yang menurut kami itu yang betul. Tapi kami tetap menamamkan sifat hormat dan takzim kami kerana mereka lebih alim dan lebih tua dari segi umur dan ilmu. (Saksikan acara Bahtsu al-Masail Pondok Pesantren di mana-mana pondok salaf). Apakah kami jumud? Cobalah Asri baca hasil Bahtsu al-Masail kami. Apabila ada suatu masalah yang tidak diperbolehkan dalam mazhab Syafi’I, padahal perkara tersebut sangat diperlukan dalam kebutuhan zaman sekarang, maka kami tanpa segan mengambil pendapat dari mazhab lain. Dan ini membuktikan kami tidak jumud! (Lihat hasil BM tentang masalah perbankan dan lain-lain).
Apakah kami kampungan? Sorry sikit! Sekarang banyak dari lulusan Pesantren Salaf yang telah sampai di berbagai University Modern. Ini adalah berkat dari perjuangan Pesantren yang enggan tunduk pada perubahan kurikulum yang dituntut Department Agama (DEPAG) seketika dulu. Depag dahulu menuntut untuk dimasukkan pelajaran-pelajaran modern dan merubah pelajaran fiqh dengan memakai kitab baru mereka. Mereka juga membuang pelajaran-pelajaran tertentu di Madrasah pemerintah atau disebut dengan Madrasah Negeri. Mereka memberi ketentuan bahwa mana-mana madrasah swasta yang enggan tunduk pada kurikulum Depag akan dikenakan sanksi tidak diakuinya ijazah mereka. Maka lulusan pesantren salaf tidak mendapat tempat di perguruan tinggi (university). Efeknya, banyak mak bapa yang enggan memasukkan anak ke Pesantren salaf dan memasukkan anak mereka di Madrasah Negeri kerana ia adalah yang diakui. Akan tetapi, secara realita apakah ada ulama atau kyai Jawa merupakan lulusan Madrasah Negeri? Kyai yang alim hampir semuanya berasal dari pesantren salaf (Seperti KH Sahal Mahfudz, Maimun Zubair, Gus Mus, dan lain-lain).
Sebagai tindak balas, Pesantren Gontor merubah sistem mereka menjadi modern. Mereka merubah kurikulum mengikut madrasah di Arab seperti Mesir dan Saudi. Akibatnya, kitab al-Tauhid karangan Shalih Fauzan al-Fauzan menjadi kitab utama dalam bidang tauhid. Padahal kitab tersebut adalah beraliran Wahabi. Akan tetapi karena Gontor mengikut apa yang dituntut Depag, maka Gontor diberi sijil mu’adalah atau diakui. Maka berbondong-bondonglah orang mengirim anaknya kesitu, sama ada dari Golongan Muhammadiah atau Nahdlatul Ulama. Lebih-lebih lagi pihak Gontor mengclaim bahwa mereka tidak menyebelahi mana-mana akidah. Akan tetapi, ini adalah sebuah tipu muslihat yang nyata. Mengapa kitab Tauhid bagi class yang penting diisi kitab yang berbau Wahabi? Mengapa kitab-kitab salaf dibuang?
Alhamdulillah, Asri dan puaknya harus tahu. Di Indonesia sekarang tidak membeda-bedakan jenis pesantren. Asalkan seseorang murid yang telah lulus dari sebuah lembaga pendidikan itu benar-benar mampu untuk masuk ke University dengan ujian tertentu, maka ia dapat diterima di University tersebut. Seperti contoh University saya, yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri malah mengadakan program akseklerasi Pesantren dengan menawarkan hanya 2 tahun bagi program S1 (degree). Ini dikarenakan lulusan pesantren terlalu tinggi ilmunya dibandingkan dengan mata kuliah yang ada di University dalam hal agama seperti fiqh, usul fiqh, bahasa arab, dan lain-lain.
Maka nasihat saya yang terakhir, janganlah meremehkan dunia pondok, kerana secara jujur susah menemukan ulama yang betul-betul alim dalam agama kecuali ia adalah keluaran pondok.


Kerana Abang Saya suruh letak link, maka saya pun kembali ke web minda tajdid. tapi sayangnya post Dr. Maza sudah tidak ada lagi. maka demi pembuktian bahwa ada, sila browse di google atas nama kembara ilmu ke India. maka anda akan menemui memang benar ia pernah diterbitkan di dalam MInda Tajdid dengan alamat drmaza.com/home/?p=583 .....

Nasib baik saya sempat copy untuk saya kaji dan menjawab tuduhan tersebut. maka oleh itu, saya akan paste-kan artikel asal Dr. Maza ni. Jujur saja, saya tidak tau kenapa ia hilang dengan tiba-tiba dari web Minda Tajdid....aneh...aneh...

Artikel Dr. Maza:

Kembara Ilmu Ke India…..
Disiarkan pada Apr 09, 2009 dalam kategori Dakwah |
Artikel ini merupakan catatan perjalanan Dr Mohd Asri Bin Zainul Abidin pada Tahun 2001, Sewaktu kunjungan beliau Ke India.
Hampir sebulan saya berada di India. Kebanyakan orang awam di Malaysia, bila disebut sahaja India, mereka akan terbayang wajah-wajah pelakon Bollywood. Ramai juga akan menyangka India ini seindah yang digambarkan dalam filem-filemnya. Mereka tertipu dengan mainan filem.
Namun saya bukan pergi mencari para pelakon Bollywood, tetapi saya pergi bertemu, menziarahi dan mengambil manfaat ilmu daripada para ulama hadith yang masih hidup di India. Yang sebahagian mereka adalah anak-anak kepada tokoh-tokoh pengarang syarah kitab-kitab hadith.
Saya tidak melihat India seindah yang dipertontonkan oleh orang kita di dalam filem-filemnya, saya melihat Indah begitu kotor, miskin, entah berapa puluhan juta penduduknya kelaparan dan tanpa tempat tinggal, hidup merempat di kiri dan kanan jalan. Sistem kasta yang mencengkam hidup mereka. Kekotoran yang membaluti kota dan manusia. Penipuan menjadi mainan lidah dan cara. Yang kaya barangkali memang kaya. Tetapi kaya di atas kemiskinan ratusan juta manusia. Adapun yang menganggap India seindah filemnya dan ingin sekali menikmati udara India, sebenarnya semua itu adalah hasil propaganda filem semata. Demikianlah media-massa selalu berjaya membohongi mereka yang percaya dan beriman dengannya.
Untuk pengetahuan kita, sesungguhnya orang Islam pernah memerintah India hampir seribu tahun. Pada pandangan saya, India adalah negeri yang paling sukar untuk Islam berperanan mengikis kesesatan, khurafat dan kekarutan kepercayaan penduduknya.
Ini disebabkan banyak faktor, antaranya peranan kebanyakan pemerintah yang tidak berkesan dan tabiat penduduknya yang begitu cenderung kepada khurafat dan berakar umbi dalam perasaan dan fikirannya. Hinggakan sistem kasta yang dianuti oleh agama Hindu, masih mempengaruhi sebahagian penganuti Islam di India.
Ini sama seperti yang berlaku kepada orang melayu dahulu yang dipengaruhi ajaran hindu dan selainnya, kemudian apabila datang Islam, menerima Islam, di samping terus dibawa sebahagian ajaran hindu dan khurafatnya, seperti persandingan pengantin, nasi kunyit untuk sesuatu upacara, tepung tawar, percayakan sial-sial tertentu dan seumpamanya.
Demikian juga kebanyakan muslimin India bahkan lebih jauh dari itu, banyak kesan-kesan ajaran Hindu dan khurafat yang lain terkena kepada mereka. Bahkan ada yang membawa menjadi begitu sesat bahkan juga sebahagiannya terkeluar dari daerah Islam kepada daerah kufur. Ada sejumlah yang banyak yang mengaku Islam di India yang percayakan angka, terutama angka 786. Masjid-masjid mereka ini ditulis ini dipintu masjid sebagai ganti kepada Basmalah (bismillah).
Di tempat kita pun ada juga ajaran tarekat yang sesat yang terpengaruh dengan ajaran ini mengajar pengikutnya jika ingin membaca bismillah hendaklah sebanyak 786 kali. Paling buruk sekali, dikatakan melebihi separuh muslimin India terlibat dengan ajaran Bralewi, mereka menyembah kubur tokoh-tokoh agama terutamanya tokoh-tokoh tarekat. Antara tempat utama mereka ialah Darga bersebelahan dengan markaz utama Jama`ah Tabligh di Nizamudin.
Upacara mereka sangat pelik, tempat mereka bagaikan kuil yang dipenuhi pelita-pelita api. Mereka menabur bunga dan air wangi sebelum memohon hajat. Bahkan saya melihat dalam kalangan mereka sujud kepada kubur seperti dalam solat. Dalam masa yang lain, mereka juga bersolat lima waktu, membaca al-Quran dan berzikir dengan cara mereka Cumanya yang menghairankan saya, di hadapan markaz utama jamaah tabligh sehingga ke tempat penyembah bagaikan pasar jualan peralatan upacara ibadat Bralewi, di manakah yang dikatakan dakwah kepada La Ilah illa Allah?.
Di celah-celah itu semua Allah tetap memberikan kurnianya kepada para muslimin India yang begitu ramai itu. Sebelum beberapa dekad yang mutakhir, benua India pernah menjadi pusat terbesar perkembangan ilmu hadith, hampir dua kurun lamanya. Pengasas utamanya ialah al-Imam Shah Waliyullah al-Dahlawi (1114-1176 hijrah).
Di India beliau digelar Markaz al-Asanid fi al-Hind iaitu pusat sanad-sanad hadith di India. Sesiapa yang berminat dengan kisah sanad hadith di India, dia patut membaca al-`Anaqid al-Ghaliyah min al-Asanid al-`Aliyah karya Maulana Muhammad `Asyiq Ilahi al-Barni al-Mazhahiri. Kitab ini menghimpunkan sanad-sanad para ulama Deoband sehingga ke al-Imam Shah Waliyullah al-Dahlawi.
Saya dan sahabat saya pergi ke India membawa surat sokongan peribadi daripada guru hadith Ph.D kami, Dr. Muhammad Abul Laith al-Khair Abadi, pengarang kitab Takhrij al-Hadith, `Ulum al-Hadith bain al-Asalah wa al-Mu`asarah dan lain-lain. Beliau juga berasal dari India, pernah belajar di Deoband dan mendapat Ph.D dari Umm al-Qura, Mekah.
Hasilnya, kami dapat bertemu, menziarahi, mengambil manfaat daripada beberapa ulama hadith India. Kami sempat membaca Risalah al-Awail, petikan dari kitab-kitab hadith di hadapan mereka serta nasihat-nasihat yang berguna. Juga mereka mengijazahkan sanad mereka. Antaranya, sanad daripada anak pengarang Faidh al-Bari syarah Shahih al-Bukhari, Maulana Anzar Shah iaitu anak Anwar Shah al-Khasmiri.
Salah satu sanadnya daripada al-Syeikh `Abd al-Fattah Abu Ghuddah seorang muhaqqiq yang terkenal. Juga sanad daripada Maulana Zainul `Abidin al-A`azami, yang diambil daripada tokoh hadith yang terkenal, al-Syeikh Habib al-Rahman al-A`azami. Juga beberapa sanad yang lain. Namun begitu, perlu diperingatkan bahawa sanad hadith pada zaman ini, pada hakikat, tidak diperlukan lagi.
Para penulis kitab-kitab hadith seperti al-Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmizi, al-Nasai, Ibn Majah, Ibn Jarud, Ibn Hibban, Ibn Sakan dan lain-lain telah pun menyatakan sanad mereka. Kajian para perawi hanya setakat mereka sahaja. Selepas itu tidak diperlukan lagi. Ulama di India sendiri menganggap pemberian ijazah sekadar suatu cara tradisi dan sekadar mengharapkan keberkatan pertemuan dengan guru sahaja.
Malangnya, ada seorang penulis keluaran pondok Kelantan yang kekadang menulis di dalam majalah-majalah, seakan menganggap seseorang seperti al-Syeikh Nasir al-Din al-Albani tidak boleh dianggap sebagai tokoh ulama dalam ilmu hadith kerana tidak menghimpunkan sanad. Inilah adalah satu kejahilan yang amat nyata. Inilah bala bila semua orang cuba mengaku pandai dan mencampuri apa yang bukan urusannya.
Alangkah baik sekiranya dunia pondoknya diluaskan. Dia patut belajar cara mengutip manfaat daripada semua tokoh seperti Al-Syeikh `Abd al-Fattah Abu Ghuddah yang berguru dengan al-Syeikh Syakir, juga al-Kauthari, sekalipun kedua gurunya itu tidak sehaluan. Bacalah Imdad al-Fattah karangan murid Abu Ghuddah yang meriwayatkan hal gurunya.
Di India saya tinggal Dar Ulum, Deoband juga Dar Ulum, Lucknow tempat Maulana Abu Hasan `Ali al-Nadwi. Deoband agak begitu traditional tetapi pengajiannya patut disanjungi. Al-Syeikh Rasyid Redha pernah menziarahi Dar Ulum Deoband dan memujinya. Dar Ulum, Deoband berjasa dalam memerangi golongan khurafat dan bid`ah terutama golongan penyembah kubur.
Untuk menghadapi dakwah ulama Deoband maka ahli bid`ah dan khurafat di India menyatakan mereka berada atas sunnah dan menuduh para ulama Deoband sebagai wahhabi. Walaupun Dar `Ulum Deoband itu kuat bermazhab Hanafi sedangkan al-Syeikh Muhammad bin `Abd Wahab seorang yang bermazhab Hanbali. Tujuannya hanya untuk mempertahankan khurafat dan bid`ah mereka.
Para ulama Deoband bangun membela diri mereka, sekaligus membela al-Syeikh Muhammad bin `Abd Wahhab, sekalipun tiada hubungan antara mereka dengannya, kerana mereka tahu tokoh berkenaan dizalimi dan difitnah. Sesiapa yang inginkan pendetilan sila baca Dar `Ulum Deoband, keluar Akademi Syeikh al-Hind.
Di tempat kita juga demikian, golongan yang membuat amalan-amalan yang tidak benar pada nilaian al-Quran dan al-Sunnah akan membela diri dengan menyatakan ini adalah mazhab Syafi`i dan menuduh golongan yang menegur mereka sebagai wahabi. Ternyata mereka menggunakan modal yang sama. Kebanyakan perkara yang mereka dakwa sebagai mazhab Syafi`i, tidak pernah pun disebut al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi`i r.a.. Bahkan di kalangan mereka ada yang tidak pernah membaca al-Umm karangan fiqh beliau, atau al-Risalah dalam usul fiqh dan hadith.
Lebih dahsyat lagi, ada yang tidak pernah tengok teksnya dalam bahasa arab. Pun begitu segala amalannya disandarkan kepada imam yang mulia itu. Dalam masa yang sama sesiapa sahaja yang menegur amalan turun-temurun, sekalipun dengan menggunakan nas dari kitab al-Imam al-Syafi`i sendiri akan dituduh wahabi. Seakan Muhmmad bin `Abd al-Wahhab itu pengasas satu mazhab baru. Sedang beliau sendiri menyatakan beliau bermazhab Hanbali.
Saya sendiri, dalam beberapa hal dituduh wahabi. Sedangkan saya bukan keluaran universiti di Saudi, saya belajar di Jordan. Saya mengajar tempat saya Dewan al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Fekah Mazhab al-Syafi`i. Saya bermazhab syafi`i, tetapi secara insaf bahawa pendapat yang paling kuat dan kebenaran itu sendiri tidak hanya terkurung dalam satu mazhab sahaja. Kita patut melihat dalil dari semua mazhab. Ini bukan ajaran Muhammad bin `Abd al-Wahhab sahaja, tetapi itulah tunjuk ajar serta arahan semua imam-imam mazhab.
Malangnya dalam hal ini kita dituduh sebagai wahabi. Kalaulah sungguh Muhmmad bin `Abd al-Wahhab itu mengasaskan mazhab, saya secara peribadi tidak sudi untuk mengikutinya. Ini kerana imam-imam yang lain dalam feqah jauh lebih hebat daripadanya. Al-Albani sendiri menyatakan Muhammad bin `Abd al-Wahhab itu tidak begitu mantap dalam menghukum hadith dan menyimpulkan persoalan fiqh. Dia sebenarnya pejuang aqidah. Pada zamannya dia adalah pejuang yang menghapus khurafat dan syirik serta menegakkan aqidah yang bersih. Banyak buku ditulis mengenai jasanya, antara apa yang ditulis oleh Dr Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Aulawiyyat.
Saya menziarahi tempat Maulana Abu Hasan `Ali al-Nadwi. Dalam hayatnya, beliau adalah seorang tokoh ilmu dan dakwah. Universitinya bercita-cita menghimpunkan antara unsur traditional dan kemodenan. Syiarnya ialah Al-Jam`u baina al-Qadim al-Salih wa al-Jadid al-Nafi’, iaitu menghimpunkan antara tradisi yang baik dan perkara baru yang bermanfaat.
Gabungan ilmu lama dan moden memungkin seseorang muslim hidup di zaman serba canggih ini. Islam tidak boleh digambarkan sebagai agama yang kuno serta ketinggalan zaman. Kemodenan itu sebenarnya milik Islam. Islam mesti hidup di timur dan barat, dalam generasi lama dan baru. Inilah yang hendak ditonjolkan oleh Abu al-Hasan `Ali al-Nadwi.
Sebaliknya, di negara kita, ada yang menganggap Islam tidak dapat difahami melainkan setelah penat belajar di bawah pelita minyak yang malap, tinggal dalam pondok yang senget, menggunakan bahasa melayu sankrit lama. Baginya tokoh ulama hanya guru pondoknya. Para ulama timur tengah langsung tiada tempat dalam dirinya. Seakan-akan Nabi s.a.w itu dulunya lahir di kawasan pondoknya.
Apa yang saya lihat juga, para ulama India samada di Deoband atau Lucknow terutama Maulana Abu al-Hasan `Ali al-Nadwi r.h., banyak memuji dan mengambil manfaat daripada Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah. Abu al-Hasan al-Nadwi sendiri mengarang kisah kehebatan dakwah Ibn Taimiyyah. Tokoh-tokoh ulama timur tengah seperti Dr. Yusuf al-Qaradawi pun begitu.
Dalam buku Kaif nata`amul ma`a al-Sunnah, al-Qaradawi menyatakan Ibn Taimiyyah adalah tokoh ulama yang paling disayanginya dan paling dekat dengan akalnya. Demikianlah sesiapa yang membaca karya dan perjuangan Ibn Taimiyyah pasti akan mengkaguminya. Malangnya ada di negara mereka yang hidup untuk memusuhi Ibn Taimiyyah dan menfitnahnya.
Demikian sedikit catatan saya dalam kembara ke India. Semoga Allah meluaskan pengalaman kita dan memberikan pahala perjalanan ilmu.

Thursday, April 9, 2009

Tafsir Ayat Ahkam Li'an dan Dzihar

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut sejarah, segala hukum fiqh itu dirumuskan oleh ahli-ahli fiqh melalui penilitian mereka terhadap sumber-sumber Islam yang primer, yaitu Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW.

Dalam hal ini, fiqh tidak hanya mengatur permasalahan yang vertikal, akan tetapi ia mengatur urusan yang horizontal. Ini dikarenakan Alquran dan sunah itu sangat luas pembahasannya, yaitu vertikal dan horizontal.

Salah satu hal horizontal yang diatur oleh Alquran adalah pernikahan. Kaitannya dalam pernikahan, fiqh telah mengatur tatacara pergaulan antara suami dan istri agar kedua-dua hak dari mereka dapat terjaga, baik lahir maupun batin.

Hubungan kedua suami-istri tidak luput dari kekurangan, oleh itu segala konsekwensi dari kekurangan ini telah diatur oleh Allah. Bagian darinya adalah `îlâ` dan dzihâr yang dapat membahayakan hak dan nasib seorang istri. Dalam hal ini, Allah berfirman dan mengaturnya pada al-Baqarah, ayat 226-227 dan Surah al-Mujâdalah, ayat 2-4

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Ayat yang mengatur persoalan `îlâ` dan dzihâr serta uraian bagi lafaz ayat ini mengikut ilmu tafsir.

2. Tafsir-tafsir ulama tentang ayat `îlâ` dan dzihâr mengikut konteks ilmu fiqh dan `ushûlnya.

3. Filsafat yang dapat diambil dari ayat-ayat `îlâ` dan dzihâr.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Ayat `Îlâ` dan Dzihâr Serta Uraian Lafaznya

Ayat tentang `îlâ` terdapat pada Surah al-Baqarah, ayat 226-227 sebagai berikut:

tûïÏ%©#Ïj9 tbqä9÷sム`ÏB öNÎgͬ!$|¡ÎpS ßÈš/ts? Ïpyèt/ör& 9åkô­r& ( bÎ*sù râä!$sù ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇËËÏÈ ÷bÎ)ur (#qãBttã t,»n=©Ü9$# ¨bÎ*sù ©!$# ììÏÿxœ ÒOŠÎ=tæ ÇËËÐÈ

Terjemahan: 226. Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Dalam mengurai ayat ini, inti pembahasannya adalah kata “يؤلون”. Kata ini berasal dari fi’il mâdliآلى – يؤالى – إيلاء”. Kata nama bagi `îlâ` juga bisa disebut “أَلِيَّة yang mana keduanya dibaca dengan tasydîd.[1]

Secara bahasa, kata `îlâ` dan pecahannya memiliki arti qasam, yamîn, dan half yang mana semuanya berarti sumpah.[2] Secara istilah, `îlâ` berarti: sebuah sumpah untuk meninggalkan persetubuhan (وطء) terhadap istri.[3] Syaikh Wahbah al-Zuhailî menambah pengertiannya dengan: ketika seorang lelaki bersumpah untuk tidak mensetubuhi istrinya selama empat bulan atau lebih.[4]

Selanjutnya adalah kata “من نسآئهم”. Kata ini secara tafsir diikut sertakan di dalamnya sama ada istri yang berupa merdeka, maupun yang masih `amat.[5]

Kata yang penting setelahnya adalah “تربص”. Tarabbush adalah menunggu (الإنتظار). Makna ini diambil seperti yang terkandung di dalam ayat “قل تربصوا فإني معكم من المتربصين[6] yang bermaksud: “kamu semua tunggulah! Sesungguhnya Aku bersama orang-orang yang menunggu yang bersama dengan kamu semua”. Sedangkan mensandarkan kata tarabbush pada kata “الأشهر” itu termasuk `idlâfah al-mashdar `ilâ al-dzarf (mensandarkan mashdar terhadap dzarf).[7]

Kata “فآؤوا” pula memiliki arti menarik kembali sumpah tersebut dengan cara melakukan persetubuhan (الوطء).[8] Arti ini berdasarkan makna dari mashdarnya yaitu “الفيء” yang mana secara bahasa adalah “kembalinya sesuatu kepada keadaan semula”.[9]

Makna ayat 226 dari Surah al-Baqarah ini adalah seumpama si suami merujuk kembali dari apa yang telah ia sumpahkan yaitu meninggalkan pergaulan bersama istri-istrinya, maka sesungguhnya Allah SWT maha mengampuni terhadap apa yang telah terjadi yaitu sumpah yang zalim.[10]

Kata “غزموا الطلاق” bermakna si suami tersebut berketetapan hati (berniat dengan mantap) untuk menjatuhkan talak, dan berniat untuk tidak kembali bergaul (الإستمتاع) dengan istri-istrinya.[11]

Sedangkan kata “عليم” (Allah maha mengetahui) menunjukkan bahwa Allah maha mengetahui terhadap niat mereka. Ini memberi arti bahwa tidak ada bagi suami tersebut setelah menunggu selama 4 bulan kecuali kembali menggauli istri mereka atau terjadi talak.[12]

Secara balâghah, kata “فإن الله سميع عليم” itu adalah kalam khabar yang keluar dari lahirnya ayat, yang mana ia bertujuan memberi makna ancaman (الوعيد) dan menakut-nakuti (التهديد).[13]

Ayat tentang dzihâr pula terdapat pada Surah al-Mujâdalah, ayat 2-4 sebagai berikut:

tûïÏ%©!$# tbrãÎg»sàムNä3ZÏB `ÏiB OÎgͬ!$|¡ÎpS $¨B Æèd óOÎgÏF»yg¨Bé& ( ÷bÎ) óOßgçG»yg¨Bé& žwÎ) Ï«¯»©9$# óOßgtRôs9ur 4 öNåk¨XÎ)ur tbqä9qà)us9 #\x6YãB z`ÏiB ÉAöqs)ø9$# #Yrãur 4 žcÎ)ur ©!$# ;qàÿyès9 Öqàÿxî ÇËÈ tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ãƒÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ šcqÝàtãqè? ¾ÏmÎ/ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÌÈ `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù Èûøïtöhx© Èû÷üyèÎ/$tGtFãB `ÏB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ ( `yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ $YZŠÅ3ó¡ÏB 4 y7Ï9ºsŒ (#qãZÏB÷sçGÏ9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur 4 šù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 3 z`ƒÌÏÿ»s3ù=Ï9ur ë>#xtã îLìÏ9r& ÇÍÈ

Terjemahan: 2. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. 3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.

Kata “يظاهرون itu menunjukkan pada konsep dzihâr di dalam syariat Islam. Dzihâr pula tercetak dari kata “الظهر”. Dzihâr adalah ucapan seorang lelaki kepada istrinya “kamu seperti punggung ibuku”. Akan tetapi maknanya secara asli adalah menyamakan punggung dengan punggung. Lalu ia dipakai untuk mengharamkan seorang istri dengan menjadikannya sebagai perkara yang diharamkan seperti punggung ibunya sendiri.[14]

Secara definitif, Syaikh Wahbah al-Zuhailî menyebutnya dengan “menyamakan seorang perempuan (istri) atau sebagian anggota darinya dengan salah satu dari mahram si suami secara nasab, sesusuan (رضاع), atau hubungan kemertuaan (مصاهرة) disertai niat mengharamkan”.[15]

Kata “اللائي” pula adalah jamak dari kata “اللتي”. Ia boleh dibaca “اللاتي” dan “اللائي” seperti firman Allah “وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ”.[16]

Kata “منكرا” itu bermaksud perkara yang dimunkari dari perintah, yaitu sebaliknya sebuah perkara yang bagus. Batasan munkar adalah segala perkara yang oleh syariat, akal, dan watak (طبع) dianggap jelek.[17]

Sedangkan kata “زورا” itu bermakna penipuan, kebatilan yang jelas. Bagian dari “زور” adalah “شهادة الزور”.[18] Menurut Wahbah al-Zuhailî alasan diberi kata “زورا” karena menunjukkan bahwa kata-kata tersebut adalah sebuah penipuan dan fitnah, karena seorang istri tidak bisa disamakan dengan ibu.[19]

Selanjutnya, kata “تحرير رقبة” adalah dari kata kerja “حَرَّرْتُهُ” yang memberi arti “aku menjadikan ia merdeka demi Allah”. Kata “رقبة” pada asalnya adalah beberapa leher (العنق). Lalu ia dimutlakkan terhadap zat manusia karena menamai sesuatu dengan bagian darinya. Maka yang dimaksud adalah perkara yang dimiliki yaitu hamba lelaki atau perempuan. Menurut al-`Alûsî, kata tersebut adalah penamaan keseluruhan dengan bagiannya.[20]

Kata “يتماسا” itu bermakna memegang (المس) yaitu memegang sesuatu dengan tangan. Lalu ia dipinjamkan maknanya untuk jimâ’ karena jimâ’ meliputi menyentuh dan kontak fisik. Maka “يتماسا” adalah kinâyah dari jimâ’.[21]

Kata “مسكينا” berarti orang yang tidak memiliki apa-apa. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang tidak memiliki apa-apa untuk mencukupi keluarganya. Akan tetapi, kata miskin dari ayat ini memiliki makna yang lebih umum daripada fakir. Sedangkan miskin itu lebih bagus keadaannya dibandingkan dari fakir.[22]

Kata “حدود” berasal dari “حد” yang bermaksud memisah antara dua perkara agar tidak bercampur atau tidak melewati batas salah satu darinya terhadap yang lain. Jamak “حد” adalah “حدود”. Pengertian “حدود الله” adalah perkara-perkara yang menjelaskan keharaman atau kehalalan sesuatu itu. Allah juga memerintahkan agar tidak melewati batas-batas yang telah ditentukan Allah. Sesuai dengan konteks pembahasan ayat “وتلك حدود الله”, hudûd di sini batasan antara maksiat dan taat. Maksiat adalah dzihâr dan taat adalah membayar kafârah.[23]

B. Tafsir Ahkam Ayat `Îlâ` dan Dzihâr

Ayat “للذين يؤلون من نسآئهم ini menunjukkan bahwa `îlâ` dikhususkan bagi para istri. Oleh karena itu, `îlâ` itu ditetapkan bagi orang-orang yang terkena talak. Maka orang merdeka, hamba, dan mabuk itu juga dapat menetapkan `îlâ`. Begitu juga orang idiot, dan yang berada dikuasa orang lain (anak kecil) hanya saja apabila `îlâ` terjadi waktu ia sudah baligh yang tidak gila.[24]

Seperti keterangan di atas, bahwa `îlâ` pada dasarnya adalah sebuah sumpah. Oleh karena itu, konsep `îlâ` apakah harus ada sumpah atau tidak terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh.

Menurut Imam al-Syâfi’î di dalam qaul jadîdnya, bahwa `îlâ` tidak dapat jatuh kecuali disertai dengan sumpah kepada Allah sahaja, karena ada sabda Nabi SAW “من كان حالفا فليحلف بالله أو ليصمت. Menurut Hanafiyyah dan Mâlikiyyah; `îlâ` sah dengan sumpah atas nama Tuhan, atau sumpah meninggalkan seksual dengan talak atau memerdekakan atau dzihâr, karena ada ucapan Ibn ‘Abbâs: “كل يمين منعت جماعا فهي إيلاء وكل من حلف بالله أو بصفة من صفاته فقال أقسم بالله أو أشهد بالله أو علي عهد الله وكفالته وميثاقه وذمته فإنه يلزمه الإيلاء اتفاقا. Mâlikiyyah menambah; `îlâ` tidak disyaratkan sumpah di dalam `îlâ`. Apabila seorang lelaki menolak untuk berhubungan seksual dengan tujuan menyakiti perempuan tanpa ada uzur, walaupun tanpa sumpah, maka dia telah melakukan `îlâ` karena terdapat dlarar.[25]

Selain dari ini, Imam al-Râzî berpendapat bahwa ayat ini menetapkan bahwa `îlâ` itu sah sama ada lelaki tersebut dalam tingkah ridha atau marah. Sedangkan menurut Imam Mâlik; `îlâ` hanya sah tatkala dalam keadaan marah melihat secara lahirnya ayat.[26]

Beliau menambahkan, bahwa `îlâ` bisa sah sama ada dalam sebuah pernikahan, atau perempuan yang tertalak raj’î, dengan dalil; bahwa talak raj’î itu masih menetapkan bahwa perempuan tersebut masih menjadi istri si suami. Ini digambarkan dengan ucapan “istri-istriku tertalak” maka jatuhlah talak terhadap mereka. Maka apabila telah tetap bahwa istri-istri si suami masuk di dalam lahir ayat “للذين يؤلون من نسائهم.[27]

Bagi tafsir ayat “فإن فآءو فإن الله غفور رحيم”, terjadi perbedaan pendapat ulama. Menurut Sa’îd bin Jubair dan Sya’bî mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-fai` adalah hubungan seksual, bukan selainnya. Seumpama si suami tidak bersetubuh dengan istri tersebut dan habislah waktu tarabbush `îlâ`, maka tertalak bâ`inlah perempuan tersebut.[28]

Menurut ulama yang lain, al-fai` adalah melakukan seksual bagi orang yang tidak memiliki uzur sama sekali. Maka seumpama orang tersebut sakit, musafir, atau dipenjara; maka cukuplah melakukan rujuk dengan lisan atau hati. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.[29]

Sedangkan menurut pendapat lain pula, al-fai` adalah melakukan rujuk dengan lisan dalam keadaan apapun. Maka cukuplah apabila si suami berkata: “aku kembali kepada perempuan tersebut”. Pendapat ini adalah pendapat al-Nakha’î.[30]

Untuk permasalahaan jatuhnya talak ketika tidak merujuk (al-fai`), maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Hanafiyyah; al-fai` haruslah dilakukan sebelum selesainya waktu. Seumpama melewati 4 bulan tanpa ada al-fai`, maka talak pun jatuh sebagai talak bâ`in.

Menurut mayoritas ulama; talak tidak jatuh hanya dengan terlewatnya batas waktu, karena lewat batas waktu tidak menyebabkan jatuhnya talak. Hanya saja si istri harus mengajukan gugatan perkara pada hakim, apakah dirujuk (al-fai`) atau ditalak. Kesimpulannya, talak hanya akan jatuh dengan pentalakan sama ada oleh suami atau hakim apabila perkara itu diangkat ke hakim tersebut.[31]

Titik perbedaan pendapat ini berada dita`wîlan ayat فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ * وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ”. Menurut Hanafiyyah; ta`wîlan ayat tersebut adalah “seumpama mereka (para suami) merujuk pada bulan-bulan ini, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi pada apa yang mereka ajukan yaitu sumpah untuk membahayakan (إضرار) istri. Seumpama mereka tidak merujuk pada bulan-bulan ini, dan tetaplah mereka di dalam sumpah mereka. Maka adanya mereka itu memiliki niat untuk talak, dan jatuhlah talak dengan hukum syara’”. Makna dari ayat “وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ” adalah meninggalkan rujuk (fai`). Hanafiyyah menyamakan waktu `îlâ` dengan iddah. Talak juga disamakan dengan talak raj’î. `Îlâ` pada zaman jahiliyyah adalah talak. Lalu syara’ pula mengakui `îlâ` sebagai talak, hanya saja ditambah tempoh.[32]

Makna ayat ini menurut mayoritas ulama adalah bagi orang-orang yang bersumpah `îlâ`, haruslah menunggu 4 bulan. Seumpama mereka merujuk, setelah habisnya tempoh, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi. Seumpama mereka berniat untuk menjatuhkan talak, maka Allah Maha Mendengar terhadap talak mereka, dan Maha Mengerti dengan apa yang keluar dari mereka dari segi baik dan buruknya. Mayoritas ulama menyamakan tempoh `îlâ` dengan tempoh yang dibuat batas bagi kasus impotensi, karena `îlâ` adalah bahaya terhadap istri. Ia hanya jatuh kalau suami mengangkatnya. Kalau tidak diangkat, maka syariat yang mengaturnya secara hukum sebagaimana pada mana-mana bahaya yang berhubungan dengan seksual, dan ini adalah yang zahir. Alasannya adalah ayat وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ” sebagai dalil bahwa istri tidak dapat ditalak dengan jangka waktu 4 bulan, selagi tidak muncul vonis talak (تطليق) setelah jatuh tempoh.[33]

Untuk masalah dzihâr, ia terdapat sejarah tersendiri. Pada zaman Jahiliyyah, dzihâr merupakan salah satu dari cara talak. Malah ia merupakan cara yang paling kuat talaknya menurut mereka. Lalu Islam datang untuk membetalkan hukum ini. Islam menjadikan dzihâr haram untuk dilakukan, dan diberi konsekwensi kafârah terhadap suami. Juga dzihâr tidak dihukumi talak, seperti apa yang dipercayai orang jahiliyyah. Jadi, seumpama seorang lelaki melakukan dzihâr untuk mentalak istrinya, maka ia adalah dzihâr bukan talak. Begitu juga, kalau ia melakukan talak tapi berkehendak untuk dzihâr , maka yang jadi adalah talak. Yang dianggap adalah lafaz tersebut bukan dengan niat. Tidak boleh salah satu dari perkara tersebut menempati tempat satu yang lain.[34]

Ayat “وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ” menunjukkan bahwa dzihâr adalah haram. Malah Syâfi’iyyah menganggap bahwa dzihâr adalah termasuk dosa besar. Barang siapa melakukan dzihâr, maka ia dianggap penipu dan meremehkan syariat.[35]

Ayat “فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا” ini menetapkan bahwa diharamkan bersetubuh dengan istri selagi belum membayar kafârah dzihâr. Seperti diharamkan bersetubuh, maka diharamkan juga muqaddimahnya yaitu mencium, memeluk, dan lainnya yang searah. Ini menurut pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Sedangkan menurut Imam al-Tsaurî dan al-Syâfi’î (dari salah satu pendapatnya) bahwa yang diharamkan adalah hubungan seksual sahaja, bukan lainnya. Ini dikarenakan kata “يتماسا” (المسيس) adalah sebuah kinâyah bagi seksual.[36]

Hujah yang diberikan mayoritas ulama akan keharam semua termasuk muqaddimahnya adalah:[37]

  1. Ayat “مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا” adalah sebuah kata yang masih umum. Ia mengandung segala jenis cara mencari kesedapan (الإستمتاع);
  2. Tempat penyamaan yang membuat sebab haram adalah kata “seperti punggung ibuku”. Hal ini juga sama seperti memegang ibu, dan mencari kesedapan (الإستمتاع) dengan ibu dengan berbagai jalan. Maka oleh itu, haram juga mencari kesedapan dengan istri yang telah didzihâr karena beramal dengan konsep penyamaan (التشبيه).
  3. Terdapat hadis yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan lelaki yang mendzihâr istrinya untuk menjauhi istrinya sampai ia membayar kafârah (أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ ظَاهَرَ مِنْ امْرَأَتِهِ فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ظَاهَرْتُ مِنْ امْرَأَتِي فَوَقَعْتُ قَبْلَ أَنْ أُكَفِّرَ قَالَ وَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ يَرْحَمُكَ اللَّهُ قَالَ رَأَيْتُ خَلْخَالَهَا فِي ضَوْءِ الْقَمَرِ فَقَالَ لَا تَقْرَبْهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ).[38]

Hujah yang diberikan Imam al-Tsaurî dan al-Syâfi’î pula adalah sebagai berikut:[39]

  1. Ayat tersebut menyebut kata “يتماسا” (المسيس) yang merupakan kinâyah dari seksual, maka cukup diartikan dengan seksual saja.
  2. Keharaman di sini bukanlah bermakna merusak pernikahan. Maka makna di sini adalah disamakan dengan haid, yang mana diharamkan mencari kesedapan (الإستمتاع) di antara pusat dan lutut.

Ayat “ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا” terjadi perbedaan pendapat dalam menafsiri kata “يعودون” (العود). Menurut Imam Abû Hanîfah, kata “العود” di sini adalah sebuah ibarat dari menyegaja untuk memperbolehkan hubungan seksual dan meraba-raba. Menurut Imam al-Syâfi’î, ia bermakna suami menjaga istri (meneruskan pernikahan) setelah terjadi dzihâr serta mampu untuk menjatuhkan talak. Sedangkan menurut Imam Mâlik dan `Ahmad, ia bermakna berniat untuk melakukan seksual sahaja, atau seksual dan tetap dalam pernikahan. Dari ketiga-tiga versi pendapat ini, jelaslah pada dasarnya memiliki dasar yang sama, yaitu ada penyesalan, dan berkeinginan untuk kembali bergaul dengan istrinya. Huruf “اللام” di sini bermakna “إلى”.[40]

Selanjutnya ayat “فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا” menunjukkan ada kafârah bagi dzihâr sebelum menggaulinya seperi keterangan yang telah lewat. Menurut ayat “فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا” lalu “فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا” dan “فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ”, kafârah dzihâr adalah memerdekakan budak. Seumpama tidak dapat, maka puasa 2 bulan berturut-turut. Seumpama tidak kuat, maka wajib memberi makan 60 orang miskin[41].[42]

Untuk menentukan jenis hamba dalam konteks ayat ini (yang mana hanya memakai kata رقبة tanpa diberi ketentuan atau قيد), terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Hanafiyyah, kafârah bagi konteks ini bisa hamba yang kafir atau yang muslim, lelaki atau perempuan, besar atau kecil walaupun yang masih menyusu. Ini dikarenakan kata رقبة itu bisa masuk dari semua jenis ini.[43]

Sedangkan menurut Syâfi’iyyah dan Mâlikiyyah mensyaratkan status iman bagi hamba tersebut. Maka tidak sah memerdekakan selain orang yang mukmin, karena berpegangan pada kemutlakan perkara yang diqayyidi di dalam ayat membunuh yaitu “فتحرير رقبة مؤمنة” yang mana ada persamaan antara kedua ayat ini.[44]

Bagi kafârah dengan puasa dua bulan berturut-turut, ia hanya boleh dilakukan apabila orang tersebut tidak mampu atau tidak menemukan hamba untuk dimerdekakan. Menurut Hanafiyyah kata bulan di sini adalah bulan dalam arti tanggalan hilâl, bukan matahari. Ini tidak dibedakan sama ada bulan tersebut sempurna atau kurang. Seumpama orang tersebut tidak mengitung dengan tanggal hilâl, maka ia wajib puasa selama 60 hari.[45]

Kafârah dengan memberi makan 60 orang miskin diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu/menemukan hamba untuk dimerdekakan, dan tidak mampu puasa 2 bulan berturut-turut. Ulama berbeda pendapat dalam kadar makanan yang wajib diberikan.

Menurut Abû Hayyân; secara lahirnya, makanan tersebut secara mutlak. Ia dikhususkan sesuai dengan adat yang berlaku tatkala ayat tersebut itu turun, yaitu makanan yang membuat kenyang dengan tidak lebih dari satu mud.[46]

Menurut Imam Syâfi’î dan Mâlik, makanan tersebut harus diberikan kepada 60 orang, dan tidak boleh kurang. Akan tetapi menurut Abû Hanîfah dan pengikut-pengikutnya; bahwa kalau orang tersebut memberi makan kepada satu orang saja setiap hari ½ shâ’ sampai jadi sempurna total 60 mud, maka ia sudah mencukupi.[47]

C. Filsafat Ayat `Îlâ` dan Dzihâr

Secara sejarah ayat `îlâ` ini (Surah al-Baqarah, ayat 226-227), adalah berdasarkan sebuah riwayat, bahwa `îlâ` pada zaman jahiliyyah, adalah merupakan talak. Sa’îd bin al-Musayyab berkata: “apabila ada lelaki yang tidak suka dengan istrinya, dan dia juga tidak mau perempuan tersebut menikahi lelaki selainnya; maka ia bersumpah untuk tidak menggauli istrinya, lalu dia meninggalkannya tanpa menjadikannya janda. Tujuan dari perbuatan tersebut adalah agar menyakiti wanita tersebut. Maka Allah SWT menghilangkan kezaliman tersebut. Allah juga menyerakkan suami sebuah tempoh sehingga dia dapat berfikir-fikir akan pernikahannnya. Seumpama ia merasa lebih baik meninggalkan penyakitan ini, maka ia lakukanlah (kembali), seumpama ia merasa lebih baik berpisah saja, maka ia talak saja istrinya”.[48]

Menurut Ibn ‘Abbâs: “`îlâ` pada zaman jahiliyyah adalah satu tahun atau dua tahun dan lebih dari itu. Maka Allah menetapkan 4 bulan. Maka barang siapa yang `îlâ`nya kurang dari 4 bulan, maka ia tidak disebut dengan `îlâ`”.[49]

Seorang guru dan ahli tafsir di Mekkah, Syaikh Muhammad ‘ Alî al-Shâbûnî mengajarkan filsafat dibalik ayat ini adalah sebagai berikut:

Syariat Islam memerintahkan untuk berbuat baik terhadap istri dan menggaulinya dengan baik. Syariat juga mengharamkan menyakiti istri dan membahayakannya dengan berbagai macam cara dan bentuk. Ini dikuat dengan ayat “وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا”.[50]

Apabila seseorang `îlâ` istrinya dan membiarkannya ditempat tidur dalam waktu yang lama, maka perkara tersebut tidak lain hanya bertujuan untuk menyakitinya sehingga membuatnya tergantung-gantung. Ia bukanlah seorang istri, tapi bukan juga perempuan tertalak. Dan `îlâ` ini juga bukanlah dari perkara yang menjadi nafi serta wajibnya bergaul dengan baik. Perkara ini tidak bisa kolaborasi dengan pengajaran-pengajaran Islam yang benar. Oleh karena itu, Allah memerintahkan suami untuk terikat dengan waktu yaitu 4 bulan. Seumpama lelaki tersebut mulai sadar maka ia dikenakan kafârah atau sumpahnya, dan ia harus memperbagus hubungan dengan istrinya dan menggaulinya dengan baik. Seumpama si suami menolaknya, maka ia haruslah mentalak istrinya dikarenakan menyakitkannya. Konsep hukum ini adalah beberapa perkara yang baik dari syariat yang bagus dalam bentuk syariat itu menolak perempuan dari menanggung sesuatu yang zalim, dan membawanya kepada kebaikan. Syariat juga membuat si suami memiliki pasangan yang bahagia.[51]

Sebab turunya ayat dzihâr ini adalah berdasarkan hadis yang diriwayatkan `Aisyah: “Mahasuci Allah yang Maha Mendengar segala sesuatu. Sungguh aku telah mendengar sebagian perkataan Khaulah binti Sa’labah dan sebagian yang lain: Tidak aku mendengar dia mengatakan suaminya (Rasulullah SAW); Wahai Rasulullah, dia (atau suamiku) telah menghabiskan masa mudaku dan aku telah menyerahkan perutku untuk menabur benihnya, hingga apabila aku telah tua dan aku tidak bisa memberikan anak lagi, dia mendzihârku. Ya Allah menggadukan penderitaanku ini. Dia tetap dalam keadaan seperti itu, sampai Jibril turun dengan membawa ayat-ayat ini: قد سمع….”.[52]

Menurut Ibn Mandzûr; orang Arab zaman jahiliyyah mentalak istri mereka dengan kalimat “أنت علي كظهر أمي”, hanya saja mereka mengkhususkan dengan kata “ظهر” (punggung), bukan perut, peha, dan farj. Dan hal ini lebih dari segi keharamannya, karena punggung adalah tempat dinaiki. Sedangkan perempuan adalah tempat dinaiki apabila digauli. Maka kata-kata “أنت علي كظهر أمي” itu seolah-olah yang dikehendaki adalah tungganganmu untuk nikah bagiku adalah haram seperti tunggangan ibuku dalam pernikahan. Maka orang lelaki tersebut menempatkan punggung sebagai tempat menaiki. Ini adalah termasuk sehalus-halusnya `isti’ârât untuk kinâyah.[53]

Menurut Syaikh Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, hikmah dibalik ayat ini adalah sebagai berikut:

Islam telah mensyariatkan pernikahan sebagai akad yang abadi dan tidak dibatasi waktu. Tidak ada yang dapat merusaknya kecuali perkara yang memutus kelazatan atau perkara halal yang paling dibenci Allah (talak). Dengan pernikahan, maka halallah bagi lelaki semua perkara dari pasangannya di dalam batasan yang telah diperkenankan Allah baginya. Apabila manusia datang dan berkeinginan untuk merubah apa yang diperkenan Allah baginya, maka manusia membuat sesuatu yang halal menjadi haram. Maka manusia pun terus terkena dosa besar. Apabila si suami telah melewati batas tersebut, maka akibatnya adalah dosa besar. Maka kafârah yang diberi adalah kafârah yang utama yang dapat memberi faedah bagi masyarakat. Ingatlah! Faedah tersebut adalah memerdekakan hamba. Ini adalah salah satu jalan untuk menghilangkan hamba. Apabila ia tidak mampu, baru ia berpuasa 2 bulan berturut-turut. Sedangkan filsafat dari puasa adalah sebuah pelajaran yang dapat membersihkan akhlaknya, dan menjaga diri.

Puasa ini diwajibkan ketika orang tersebut sedang sehat. Allah tidak akan membebankan seseorang kecuali dengan apa yang ia mampu. Maka orang yang sakit yang tidak mampu berpuasa itu kewajibannya dialihkan kepada sosial kembali. Maka dengan ini, ia berkewajiban memberi makan 60 orang miskin. Dengan ini berpindahlah sifat kafârah tadi kepada sosial pula, dan demi kebaikan diri orang itu sendiri. Konsep ini diperuntukkan bagi orang yang mengharamkan sesuatu yang halal pula. Maka ambillah nasihat ini![54]


BAB III

KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

1. Dalam kasus `îlâ`, Allah SWT telah mengaturnya di dalam Surah al-Baqarah, ayat 226-227. Sedangkan kasus dzihâr pula pada Surah al-Mujâdalah, ayat 2-4.

2. `îlâ` adalah sebuah sumpah untuk meninggalkan persetubuhan (وطء) terhadap istri, yang mana diberi batas waktu 4 bulan untuk menentukan sama ada kembali pada pernikahan atau menjatuhkan talak. Sedangkan dzihâr adalah menyamakan seorang perempuan (istri) atau sebagian anggota darinya dengan salah satu dari mahram si suami secara nasab, sesusuan (رضاع), atau hubungan kemertuaan (مصاهرة) disertai niat mengharamkan. Ia adalah dosa besar, dan wajib dikenakan kafârah.

3. Filsafat dari `îlâ` adalah ditetapkannya 4 bulan bagi seorang lelaki untuk fikir-fikir, lalu memutuskan keinginannya, berbeda dengan jahiliyyah yang tidak membatasinya. Hikmah dibaliknya adalah agar si suami tidak seenak saja mengantungkan nasib istrinya seperti yang banyak dilakukan orang-orang jahiliyyah. Filsafat dzihâr adalah merubah konsep talak yang dibawa jahiliyyah yang bertujuan menghina/menyakiti perempuan. Dalam Islam, ia adalah haram dan dikenakan kafârah sebagai pengajaran. Kafârah yang ditetapkan adalah berfungsi sebagai kepentingan sosial, yaitu memerdekakan budak. Kalau tidak mampu maka demi kemaslahatan orang itu sendiri yaitu puasa 2 bulan berturut-turut. Setelah tidak mampu, maka konsepnya dikembalikan kepada sosial lagi yaitu memberi makan 60 orang miskin.


DAFTAR PUSAKA

al-Bajûrî, `Ibrâhîm bin Muhammad bin `Ahmad al-Syâfi’î. Tuhfat al-Murîd. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2007.

al-Râzî, al-Fakhr. al-Tafsîr al-Kabîr. Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t..

al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî. Tafsîr Âyât al-Âhkâm. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..

al-Zuhailî, Wahbah. al-Tafsîr al-Munîr. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005.

‘Athiyyah, ‘Abd al-Haqq bin. al-Muharrir al-Wajîz. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.

al-Baghawî, al-Husain bin Mas’ûd. Tafsîr al-Baghawî. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.

al-Jauzî, Ibn al-Qayyim. Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.


[1] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 6, 80

[2] Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 217.

[3] Ibid.; al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 6, 80.

[4] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol 1, 682.

[5] ‘Abd al-Haqq bin ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajîz (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 199.

[6] al-Qur’an, 52:31.

[7] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 217.

[8] al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 131.

[9] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 6, 81.

[10] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 217.

[11] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 682.

[12] Ibid.

[13] Ibid., vol. 1, 681.

[14] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 371.

[15] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 380.

[16] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 371.

[17] Ibid., vol. 2, 372; al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 380.

[18] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 372.

[19] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 380.

[20] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 372.

[21] Ibid.; Ibn al-Qayyim al-Jauzî, Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 1406.

[22] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 372.

[23] Ibid.; al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 381.

[24] Ibid., vol. 1, 684.

[25] Ibid.

[26] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 6, 82.

[27] Ibid.

[28] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 222

[29] Ibid.

[30] Ibid.

[31] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 686

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 380.

[35] Ibid.; al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 391.

[36] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 29, 258.

[37] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 381.

[38] al-Nasâ`î, Sunan al-Nasâ`î: Bâb al-Dzihâr, no. 3403, (al-Maktabah al-Syâmilah).

[39] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 381.

[40] Ibid., vol. 2, 381-2; Ibn al-Qayyim al-Jauzî, Zâd al-Masîr, 1405.

[41] Dalam konteks ini, kafârah dzihâr adalah tertib (sesuai urutan), bukan takhyîr.

[42] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 384.

[43] Ibid., vol. 2, 385; al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 394.

[44] Ibid.; al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 385.

[45] Ibid.

[46] Ibid.

[47] Ibid.; al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 29, 260.

[48] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 6, 80; al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 220.

[49] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 682.

[50] al-Qur’an, 4:19.

[51] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 223.

[52] Ibid., vol. 2, 373.

[53] Ibid., vol. 2, 377.

[54] Ibid., vol. 2 387.