Friday, March 6, 2009

Menguak Kesesatan Ulama Hadis Wahabi - Nashiruddin al-Albani

Banyak dari teman-teman kampus yang mengatakan bahwa manhaj mereka adalah al-Qur'an dan al-Sunnah telah mengingkari banyak hal yang terdapat di dalam praktek amalan NU atau asy'ariyyah. Mereka selalu berpendapat bahwa perkara itu tidak ada di dalam sunnah, maka ia bid'ah. Tatkala ana mencounter dengan berbagai hadis, mereka pula kehabisan amunisi, dan hanya menjawab bahwa hadis tersebut adalah daif. Sayang sekali, ilmu al-jarh wa al-ta'dil yang dipakai untuk mendaifkan hadis tersebut tidak didapatkan dari guru hadis yang muttasil sanadnya sampai kepada ulama hadis seperti Imam Bukhari. Mereka malah dengan mudahnya merujuk pada seorang lelaki yang ana dapat sebut sebagai penfitnah hadis, yaitu Nashiruddin al-Albani. Ketahuilah, banyak ulama hadis kontemporer yang mendapatkan hadis dari guru ke guru sampai muttasil sanadnya dengan ulama hadis terdahulu itu menentang serta mendakwa bahwa Nashiruddin al-Albani. Salah satu dari mereka adalah Syaikh Awwamah.

Berikut ini berbagai kelemahan dan kerusakan Nashiruddin al-Albani yang ana ringkas dan resap dari tulisan senior NU kita. Semoga teman-teman yang murni berusaha mencari kebenaran, bukan taksub dan gaya ilmiah tapi hakikinya tidak, dapat mengambil iktibar dari tulisan ini. Amin!!

Di antara tokoh Wahhabi yang sangat berpengaruh dewasa ini adalah Muhamad Nashiruddin al-Albani. al-Albani banyak memiliki pandangan-pandangan kontroversial (syadz) dan keluar dari al-Qur'an dan sunnah, sehingga tak jarang menuai kritikan tajam dari para ulama termasuk dari kalangan Wahhabi sendiri. Kritikan-kritikan tersebut adalah sebagai berikut:

a) al-Albani dan Sayyidina Utsman  :
Sebagaimana telah dimaklumi oleh kaum muslimin, bahwa pada zaman Rasulullah , Sayyidina Abu Bakar  dan Umar , azan untuk solat Jumaat hanya dilakukan satu kali yaitu ketika khatib naik ke atas mimbar. Pada masa Sayyidina Usman , populasi penduduk semakin meningkat, rumah-rumah baru banyak yang dibangun dan jauh dari masjid. Untuk memudahkan mereka dalam menghadiri solat Jumaat agar tidak terlambat, beliau memerintahkan agar azan dilakukan dua kali. Azan ini disepakati oleh seluruh sahabat yang hadir pada saat itu. Para ulama menamai azan sayyidina Usman  ini dengan Sunah yang harus diikuti kerana beliau termasuk khulafaur raysidin.

Tetapi al-Albani dalam kitabnya al-Ajwibah al-Nafi'ah, menilai azan sayyidina Utsman  ini sebagai bid'ah yang tidak boleh dilakukan.Tentu saja, pendapat aneh al-Albani yang controversial ini mendapatkan serangan tajam dari kalangan ulama termasuk dari sesama Wahhabi. Dengan pandangannya ini, berarti al-Albani menganggap seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh yang telah menyetujui azan sayidina Utsman  sebagai ahli bid'ah. Bahkan Ulama Wahhabi yaitu al-'Utsaiminin sendiri, sangat marah al-Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung al-Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali: "ثم يأتي رجل في هذا العصر، ليس عنده من العلم شيء، ويقول: أذان الجمعة الأول بدعة، لأنه ليس معروفاً على عهد الرسول صلي الله عليه وسلم، ويجب أن نقتصر على الأذان الثاني فقط ! فنقول له: إن سنة عثمان رضي الله عنه سنة متبعة إذا لم تخالف سنة رسول الله صلي الله عليه وسلم، ولم يقم أحد من الصحابة الذين هم أعلم منك وأغير على دين الله بمعارضته، وهو من الخلفاء الراشدين المهديين، الذين أمر رسول الله صلي الله عليه وسلم باتباعهم." “ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa azan Jumaat yang pertama adalah bid'ah, kerana tidak dikenal pada masa Rasul , dan kita harus membatasi pada azan kedua saja! Kita katakan pada laki-laki tersebut: sesungguhnya sunahnya Utsman R.A adalah sunah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul SAW dan tidak di tentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (al-Albani). Beliau (Utsman R.A) termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh pentunjuk, dan diperintahkan oleh Rasullah SAW untuk diikuti”. Lihat: al-‘Utsaimin, Syarh al-'Aqidah al- Wasîthiyyah (Riyadl: Dar al-Tsurayya, 2003) Pg. 638.

Pernyataan al-‘Utsamin yang menilai al-Albani, "tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali", menunjukkan bahwa al-Albani adalah bukanlah seorang yang ahli hadis bahkan bukan dari golongan ulama yang alim. Golongan Wahabbi sendiri menetapkan hal itu.

b) Mengkafirkan al-Imam al-Bukhari:
al-Albani yang suka membuat ulah ini, pernah mengeluarkan fatwa yang isinya mengkafirkan al-Imam al-Bukhari, kerana dalam Kitab Shahih al-Bukhari beliau melakukan ta'wil terhadap ayat 88 surah al-Qashash “كل شيء هالك إلا وجهه أى إلا ملكه”, "tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah". (al-Qashash: 88)". “Maksud `illa wajhah, adalah `illa mulkahu (kecuali kerajaan-Nya)” (Shahih al-Bukhari).

Ketika ditanya tentang penakwilan seperti dalam Shahih al-Bukhari tersebut, al-Albani mengatakan: “هذا لا يقوله مسلم مؤمن”, “penakwilan seperti ini tidak akan dikatakan oleh seorang muslim yang beriman” (fatawa al-Albani, Pg. 523).

Dengan fatwanya ini, secara halus al-Albani berarti telah menilai al-Imam al-Bukhari kafir, tidak Islam dan tidak beriman. Tentu saja kita akan menyakini bahwa al-Iman al-Bukhari lebih mengetahui terhadap penafsiran al-Qur’an dan sunnah daripada al-Albani.

c) Membongkar Kubah Hijau:
Dalam kitabnya yang berjudul, Tahdzir al-Sajid min Iitikhadz al-Qubur Masajid muka surat 68, al-Albani mengajak kaum muslimin untuk membongkar al-qubbah al-khadra' (kubah hijau yang menaungi makam Rasulullah SAW) dan mengajak mengeluarkan makam Rasulullah SAW dan makam sayyidina Abu Bakar dan sayyidina Umar ke lokasi luar masjid Nabawi. al-Albani menganggap posisi makam Rasulullah SAW dan kedua sahabat tercinta beliau, yang berada dalam lokasi Masjid Nabawi itu, sebagai sebuah fenomena penyembahan berhala (zhahirah watsaniyyah)- na'udzu billah min dzalik.

Tentu saja, ajakan al-Albani ini sebagai indikasi kebenciannya yang mendalam kepada Rasulullah SAW. Dengan pandangannya ini, berarti al-Albani telah menyalahkan dan menilai sesat seluruh umat Islam sejak generasi salaf yang saleh, yang telah membiarkan dan menganggap baik posisi makam Rasulullah SAW dan makam kedua sahabat beliau tercinta ini dalam lokasi Masjid Nabawi. Sementara para ulama telah bersepakat, bahwa orang yang berpendapat dengan suatu pendapat yang isinya mengandung penilaian sesat terhadap seluruh umat, maka hukumnya adalah kafir. Dalam hal ini, al-Hafiz al-Qadhi ‘Iyadl, al-Hafiz al-Nawawi dan al-Hafiz Ibn Hajar mengatakan: “وَكَذَا نَقْطَع بِكُفْرِ كُلّ مَنْ قَالَ قَوْلًا يُتَوَصَّل بِهِ إِلَى تَضْلِيل الْأُمَّة أَوْ تَكْفِير الصَّحَابَة”, “demikian pula kita memastikan kekafiran setiap orang yang berpendapat dengan suatu pendapat yang isinya mengandung penilain sesat terhadap seluruh umat atau pengkafiran terhadap sahabat”
(al-Hafizh al- Qadhi Iyadh, al-syifa vol. 2 Pg. 236; al-Hafizh al-Nawawi, Raudhat al-Thalibin vol. 8 Pg. 384; al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari vol. 12 Pg. 300).

d) al-Albani dan kepentingan Yahudi:
Suatu saat al-Albani mengelurkan fatwa yang isinya bahwa berkunjung kepada kelurga dan sanak saudara pada saat hari raya termasuk bid'ah yang harus dijauhui. Di saat yang lain al-Albani mengeluarkan fatwa yang isinya mengharuskan warga muslim Palestina agar keluar dari negeri mereka dan mengosongkan tanah Palestina untuk orang-orang Yahudi. Dalam hal ini al-Albani mengatakan: “إن على الفلسطينيين أن يغادروا بلادهم ويخرجوا إلى بلاد أخرى وإن كل من بقي في فلسطين منهم كافر”, “Warga muslim Palestina harus meniggalkan negerinya ke negara lain. Semua orang yang masih bertahan di Palestina adalah kafir” (Fatawa al-Albani, yang dihimpun oleh Ukasyah Abd al-Manan, Pg. 18).

Fatwa al-Albani yang kontroversial ini akhirnya meyulut reaksi keras dari berbagai kalangan melalui berbagai media massa di Timur Tengah. Sebagian pakar menganggap fatwa al-Albani membuktikan bahwa logika yang dipakai oleh al-Albani adalah logika Yahudi, bukan logika Islam, kerana fatwa ini sangat menguntungkan orang-orang Yahudi yang berambisi menguasai Palestina. Mereka menilai fatwa al-Albani ini menyalahi sunnah dan sampai tingkatan pikun bahkan Dr. Ali al-Fuqayyir, anggota dewan perwakilan rakyat Jordan menilai, bahwa fatwa ini keluar dari syaitan. Tentu saja fatwa al-Albani menjadi bukti kebenaran pernyataan al-'Utsaimin, bahwa al-Albani memang tidak memiliki ilmu pengetahuan sama sekali.

e) Fatwa-Fatwa al-Albani:
al-Albani tidak jarang mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial yang keluar dari al-Qur'an, Sunnah dan Ijmak kaum muslimin. Di antara fatwa-fatwanya yang dinilai controversial oleh para Ulama:
1. Mangharamkan memakai cincin, gelang dan kalung emas bagi kaum wanita.
2. Mengharamkan berwudhu dengan air yang lebih dari satu mud (sekitar satu liter) dan mengharamkan mandi dengan air yang lebih dari lima mud (sekitar tiga litur). Tetapi fatwa ini dilanggarnya sendiri. al-Albani pernah berwudhu di Masjid Damaskus dengan menghabiskan air yang tidak kurang dari 10 mud (sekitar 6 liter).
3. Mengharamkan solat malam melebihi 11 rakaat.
4. Mengharamkan memakai tasbih (penghitung) untuk berdzikir.
5. Melarang solat tarawih melibihi 11raka'at.

f) al-Albani dan Hadis:
Dewasa ini tidak sedikit di antara pelajar Ahlussunah Wal-Jama'ah yang tertipu dengan karya-karya al-Albani dalam bidang ilmu hadis, kerana belum mengetahui siapa sebenarnya al-Albani itu. Pada mulanya, al-Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari kegemaran ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadis dan ilmu agama yang lain kepada para Ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi Ulama salaf dan ahli hadis. Oleh kerana itu al-Albani tidak memiliki sanad hadis yang muktabar, kemudian ia mengaku sebagai pengikut salaf, padahal memiliki akidah yang berbeda dengan mereka, yaitu akidah Wahhabi dan tajsim.

Oleh kerana akidah al-Albani yang berbeda dengan akidah ulama ahli hadis dan kaum muslimin, maka hadis-hadis yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadis. Tidak jarang al-Albani menilai da'if dan maudhu' terhadap hadis-hasis yang disepakati keshahihanya oleh para hafiz, hanya dikeranakan hadis tersebut berkaitan dengan dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitabnya al-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu (Beirut: Maktab Islami, Pg. 128) al-Albani menda'ifkan hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh al-Darimi dalam al-Sunan-nya, dengan alasan dalam sanad hadis tersebut terdapat perawi yang bernama Sa'id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, al-Albani sendiri telah menilai Sa'id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan dan jayyid hadisnya yaitu dalam kitabnya Irwa' al-Ghalil, vol. 5 Pg. 338. Al-Albani mengatakan tentang hadis yang dalam sanadnya terdapat Sa'id bin Zaid, “Aku berkata, ini sanad yang hasan, semua perawinya dapat dipercaya, sedangkan perawi Sa'id bin Zaid yaitu saudara Hammad, ada pembicaraan yang tidak menurunkan hadisnya dari derajat hasan. Dan ibn al-Qayyim mengatakan dalam al-Furusiyyah bahwa ini hadis yang sanadnya jayyid”.

Contoh-contoh kecurangan dan kebohongan dalam menilai hadis tidak jarang dilakukan oleh al-Albani kerana kepentingan aliran Wahhabi yang dianutnya. Di antara ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhuh Syarh sunan Abi Dawud dan Fath al-Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafiz Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghumari dari Maroko; al-Muhaddits Mahmud Sa’id Mamduh dari mesir pengarang kitab Raf'u al-Manarah li-takhrij Ahadis al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A'zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti komisi tetap fatwa Wahhabi Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji, menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhamad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Jordan; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki dari Mekah; Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dari Najd yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing Ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani.

Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudl al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.