Thursday, July 12, 2007

Negara

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Negara Serta Tujuannya
Kata negara secara bahasa memiliki arti: suatu masyarakat yang menduduki kawasan tertentu dan diperintah oleh sebuah kerajaan. Ia juga dapat diartikan dengan kawasan yang di bawah kekuasaan kerajaan tertentu, seperti contoh 'Negara China' dan lain-lain.[1] Selain dari itu, negara dapat menjadi terjemahan dari kata-kata asing, yakni state yang diambil dari bahasa Latin yaitu status atau statum. Kedua kata ini lazim diartikan dengan standing atau station. Isitilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae.[2]
Negara secara terminologi pula adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, badan politik, atau sebagai institusi kepemerintahan.[3] Menurut Kranenburg, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi, terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari kelompok itu.[4]
Sedangkan menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa. Jadi, pertama-tama negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, maka organisasi ini memiliki suatu kewibawaan dalam mana terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi tersebut. Ini berbeda dengan organisasi yang tidak memiliki kuasa yang kuat seperti negara, contohnya adalah organisasi mahasiswa, dan lain-lain.[5]
Kesimpulannya, kalau menurut Kranenburg, negara ditubuhkan oleh bangsa-bangsa (kelompok manusia) sebagai primier negara, sedangkan negara adalah sekunder. Bagi Logemann pula, yang primier adalah organisasi kekuasaannya yaitu negara. Sedangkan kelompok manusianya adalah sekunder.[6]
Berdasarkan makna dari negara dengan sebuah organisasi kemasyarakatan atau kekuasaan, maka negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama, karena sebuah organisasi yang tidak memiliki kesepakatan bersama tidak mungkin dapat terus bertahan. Akan tetapi, apa tujuan sebuah negara sangatlah relatif dan tidak dapat ditentukan secara konkrit atau pasti. Ini disebabkan, sebuah tujuan pastilah sesuai dengan latar belakang sebuah negara dengan kebutuhan yang diperlukan. Seperti contoh, dahulu ada beberapa hal yang tidak menjadi tugas negara misalnya ekonomi. Akan tetapi, sekarang ekonomi menjadi tugas negara. Begitu juga dengan pendidikan. Dahulu pendidikan menjadi tugas individu, akan tetapi sekarang ia menjadi tugas individu juga negara, karena bangsa yang memiliki pendidikan yang rendah sangat mudah tereliminasi.[7]
Walau bagaimanapun, sebagian besar dari tujuan negara adalah sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata-mata sama ada dari segi daerah jajahan, maupun pengaruh atau ekonomi, seperti Pemerintahan Nazi German atau Amerika Syarikat;
2. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum, seperti pemerintahan yang menganut pada sistem demokrasi dan kedaulatan hukum;
3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum, seperti pemerintahan Uni Soviet, Kuba, China maupun pemerintahan sosialis lainnya, dan seperti Indonesia.[8]
Bagi Islam pula, tujuan sebuah negara adalah menuju kepada kemaslahatan dan kesejahteraan sosial dengan jalan syari'at Islam sebagai pedoman menuju pada kemaslahatan.[9] Konsep ini hanpir sama dengan sistem teokrasi yang dipelopori Thomas Aquinas dan Agustinus. Menurut sistem ini, tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Sedangkan pemimpin menjalankan kekuasaannya hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepadanya.[10]
B. Sistem Pemerintahan
Setiap negara memiliki sistem tersendiri dalam menjalankan roda kepemerintahannya. Sebut saja sistem yang dianut Indonesia dan Thailand maupun Malaysia. Walaupun kedua negara ini bertetangga, akan tetapi sistem yang dianut banyak terdapat perbedaan. Kalau di Indonesia, sistem kepemerintahannya menganut pada sistem demokrasi yang meletakkan legitimasi kekuasaannya pada rakyat atau dapat disebut dengan kedaulatan rakyat yang meletakkan amanatnya pada konstitusi atau parlimen (MPR).
Sedangkan Thailand, begitu pula Malaysia, mengadopsi sistem kerajaan Inggris Raya (Great Britain); dengan sistem monarki serta kekuatan konstitusi parlimen (demokrasi). Sistem ini mengakui kedaulatan raja, juga meletakkan roda kepimpinan pada kekuatan parlimen dengan sistem demokrasi melalui Perdana Menteri (Prime Minister). Jadi, kekuatan roda kepemerintahan seorang Perdana Menteri dapat dikawal oleh Raja di bawah konstitusi. Sedangkan roda kepemerintahan tetap dijalankan Perdana Menteri karena ia sebagai hasil dari sistem demokrasi yang memilihnya. Dalam hal ini, seorang Raja dapat melakukan pencopotan terhadap Perdana Menteri, begitu juga dapat memberi amnesti terhadap pelaku kriminal. Akan tetapi, seorang raja tidak berhak untuk memerintah dengan alasan demokrasi. Kejadian ini dibuktikan sejarah dengan kudeta di Thailand.
Sistem pemerintahan dapat dibagi menjadi tiga jenis:
Monarki: Kata monarki merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu momos yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Monarki adalah sebuah sistem kepemerintahan yang dipegang hanya oleh satu orang, atau kedaulatan bagi satu orang. Biasanya, orang yang memegang pucuk kepimpinan ini disebut dengan sebutan Raja (King) atau Emperor.[11] Sistem ini, menurut kebanyakan ahli filsafat adalah sebuah sistem yang bersifat tirani.[12] Akan tetapi, Islam justru lebih dekat dengan sistem ini, karena melihat pada tujuan negara sendiri yaitu untuk maslahat. Seumpama sebuah negara memiliki lebih dari satu pemimpin, dikhawatirkan terdapat perbenturan kebijaksanaan. Para ulama mengambil dasar dari Surah al-Anbiyâ', ayat 22: "لَوْ كَانَ فِيهِمَا ءَالِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ". Dari pernyataan ini, seorang Raja pada dasarnya memiliki kekuasaan mutlak. Untuk mengantisipasi dari kezaliman, maka Islam meletakkan konsep kedaulatan hukum (Syari'at) sebagai aturan kepemerintahan. Inilah alasan mengapa kebanyakan negara Islam seperti Umayyah, Abbasiyyah, Ottoman, Saudi Arabia, dan Brunei memilih sistem monarki.[13]
Demokrasi: Asal nama dari demokrasi adalah dari bahasa Yunani "dēmokratiā " yaitu ''dēmos" (Rakyat) dan "kratos" (Memerintah). Sistem demokrasi adalah merupakan bentuk negara yang pimpinan (pemerintah) tertinggi negara terletak di tangan rakyat. Dalam bentuk negara yang demokratis, rakyat memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan.[14] Sistem ini adalah yang paling terkenal pada zaman ini. Hampir semua negara menganut sistem ini. Ini disebabkan, adanya demokrasi menganut pada pilihan rakyat yang diyakini sebagai perkara yang paling adil dan benar. Sistem menentukan apa yang menjadi pilihan rakyat biasanya dengan sistem pemilihan umum, dalam memilih perwakilan rakyat di parlimen. Dengan parlimen inilah nantinya akan menentukan seorang presiden atau pemimpin tertinggi.[15] Pemimpin tertinggi ini bertanggung jawab untuk memerintah dan menyelesaikan permasalahan negara dengan kebijakan darinya dan orang yang ia percayai. Sedangkan parlimen memiliki kekuasaan untuk merubah dan menetukan undang-undang negara serta mengamat presiden agar tidak terjadi tirani, dan penyalahgunaan kekuasaan. Akan tetapi, banyak juga tirani terbentuk dari demokrasi, seperti pemerintahan Adolf Hitler (Nazi German), Suharto (Golkar pra reformasi), Idi Amin (Mantan Presiden Uganda). Pemimpin ini pada awalnya disukai rakyat, akan tetapi, pada akhirnya menjadi pemimpin yang tirani dan menindas siapa saja yang bercanggah dengannya. Banyak juga negara yang menganut sistem demokrasi, akan tetapi tidak sanggup mengeluarkan negaranya dari krisis seperti Indonesia, Filipina, dan lain-lain. Seperti Indonesia, yang sangat mendewakan demokrasi, terbukti setelah melakukan perubahan pucuk pimpinan berkali-kali tetap tidak mampu keluar dari reformasi. Dapat dilihat secara nyata, Indonesia setiap harinya penuh dengan demonstrasi yang terkadang demonstrasi tersebut tidak diperlukan. Kadang pemerintah atasan sudah berfikir lebih jauh daripada gerakan-gerakan rakyat atau mahasiswa yang terus menentang pemerintah. Indonesia belum pernah memiliki seorang pemimpin yang naik secara positif, dan turun juga secara positif. Presiden Sukarno naik secara positif, akan tetapi dilengser oleh rakyat (negatif). Begitu juga Presiden Suharto. Presiden B.J. Habibie naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Presiden Suharto (dianggap negatif karena kenaikannya bukan pilihan rakyat), baru turunnya secara positif. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), naik secara positif, akan tetapi dilengser MPR (negatif). Presiden Megawati naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Abdurrahman Wahid (negatif), turun secara positif. Apakah Presiden Susilo Bambang Yudohono yang naiknya secara positif turunnya juga positif? Kenyataan yang dapat dilihat adalah mahasiswa masih saja tetap berdemonstrasi meminta Presiden Susilo Bambang Yudohono untuk turun.
Pada dasarnya, Islam tidak menentukan sistem manakah yang dianut, akan tetapi, Islam secara tegas menuntut sebuah negara untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Ini sesuai dengan kaedah fiqh "تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة".[16] Jadi, bagi sebuah negara, untuk mencapai kemaslahatan yang terbaik baginya adalah monarki, maka sistem itulah yang dianut. Jika yang terbaik adalah demokrasi, maka demokrasilah yang dianut sesuai dengan kelebihan dan kekurangannya.[17]
C. Relasi Antara Negara dan Agama
Menurut teori teokrasi,[18] sebuah negara itu diibaratkan sebagai sebuah perkara yang tidak dapat dipisahkan dengan agama. Maka dari itu, segala sesuatu haruslah berdasarkan pada agama. Seperti contoh, pemerintahan Paus (Papal State). Segala undang-undang di negara ini merujuk pada Kitab Suci Injil.[19]
Sedangkan menurut teori Sekuler, bahwa negara dan agama itu tidak ada hubungan sama sekali. Negara adalah urusan yang berhubungan antara manusia dengan manusia itu sendiri. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan ini, kedua perkara ini tidak dapat disatukan. Maka dari itu, setiap kebijakan yang ditentukan untuk menyikapi sebuah masalah dalam negara haruslah ditentukan dengan kesepakatan antara para ahli, bukanlah berdasarkan firman-firman Tuhan, meskipun keputusan tersebut bertentangan dengan firman Tuhan.[20] Teori ini berkembang pesat pada abad ke XVI yaitu pada zaman renaissance.[21]
Menurut teori Komunisme,[22] yang dipelopori Karl Marx dan Lenin beranggapan bahwa negara dan agama berdasarkan pada filosofis materialisme-dialektis dan materialisme-historis. Paham ini akan menimbulkan paham atheis (tidak ada Tuhan). Paham ini mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat yang digambarkan sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Maka dari itu, paham ini berpendapat bahwa agama harus ditahan dan dilarang. Nilai tertinggi bagi negara adalah materi, karena manusia pada hakikatnya adalah materi.[23]
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Islam tidak pernah mengatur sistem pemerintahan yang baku. Tegasnya, Islam hanya menuntut agar umat muslim melaksanakan syari'at dan pemerintahan memberikan yang terbaik bagi rakyat. Maka dari itu, menurut penulis, hubungan antara negara dan agama menurut Islam adalah sangat reletif. Seumpama sebuah negara hanya dapat memberikan yang terbaik bagi rakyat, serta dapat memberi peluang bagi umat muslim untuk menjalankan syari'at dengan meletakkan posisi negara sebagai negara sekuler, maka itulah yang menjadi kewajiban bagi negara tersebut di sisi Islam.[24] Seperti contoh Indonesia, yang seumpama menjadikan negara Islam bagi NKRI, maka dikhawatirkan terjadi konflik berkepanjangan yang justru akan membuat umat muslim tidak bebas melaksanakan kewajibannya.
Ini berbeda dengan Kerajaan Saudi Arabia pula, yang seumpama menjadikan ia sebagai negara sekuler, justru akan menyebabkan kerusakan terhadap tanah suci yang dikhawatirkan kalau berhaluan non muslim akan berakibat hilangnya nilai-nilai moral Islamis.
KESIMPULAN
Negara adalah sebuah organisasi kekuasaan yang tertinggi daripada organisasi kekuasaan yang lain, seperti organisasi mahasiswa, LSM, dan organisasi-organisasi yang lain. Dengan kekuasaan yang tinggi ini, negara diharapkan dapat memberikan yang terbaik bagi rakyat, karena itulah tujuan terbentuknya negara itu. Seumpama negara gagal dalam memberikan terbaik bagi rakyatnya, maka secara otomatis, negara tersebut disebut sebagai negara yang jelek, dan harus untuk direformasi bentuknya.
Maka atas dasar itu, terbentuklah beberapa teori tentang negara, mulai dari sistemnya, sampailah apa saja yang berhubungan dengannya. Dalam menyikapai, teori mana yang terbaik, perdebatan antara ahli tidaklah dapat dibendung. Akan tetapi, faktor empiris telah berbicara; bahwa segala sesuatu itu tergantung pada situasi dan bagaimana sebuah negara menjalankannya. Seperti monarki terbukti dapat memberikan yang terbaik bagi Brunei, yang mungkin saja seumpama memakai sistem demokrasi seperti Indonesia malah membuat ia menjadi kacau. Begitu juga dengan Indonesia, yang seumpama mengadopsi sistem monarki akan mengakibatkan munculnya gerakan sparatis sebagai dampak dari negara yang multi kultural dan multi etnis.Selanjutnya, perbicaraan antara agama dengan negara juga menjadi sebuah tema yang sangat dialektis. Ini mengacu pada munculnya zaman renaissance di Eropa yang memisahkan kekuasaan Paus terhadap negara-negara Eropa yang memiliki Raja sejak dahulu. Sedangkan Islam sendiri, awal berdirinya memang identik dengan mensatukan agama dengan negara. Akan tetapi, Islam juga tidak secara jelas mewajibkan untuk membentuk sebuah negara yang mensatukan kepala negara dengan agama, seperti apa yang dipercayai oleh kaum Katolik (Paus adalah wakil Tuhan di bumi). Yang jelas dalam Islam, nilai-nilai keislamanlah yang diwajibkan bagi seluruh umat muslim. Maka dari itu, negara Islam bukanlah tujuan, akan tetapi hanya wasilah. Sedangkan wasilah bisa dengan bentuk apapun selagi tidak menyalahi aturan mestinya.
[1] Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Ampang: Dawama, 2005), 1074.
[2] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 41.
[3] "State", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006).
[4] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 142.
[5] Ibid., 143.
[6] Ibid., 142-143.
[7] Ibid., 147-148.
[8] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 43.
[9] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29; Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinbutgh University Press, 2004), 263.
[10] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 44.
[11] Ibid., 58; "Monarchy", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006).
[12] Sebuah sistem yang akan menjurus pada kekejaman dan keterbatasan, karena diperintah secara mutlak oleh satu orang tanpa ada yang berada di atasnya.
[13] Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinbutgh University Press, 2004), 263; Ali bin Muhammad al-Mâwardî, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn (Beirut: Dâr Maktabah al-Hayyât, t.t.), 137.
[14] Robert A. Dahl, "Democracy", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006); Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 58.
[15] Ini adalah bentuk pemilihan yang banyak diikuti negara demokrasi seperti Malaysia, dan lain-lain. Akan tetapi, banyak juga negara yang memiliki bentuk lain dalam pemilihan presiden yaitu dengan pemilihan langsung, seperti Amerika Syarikat, Indonesia, dan lain-lain.
[16] Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh (Kediri: Purna Siswa III Aliyah, 2005), 75-87.
[17] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29.
[18] Teori ini pertama kalinya dipelopori Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Teori ini berkembang antara abad ke V sampai abad ke XV. Lihat: Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 152.
[19] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 59.
[20] Ibid., 60.
[21] Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), 68.
[22] Komunisme adalah sebuah ideologi yang mengajarkan bahwa tidak ada hak pribadi terhadap harta. Semua material dimiliki sepenuhnya oleh negara atau komunitas tersebut, dan diberi kepada setiap individu sesuai dengan kebutuhannya, bukan sesuai dengan berapa yang ia memproduktif. Jadi, Komunisme adalah sebuah paham negara yang mensejajarkan seluruh rakyatnya sebagai satu tahap atau sama antara satu dengan yang lain. Konsep ini menghapus perbedaan tahap kehidupan sosial seperti adanya golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah. Ideologi ini muncul akibat dari sistem kapitalis yang merajalela, dan dipercaya bahwa sistem komunis ini mampu untuk merubah taraf kehidupan menjadi lebih baik. Lihat: "Communism", Encyclopædia Britannica 2006 (DVD-ROM: Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite DVD, 2006)
[23] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 60.
[24] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma (t.t.: t.p., t.t.), 29; Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 62.

Wednesday, July 4, 2007

Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Rakyat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebuah negara itu adalah sebuah organisasi kekuasaan. Sebuah organisasi merupakan tata kerja daripada alat-alat perlengkapan negara. Sebuah teori modern yang dikemukakan oleh Kranenburg dan Logemann berpendapat bahwa negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan.
Dalam proses berkerja untuk menuju tujuan dari setiap negara pastilah memerlukan sebuah legimitasi kekuasaan. Pertanyaan sekarang ini adalah apakah sebuah kekuasaan dalam sebuah negara itu dimiliki oleh Tuhan? Atau pemimpinkah yang memiliki kekuasaan tersebut? Atau mungkin rakyatkah yang memiliki kekuasaan tersebut?
Setelah mengetahui lebih dalam mengenai legimitasi kekuasaan, penelitian tentang kenyataan pemerintah yang wujud sekarang berdasarkan ideologi masing-masing haruslah kita dalami juga, demi mengaplikasikan sebuah konsep tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari sini, dapat dirumuskan bahwa pembahasan kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat dapat dipisahkan menjadi beberapa masalah:
1. Definisi Daulat Secara Luas dan Pemerintahan yang Berdaulat
2. Pengertian dan Sejarah Pemerintahan yang Berdaulatkan Tuhan
3. Pengertian dan Sejarah Pemerintahan yang Berdaulatkan Rakyat
4. Sebuah Kritikan Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Rakyat

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Daulat Secara Luas dan Pemerintahan yang Berdaulat
Kata daulat dalam bahasa Indoensia berasal dari bahasa Arab yaitu daulah (الدولة). Dalam bahasa Inggris adalah sovereignty yang diambil dari kata superanus dari bahasa Latin, sedangkan dalam bahasa Prancis adalah souvereineiteit[1]. Dalam bahasa Indonesia, daulat berarti kekuasaan. Kedaulatan pula mempunyai arti: kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara atau daerah. Seperti contoh "Kedaulatan negara itu telah lama diakui oleh dunia internasional".[2] Dalam bahasa Arab, kata daulah berarti kekuasaan seorang imam (presiden) atau khalifah pada wilayah kekuasaan, kewajiban-kewajiban (kebijakan yang menjadi kewajibannya), dan hak-haknya.[3] Dalam bahasa Inggris, kata sovereignty adalah kekuatan yang sempurna untuk memerintah sebuah negara.[4]
Dari pengertian makna, kita dapat memahami bahwa daulat adalah sebuah kata yang sangat penting bagi sebuah objek, sama ada bagi negara, bangsa maupun kepimpinan. Sebuah negara tanpa daulat berarti sama dengan negara yang tanpa maruah, karena negara tanpa kekuasaan sendiri itu tidak ada gunanya. Sebuah bangsa tanpa berdaulat berarti bangsa tersebut tidak memiliki kuasaan untuk menentukan nasib mereka, malah bisa ditindas dan dipaksa untuk melakukan sebuah kebijakan atau sebuah keputusan. Kepimpinan tanpa berdaulat berarti seorang pemimpin yang tidak memiliki kekuasaan atas sesuatu yang dipimpin. Ini dapat diibaratkan seperti kepimpinan yang hanya sebuah patung puppet.[5]
Seorang filosofis Perancis pada abad ke 16: Jean Bodin[6] memberi makna dari "souvereineiteit" dengan "the distinctive mark of the state is supreme power. This power is unique; absolute, in that no limits of time or competence can be placed upon it; and self-subsisting, in that it does not depend for its validity on the consent of the subject"[7] yang mana terjemahannya adalah "Kekuasaan tertinggi untuk menentukan sesuatu dalam suatu negara, yang sifatnya: Tunggal, tidak terbatas; dari segi waktu mahupun kekuasaan yang lain, asli; yang bermaksud tidak memerlukan kekuasaan lain dalam membentuk sebuah daulat tersebut". Dari makna yang diberi oleh Jean Bodin ini terdapat empat poin yang harus difahami lebih dalam:
a. Tunggal (Unique): kekuasaan tersebut merupakan satu-satunya kekuasaan yang tertinggi dalam negara dan tidak ada kekuasaan lain yang setara dengannya.
b. Tidak ada batas dari kekuasaan lain (Absolute 1): Kekuasaan tersebut itu tidak dibatasi dari segi kekuasaan yang lain.
c. Abadi (Absolute 2): Kekuasaan tersebut tetap (tidak dibatasi waktu) selama negara itu masih wujud, walaupun pemimpinnya silih berganti.
d. Asli (self-subsisting): Kekuasaan tersebut bukan dari kekuasaan yang lain.
Sedangkan jenis kedaulatan itu ada 2: a. Kedaulatan dalaman (interne-souvereiniteit). b. Kedaulatan luaran (externe-souvereiniteit).[8] Kedaulatan dalaman adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki sebuah pemerintahan dalam menentukan roda pemerintahannya meliputi hukum, kebijakan dan lain-lain yang berkaitan dengannya. Kalau kedaulatan luaran adalah pemerintah yang berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuatan lain dalam menentukan kebijakannya yang berkaitan dengan urusan negaranya.
Teori kedaulatan selanjutnya dibagi menjadi beberapa jenis. Teori yang paling dominan adalah kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat.
B. Pengertian dan Sejarah Pemerintahan yang Berdaulatkan Tuhan
Seperti yang telah diterangkan di atas, kata kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Apabila kata daulat itu disandarkan pada kata Tuhan, maka ia mempunyai arti kekuasaan tertinggi adalah Tuhan.[9] Pemerintahan yang berdaulatkan Tuhan adalah sebuah pemerintahan yang meletakan pucuk kekuasaannya pada Tuhan.
Teori kedaulatan Tuhan adalah sebuah teori yang dikemukakan tokoh penganut-penganut teori teokrasi.[10] Sebagian dari mereka adalah Augustinus (354-430 M)[11], Thomas Aquinas (1225-1274 M)[12] dan Marsilius (1280-1343 M)[13]. Pendapat mereka sebenarnya sama. Tuhan ditetapkan sebagai pemilik kekuasaan yang tertinggi. Akan tetapi persoalan yang diperdebatkan adalah siapa di dunia ini yang mewakili Tuhan, Raja ataukah Paus[14]?
Agustinus adalah orang yang paling awal memberi gagasan ini. Beliau berpendapat bahwa Paus adalah orang yang mewakili Tuhan di dunia, atau bisa dimaksud dengan di suatu negara. Pemikiran beliau ini tertulis di dalam sebuah karya tulisnya yang berjudul City of God (Kerajaan Tuhan).[15]
Selanjutnya, datanglah Thomas Aquinas dengan teori baru dalam kadaulatan Tuhan. Beliau mengemukakan sebuah teori bahwa kekuasaan raja dan Paus itu sama, hanya saja perbedaannya berada ditugasnya yaitu raja di lapangan keduniawian, sedangkan Paus di lapangan keagamaan.[16]
Perkembangan selanjutnya adalah teori yang dibawa oleh Marsilius. Marsilius mengajarkan teori baru yaitu kekuasaan tidak dimiliki seorang Paus, akan tetapi dimiliki negara atau raja. Menurut ajaran Marsilius, raja adalah wakil daripada Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia ini.[17]
Teori kedaulatan Tuhan ini berkembang pada abad ke 5 M sampai abad ke 15 M. Perkembangan teori ini berjalan bersama dengan perkembangan agama baru pada masa itu, yaitu agama Kristen, yang diorganisir pihak gereja yang dikepalai oleh Paus. Pada masa itu, negara-negara Eropa dijalankan oleh dua organisasi kenegaraan, yaitu pihak gereja yang dikepalai oleh Paus, dan pihak negara yang dikepalai oleh raja-raja sesuai dengan daerah masing-masing. Ini disebabkan oleh agama Kristen adalah agama resmi negara-negara di Eropa pada masa itu setelah perjuangan yang kuat dari pihak gereja dalam menyebarkan agama Kristen melawan kepercayaan patheisme atau paganisme yang dipegang oleh raja-raja yang menganggap bahwa Kristen mengancam kewibawaan raja.
Pada saat Kristen sukses menjadi agama resmi negara-negara di Eropa, gereja pun mulai mendapat kekuasaan dalam mengatur negara, bukan saja urusan keagamaan, akan tetapi urusan keduniawian juga. Maka tidaklah jarang terjadi dua peraturan dalam satu hal. Satu peraturan dari raja, dan kedua peraturan dari gereja. Selama peraturan tersebut tidak berbenturan, maka tidak menjadi masalah. Tetapi, apabila kedua peraturan itu saling bertentangan, maka barulah timbul persoalan, peraturan manakah yang patut dipatuhi. Maka peraturan yang paling tinggilah yang akan diberlakukan. Persoalan inilah juga yang menjadi penyebab munculnya perdebatan soal kedaulatan Tuhan.[18]
Selanjutnya, dengan munculnya teori yang dibawa oleh Marsilius, pemerintahan di Eropa menjadi berubah. Dulunya sebuah pemerintah yang sangat menghormati pihak gereja Catolik Roma, sekarang berubah menjadi pemerintahan yang diperintah oleh raja yang kekuasaannya digerakkan dengan cara absolut. Karena seorang raja tidak merasa bertanggung jawab kepada siapa pun kecuali Tuhan. Mereka merasa berhak untuk melakukan apa saja. Kenyataan ini terlihat jelas pada zaman renaissance.[19]
C. Pengertian dan Sejarah Pemerintahan yang Berdaulatkan Rakyat
Kedaulatan yang berarti kekuasaan tertinggi apabila disandarkan pada kata rakyat itu mempunyai arti kekuasaan tertinggi bagi negara adalah rakyat. Salah satu pengemuka konsep kedaulatan rakyat adalah J.J. Rousseau (1712-1778 M).[20]
Dalam bukunya yang berjudul "Du contrat social", dia mengajarkan bahwa setiap individu-individu melalui perjanjian bersama antara mereka membentuk sebuah masyarakat (social contract).[21] Kepada masyarakat inilah para individu itu menyerahkan kekuasaannya, selanjutnya masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaan tersebut kepada raja atau seorang pemimpin. Jadi, seorang raja atau pemimpin itu mendapatkan kuasanya dari individu-individu tersebut.[22]
Menurut konsep ini, individu-individu itu mendapat kekuasaan dari hukum alam (natural law).[23] Oleh karena raja atau pemimpin itu mendapatkan kekuasaan dari rakyat, maka dengan demikian, rakyatlah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi. Sedangkan raja itu hanya merupakan pelaksana dari apa yang telah diputuskan atau dikehendaki oleh rakyat.[24]
Kata rakyat yang dimaksud bukanlah setiap individu (perorangan) di sebuah negara, akan tetapi adalah sebuah kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu tersebut, dan kesatuan itu memiliki kehendak yang mana diperoleh dari individu-individu tersebut melalui perjanjian masyarakat (social contract). Kehendak ini disebut dengan kehendak umum (volonté générale). Alasan kenapa yang dimaksud itu kehendak umum yang diambil dari kehendaknya kesatuan tadi adalah karena kalau yang diambil adalah kehendak individu-individu itu, maka kehendak yang ada bukanlah kehendak umum, melainkan kehendak individu (volonté de tous).[25]
Apabila kepemimpinan sebuah negara itu dipegang oleh kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu tadi, maka kehendak mereka disebut dengan "volonté de corps" (kehendak kesatuan/kumpulan orang). Hasil kehendak umum akan jatuh bersamaan dengan kehendak kesatuan tadi. Apabila kepimpinan tersebut dipegang oleh satu orang, yang mana orang ini memiliki kehendak tersendiri (volonté particuliére), maka kehendak umum akan jatuh bersamaan dengan kehendak tersendiri itu. Kesimpulannya, sebuah negara itu harus dipegang oleh rakyat atau ada perwakilan dari rakyat, agar kehendak umum itu dapat diwujudkan.
Inti dari kedaulatan rakyat adalah membentuk sebuah sistem kepemerintahan yang mampu mewujudkan kehendak umum. Terserah sistem apapun yang digunakan, jika memang kehendak umum dapat dijalankan, maka istilah kedaulatan rakyat itu wujud di sebuah negara itu. Maka bisa juga dikatakan, bahwa kedaulatan rakyat tidak lain adalah volonté générale.[26]
Sejarah munculnya teori ini adalah sebuah dampak dari teori kedaulatan raja dan kedaulatan negara, karena pada zaman sedang maraknya kedaulatan raja dan negara, banyak dari kalangan raja-raja yang melakukan penindasan pada rakyat kecil. Dengan munculnya teori kedaulatan rakyat, maka raja atau pemimpin tidak dapat lagi sewenang-wenangnya menindas rakyat kecil.
Kaum monarkomaken[27] yang dipelopori oleh Johannes Althusius (1557-1638 M) adalah yang paling awal mengerakkan usaha pemberantasan ini. Dia mengajarkan bahwa kekuasaan raja bukanlah kehendak Tuhan akan tetapi atas kekuasaan rakyat, dan kekuasaan itu diperoleh dari hukum alam (natural law). Ajaran beliau ini yang nantinya diadopsi oleh J.J. Rousseau yang memuat teori kedaulatan rakyat seperti keterangan di atas.
Salah satu pendahulu Johannes Althusius adalah Martin Luther (1483-1546 M). Martin Luther memperjuangkan perlawanan terhadap gereja, karena menurutnya gereja telah mengunakan nama kitab suci demi mengumpulkan kekayaan. Dialah yang menciptakan sebuah aliran baru dalam agama Kristen yang disebut dengan protestan. Keberaniannya dalam melawan gereja Catolik inilah yang nantinya diikuti oleh reformis-reformis seperti Philipp Melanchthon (1497-1560 M), Huldrych Zwingli (1484-1531 M) dan Jean Chalvin (1509-1564 M) yang akhirnya sampai pada Johannes Althusius.[28]
Sekarang teori kedaulatan rakyat lebih dikenal dengan demokrasi.[29] Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kedaulatan rakyat bukan berarti demokrasi, hanya saja demokrasi seharusnya memiliki kedaulatan rakyat, karena demokrasi adalah sejenis sistem pemerintahan yang mengandung kedua kedaulatan, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
D. Sebuah Kritikan Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Rakyat
Kritik adalah kata yang diambil dari bahasa Inggris "criticism" yang berarti sebuah expresi seseorang pada sesuatu masalah tentang positif atau negatifnya perkara tersebut.[30] Dapat disimpulkan bahwa sebuah kritik bukanlah harus mempunyai arti negatif, akan tetapi positif juga bisa. Contohnya adalah kata seseorang "Artis tersebut mengkritik baju tersebut. Dia mengatakan bahwa baju tersebut sesuai untuk semua musim". Jadi, anggapan kebanyakan orang yang mengartikan kata kritik itu negatif adalah sebuah pemikiran yang salah. Tema "Sebuah Kritikan Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Rakyat" mempunyai arti sebuah penilaian teori kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat.
Teori kedaulatan Tuhan terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang ada di teori ini adalah dengan adanya kepercayaan bahwa seorang raja atau Paus adalah wakil Tuhan, maka secara otomatis, rakyat yang percaya dengannya secara yakin akan mematuhi perintah yang mewakili Tuhan. Tuhan adalah sebuah zat yang sakral dan dipercayai sangat sulit untuk ditandingi. Ideologi ini akan membuat seorang pemimpin dengan mudah dapat mengatur rakyat sesuai dengan maslahat yang diperlukan. Seperti contoh: pada perang dunia ke 2, rakyat Jepang rela mati berperang demi kaisar mereka, karena menurut mereka kaisar adalah anak Tuhan.[31]
Kekurangannya adalah apabila orang yang diyakini wakil Tuhan di dunia ini melakukan kezaliman (tidak adil), maka rakyat yang dizalimi akan sengsara. Kesengsaraan adalah sebuah perkara yang salah dan harus diberantas. Dalam Islam memang mengajarkan untuk melawan kezaliman, karena kezaliman itu dilarang di dalam Islam.[32] Kekurangan lain adalah dikhawatirkan keluhan rakyat tidak bisa sampai pada pemimpin, seperti kemungkinan seorang rakyat itu terlalu menghormati sehingga tidak berani melaporkan keluhannya karena takut kualat.[33]
Teori kadaulatan rakyat juga terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari teori ini adalah seorang rakyat dapat memberitahukan pada pemerintah keluhan-keluhan yang dirasakan. Dia juga mampu menentukan siapa pemimpin yang dia inginkan. Dengan ini semua inspirasi rakyat dapat tertampung sebagai proses menuju kesejahteraan. Kelebihan lain adalah dengan adanya kedaulatan rakyat, kezaliman dapat diberantas karena yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Jadi, jika pemimpin ingin melakukan kezaliman, maka pemimpin tersebut dapat dilengserkan menurut teori.
Kekurangan yang terdapat dalam teori ini adalah dengan adanya pucuk kekuasaan diserahkan pada rakyat, maka dikhawatirkan sulit untuk memerintah. Contohnya apabila terjadi perang dengan negara jiran, dan seumpama rakyat di negara tersebut menolak untuk berjuang dan memilih untuk mengungsi, maka kedaulatan negara tersebut akan dirampas oleh kekuasaan lain. Ini adalah salah satu dari penghinaan terhadap negara yang berdaulat, karena pemerintah tidak berkuasa untuk mengumpulkan kekuasaan yang dimilikinya demi membrantas kezaliman dari pihak luar.
Kekurangan lain adalah kalau rakyat yang memiliki kekuasaan tersebut, sedangkan mereka bukanlah orang yang benar-benar mengerti secara dalam tentang ilmu politik dan filsafat, lalu mereka menghendaki sebuah kebijakan yang sebenarnya secara realita akan menjejaskan kemakmuran negara, maka pemerintah yang memerintah pasti kesulitan untuk memberi kebijakan yang terbaik untuknya. Ini dibuktikan pada negara-negara yang melakukan sistem demokrasi bebas yang rakyatnya masih banyak tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk berfikir lebih jauh tentang kemaslahatan negaranya. Contohnya adalah Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya. Dapat dilihat secara nyata, Indonesia setiap harinya penuh dengan demonstrasi yang terkadang demonstrasi tersebut tidak diperlukan. Kadang pemerintah atasan sudah berfikir lebih jauh daripada gerakan-gerakan rakyat atau mahasiswa yang terus menentang pemerintah. Indonesia belum pernah memiliki seorang pemimpin yang naik secara positif, dan turun juga secara positif. Presiden Sukarno naik secara positif, akan tetapi dilengser oleh rakyat (negatif). Begitu juga Presiden Suharto. Presiden B.J. Habibie naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Presiden Suharto (dianggap negatif karena kenaikannya bukan pilihan rakyat), baru turunnya secara positif. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), naik secara positif, akan tetapi dilengser MPR (negatif). Presiden Megawati naik secara terpaksa sebagai dampak dari lengsernya Abdurrahman Wahid (negatif), turun secara positif. Apakah Presiden Susilo Bambang Yudohono yang naiknya secara positif turunnya juga positif? Kenyataan yang dapat dilihat adalah mahasiswa masih saja tetap berdemonstrasi meminta Presiden Susilo Bambang Yudohono untuk turun.
Kekurangan lain adalah apabila rakyat secara mayoritas ingin melegalkan sesuatu yang dianggap negatif (seperti pornografi, prostitusi, narkoba dan atheisme), maka pemerintah tidak dapat menghalangi ini. Dengan ini, negara akan menjurus kepada kesesatan yang membawa kepada negatif moral etika dan moral kepercayaan. Dampak dari permasalahan ini sangat berbahaya karena akan membawa negara menjadi tidak stabil dari segi moral, dengan tanpa moral maka negara akan terjerumus pada kriminalitas.
Negara yang ideal adalah negara yang dapat mensatukan teori kedaulatan Tuhan dan rakyat sesuai dengan konteks yang diperlukan dan membuang yang tidak diperlukan. Contohnya, kedaulatan Tuhan dimasukkan demi suatu kenyataan akan wujudnya Tuhan sebagai pencipta alam dan membangkitkan nilai-nilai keimanan dengan menghilangkan kepercayaan bahwa raja atau seorang pemimpin adalah wakil Tuhan yang bebas melakukan apa saja sesuai dengan kemauannya tanpa ada batas. Akan tetapi, seorang pemimpin – sama ada berupa perorangan (monarki) atau kesatuan (parlimenter) – dalam menentukan kebijakan dan hukum haruslah yang sesuai dengan nilai-nilai agama, sebagai kewajibannya seorang hamba Tuhan.[34] Dengan kata lain, kedaulatan Tuhan yang dikonsepkan oleh ahli filosofis Barat tadi harus dirubah dengan pemahaman bahwa manusia, begitu juga pemimpin adalah wakil Tuhan di bumi, akan tetapi manusia begitu juga pemimpin tersebut tetap berkewajiban untuk mematuhi aturan Tuhan. Konsep Islam juga bertentangan dengan pemikiran kedaulatan rakyat yang murni seperti keterangan di atas, karena Islam juga mewajibkan adanya kepimpinan bagi sebuah kumpulan dalam bentuk apa saja, dan berkeyakinan, segala yang memimpin adalah wakil Tuhan di bumi.[35] Hanya saja, walaupun orang tersebut adalah wakil Tuhan di bumi, bukan berarti orang tersebut dibenarkan untuk tidak mematuhi perintah Tuhan.
Alasan di balik konsep Islam yang memerintahkan kedaulatan Tuhan seperti keterangan di atas adalah agar seorang pemimpin waktu memerintah dapat benar-benar efektif dalam memberi sebuah kebijakan, yang menurutnya itu adalah yang terbaik dengan syarat tidak berseberangan dengan hukum Tuhan. Disebabkan, jika kebijakan seorang pemimpin banyak terdapat halangan seperti demonstrasi dan lain-lain, ini dikhawatirkan kebijakan tersebut tidak bisa berjalan. Contohnya adalah bolehnya seorang pemimpin mengkarantina rakyatnya yang terkena penyakit kusta walaupun rakyat tersebut menolak, karena itu yang paling maslahat dengan syarat, segala kebutuhan rakyat yang dikarantina tersebut terpenuhi.[36] Seumpama kebijakan ini ditentang oleh rakyat banyak, maka pemerintah sulit mencari solusi melawan penyakit wabah. Akan tetapi, harus ada usaha membuang teori bahwa segala perintah pemimpin harus ditaati, seperti perintah pemimpin yang zalim yang mana dia merampas harta rakyat secara paksa tanpa sebab yang sesuai hukum. Contohnya adalah perampasan tanah para petani secara paksa tanpa ada imbal balik yang sesuai. Seperti yang diterangkan di atas, selagi perintah tersebut tidak berseberangan dengan hukum Tuhan maka selagi itu wajib kita patuhi.[37] Kesimpulannya, pemerintahan yang absolut (seperti monarki) tidak menjadi masalah asalkan tidak bertentangan dengan hukum Tuhan dan itu adalah yang paling maslahat menurut pemimpin tersebut.
Perubahan yang diperlukan bagi kedaulatan rakyat adalah dengan cara menerapkan serta membuang beberapa perkara. Perkara yang harus diterapkan adalah seperti wujudnya parlimen yang mana anggotanya sebagian besar adalah wakil dari rakyat yang mampu serta ahli yang dipilih sesuai dengan keahlian masing-masing.[38] Dengan adanya parlimen ini, nantinya dapat mengawal pemimpin negara tersebut dari melakukan korupsi dan lain-lain yang telah dibatasi dengan konsep kedaulatan Tuhan. Sedangkan perakara yang harus dibuang adalah seperti kebebasan dan kekuasaan mutlak dari rakyat, sehingga makna dari kedaulatan rakyat bukan lagi kekuasaan tertinggi, akan tetapi hanya diartikan dengan kekuasaan.[39] Seperti contoh kedaulatan rakyat di dalam menetukan sebuah hukum yang dianggap dapat membawa kemudaratan bagi bangsa walaupun hukum tersebut diputuskan oleh mayoritas rakyat. Seperti hukum hak asasi manusia/membebaskan rakyat dalam melakukan apa saja yang mereka inginkan selagi tidak mengambil hak orang lain walaupun salah menurut hukum Tuhan (liberalisme/free country).[40] Contohnya adalah atheisme, perlakuan homosexual, lesbianisme, sex bebas, dan lain-lain yang jelas tiada manfaatnya serta dapat membawa kemudaratan yang akan menghilangkan moral bangsa. Perkara lain adalah kebebasan yang melebihi batas sampai terjadinya demonstrasi berterusan setiap hari tanpa berhentinya.[41] Ini dikarenakan kebebasan yang melebihi batas banyak mendatangkan kemudaratan sehingga menjadi penghalang bagi seorang pemimpin untuk memerintah dengan baik. Contohnya adalah seperti dengan mudahnya terjadi konflik daerah, seperti yang terjadi di Poso, Ambon dan lain-lain. Sebelum adanya reformasi tahun 1998, tidak terdapat konflik seperti ini yang berlaku kecuali sedikit, serta konflik yang berlaku pun adalah sebuah perjuangan rakyat untuk meraih kebebasan. Akan tetapi sekarang dengan mudahnya terjadi konflik di daerah, karena orang merasa bebas dan tidak takut dengan pemerintah. Sebuah perkara lagi adalah kebebasan pers yang kadang membawa konflik baru yang sebenarnya tidak diperlukan bagi negara yang masih membangun mendidik rakyatnya.[42] Contohnya adalah kasus Indonesia dan Malaysia dalam memperebutkan pulau yang mana asal permasalahannya adalah kesalahan dalam menulis peta. Malaysia menganggap pulau Ambalat adalah kepunyaannya karena terdapat di dalam peta yang telah disetujui oleh PBB. Sedangkan Indonesia pula, mengaku sebagai pemilik pulau tersebut hanya karena pulau itu lebih dekat dengan wilayah RI. Permasalahannya adalah kenapa harus digembar-gemborkan oleh pers, sedangkan perkara ini harusnya menjadi pembahasan antara dua pejabat negara. Masalah ini bukanlah sesuatu yang harus diselesaikan oleh rakyat. Malah, dengan memasukan rakyat dalam hal ini akan membuat masalah semakin sulit untuk diselesaikan dan akan membawa konflik 2 negara yang berkepanjangan. Seperti di Malaysia, permasalahan ini dikawal oleh pemerintah agar tidak sampai digembar-gemborkan oleh pers, karena menurut pemerintah Malaysia, masalah seperti ini dapat membawa konflik 2 negara yang tidak diingini.[43]
Mengikut sejarah yang telah diterangkan secara luas pada pembahasan kedua kedaulatan, dapat difahami, evolusi sebuah pemikiran itu sesuai dengan lingkungan yang ada. Contohnya pada zaman kedaulatan Tuhan, pemerintahan banyak diisi dengan keyakinan yang sejenis teokratik. Filosifis ini tidak membahayakan pemerintahan yang ada karena kurangnya pertentangan dari segi politik luar dan ekonomi. Raja dan Paus keduanya dengan mudah mengatur sebuah negara karena dalam pemikiran rakyat itu lebih dipenuhi rasa patuh dan setia dengan pemerintah yang ada. Ditambah lagi dengan sebuah kepercayaan mistis yang sangat kuat di dalam agama Kristen yang membuat rakyat pasrah kepada Tuhan sepenuhnya.
Pada zaman mulai terdapat invasi dari luar, dan ditambah lagi dengan krisis ekonomi yang melanda Eropa di zaman medeival, membuat ideologi para pemikir mengevolusi. Contohnya perubahan dari kadaulatan negara menjadi kedaulatan rakyat, adalah karena adanya faktor kemiskinan yang menyebar keseluruh penjuru. Zaman renaissance terjadi sebagai dampak dari jatuhnya Constantinople (29 Mei 1453)[44] ke tangan orang muslim dan kekalahannya orang Kristen pada perang salib. Revolusi agama Kristen Catolik pecah menjadi Protestan oleh Martin Luther juga adalah dampak dari kelakuan kurang adil dari pihak gereja yang dianggap berlebihan dalam urusan duniawi.
Intinya, perubahan terjadi karena faktor konteks yang terjadi sesuai dengan krsis-krisis yang berlaku. Jadi, titik permasalahannya adalah krisis-krisis tersebut. Kalau sebuah negara itu stabil, dan dapat mensejahterakan rakyatnya, maka tidak perlulah sebuah perubahan, karena kemungkinan perubahan yang dilakukan malah akan membuat negara tersebut tidak stabil dan jatuh ke dalam krisis berpanjangan.
Dengan alasan inilah, Islam muncul dengan konsep penerapan kedaulatan Tuhan, yang sekaligus terdapat kekuasaan bagi rakyat (kedaulatan rakyat). Satu perkara yang perlu diketahui, dengan sistem kedaulatan ini, Islam tidak mewajibkan sistem pemerintahan yang tertentu (bisa monarki, demokrasi atau despotisme), yang terpenting adalah pemerintahan yang ada tetap berpegangan pada hukum Tuhan dan membawa pada kemaslahatan rakyat.[45] Jadi sistem pemerintahan haruslah sesuai dengan negara tersebut. Kalau sesuainya monarki, maka yang diterapkan adalah monarki. Kalau yang lebih sesuai adalah demokrasi, maka demokrasilah yang harus diterapkan. Begitu seterusnya.
Argumen mengapa kedaulatan rakyat harus diganti[46] dengan kekuasaan rakyat, adalah karena kedaulatan itu sendiri memiliki arti kekuasaan tertinggi. Dalam Islam, seperti yang dapat difahami, tetap mempunyai prinsip kekuasaan tertinggi adalah menjadi milik Allah, sedangkan manusia (pemimpin maupun rakyatnya) hanyalah sebagai wakil (khalifah) Allah. Jika tetap dipaksakan pengabungan kedua kedaulatan ini dengan mengunakan makna kekuasaan tertinggi, maka jelas akan bertentangan dengan kesepakatan ulama yang berpendapat bahwa dalam sebuah negara, tidak boleh terdapat dua atau lebih pemimpin (presiden).[47] Dalam Islam pula tidak dibenarkan untuk berlawanan dengan sebuah kesepakatan ulama (ijma').
BAB III
KESIMPULAN

Kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat adalah teori bagi legitimasi kekuasaan sebuah negara. Dengan kedua teori ini, negara mampun meraih kedaulatan bagi negaranya. Mengapa yang dibahas adalah kedua teori ini, adalah karena kedua teori inilah yang menjadi dasar filsafat Republik Indonesia yaitu pancasila. Dengan sila pertamanya yaitu "Ketuhanan yang maha esa", dan yang keempat yaitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan". Juga dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat". Maka dengan adanya ini, Indonesia dapatlah kita sebut sebagai negara yang berdaulat.
Walau bagaimanapun, tetap harus difikirkan cara untuk lebih memajukan sebuah negara agar rakyatnya makmur, maka dari itu, ideologi hanyalah sebuah teori yang tertulis, dipelajari dan diajarkan. Tidak lebih dari itu. Akan tetapi kalau diamalkan, maka sebuah teori akan menjadi sebuah senjata yang mematikan, dan yang tidak dapat dihentikan. Perlu diingat juga, revolusi kadang diperlukan demi memakmurkan negara. Akan tetapi kadang revolusi justru membikin konflik yang berkepanjangan yang akan merugikan rakyat kecil. Hormatilah kedaulatan yang sudah wujud, sempurnakanlah dengan memberi masukan yang benar-benar dibutuhkan. Sebuah kaedah fiqh berbunyi "المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح" yang bermaksud "simpanlah perkara lama yang baik, dan ambillah perkara baru yang lebih baik".
[1] Sovereignty, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[2] Departement Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 240.
[3] Wizârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt. juz 21 hlm. 36.
[4] A S Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, Oxford: Oxford University Press, 2001, hlm. 1138.
[5] Puppet: Patung yang digerakkan oleh orang lain yang berkuasa.
[6] Jean Bodin (1530–1596) adalah seorang filosofis Perancis yang lahir di Angers, Perancis. Beliau belajar hukum di Toulouse, kemudian mengajar ilmu hukum juga di kota yang sama. Beliau ditunjuk sebagai advokat raja untuk kota Laon pada tahun 1576. Pada tahun ini juga beliau mempublikasi bukunya yang berjudul " Les Six Livres de la Republique " (Enam buku tentang kerajaan). Beliau juga adalah anggota parlimen Perancis di Blois. Beliau meninggal di Laon. Lihat: Bodin, Jean, Britannica Student Library, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[7] Bodin, Jean, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[8] Bodin, Jean, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[9] Bodin, Jean, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[10] Teokratik: berasal dari bahasa Inggris; theocracy. Maksudnya adalah sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin yang relegius.
[11] Augustinus (354-430 M) lahir di Tagaste di sebuah provinsi Kerajaan Roma di Numidia (sekarang Souk-Ahras di Algeria). Beliau belajar di Universitas Carthage sejak umur 16 tahun dan mengajar di situ juga sampai umur 29 tahun. Setelah itu beliau berhijrah ke kota Roma. Beliau adalah seorang ahli theolog Kristen. Karya beliau adalah "Confessions dan The City of God". Lihat: Augustinus, Britannica Student Library, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[12] Thomas Aquinas (1225-1274 M) lahir di istana Roccasecca dekat Naples. Bapaknya adalah seorang raden Aquino. Gereja Catolik Roma sangat berterima kasih pada beliau karena menjadi seorang ahli theolog yang paling pintar dan menjadi benteng theolog Kristen di masanya. Karya yang paling agung beliau adalah "Summa Contra Gentiles" dan "Summa Theologiae". Beliaulah orang yang mengabungkan filsafat Ariestotales ke dalam theologi Kristen. Lihat: Thomas Aquinas, Britannica Student Library, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[13] Marsilius (1280-1343 M) lahir di Padua , sebuah daerah di Italia. Beliau adalah ahli filsafat politik yang menjadi benteng perdamaian di Eropa. Setelah menjadi profesor dan rektor di Universitas Paris, beliau mengabdi di Italia sebagai consultan politik bagi Ghibellines (sebuah parti pro-Imperial, anti gereja Catolik). Karya agung beliau adalah Defensor pacis. Beliau meninggal di Kota Munich. Lihat: Marsilius of Padua, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[14] Paus: Seorang pemimpin umat Catolik Roma di dunia. Seorang Paus dianggap sebagai ketua agama yang mendapat wahyu dari Tuhan untuk mengatur urusan agama mahupan kadang-kala urusan pemerintahan.
[15] Soehino S. H., Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 153; Augustine, Saint, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[16] Soehino S. H., Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 153.
[17] Soehino S. H., Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 153.
[18] Soehino S. H., Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 153.
[19] Renaissance: Sebuah zaman yang berlangsung sekitar abad ke 15 sampai abad ke 16. Di zaman ini terdapat sebuah revolusi ideologi yang dulunya semua orang Eropa lebih kepada sikap patuh dengan gereja, akan tetapi sekarang berubah. Mereka lebih mandiri dan ada pembebesan sistem pemerintahan dari kalangan raja-raja yang teori tersebut dikenal dengan kedaulatan negara. Raja-raja tidak lagi berada di bawah bayang-bayang gereja. Mereka lebih mandiri dalam menentukan kebijakan dengan tanpa ada campur tangan dari gereja. Mereka sudah tidak memiliki ideologi bahwa kekuasaan berada di tangan Tuhan. Mereka percaya bahwa puncak kekuasaan dimiliki Negara serta pemimpinnya. Jatuhnya kota Constintanople ke tanggan orang muslim adalah salah satu punca wujudnya Renaissance. Tokoh yang banyak mempengaruhi terjadinya revolusi ini adalah Niccolo Machiavelli dan Jean Bodin. Lihat: Renaissance, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[20] J.J. Rousseau (1712-1778 M) lahir Geneva, Swis. Bapaknya adalah seorang pengrajin jam. Pada masa kecil beliau dibesarkan dengan cara yang kurang disiplin. Pada umur 16 beliau menjadi seorang anak jalanan. Di kota Chambéry, Prancis, beliau bertemu dan tinggal bersama Madame de Warens, seorang wanita yang menjadi pengaruh pemikiran Rousseau. Beliau tetap berjalan untuk sementara waktu mengharungi Swis, Italia, dan Prancis, sebagai sekretaris, guru dan guru music. Pada waktu dia melawat kota Paris pada tahun 1741, beliau kaget dengan sebuah fakta bahwa kaum di sana hidup dengan keadaan yang kurang adil. Kaum di sana hidup dengan hukum yang penuh dengan aristokrasi dan hanya sedikit berdasarkan keperluan orang awam. Beliau meninggal di Ermenonville, dekat Paris, pada 2 Juli 1778. Lihat: Rousseau, Jean-Jacques, Britannica Student Library, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[21] Social Contract, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[22] Social Contract, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD; Soehino S. H., Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 160.
[23] Natural Law, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[24] Social Contract, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD; Soehino S. H., Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 160.
[25] Soehino S. H., Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 160.
[26] Soehino S. H., Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 161.
[27] Monarkomaken adalah sebuah ideologi anti raja. Akan tetapi makna tersebut hanya sebatas bahasa. Kalau dilihat secara kenyataannya, kaum monarkomaken tidak anti pemerintahan absolutisme. Cuma mereka menentang eksesnya yang banyak menindas rakyat (tyranni). Ini adalah karena sistem monarki (yang biasanya absolut) ini mempunyai kepercayaan bahwa yang memberi kekuasaan adalah tuhan. Sehingga rakyat tidak akan berani melawan titah raja. Dengan wujudnya kaum ini, penindasan rakyat dapat diselamatkan.
[28] Soehino S. H., Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 81.
[29] Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diperintah rakyat. Demokrasi biasanya dianggap sebagai lawannya monarki yang mana pemerintahannya diperintah oleh raja absolut. Kebanyakan ahli filosofis politik sekarang percaya bahwa demokrasi adalah sistem yang paling baik, karena dapat membela rakyat kecil. Lihat: Democracy, The World Book Encyclopedia 1993, United States of America: 1993, Jilid 5, hlm. 101.
[30] A S Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, Oxford: Oxford University Press, 2001, hlm. 276.
[31] Ubaidilah, A, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, Ham Dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000, hlm. 125.
[32] Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar al-Haitamî, al-Zawâjir, Beirut: Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, tt. Juz 1, hlm. 343.
[33] Kualat: Jw a 1 mendapat bencana (karena berbuat kurang baik kepada orang tua dsb); kena tulah; 1 cak celaka: terkutuk. Lihat: Departement Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 603.
[34] Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma, tt. hlm. 29.
[35] Muhammad bin Abd-allâh al-Andalûsî (Ibn al‘Arabî), Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt. Juz 4, hlm. 49.
[36] Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar al-Haitamî, Tuhfat al-Muhtâj fî Syarh al-Minhâj, Beirut: Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, tt. Juz 3, hlm. 71; Wizârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt. juz 8 hlm. 131.
[37] Wizârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt. juz 28 hlm. 323.
[38] Nama ini di dalam Islam modern lebih dikenal dengan al-Sulthat al-Tasyri'iyyat atau ahl al-Halli wa al-'Aqdi. Lihat: Ali Abd al-Qadir Mustofa, Dr., al-Wizârat, Mesir: Matba'ah al-Sa'adah, 1981, hlm. 62; Wizârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt. juz 7 hlm. 115.
[39] Alasan mengapa makna dari kedaulatan harus dirubah akan diterangkan di bawah.
[40] Liberalism, Encyclopædia Britannica 2006, diambil dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD.
[41] Bacharuddin Jusuf Habibie, Prof.Dr.Ing.-Dr.Sc.H.C.Mult, Detik-Detik yang Menentukan, Jakarta: THC Mandiri, 2006, hlm. 59-60.
[42] Bacharuddin Jusuf Habibie, Prof.Dr.Ing.-Dr.Sc.H.C.Mult, Detik-Detik yang Menentukan, Jakarta: THC Mandiri, 2006, hlm. 47-49.
[43] Sebuah pemikiran dari tokoh politik Malaysia, Lihat: Isu sempadan maritim: Media Indonesia dikritik, http://www.utusan.com.my/utusan/archive.asp?y=2005&dt=0309&pub=utusan_malaysia&sec=muka%5Fhadapan&pg=mh_04.htm&arc=hive.
[44] Sebuah kota di Turki yang namanya sekarang adalah Istanbul.
[45] Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06, Kediri: MMPA, 2006, hlm. 12; Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji, al-Imamah al-'Uzma, tt. hlm. 29.
[46] Kata 'diganti' di sini adalah 'dimaknai'.
[47] Ali bin Muhammad bin Habib al-Mâwardî, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, Beirut: Dâr Maktabah al-Hayyât, tt. hlm. 137.